Guru dan Asesmen

Bekerja sebagai pengajar di sekolah, sudah pasti memiliki kewajiban untuk mengajar, mendidik, dan melakukan evaluasi kepada siswa. Walaupun dalam kurun waktu 15 bulan terakhir, sekolah sebagai “gedung” berpindah lokasi ke rumah masing-masing, tugas yang dituntut tadi tidak ada yang berubah satupun. Namun tentu saja penyesuaian telah dilakukan karena “sekolah” tetap berlangsung tanpa berkumpul di satu gedung yang sama.

Mengajar secara online, sudah banyak dibahas, diulang bahas lagi dan lagi. Tentulah sudah banyak sumber yang bisa dijadikan acuan, memilih metode yang paling cocok di lingkungan siswa kita masing-masing.

Kewajiban guru yang ingin saya bahas kali ini adalah tentang penilaian / evaluasi / asesmen kepada para siswanya.

Apakah penilaian itu penting? Tentu saja, sayapun meyakini bahwa sebuah usaha, pekerjaan, tanpa penilaian adalah sia sia. Guru perlu memahami dan mengerti bahwa jenis penilaian / asesmen ini sangatlah beragam.

Yang sudah vaksin covid19 tentu sangat paham melihat kata asesmen yang dipakai di sana. Apakah kita yang baru disuntik lalu disodorin kertas tes menjawab pertanyaan? Tidak kan. Kita hanya “ditaruh” di ruangan dan diminta menunggu ada proses anomali apa pada tubuh kita sesaat setelah vaksin sampai lebih kurang 15 menit ke depan. Diobservasi, dan itulah salah satu bentuk asesmen.

Walau para pendidik alias guru sebagian sudah melalui vaksin dan melewati tahap asesmen dengan bentuk seperti itu, guru tetap berpegang teguh “tapi asesmen dari kami beda dong, kami kan guru” 😊

Bagaimana ya asesmen kepada siswa menurut pandangan guru?

Semudah mencari di kbbi, berikut kutipannya:

  1. ​Penilaian 
  2. kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data atau informasi tentang peserta didik dan lingkungannya untuk memperoleh gambaran tentang kondisi individu dan lingkungannya sebagai bahan untuk memahami individu dan pengembangan program layanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan.

Di lapangan, yang terjadi, bentuk penilaian paling populer adalah tes tertulis. Salahkah? Ya tidak, hanya sebaiknya guru dapat membuat banyak variasi.

Ada yang bervariasi, tapi sebatas istilah. Macam “prompt”, yang isinya tidak beda dengan tes biasa. Apalagi matematika. “Matematika tanpa mengerjakan soal ya maaf namanya bukan matematika, anda ngajar ilmu sosial saja sana”, demikian kata seorang yang saya enggan sebut namanya 😁. Ya, baiklah.

Lalu adapula yang memakai istilah asesmen untuk membedakan secara bobot dengan evaluasi lain (saya bingung di titik ini sebenarnya, bertahun-tahun mendengar istilah asesmen yang ngawur oleh mereka).

Pandemi membawa penghapusan UN dimajukan setahun lebih awal dari seharusnya. Merdeka belajar yang sesungguhnya. Digantikan dengan AKM yang mana sampai saat ini saya masih berharap positif jika AKM berbeda dengan UN, walau ada sedikit pesimis melihat sudah bertaburannya buku-buku yang dijual berlabel “sukses AKM”, sudah mirip dengan sukses UN, sukses UTBK, sukses SNMPTN dan sukses-sukses tes standar yang lain.

Merdeka belajar membawa bentuk asesmen yang dapat disesuaikan oleh pihak penyelenggara satuan pendidikan alias sekolah. Dengan nama yang menarik macam USP, EHBBKS, dan lain-lain, memberi banyak peluang melakukan asesmen. Namun sekali lagi, yang terjadi, melulu tes tertulis.

