Happy Belated Birthday, Google :)

Kamis, 25 September 2012,  Google berulang tahun, dan banyak sekali siswa yang saling retweet dan me-retweet “Selamat ulang tahun Google, terimakasih telah menjadi lebih pintar dari guru kami di sekolah dan membantu kami selama ini”.

Sementara pada hari yang sama,  saya membaca salah satu twit siswa saya kelas 8 berbunyi “If teachers can’t be good in every subject, why are the teachers expecting us to be good in all the subjects?”

Bagaimana perasaan bapak/ibu guru jika dianggap “kalah pintar” dibanding google? Sebaiknya jangan tersinggung, karena kenyataannya google memang “pintar”, demikian pula Wikipedia dan berbagai situs yang berhubungan dengan pengetahuan. Jika sudah demikian, lalu apa tugas guru, semua materi dapat diunduh sendiri via situs.

Miris, sedih sekaligus senang? atau senang sekaligus sedih? Atau bukan kedua-duanya? 😉

Siswa yang saya maksud dalam twit di atas adalah siswa yang berprestasi, memiliki bakat dan talenta yang baik. Saya sering mengatakan “bersyukurlah kalau kamu memiliki talenta yang diberikan Tuhan itu”.
Tapi kok dia masih bisa berucap seperti itu ya?

Kalau siswa demikian saja mengungkapkan “galau” hatinya sedemikian rupa, bagaimana dengan siswa yang tidak pandai secara akademis tetapi memiliki talenta yang bukan bidang akademis? Kepada siswa yang seperti itu saya sering mengatakan “carilah, galilah terus apa talentamu sampai suatu hari kamu akan menemukan dan dapat melipatgandakannya kelak sehingga kamu menjadi sukses”.

Saya sering mendengar percakapan di antara rekan yang mengatakan bahwa siswa harus mendapat “push” yang besar agar dia tergali kreatifitasnya. Katanya, siswa harus diberikan tugas sebanyak mungkin agar dia menjadi pintar. Siswa harus diberikan standar maksimal bukan minimal agar si siswa tahu apa yang jadi talentanya dan dapat dia kembangkan sejak dini, di mana semuanya itu cukup benar dan masuk akal, sepanjang bukan menjadi suatu ajang adu “kreatifitas” si guru dalam penilaian skala “terampil menciptakan tugas untuk siswa yang beragam”.

Seperti dituliskan oleh Robert John Meehan “The best teaching always takes place in the frame work of high expectation”. Guru sangat bisa dan boleh meletakkan skala ekspektasi yang tinggi kepada para siswanya. Ragam tugas, bobot dan jumlah tugas bisa saja menjadi dasar seorang guru membuat kerangka kerja maksimal untuk siswanya.

Tetapi pemikiran selanjutnya adalah apakah skala tingginya ekspektasi itu menjadi sama untuk semua siswa? Sementara siswa diminta untuk menunjukkan “multiple intelegence” nya, di saat yang sama pula, semua tugas diletakkan dalam kerangka kerja “high expectation” tadi? Jadi siapa yang berhak menentukan seberapa “high” dasar pencapaian hasil siswa? Sekolahkah? Gurukah? Atau siswa sendirikah?

Introspeksi seorang guru yang cukup sulit adalah menyadari jika seorang anak juga memiliki “kehidupannya” sendiri. “me time”.
Saya merasa kebanyakan dari kita malah akan berasumsi justru siswa tidak boleh menghabiskan waktu terlalu lama menggunakan imaginasinya dalam “waktu bengongnya” (imaginasi yang saya maksud bisa berupa “baca-baca” quote twit yang aneh-aneh, nonton berbagai gaya “gangnam” :), celoteh berkepanjangan di twitter, dan masih banyak lain).

Seperti pernah saya tulis, salah satu unsur penting dalam pendidikan abad-21 adalah “menciptakan kreatifitas siswa”, “mempersiapkan siswa dengan berbagai ketrampilan”, maka menjadi sering terpikirkan di kepala saya, apakah memang benar ya? Apakah memang begitu ya? Bahwa siswa itu harus diberikan porsi maksimal sehingga kreatifitas dan ketrampilan-ketrampilan dalam dirinya yang masih “belum muncul” menjadi mulai nampak dan terasah?

Saya tidak akan men-“judge” mana benar dan mana tidak benar 🙂 . Ini adalah sebuah pemikiran yang harus ditelaah dengan bijaksana, disikapi dengan bijaksana, ditolelir juga secara bijaksana (pokoknya yang bijak-bijak ada di sana #abaikan).

Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah harus mampu menjembatani antara kebutuhan siswa dan tanggung jawab mendidik siswa. Kurikulum menjadi tolak ukur yang penting, siswa dan guru di dalamnya juga unsur penting. Ada berbagai pendapat memunculkan ide bahwa kurikulum yang berat isinya mampu menciptakan siswa yang kreatif. Ada juga yang menyebut siswa yang memang memiliki bakat dan potensi yang sudah baik saling berkumpul di sebuah sekolah yang sama, maka posisi sekolah otomatis akan turut terangkat. Memiliki prestasi secara akademis dan secara karakter.

Berikut ini tipe tugas yang mungkin sering diberikan oleh guru kepada siswa :

  1. Tugas yang sehari-hari alias pekerjaan rumah.
  2. Tugas yang mampu membuat siswa menghubungkan pelajarannya dengan kehidupan sehari-hari.
  3. Tugas yang harus dipenuhi dalam kuantitas jam tertentu, contoh: kerja lapangan.
  4. Tugas yang berbasis IT, yang bisa menjadi ‘yang penting canggih’.
    Pernah saya lihat rekan saya menugaskan siswanya  membuat laporan dalam bentuk video setelah siswa menjalankan studi lapangan. Setelah batas waktu pengumpulan tiba, entah bagaimana si guru rupanya mampu memeriksa belasan video tersebut dalam waktu “satu jam” 😉 sementara siswa yang mengerjakannya diminta berhari-hari fokus di situ. x_x.
    Sayangnya memang terjadi dimana yang penting kasih tugas keren tapi diri sendiri belum belajar.
  5. Tugas yang berkolaborasi antar subject. Makin banyak subject maka makin luas daya kreasi siswa.
  6. Tugas yang menampilkan sisi-sisi kemanusiaan siswa.
  7. Tugas yang melibatkan reportase yang canggih seperti laporan sebuah karya tulis.

Dan lain-lain tentunya…..

Jika setiap mata pelajaran memberikan sebuah tugas kepada siswa, dan ada kurang lebih 11 mata pelajaran per minggu, sementara siswa bangun jam 5-an dan tiba dirumah setengah 5-an lalu mereka harus tidur jam sepuluh malam, berapa jam yang tersisa untuk mereka? Lalu semuanya harus untuk PR dan tugas-tugas?

Hmm, ya tidak heran jika siswa sering menjadi “galau”. Atau mungkin dalam ungkapan anak sekarang “banyak pe er dan tugas dan bikin saya gak bisa ngapa-ngapain? jadi saya harus bilang wow gitu?”

Gak heran ya kalau akhirnya mereka jadinya memandang Google menjadi gurunya, yang selalu membantu dalam sempitnya waktu yang mereka miliki.

Happy Teachers Day to all my relative teachers. May our calling be blessed wherever we are <3

Guru Favorit

Tanyakan kepada anak didik kita, bagaimana sih kriteria guru favorit untuk kamu? 🙂
“Tidak suka marah-marah, pokoknya baiiiikk banget”
“Tidak suka kasih PR”
“Ulangannya jarang-jarang kalau perlu nggak usah ada ulangan”
“Free…..time……”
“Cara mengajarnya enak”

Dari lima pilihan siswa di atas, yang mana yang paling relevan? apakah argumen si guru akan “Tergantung kita bertanyanya kepada siswa yang tipe bagaimana? Semua siswa sih kalo bisa tidak ingin belajar” 🙂

Pernahkah terlintas di dalam pikiran rekan pendidik bahwa sebenarnya siswa kita itu tahu persis bagaimana “memfavoritkan” gurunya? Kadang kita yang bisa saja kurang menyadari hal tersebut. Apalagi jika ditambah dengan asumsi bahwa pendidik “lebih berkuasa” daripada “anak didiknya” dan apapun yang siswa katakan belumlah dapat dikategorikan akurat kalau belum kita yang menyetujui. Ironis? Yahh itu kan pendapat saya.

Bagaimana menjadi guru yang favorit di mata siswa?
Menurut saya: Menjadi diri sendiri …dan bukan berpura-pura menjadi orang lain.

Tetapi, apakah penting label favorit untuk rekan-rekan seprofesi saya?
Pasti ratusan pendapat akan terlontar jika hal ini ditanyakan kepada rekan-rekan sekalian.

Salahkah menjadi seorang guru yang difavoritkan?
Tentu saja tidak ada yang salah sepanjang kita menjadi seorang pendidik yang menjalankan tugas keprofesionalannya dalam track / jalur yang benar.

Apakah wali kelas hampir pasti menjadi guru favorit siswa di kelasnya?
Atau malah sulit menjadi favorit karena wali kelas cenderung yang paling memperhatikan kerapian, kerajinan, keberhasilan kelasnya?

