Arsene Wenger datang ke Indonesia, si “the professor”? Woww, kalau itu 25 tahun yang lalu, berarti cuma ilusi. Tetapi seperempat abad kemudian, bummm mudah sekali sekelas Mr Wenger datang. Sir Alex sudah duluan (?), AC Milan all stars, siapa lagi ya?… hmm lupa, menunjukkan sudah begitu lamanya saya tidak mengikuti berita persepakbolaan. Sudah bukan era saya untuk ikutan mencari tahu semua berita bola 🙂 Sebenarnya ya boleh-boleh saja sih tetap mengikuti, tetapi ya memilih mundur saja deh dari kegemaran menonton, mengikuti berita serta mengumpulkan kliping berita dan gambarnya. Menyebut bukan era saya lagi, serasa membuka “aib” “ow nooo everyone will know my age” 😀
Wuiihh, dengar-dengar dua pekan depan giliran “the blues” yang akan datang…. Luar biasa…Then Liverpool, ckckck hebat. Dulu Ian Rush salah satu favorit saya 🙂 Kesan yang tertangkap, ekonomi Indonesia sudah sangat membaik, antara 300 ribu – 750 ribu sudah tidak jadi masalah, harga naik setiap Senin (lhoo kok jadi ke iklan rumah itu? :p). Kesan lain, di era globalisasi ini, semua menjadi lebih mudah, “world” sudah ada di genggaman kita jika kita mau menggenggamnya. 1994 cuma bisa bersedih yang datang hanya Dejan Savisevic, tapi 2012 lalu nyata hadir Paolo Maldini di GBK… masih kagum bahwa “people change, world change, everything change”.
Atau ini bagian dari perjalanan sebuah politik? hmm, bisa jadi, tapi saya tidak mengerti politik, kita lihat saja nanti.
Kembali ke pertandingan antara Arsenal dan Timnas, saya menonton hanya sebagian babak pertama saja kok (melalui televisi pula), jadi tidak berhak melakukan “judgement” apapun (menurut saya). Rasanya stadion itu bukan GBK lagi, tetapi menjadi Highbury atau Emirates. Dengan fisik penontonnya adalah orang Indonesia tetapi berseragam dan ber-yel-yel Arsenal….hehehe menarik ya.
7-0….astagahhh, “everything change” tadi tidak berlaku untuk tim sepakbola nih kayaknya. 1994, Daniel Massaro, Dejan savisevic dkk membantai 8-0 …. 18 tahun kemudian mirip juga?? eh, tapi lebih baik deh, selisih satu itu lumayan kok. Dan sebelum-sebelum ini juga lebih baik jumlah kebobolannya. Yahh tidak apa-apa semoga lebih baik. Dan yang namanya belajar, ya tidak boleh mati, tidak boleh stop. Berjuang terus timnas!!
Saya sebenarnya bingung dengan para anggota timnas kita ini…itulah akibat kurang baca berita dan perhatian lagi terhadap sepak bola. Sudah sejak beberapa tahun juga sih, ada istilah naturalisasi segala. Lalu mengapa jadi banyak orang asing (Belanda)? Lalu mengapa menyebut diri “dream team”, apakah tidak terlalu sombong dan percaya diri berlebihan? Cinta tanah air dan nasionalisme sih jelas mutlak dibutuhkan tetapi kaitan dengan prestasi dan skill masih jauh, masih angan-angan. Mungkin penggunaan istilah tersebut menjadi berlebihan jika tanpa dibarengi prestasi (saya terbayang the dream team basket Amerika era Michael Jordan, Magic Johnson, Scottie Pippen di Olimpiade 1992).
Mau undang tim manapun, sebagai latih tanding, sah-sah saja. Keputusan manajemen PSSI mungkin dengan pejabat terkait. Silahkan saja. Tetapi siapapun pemberi bumbu-bumbu istilah itu harus ada yang rem, jangan terlalu optimis dan jangan pula malah menjadi bumerang sendiri. Kita tahu tim Arsenal siapa, belajar dengan mereka saja, bukan menjuluki diri sendiri sebagai tim impian walau dengan embel-embel “hanya nasional” ya tetap saja “sounds weird”. Bukan “the dream team” tetapi jadi “day dreaming team”. Apalagi, ujungnya lautan GBK menjadi “the gunners”, jadi kasihan deh para pemain timnas itu. Menurut saya, ini latih tanding dan hiburan bagi masyarakat pencinta bola. Sudah, dibuat begitu saja. Titik tidak pakai koma 😀
Semoga Timnas makin maju ya. Sepak bola makin dicinta <3
Yaaa tulisan di atas ya hanya sebatas pendapat pribadi, sebagai ibu dari seorang anak yang menjelang remaja dan menggilai sepak bola 🙂