Di era belajar dari rumah, tes tertulis tetap dipertahankan. Berbagai webinar membahas langkah tes tertulis yang mendekati terbaik. Pemikiran guru-gurupun beragam. Memberikan tes seadil-adilnya bagi siswa, siswa yang usaha sendiri dan siswa yang mungkin akan melakukan tindakan “curang”. Dua kamera dijadikan sebuah solusi pengontrolan, pun dengan kontrol layar. Di banyak sekolah, cara ini dianggap cukup baik.

Tidak ada “learning loss”, karena sekolah tetap melakukan tryout berkali-kali, pre test, test, post test, ujian sekolah, ujian akhir. Anak-anak kalau tidak diberi tes maka tidak akan belajar. Nah, makanya pencegahan praktek curang ini penting sekali. Menurut saya, memang tidak ada “learning loss” bagi sekolah yang konsisten melakukan kegiatan belajar, tapi bukan cuma sebatas tes #duh 

Saya mengenal seorang siswi kelas 12, yang sangat rajin dan kebetulan pandai pula secara akademis. Andai anak ini siswi saya, saya tidak akan tes dia berkali-kali, dia selalu menampilkan hasil baik, untuk apa dites terus? Untuk mencari celah dia tergelincir dan nilainya jatuh lalu kita sebagai guru unjuk diri menjadi sang bijaksana dan bilang “makanya nak, harus selalu belajar, jangan lengah, jangan sombong”?

Kembali ke kritisi “hanya” asesmen tertulis, buat bapak ibu guru yang sudah melakukan asesmen non tertulis, mari kita tos dulu. Buat yang melakukan tapi berasa jadi aneh di tengah-tengah lingkungan kita, tos lagi.

Saya melukiskan asesmen non tertulis, khusus ke tes lisan, adalah sebuah bentuk asesmen terbaik, terutama di masa belajar dari rumah, dan mungkin nanti di masa hibrid. Sugata Mitra beberapa kali menuliskan di sosial medianya, mendukung hal ini. Hanya Sugata Mitra? Ah gak sah. Mungkin banyak yang berpikir begitu, namun saya meyakini, saat ini, itu yang lebih baik.

Masihkah saya melakukan tes tertulis? Masih dong, tapi dibarengi dengan bentuk yang lain.

Saya mau bercerita tentang hal yang saya alami. Suatu ketika setelah tes dan memeriksa lembar jawaban para siswa, saya merasakan dorongan kuat untuk berkomunikasi  langsung dengan siswa-siswa tersebut. Alhasil, tes lisan kembali diadakan, kali ini untuk 20% jumlah siswa dan ditambah 10% siswa yang performa sehari-hari selalu baik dan konsisten saja, sebagai survey saya.

Tes lisan pun berlangsung.

“Mengapa kamu memberikan jawaban dari soal yang berbeda?” sambil saya senyum-senyum.

“Maaf bu, saya tanya soal dari kelas sebelah lalu belajar dengan guru les lalu saat tes saya tinggal salin tidak cek lagi” Hehe, anak-anak yang baik dan jujur.

“Soal ini, bagaimana ya logikanya menurutmu, coba jelaskan singkat saja”

“Maaf bu, aku lupa, tidak ingat sama sekali”

Untuk anak yang menjawab se”perfect” itu di lembar kertas dan seketika “blank”, ow baiklah.

“Begini bu jawabannya, kita lakukan dulu penyederhanaan persamaan dengan cara dikali silang lalu kita kumpulkan suku sejenis dan …….”

Kelihatan kan bedanya dua jawaban di atas?

Adakah bentuk lain selain tes lisan? Oh tentu, misalkan menulis. Sejak tahun 2013 saya sudah melakukan ini bersama siswa matematika saya kelas 8, hingga kini.

Guru-guru bebas melakukan eksplorasi sendiri, yang cocok untuk dirinya, siswanya dan sekolahnya. Yang sebaiknya jadi refleksi adalah bukan berpaku pada satu macam penilaian dan menjadi kaku kepada perubahan situasi, bahkan jaman. Janganlah kita menjadi orang yang menilai ikan dengan meyuruhnya memanjat pohon.