Bagaimana dengan guru yang berlindung di balik status “saya bukan wali kelas anak itu” (baca: sehingga saya tidak perlu terlalu memperhatikan siswa tersebut?) Opini – opini seperti itu tanpa disadari sering muncul di kalangan guru disertai dengan “anak si bapak A / anak si Ibu B”, “itu lho anakmu…” dalam merefer ke siswa yang punya “masalah”, “siapa dulu bapaknya / ibunya” jika merefer ke siswa yang “berpotensi baik secara akademis” 😉

Siswa adalah anak – anak. Mereka berada di usia yang pasti di bawah kita yang sudah menjadi pendidik, namun mereka sudah mulai belajar memandang dan menilai orang lain.
Sehingga, apabila siswa melihat gurunya sebagai orang yang baik, tegas, berwibawa, konsisten, memiliki konten dan dikunci oleh sosok yang sepadan dengan “panggilannya sebagai guru” maka hampir pasti diri si guru menjadi sosok yang dikagumi dan difavoritkan.

Tetapi seorang guru tidak perlu menjadi pribadi yang dikategorikan selalu ideal dalam menghadapi siswanya. Menjadi diri sendiri adalah kunci utama.
Lho, jadi ada guru yang bersaing untuk memperebutkan posisi terfavorit? *just kidding*

Salah satu yang saya sebut di atas adalah memiliki konten. Konten yang tentu saja disertai dengan kemampuan untuk bisa berkomunikasi dengan siswa. Komunikasi sangat penting dimiliki oleh rekan-rekan yang mendedikasikan hidupnya dan menjalani panggilannya sebagai pendidik. Bukan pula berarti seorang pendidik yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertingginya (S2 atau S3) lalu jadi otomatis mampu berkomunikasi dengan baik terhadap siswanya. Seorang yang memiliki kemampuan di level komunikasi dengan siswa di jenjang SMA belum tentu bisa disamakan (dan tidak bisa diperbandingkan) dengan seorang yang memiliki kemampuan komunikasi terhadap siswa TK.

Lalu siapa lagi yang menilai kemampuan si guru dalam menjalankan tugas dan panggilannya tersebut? Jelas, institusi atau sekolah juga memegang peranan penting. Sekolah seringkali mendapat benturan dari pihak pengelola sekolah atau yayasan yang mewajibkan gurunya untuk memenuhi kriteria tertentu.
Sayangnya pemenuhan kriteria tertentu tersebut seringkali mengabaikan bakat lain yang dimiliki oleh si guru. Guru yang memiliki konten dan kemampuan komunikasi yang baik dengan siswa tetapi tidak mampu memenuhi tuntutan pengelola sekolah, dia menjadi guru yang tidak memenuhi standar.

Sebaliknya, mungkin juga ada institusi / sekolah yang karena kurang memiliki standar penilaian yang baik akan kemampuan dan kinerja gurunya, maka bisa saja si guru melakukan proses pembelajaran kepada siswanya tidak sebagaimana mestinya. Penyampaian materi yang bolong-bolong, evaluasi terhadap siswa yang “yang penting siswa senang”, dan yang terutama mungkin pembinaan karakter yang salah penyampaian karena si guru hanya demi “terlihat bagus dan benar menjalankan peraturan sekolah”.
Ada kalanya mungkin institusi sudah berusaha konsisten dengan segala kebijakannya, tetapi guru atas nama “demi siswa” tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Bisa “menjadi sebuah pokok bahasan besar” untuk hal tersebut.
Ironisnya, kembali ke judul awal saya guru favorit, guru yang di posisi itu malah mudah mendapatkan julukan tersebut.

Ada lagi karena demi menjalankan misi institusi sebagai sekolah berkualitas dalam mencetak prestasi akademis, seorang guru jadi ikutan hanya memandang kepada siswa yang memiliki bakat dan kemampuan akademis yang tinggi, lupa bahwa ada bagian siswa yang menjalankan kehidupan akademisnya dengan susah payah dan membutuhkan “bantuan seorang pendidik” yang mampu membuka dirinya “belajar untuk mau belajar pada subject yang sudah menjadi momok kesusahan bagi dirinya”, bukan melulu dijejal “ayo belajar supaya kamu bisa, kan kamu tahu kamu tidak mampu”. Manakah yang jadi favorit? Guru pintar yang mencetak siswa berprestasi akademis atau guru pintar yang mampu membuat siswanya mau belajar? 😉 Silahkan juga dinilai sendiri.

Jadi, guru menjadi favorit itu dari kacamata siapa ya? Murid? Yayasan? Kita sendiri?

Bagaimana dengan diri kita masing-masing? Marilah menjadi diri kita sendiri dan menjalankan tugas kita sesuai dengan panggilan hati dan jiwa kita untuk melayani dan mendidik siswa kita menjadi siswa yang berkarakter, berbudi pekerti, dan memiliki kemampuan akademis yang baik 🙂

Apa Kabar Presentasi Kelas?

Ingatan saya melayang ke jaman sekolah dulu, saya terkesan dengan seorang guru Fisika di SMA kelas 10, yang mengajar dengan menghadap papan tulis, mengisi papan tulis dengan kapur dari ujung ke ujung, jika penuh, hapus, balik lagi dari ujung ke ujung 🙂  Karena saya menyenangi pelajaran Fisika maka saya senang memperhatikan cara guru ini menjelaskan dan mampu mencerna pelajaran dengan baik.

Saat itu saya mulai merasa seharusnya ada variasi pada penggunaa media papan tulis ini , yang merupakan salah satu metode utama untuk menyajikan materi pada siswa. Mulai dari bagaimana sikap tubuh seorang guru harusnya tetap menatap siswa dan belajar menulis di papan tulis dengan posisi tubuh miring, sambil tentu saja digabung dengn kemampuan seorang guru menguasai kelas, mengatur kelas dan berinteraksi dengan siswanya.

Tetapi tentunya tidak berhenti disitu saja, apalagi karena papan tulis, alat bantu presentasi guru, sudah berkembang begitu jauh. Sebagai guru, saya mengalami masa di mana menggunakan kapur – papan tulis, marker – whiteboard, pemakaian OHP, hingga projector untuk menampilkan file presentasi Powerpoint, pemakaian adobe flash, sampai dengan pemakaian video instruksional.

Untuk menunjang tiga hal terakhir yang disebut di atas, dibutuhkan alat bantu yang memudahkan berinteraksi dengan siswa. Alat bantu yang berupa pen stylus dan alasnya seperti tablet.

Setelah berkenalan dengan writing tablet sebagai sebuah alat bantu presentasi di kelas di tahun 2008 yang walau alat itu sendiri lebih umum dikenal diantara “orang desain”, ternyata saya sangat menyukai alat tersebut walaupun saya bukan orang desain.
Dengan bantuan writing tablet itu, presentasi di kelas pun bisa lebih menarik menarik, file presentasi Powerpoint  bisa ditulisi dengan berbagai penjelasan langsung dengan perangkat seperti pena tersebut. Kebetulan, sudah bertahun-tahun saya selalu menyiapkan handouts dengan beberapa bagian penjelasan sengaja dikosongkan agar saat proses penjelasan berlangsung, siswa dapat mencatat point-point penting atau rumus-rumus yang didapatkan dari penjelasan tersebut. Sebaliknya, file worksheet tersebut bisa saya “corat-coret” langsung dilayar persis diatas diagram, atau grafik yang sedang diterangkan. 

Keuntungan lain dari penggunaan pen tool adalah selama bertahun-tahun pula saya telah menghemat spidol/marker dan lembar plastik OHP, berarti saya adalah bisa menjadi pendukung go green nomor satu dari tempat saya bekerja :p 🙂

Beberapa waktu lalu, rasanya ingin sekali memiliki writing tablet wireless, keinginan yang sampai sekarang belum terpenuhi… (berharap ada malaikat dari langit yang menjatuhkan benda tersebut di depan saya O:) wacom intuos 4 wireless)….. Bayangkan sebuah presentasi di kelas yang dapat saya kendalikan dari tengah-tengah kelas, dari depan siswa maupun dari antara siswa. Wow, asik sekali, bukan?

Presentasi PPT + writing tablet praktis bisa menjadi interactive whiteboard tersediri yang mungkin tetp jauh lebih ekonomis daripada interaktif whiteboard berukuran besar.  Dari metode presentasi ini, ada begitu banyak kemungkinan pengembangannya.  Worksheet interactive adalah salah satunya, worksheet yang di attach dengan video instruksional, dimana anak-anak bisa menutuskan apakah mereka akan memperhatikan instruksinya dilayar, melengkapi bagian kosongnya atau atau berusaha membuat soal-soal yang ada.

Banyak sekali yang dapat kita lakukan untuk membantu siswa / anak didik kita yang sekarang makin beragam metode belajarnya. Makin banyak pula siswa kita yang sudah mengalami hidup dalam era komputerisasi, dimana mereka dengan mudah mereka menghemat waktu untuk sekedar menggambar grafik parabola misalnya, dengan hanya sekali mengklik fungsi parabola pada kalkulator tipe tertentu atau pada software gratis yang dapat dengan mudah mereka akses lewat jaringan internet.

Lalu bagaimana kita sebagai guru / pendidik mampu menjembatani siswa demikian dalam era ini tanpa meninggalkan cara klasik yang memang tetap harus dikombinasikan dengan teknologi dan metode jaman sekarang, menjaga dan melengkapi serta mengembangkan berbagai metode dan gaya belajar siswa.

Seperti ditulis di www.guraru.org

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake