Telur atau Ayam?

Manakah lebih dulu, Telur atau Ayam?

Kurang lebih serupa (bingungnya?) jika bertanya mana sebaiknya yang duluan? Ganti Menteri? Atau ganti sistem?

Sewaktu Menteri terbaru ini naik, membawahi kemendikbud dan kemenristekdikti, sepertinya banyak yang “tersinggung” (dugaan saya, kalau tidak seperti itu, ya tidak perlu baper ya 🙂 ).

“Saya jadi guru besar sudah 20 tahun, ini anak kemaren sore, CEO gojek jadi Menteri atur-atur saya?”

“Saya ini sudah menjadi guru selama 30 tahun, dengan 5 orang Menteri dari orang pendidikan semua, kok tiba-tiba CEO start up ini mau mengajari saya soal pedagogi. Saya mengajar sambil tutup mata saja bisa” 😉

“Saya ini sudah berbicara di banyak forum, melatih guru dari Sabang sampai Merauke, bekerjasama dengan kementerian Pendidikan sudah beberapa periode, tapi mana disain besar menyeluruh yang mensinergikan seluruh elemen dan komponen bangsa termasuk juga melibatkan dan mengikut sertakan semua Kementerian dalam perumusannya? Tidak pernah muncul. Mana bisa unggul bangsa ini tanpa cetak biru itu.”

Lewat beberapa saat, sang Menteripun memiliki hestek Merdeka Belajar.

“Wah, hestek ini kan sama seperti yang didengungkan si ………….., wah satu barisan nih.”

“Merdeka Belajar di Kampus kok enak saja memotong SKS di ruang kelas, diganti dengan kuliah praktek, mau jadi apa ini para mahasiswa, belajarnya kurang dong.” (Dalam hal ini, saya lebih mengkuatirkan tidak sinkronnya antara jumlah lapangan kerja yang bersedia dijadikan tempat praktek dengan jumlah mahasiswanya).

“Masak bikin cetak biru selesai dalam waktu 7 bulan menjabat? Pasti gak tepat tuh. Buru-buru amat?” Bikin salah, tidak bikin juga salah. Saya sih sepakat dengan Menteri yang pernah mengemukakan seperti berikut “Tapi tentunya tak bisa hal-hal seperti ini (kebijakan) hanya statik saja. Bahkan kita berbicara satu roadmap atau blue print itu harus ada fleksibility di dalamnya”.

Sementara itu, tidak adil dong, saya cuplik-cuplik komentar dari media-media sosial, terus saya sendiri tidak mengomentari Menteri ini?

Kaget, iya begitu mendapati nama beliau sebagai Mendikbud  dan sekaligus Menristekdikti. Tapi sesaat saja, karena langsung berpikir bahwa Nadiem merupakan orang pintar, ilmu, strategi dan bisnis. Ini mungkin yang dibutuhkan oleh negara saat ini dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Lho kok bisa begitu? Tanpa ada latar belakang ilmu kependidikan lalu membawahi sekian juta pendidik dan siswa, belum lagi memasuki organisasi kependidikan besar, memang bisa? Yah…. bisalah. Bagi saya jika segala keruwetan masalah pendidikan ini perlu ditebas karena sudah terlalu menyimpang dari nuansa pendidikan itu sendiri, kenapa tidak? *peace* 🙂

Lalu jadi apa yang sudah dipersembahkan Menteri selama 8 bulan menjabat? Saya pikir ini akan beragam jawaban tergantung siapa yang ditanya dan dalam kepentingan apa. Saya tidak terlalu mengikuti apakah yang sudah dilakukan itu benar membawa angin segar dunia pendidikan ataukah sekedar perubahan yang biasa saja.

Penghapusan UN yang digaungkan sejak lama, terbukti di era Menteri sekarang diputuskan untuk dihapus per tahun 2021. Namun dengan adanya pandemi, menyebabkan penghapusan terjadi setahun di muka. Walau keadaan ini luar biasa, namun kenyataannya, selesai sudah ujian standarisasi “high stake exam” yang dulunya penentu kelulusan lalu bukan namun tetap dibuat bagai “super penting”. Ternyata bisa kan? Mudah dan cepat.