Berubah bukan hanya slogan.

Maju terus Pendidikan Indonesia. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021. 

Menyoal Sekolah di Bulan Januari

Artikel Pilihan di Kompasiana

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Pengumuman Keputusan Bersama 4 Mentri dan 1 Kepala BNPB hari Jumat lalu adalah yang disampaikan oleh pak Nadiem selaku Mendikbud. Sudah menduga sebelumnya, namun ya tetap ditunggu.

Singkat cerita (sebagai praktisi pendidikan sih kita semua sudah tahu kan), pak Nadiem menyampaikan bahwa sekolah-sekolah boleh dibuka kembali di semester 2 bulan Januari mendatang. Bukan lagi berdasarkan SKB 4 Mentri terdahulu yang berdasarkan zona, namun sudah dilimpahkan kepada Pemda / Dinas / Kemenag, untuk mengevaluasi situasi kesanggupan daerahnya masing-masing. Dengan urutan perijinan yang ditegaskan kembali di akhir pengumuman yaitu dari Pemda, Sekolah yang bersangkutan, dan diakhiri komite sekolah / orang tua. Baru dilanjutkan dengan daftar periksa untuk mengikuti protokol kesehatan.

Satu sisi, bagi saya, ini bagus, karena memang beragam sekali daerah di Indonesia. bahkan satu kotamadya / kabupaten saja, daerah-daerah yang lebih kecilnya memiliki masalah yang berbeda. Jadi jika semua selalu hanya dari pusat, maka akan makin banyak orang yang merasa Kemendikbud tidak sanggup mengatasi persoalan pendidikan hehe.

Juga berdasarkan Permendikbud 47 / 2016, bahwa Pemda Provinsi yang mengatur penerbitan izin pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat, maka sangat masuk akal, urusan berkaitan dengan kembali masuk sekolah di masa pandemi ini juga Pemda Provinsi harus terlibat.

Pak Nadiem memulai dengan sebuah quote bahwa “Semakin lama pembelajaran tatap muka tidak terjadi, semakin besar dampak negatif yang terjadi pada anak“. Dari kalimat di atas, bagi saya, tetap saja ini bukan generalisasi. Di beberapa tempat yang memang tidak memiliki akses pembelajaran jarak jauh (pjj) yang memadai, kalimat tersebut sangat relevan. Namun di daerah yang bagus sarana prasarana dan didukung oleh komunitas sekolah yang sanggup melakukan pjj, maka pjj menjadi alternatif terbaik dan bahkan bisa menghasilkan hasil yang lebih baik (tentu saja belum ada riset mengenai hal ini atau sudah? Saya tidak tahu). 

Memang dampak yang dijelaskan pak Nadiem dari berbagai faktor, dan iya, itu benar bisa terjadi, untuk di daerah-daerah tertentu yang saya sebut sebagai tidak dapat ber-pjj dengan baik.

Nah, ada satu hal yang berbeda dengan pendapat saya bahwa jika masuk sekolah dengan model hibrid, maka anak – anak datang untuk bersosialisasi semacam melakukan aktifitas luar ruangan (berolah raga), aktifitas seni, bahasa dan beberapa lain seperti dalam artikel Pembelajaran Hibrida. Namun, pak Nadiem menegaskan bahwa anak-anak yang datang ke sekolah, tentu saja setelah melewati tahap penyaringan tadi, hanya untuk datang-belajar-pulang

Tanpa berkumpul, tanpa olah raga, tanpa kantin, bisakah anak-anak melewati tantangan sedemikian jauh dari dunianya mereka?

Akan menjadi bagian yang sulit juga untuk anak-anak memutuskan kembali ke sekolah hanya untuk datang-belajar-pulang, sebab berkaca pada diri sendiri seumpama masih anak-anak dan siswa mungkin saya lebih senang belajar di rumah saja hehe…

Tetapi keadaan ini memang dilema. Di dunia pendidikan abad 21 (yang masih didengungkan sampai tahun ke 21 sekarang 😀 ), di mana sekolah seharusnya menerjemahkan diri menjadi tempat yang menyenangkan untuk melakukan banyak hal di luar sekedar akademis, sekarang harus kembali sebagai tempat untuk hanya datang-belajar-pulang. Ini berat, tapi harus dilakukan. Keadaan khusus karena pandemi.

Jadi, sesiap apa sekolah menjalankan kegiatan belajar mengajarnya di bulan Januari nanti? Sudah pasti harus hibrid kan, karena jumlah siswa maksimum satu kelas hanya boleh 18 siswa. Siswa bergantian. Hibridnya bagaimana? Nah, inilah saatnya sekolah memikirkan untuk ber-hibrid yang baik dan relevan. Yang jelas, semua komunitas sekolah punya kewajiban mendukung program ini.

Selamat kembali bersekolah! 

“Christmas in November”

Tahun ini, Natal di sekolah untuk kami para guru dan staf, dilakukan di bulan November. Karena di awal Desember nanti, di minggu pertama merupakan akhir dari rangkaian semester 1 yang paling panjang dalam sejarah sekolah ini 😀

Karena kami memulai semester 1 tahun ajaran 2020-2021 di bulan Juni. Jadi, wajarlah anak-anak mendapatkan liburan lebih awal juga. Yeaayy, siswa bersorak, guru bergembira 😀

Bagaimana kita merayakan Natal kemaren? Sederhana, pujian, doa, refleksi. Dengan memakai masker, tentu saja, dan ruangan yang hanya diisi 20% kapasitas karena sisanya adalah online. Semakin sangat terbiasa dengan semua kegiatan selalu berakhir dengan online….horrayy. Kok online? Iya, karena merayakan bersama dengan 4 cabang sekolah dalam satu yayasan yang sama.

Dalam merenungi makna Natal, saya merasakan kegusaran sesama saudara yang kesulitan merayakannya. Yang gerejanya ditutup, pembangunannya dihambat, mendapat tekanan mungkin dengan himbauan sebagian orang yang mempercayai mengucapkan selamat Natal adalah haram, beberapa kali penjagaan demikian ketat karena ancaman bom (bahkan terjadi beberapa). Semoga di tahun ini, di tengah situasi yang mungkin lebih sulit dengan pandemi, dan “keributan politik” akhir-akhir ini, saudara sekalian tetap bisa merayakan Natal dengan aman, tenteram, suka cita bersama seluruh keluarga dan kerabat sekalian.

Setiap melampaui satu Natal, selain bertambahnya usia, juga mensyukuri telah melewati sekian puluh tahun kehidupan. Susah, senang, sedih, bahagia, entah berputar sudah berapa kali. Semakin merasakan, hidup kita ini demikian rapuh, dan fana. Apa lah artinya ambisi, keinginan, motivasi, yang terlalu dipaksakan, tidak ada artinya sama sekali dengan kesadaran bahwa kita telah diberi hidup, dihapuskan dosa-dosa, itulah segalanya. Cuma sebagai manusia, sering disebut di bibir, kadang dilupakan jika menemui masalah. Ah, betapa bodohnya kita manusia.

Natal membawa damai. Setidaknya bagi saya, damai pada diri sendiri. Di samping alasan rohani, tentu saja ada alasan duniawi, damai bahwa hari-hari menjelang akhir tahun, jadi banyak libur, damai karena udara yang lebih adem 😉 , damai karena mendapat THR (nah, ini sudah duluan di bulan Juli 😀 ).

Jadi, dengan Natal membawa damai, merayakannya tidak perlu selalu di bulan Desember kan, bisa November, bahkan bulan-bulan lain, agar semua mahluk senantiasa diberikan rasa kedamaian. Amin.

 

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake