X

English oh English, is it the icing on the cake?

http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/18/bahasa-inggris-hancur-lulus-cumlaude-di-amerika/

Silahkan klik link di atas dan bacalah bacaan yang amat menarik seputar pentingnya bahasa Inggris dalam dunia belajar dan apa yang bisa diukur dari kemampuan berbahasa Inggris tersebut.

Kisah pak Rhenald Kasali dan pak Yohanes Surya tersebut pernah saya baca juga sebelum ditulis dalam artikel di atas. Tapi entah mengapa, saat membaca tulisan pak Yusran Darmawan di index headline kompasiana, rasanya menarik sekali (menarikkkkkkkkk, sampai banyak “k” nya 🙂 ).

Jadi sangat tergambar di kepala dan ingatan saya tentang pengetahuan seseorang pada test bahasa Inggris tertulis ini, contohnya ya diri sendiri. Saya harus mengambil beberapa test TOEFL untuk keperluan pekerjaan saya di dunia sekolah dan pendidikan yang saya jalani semenjak saya masih duduk di bangku SMA. Mulai dengan ujicoba TOEFL (untuk keperluan belajar / diselenggarakan internal), lalu TOEFL yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga bahasa, lalu TOEIC, dan mungkin TOEFL lagi minggu depan 😉

Alkisah, ada sekolah – sekolah yang ingin menilai gurunya dari kemampuan berbahasa Inggris. Bahasa Inggris yang harus ditestkan sebagai TOEFL atau TOEIC. Atas dasar sekolah yang berbasis kurikulum dari luar negri dan menyandang kata internasional maka bahasa Inggris menjadi sedemikian penting dan harus diteskan dengan kondisi hanya “lulus atau tidak lulus”. Kalau tidak lulus dengan standar skor tertentu maka mohon maaf harus mengalami mutasi ke bidang lain. Ayo belajar……belajar, siswa saja disuruh belajar sewaktu mau test, masak gurunya tidak?

Saya tidak mengatakan dan tidak bermaksud bahwa penggunaan bahasa Inggris tidak penting sama sekali. Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa dunia yang sangat layak dan pantas dipelajari oleh kita semua. Dari berbagai bidang kehidupan, dunia pekerjaan, kita sudah tidak boleh lagi menutup diri akan kemampuan berbahasa Inggris tersebut. Apalagi bidang pendidikan, dunia sekolah, dalam rangka mengajar suatu konsep ilmu dari berbagai mata pelajaran yang kita ajarkan, bahasa pengantar Inggris merupakan suatu yang penting dan sudah sangat cocok dipakai dan ditransfer kepada siswa.

Sayangnya lalu bahasa Inggris menjadi seperti icing on the cake. Icing yang mendadak menjadi lebih penting dari isi si kue itu sendiri. Seakan-akan, materi pendidikan yang disampaikan dalam bahasa Inggris juga otomatis menjadi lebih ‘cantik’ dan ‘modern’ atau bahkan *keselek* lebih internasional.

Memang jadinya banyak orang tua yang hanya memperhatikan beragam icing daripada kuenya (karena memang lebih mudah dilihat), terlalu banyak manajemen dan pemilik sekolah yang berjualan icing-nya saja, dan terlalu banyak guru yang lebih sibuk menolak atau menerima icing nya daripada rasa dan isi asli kue-nya.  Bahkan bisa jadi ada guru yang berlindung dari icing berbahasa Inggris untuk sekedar menutupi kekurangannya yang lain…….hmmm mungkin ada kali ya? *think hard* or *maybe not so hard*

Ironisnya, keadaan satu icing yang disebut di atas, seperti mewakili icing lain yang terjadi di dunia pendidikan di tanah air. Hmm apa ya?

Pendidik yang sudah mendapat sertifikasi seperti dianggap sudah layak dengan sebutan profesional, padahal… mengaku-ngaku jumlah jam mengajar demi tuntutan 24 (“Guru profesional memanipulasi data beban kerja tatap muka”, ditulis oleh Seni itu Indah).

Lalu contoh lain, bisa timbulnya persepsi kurang tepat masyarakat dari penayangan televisi kalau RSBI identik dengan gedung ber AC dan pemakaian OHP (dan yang lain? silahkan ditebak sendiri :D).

Seorang pendidik disamping memiliki ilmu, kemampuan mentransfer ilmu, karakter yang baik, passion, calling, juga dituntut untuk mampu berkomunikasi yang baik dalam bahasa Inggris. Sekolah – sekolah tertentu menuntut gurunya untuk mentransfer ilmu dalam bahasa Inggris dan “hanya” bahasa Inggris saja. Kondisi yang tercipta adalah si guru sibuk belajar sendiri agar saat ditest TOEFL atau TOEIC tidak boleh gagal atau harus lewat standar nilai agar tunjangannya tidak hilang…… Menurut hemat saya sih, mentransfer ilmu menggunakan bahasa pengantar Inggris adalah hal yang berbeda dengan test tertulis toefl.

Pernah terpikirkah oleh penyelenggara sekolah bahwa keadaan di lapangan bisa seperti berikut ini?

Bicara bahasa Inggris? “little little sih I can lah”, broken english dikit juga bisa lah, tulalit tulalit…. Yang penting keliatan bicara bahasa Inggris, murid mengerti atau tidak akan pelajarannya yang penting disampaikan pakai bahasa Inggris, “les saja deh kamu kalau tidak mengerti”, kata si guru. Si murid juga bisa bilang “Come on school, I go to school to study, not to listen to teachers practising their so-and-so english. It’s either you study or we do”. Miris ya keadaan demikian.

Belum lagi sekolah yang mengatakan “test ini kami tujukan untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris bapak / ibu, kami berikan kebebasan memilih level mana yang bapak / ibu inginkan, ini bukan test satu-satunya yang dipakai untuk mengukur kemampuan bapak / ibu tetapi akan ada banyak penilaian untuk mengetahui kemampuan bapak / ibu seperti manajemen kelas, cara dan metode mengajar de-el-el……” Tetapi test Inggris tersebut yang tercantum sebagai “skill” yang ada di struktur gaji…….ooowww, apa maksudnya……

Jadi fungsi sekolah sebagai tempat belajar, fungsi guru sebagai pendidik dan mentransfer ilmu, tersampaikan atau tidak ya dengan keadaan seperti itu?

Dua bagian kutipan berikut ini sangat saya suka:

“https://twitter.com/TeachersJourney/status/234606334551658496”

“……Logikanya, meskipun anda jago ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang mendapatkan apresiasi………”  (artikel pak Yusran)

 

hedy:

View Comments (2)

Related Post