Kembali ke pertanyaan di atas, mana yang lebih dulu harus dilakukan? Mengganti Menteri? Atau mengganti sistem?

Menurut pandangan saya, siapapun yang dipilih sebagai Menteri tanpa tebasan tadi, ya akan begini-begini saja Pendidikan negeri ini, paling ada lah perubahan atau tambahan UU, perubahan atau pembaruan kurikulum yang sudah ada. Setiap berganti pun kita menyaksikan itu, bukan?

Namun, sebagai Guru yang tidak terlalu berkecimpung dalam dunia administrasi tenaga kependidikan aturan dari kedinasan, saya bingung dan tidak habis pikir dengan keruwetan birokrasi dari sistem Pendidikan di sini.

Nadiem tidak (atau belum) berdiskusi antar kementeriannya dengan organisasi lain semisal PGRI. Namun PGRI sudah menyatakan melalui ketuanya bahwa Kemendikbud hingga kini tidak meminta masukan dari PGRI sebagai perwakilan guru, ataupun ahli pendidikan, dan daerah. PGRI belum mendapatkan arahan kapan tahun ajaran baru ini akan berlangsung. Baca artikel di sini. Memang PGRI sudah mewakili seluruh kalangan guru-guru? Yang tertentu saja, kali. Saya sih merasa Nadiem sah saja bicara demikian, minta masukan banyak-banyak? Nanti malah dianggap “bisanya apa sih nih Menteri, semua ditanya.” Minta masukan ahli Pendidikan? Siapa sih yang ahli? Maksudnya yang selalu banyak cakap, di media-media sebagai pakar?

Kembali bicara sistem, apa yang masuk ke dalam sistem? Besar dan luas sekali. Dari kemendikbud dengan struktur organisasi seperti berikut, lalu bagian terpisah ada struktur dinas pendidikan propinsi, turun ke kabupaten / kotamadya, lalu kecamatan. Banyak sekali alurnya. Bayangkan sekolah-sekolah negeri yang harus melewati begitu banyak jenjang untuk menerjemahkan sebuah kurikulum dari kemendikbud misalnya. Belum lagi sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama SPK, kan sebenarnya berada langsung di bawah kemendikbud, tetapi pelaksanaannya “terlihat / nampak” harus mengikuti dinas pendidikan di daerah SPK itu berada ya. Nah itu sudah dibahas di artikel sebelumnya.

Sekolah-sekolah (yang saya garisbawahi di sini adalah swasta) perlu dipantau dalam mengoperasikan agenda sekolahnya, karena nasib anak-anak penerus bangsa juga sebagian ada pada tanggung jawab moral mereka yang telah menerima anak-anak ini berguru di sekolahnya. Kalau ada ketimpangan, kekacauan dan tidak benar, layak dievaluasi ulang ijin operasionalnya. Begitu idealnya. Oleh siapa? Ya silahkan oleh lembaga yang memiliki dasar hukum berdasar Undang-Undang untuk melakukan itu. 

Kalau sekolah negeri? Samakah sistem administrasinya? Di bawah langsung dinas pendidikan Atau kemendikbud? Setahu saya wajib melapor pada dinas. Tapi seperti apa jelasnya? Wah saya tidak bisa terlalu banyak berkomentar deh karena kurang pengetahuan tentang hal ini. Yang umum saja. Untuk mengajar di sekolah negeri, kita butuh ikut ujian CPNS bukan? Lalu setelah lulus dan berpredikat PNS, baru kita dapat ditempatkan di sekolah-sekolah negeri. Tapi kok bisa kurang tenaga guru? Apakah dari situ memunculkan tenaga guru honorer? Entahlah, kembali bingung, kan sudah pernah ditegaskan oleh Menteri era Pak Muhajir untuk tidak merekrut guru-guru honorer, bisa dibaca di sini. Sekedar “flashback”, di tahun 1997, di sekolah saya ada satu tenaga guru yang “ditugaskan” dari status PNS nya untuk membantu di sekolah swasta. Terima gaji dua jalur dari PNS dan sekolah swasta. Ya, jaman itu mungkin gaji PNS jauh kecil dibanding beberapa tahun terakhir ini, semua ingin jadi guru PNS karena (uhum) terjamin dari tunjangannya 😀 .

Kembali menyoal sistem di sekolah tadi. Sementara itu, hal-hal remeh temeh yang melegenda semacam pemeriksaan RPP (padahal kebanyakan saling meng-copy) formalitas dalam laporan bulanan, pemenuhan jumlah jam mengajar sebanyak 24 jam pelajaran. Alih-alih dicabut tunjangan sertifikasi, mending belain tercatat 24, pelaksanaan “bisa diatur”. Sebaliknya memang pola pikir hanya mengajar saja itu yang kurang benar. Perencanaan guru, pemeriksaan evaluasi, dipertimbangkan sebagai di luar jam mengajar. Kebijakan yang aneh.

Pada saat UN menjadi UNBK dan bukan lagi sebagai penentu kelulusan, tetapi tetap saja ada “dikte” dari (dinas?), sampai mengeluarkan spanduk pun harus bersama antara nama sekolah dengan BSNP (sekolah wajib membeli spanduk tepatnya) dengan isi seragam “Prestasi Penting Jujur Yang Utama”, dapat sertifikat “sekolah berintegritas dalam melaksanakan UNBK” bertanda tangan Gubernur, pemerintahan yang membawahi dinas pendidikan propinsi, “dihimbau” tetap ada mengikuti simulasi UNBK dan gladi bersih dengan alasan server setiap tahun ada pembaharuan. Aneh, lucu dan ada-ada saja. Lalu setelah UNBK berakhir, keluar peringkat nilai siswa dan sekolah dan saling berlomba memberitakan peringkat masing-masing, seperti kunci pas untuk mendongkrak pernyataan  “mutu sekolah” bagus karena prestasi siswa yang bagus pula di UNBK.

Jadi di mana letak kebebasan bersekolah dan menerima pendidikan untuk anak-anak ini? Semua WNI diwajibkan menerima pelajaran Bahasa Indonesia, PKn dan Agama. Itu saja yang diatur. Sudah cukup. Tapi sepertinya pada pelaksanaannya banyak sekali aturan-aturan yang nampak saling tumpang tindih, antara sekolah negeri, sekolah swasta dan sekolah berijin SPK. Semua jadi seperti sama, sama berada di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah.

Jadi sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, ganti Menteri (lagi) atau sistem seperti contoh-contoh tadi yang harus duluan? 😉 

Masih ada harapan, masih kurang lebih ada 4 tahun untuk Menteri sekarang membenahi sistem, apapun sebutannya, membenahi atau merubah semua. Digebrakpun bolehlah, Mas Menteri, sekali-sekali 😀 . 

Belajar Dari Rumah – Bagian 2

Artikel Pilihan Kompasiana

Pengalaman 7 minggu bersama para siswa menjalani sistem “Belajar Dari Rumah”.

Sebelum berbagi pengalaman, saya ingin menegaskan bahwa ada hal-hal yang tetap merupakan interaksi istimewa antara seorang guru dan siswanya. Maksudnya adalah khusus di dalam periode ini, sangat penting untuk seorang guru belajar banyak hal, membuka diri dan wawasan, mengubah pola pikir, memperkaya metode pengajaran. Dari semua pengayaan tadi guru harus mampu memilih dan memilah, bukan hanya sekedar mengikuti “yang penting sama” dengan cara guru lain. Apalagi cuma copy RPP seperti biasa. *Ooopps 😀

Karena keistimewaan siswa kita berbeda dengan siswa dari guru lain. Sejauh yang guru lakukan dengan bertanggung jawab, kredibel, maka percayalah, anda sudah melakukan hal yang hebat 🙂 .

Nah, silahkan jika sharing pengalaman saya berikut ini bisa menjadi bahan pengayaan rekan-rekan guru lain dalam menentukan manajemen kelas daring (online) nya.

Apa saja yang harus ada untuk mempersiapkan kelas online kita?

1. Memiliki LMS (Learning Management System).

Untuk apa? Karena itulah ruang kelas virtual kita. Bapak/Ibu guru kalau mengajar membutuhkan ruangan bukan? Supaya siswa kita bisa berkumpul di kelas yang benar pada saat kita menyampaikan pembelajaran. Banyak basis LMS, pilihlah salah satu. Saya pernah memakai basis moodle, mathematics.hedy.me, basis Schoology basic, basis Google Classroom dan basis Microsoft Teams. Untuk periode pandemi Covid 2019, saya memilih menggunakan Google Classroom (untuk selanjutnya saya sebut GC). Tanpa LMS, guru akan sulit mengumpulkan kegiatan belajar mengajarnya. Tersebar acak misal file pdf, file dari berbagai drive, file evaluasi siswa, dll.

 

2. Memberikan informasi / pengumuman terkini kepada para siswa. 

Setiap hari ada dua jalur informasi resmi dari saya kepada siswa, yaitu email dan papan pengumuman di GC. Email dikirimkan ke siswa-siswa dalam satu kelas tertentu sebagai pengingat bagi mereka tentang jadwal pelajaran. Dikirimkan biasanya malam hari (untuk pelajaran di pagi hari), atau pagi hari (untuk pelajaran di siang hari). Diharapkan dengan email pengingat ini, siswa akan lebih siap menghadapi pelajarannya.

Lalu setelah email, baru pengumuman sekaligus instruksi di GC. Apa saja kegiatan siswa di hari tersebut.

3. Mulai mengajar. “Synchronous” dan “Asynchronous”.

Yang ideal pastinya berimbang. Saya menerapkan keduanya berdasarkan kondisi kelas masing-masing. Dari 5 kelas berbeda, ada karakter kelas yang cocok secara synchronous, ada yang secara asynchronous. Namun ada juga yang lebih baik keduanya sekaligus. Terlebih di dalam satu kelas saja, dengan 20 siswa, memiliki karakter berbeda setiap siswanya.

Mengajar secara synchronous, dibantu dengan alat bantu Gmeet + Jamboard, yang dengan mudah diakses oleh siswa kapanpun, karena link yang selalu tersedia di google classroom. Saya tidak melulu menggunakan Gmeet dengan video, karena dengan audiopun bisa jadi sangat cukup terlebih disertai dengan papan tulis bersama.

Presentasi langsung dengan bantuan Pear Deck, juga menjadi pilihan saya untuk menyajikan pelajaran secara langsung. Seperti berikut ini:

Mengajar secara asynchronous, dengan catatan, video pelajaran. Mencarikan link yang sesuai dengan topik tertentu ataupun membuat sendiri video, bisa dipilih mana yang lebih cocok dengaan siswanya. Di samping membuat video pelajaran sendiri, ada beberapa hal saya lakukan dengan dibantu alat bantu belajar matematika yang sangat mudah diakses, dapat dilihat dari cuplilan video berikut ini:

4. Memberikan penilaian dan timbal balik / refleksi.

Bagaimana menilai siswa selama masa belajar dari rumah? Saya memberikan semacam kriteria penilaian dengan rubriknya kepada siswa, di mana garis besar kriterianya adalah bergabung, berpartisipasi, perhatian dan fokus, serta melengkapi semua tugas yang diberikan. Tidak ada tes / ulangan? Saya tidak melakukan jenis tes sumatif bergaya “high-stakes exam”, melainkan hanya formatif bersamaan dengan ke-4 kriteria di atas.

Pada saat berkegiatan langsung synchronous dengan pear deck misalnya, ada beberapa pertanyaan yang diselipkan di sana dan meminta respon siswa. Tes per individu saat interaksi melalui papan tulis bersama, bisa langsung memberikan “feedback” seperti contoh ini:

Demikian pula pada saat asynchronous melalui video pelajaran, ada beberapa pertanyaan langsung diajukan melalui google form, atau melalui desmos “class builder”, melalui canvas di graspable math activity. Juga berkolaborasi mengumpulkan soal-soal dan tukeran menjawab soal-soal dari teman-temannya, seperti sudah dibagikan di dalam artikel ini. Setiap kegiatan dan penugasan, sebisa mungkin saya berikan komentar atau “feedback” agar siswa menyadari kekurangan atau kelebihannya di mana.

5. Komunikasi yang baik dan benar.

Saya pernah ditanya seorang rekan, apakah alat bantu terbaik berkomunikasi dengan siswa selama masa belajar di rumah? Jawaban saya, semua alat adalah baik dan dapat digunakan, komunikasi bukan berdasarkan alatnya namun komunikasi adalah konten dan tujuannya. Tentu saja termasuk pemberian “feedback” di dalamnya. Ada guru yang suka menggunakan aplikasi WA saja untuk komunikasi karena cepat untuk kontak individu dan grup kelas, silahkan saja, mengapa tidak? Sejauh dipakai secara konsisten. Banyak lagi yang lain semacam line, kaizala, aplikasi pesan lainnya. Kebetulan saya menggunakan email. Namun tidak menolak untuk beberapa siswa yang berkawan melalui aplikasi instagram dan menggunakan pesan instagram. Menurut pendapat saya, email merupakan bentuk komunikasi praktis, resmi, konsisten dan berkesinambungan saja dengan apa yang saya lakukan di awal untuk memberikan informasi dan notifikasi kegiatan kelas. 

Di samping email, google classroom juga dilengkapi dengan kolom meletakkan komentar atau pesan secara publik atau privat. Itupun alur komunikasi yang benar, karena semua pesan siswa akan memberikan notifikasi kepada saya melalui telepon genggam. Jadi mudah semuanya. Berikut contoh percakapan (feedback tidak disertakan di sini karena isinya lebih personal kepada siswa 🙂 ) melalui email:

 

Demikian pengalaman berbagi ini. Anda punya pengalaman lain? Silahkan dibagikan agar kita dapat sama-sama belajar dan mengadaptasi yang cocok dengan kondisi dan situasi lingkungan belajar kita masing-masing.

Apakah selanjutnya ini akan menjadi kenormalan baru? Entahlah, tetapi sebagai guru, kita harus selalu bersiap untuk beradaptasi, seperti juga kita selalu bersiap menerima paradigma baru dalam pendidikan. 

Selamat Mengajar dan Belajar!

Belajar Dari Rumah – Bagian 1

Artikel Pilihan Kompasiana

Tak ada seorang anak sekolahpun di dunia ini yang tidak mengalami proses belajar mengajar dari rumah selama pandemi Covid 19.

Tulisan ini didasari atas pengalaman pribadi, pengamatan lingkungan sekitar, curhat rekan-rekan orang tua dan siswa-siswa dari berbagai sekolah, social media, maupun media online. Saya sangat yakin, dari survey yang katanya 3 juta guru dan hanya 2,5 % yang berkualitas itu, adalah banyak sekali rekan-rekan di sekitar saya. Namun sebagai refleksi diri, mungkin tulisan ini bisa membantu pola pikir rekan-rekan sekalian baik yang sudah melakukan serupa atau berbeda, untuk saling melengkapi. Karena kita guru adalah yang benar-benar terlibat dengan siswa, yang sebarisan dengan siswa, bukan hanya berbicara di forum sebagai pelatih guru atau bukan sebagai pengamat pendidikan yang cenderung bercakap pada sebuah usulan dan kritik.

Covid 19 memaksa setiap orang melakukan pengaturan jarak secara fisik. Pertemuan berkelompok yang mungkin paling besar adalah pertemuan di sekolah. Ya, anak-anak sekolah yang dalam satu kelas bisa terdiri dari 15 – 40 siswa. Waktu istirahat yang makan di kantin dan sebagainya. Itulah dari sejak awal pandemi ini ada di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya, kegiatan nomer 1 yang dihentikan adalah kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dimulai dari keputusan pemerintah daerah setempat, maka berlakulah pembelajaran dari rumah.

Pada saat ini akan terjadi, saya ingat medio Maret 2020, beberapa rekan guru dan orang tua memulai dengan kebingungan, beberapa siswa memulai dengan kegembiraan.

Mengapa guru bingung? Karena sebagian terbiasa dengan pola mengajar sangat tradisional. Bahwa pembelajaran hanya terjadi apabila ada tatap muka. Bahwa belajar harus fokus tidak boleh ada distraksi dari perangkat digital semacam “laptop” atau “telepon genggam”. Bahwa belajar harus runut sesuai RPP atau program tahunannya, dan setiap habis belajar siswa wajib menerima evaluasi.

Mengapa orang tua bingung? Karena sebagian orang tua berpikir dan berpendapat bahwa menyekolahkan anak-anaknya adalah sebagian kecil dari membagi tugas rutin pengontrolan anaknya. Beberapa orang tua mungkin harus jujur juga bahwa dengan sekolah 5 – 8 jam di luar rumah maka orang tua merasa ada sedikit “kebebasan” menjalankan tugasnya yang lain. Dengan kondisi anak-anaknya sekarang harus di rumah? Tentu tidak terbayang. Belum lagi orang tua yang punya motivasi perang ranking bagi anak-anaknya, wah bisa gagal nih cita-cita ranking 1-3.

Mengapa siswa gembira? Karena berpikir secara kebiasaan bahwa belajar itu adalah kegiatan di sekolah. Di rumah adalah beristirahat dan bermain. 

Dan dimulailah masa-masa yang disebut sebagai “Home based Learning”, “Distance Learning”, “Remote Learning” dengan sebuah paradigma baru.

Banyak sekolah yang menerapkan belajar dari rumah ini sebagai memberikan tugas-tugas. Semoga tidak hanya tugas namun disertai dengan penjelasan. Namun bagaimana metodanya? Nah ini menarik karena metoda yang diyakini sebagai yang termudah dan tercepat adalah melalui video pertemuan. Dengan platform yang sangat gencar dipromosikan oleh agen-agen perubahan produk tersebut, maka cara mengundang siswa melalui video menjadi paling laris. Terjadinya pembelajaran pada saat video tadi dan para guru akan berharap siswa fokus mendengarkan dan memperlihatkan wajah melalui video. Jadi pola pikirnya sesederhana memindahkan kelas tradisional ke dalam layar komputer.

Lalu bolehkah para siswa, anak-anak itu merasa sungkan hadir di video meeting memperlihatkan ruang belajar pribadinya, kamar pribadinya? Apakah guru hanya berkata, tidak boleh malu, kalian punya kewajiban untuk belajar dan kami absen. Pernahkah melihat acara “Tonight Show” saat Desta menceritakan betapa anaknya tanpa video menjawab pertanyaan dengan lancar namun begitu di depan kamera, mendadak terbata-bata? Ataukah guru hanya berpatokan pada GNM (anak artis) atau MSJ (selebgram cilik), yang di depan kamera selalu cepat sekali beraksi dan pandai dengan memainkan mimiknya.

Apakah guru juga berpikir jika anak yang sudah besar, maka hal di depan kamera adalah lebih lumrah? Ingat saja, belum tentu, apapun ada kondisi anomali.

Apakah dengan pertemuan melalui video maka pembelajaran sudah lengkap? Dan cenderung menyalahkan siswa jika masih tidak mengerti, pokoknya benar-benar merasa seperti suasana di dalam kelas yang mana semua anak wajib punya pandangam satu arah ke papan tulis? Semoga minimal yang masih begini. Mulailah dengan menikmati berbagai metode mengajar. Teknik individual kadang lebih bermakna bagi siswa yang membutuhkan. Fleksibelkah guru-guru? Tetap dengan PR dan tugas yang harus dikumpulkan setiap hari? Setiap dua tiga hari sekali tergantung jam pelajaran? 

Ingatlah, PR sebagai pekerjaan rumah, dan anak-anak ini setiap hari berada di rumah, jadi bolehlah kita pertimbangkan untuk memberikan berdasarkan jumlah, durasi maupun tingkat kerumitan.

Orang tua harus dilibatkan dong? Setuju. Orang tua sebaiknya duduk di sebelah anaknya saat pemetikan nilai. Sekaligus tanda tangan pakta integritas bagi anaknya. Lho? Iya biar anak sadar harus jujur dan tidak berusaha nyontek atau mencari jawabannya melalui chatting dengan teman atau pencarian di internet. Kalau orang tuanya tidak sempat, orang tua tidak perhatian terhadap anak. Kalau orang tua sudah tidak ada, kan ada wali siswa. Kalau orang tua mendadak ada kesulitan lain, tidak bisa pokoknya harus ditemani. Tiba-tiba saya bersyukur sekali bahwa anak saya telah lulus SMA tahun lalu.

Ya sudah, jangan merepotkan orang tua, siswa memakai kamera luar yang terhubung dengan video pertemuan, jadi guru dapat memantau situasi dan lokasi sekitar siswa yang sedang dipetik nilainya. Orang tua senang tidak direpotkan, guru senang bisa melihat kejujuran siswa, siswa senang bisa dilihat oleh gurunya. Eh, tunggu dulu, ini untuk kelompok siswa dan orang tua yang memiliki kemudahan fasilitas ya, memiliki kamera sekunder atau kamera telepon genggam yang bagus. Kalau tidak memiliki itu? Uhm, ya, kita akan pikirkan cara lain *o-ow*

Cara lain? Aha, cara membuka menutup soal dari platform e-learning. Nah ini efektif. Pertanyaan dibuka selama beberapa menit sesuai bobot soal, lalu siswa menjawab di selembar kertas (mata pelajaran dengan ada hitungan, misalkan), lalu upload ke e-learning, soal ditutup, pindah ke soal lain. Iya, menarik banget ini cara. Hanya faktor tidak memberikan kepercayaan sama sekali (zero trust) kepada siswa. Selama ini menghadapi siswa tukang berbohong maka harus mendapat perlakuan seperti ini. Lho? hmm.

Mari instrospeksi diri, di level manakah para guru berada? 

Para siswa, apakah kalian menikmati suasana belajar dari rumah, alias tidak pernah memperdulikan panggilan email atau pesan dari gurunya? Pura-pura saja tidak tahu nanti tinggal beri alasan “saya kok tidak terima email ya?”. Lalu mengambek dengan bilang “saya tidak suka cara ini, saya mau dijelaskan bertemu muka. Ini bukan gaya saya.” Atau justru kalian ada di tipe yang menyambut suka cita bahwa inilah waktunya saya tampil karena biasa di kelas sering tertinggal, saya mau menunjukkan bahwa sekarang saya mampu berusaha. Atau kalian yang memiliki akademis sangat baik, dengan kebiasaan kalian yang selalu tepat waktu, menjadi tergopoh-gopoh dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan dan dikumpulkan secara online dengan batas waktu tertentu. 9 mata pelajaran artinya 9 tugas. 13 mata pelajaran artinya 13 tugas. Lalu kalian mengambil kesimpulan “aaaahhh kami ingin kembali ke sekolah, cara ini membuat gila dengan tugas tidak ada putus-putusnya.” Sabar ya, Nak 🙂

Secara umum kondisi belajar dari rumah ini memiliki kendala yang berbeda-beda. Bahwasanya seorang Menteri Pendidikan kemaren diberitakan terkejut menemukan kondisi di pedesaan yang tidak berlistrik dan memiliki akses internet. Bahkan ada guru yang di saat menjaga jarak ini, malah harus berkeliling antar kampung untuk memastikan siswanya belajar sesuai yang dia instruksikan. Kalau melihat secara global, iya, sulit sekali.

Satu hal yang saya pahami adalah bahwa di Indonesia khususnya, Menteri Pendidikan sudah memberikan surat edaran mengenai penyesuaian pengajaran, tidak wajib menyelesaikan satu silabus kurikulum, lalu mengajar dengan cara sesuai yang dipahami guru dan siswa, tidak perlu melakukan ujian tradisional seperti di dalam kelas. Saya pikir hal-hal tersebut sudah menggambarkan diberikannya sebuah “kebebasan” untuk berkreasi dalam porsi kita sebagai guru. Namun, masih banyak pula guru-guru mengeluh yang diwakilkan oleh para pengamat pendidikan, pejabat-pejabat organisasi guru, mengatakan bahwa guru kebingungan di lapangan musti melakukan apa, lalu didesaklah Kemendikbud untuk membuat kurikulum darurat karena guru cenderung berusaha menyelesaikan silabusnya.

Nah, di sinilah letak miskomunikasi dan mispersepsi. Sudah diberikan kebebasan tetapi masih minta diatur supaya guru tidak salah langkah. Terus terang lelah membaca berita seputar itu. Tapi sayapun tidak pada kapasitas mampu memberikan solusi.

Belum lagi, sekolah yang mengadaptasi kurikulum international, sama seperti UNBK, semua ujian akhir bersifat “high stake exam” sudah dibatalkan periode Mei-Juni ini. Maka dengan batal, marilah guru bereksplorasi sesuai dengan potensi guru dan siswa kita. Namun masih banyak pula guru dan sekolah dengan pola pikir tetap ujian secara tradisional. Boleh buat proyek, boleh buat portofolio. Ah, namun bagi guru tetap lebih mudah adalah ujian online. Kita butuh bukti (“evidence”), ya benar. Namun tidak pernah pernyataan bukti itu adalah nilai ujian bersifat “high stake”. Benar-benar perubahan pola pikir, bukan?

Sehabis mengajar, kalau tidak diujiankan, maka siswa tidak mau belajar. Jadi orang tua pun menuntut ada tes. Iya benar. Namun tes atau evaluasi tadi bisa dipakai yang bersifat formatif saja. Tapi bagaimana kalau ada yang berpendapat tetap harus sumatif? Silahkan, karena sumatif bukan melulu “high stake” tadi kan? Jika dalam kondisi normal seorang guru ada yang memberikan evaluasi setiap minggu, maka dalam kondisi tidak normal ini, mungkin jangan mempertahankan kebiasaan tersebut. Walau kebiasaan baik tetapi kondisi “new normal” ini membuat kita ditantang untuk melakukan semua jenis penyesuaian.

Banyak cara lama yang musti disesuaikan atau bahkan diubah. Jangan ragu untuk berubah. Jangan takut untuk merubah. Siapa tahu ini menjadi keadaan normal hingga beberapa tahun ke depan? Jangan kuatir dikatakan terlalu fleksibel oleh rekan-rekan guru lain atau dianggap merusak “tatanan” peraturan baku guru yang tidak pernah tertulis tetapi tersirat, karena yang paling penting di saat ini adalah anak-anak yang mau belajar. Belajar yang tentu beragam kemauan, ada yang 100% mau, ada yang 30% mau bahkan masih ada yang 0% mau. Tetapi anggaplah mereka semua mau. Sepakat kan? 🙂 

Di kenormalan baru ini, tantangan bagi saya adalah, membuat siswa lebih tertarik belajar, bukan lebih tertarik dapat nilai saja. Ini sulit, budaya belajar di sekolah adalah demi penentuan peringkat sudah mendarah daging. Legitimasi pintar dan tidak pintar sudah menempel di benak semua orang dan lembaga pendidikan. Juara di SD, masuk SMP mudah, masuk SMA mudah, masuk universitas mudah, masuk kerja awal mudah. Sukses? Berpenghasilan tinggi dari nilai akademisnya? Itu yang bukan pegangan. Tetapi budaya kita sudah mengakar, semua diawali dari peringkat akademis. 

Jadi, marilah kita belajar. Guru belajar, Siswa belajar, Orang tua belajar. Dalam porsi masing-masing. Selamat Belajar!

 

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake