Liku-liku Menuju Sekolah Tatap Muka (Kembali)

Artikel Utama Kompasiana

Siapa yang tak sabar untuk kembali belajar di dalam gedung Sekolah?

Banyak pihak sudah tak sabar menanti hal itu. Siswa, Sekolah, Orang Tua, Guru, kami semua yang terlibat dalam dunia sekolah. Rasanya memiliki kerinduan yang sama.

Siswa, ingin bertemu, bermain, makan di kantin, ber”gila-gilaan” di sekolah.

Orang Tua, ingin sedikit berlega di rumah, capai setiap hari dengan mendampingi anak belajar dari rumah.

Sekolah, ingin kembali membuka gedungnya dihiasi dengan aktivitas belajar mengajar kembali. Itulah identitas sekolah.

Guru, ingin bertemu dengan siswa-siswanya yang kadang membuat senang, kadang sedih, kadang bikin emosi 😀 .

Sejauh pihak orang tua dan sekolah menyetujui terjadinya pembelajaran di gedung sekolah, silahkan saja dilakukan. Itupun sudah dikumandangkan oleh Menteri Pendidikan sejak beberapa saat yang lalu. 

Yang saya herankan adalah, mengapa banyak pihak di luar itu yang suka sekali berkomentar tentang masuk sekolah ini. Yang mendukung (cenderung memaksa) agar gedung sekolah dibuka kembali demi tidak semakin “learning loss”. 

Yang menolak bersikukuh dengan jangan membahayakan anak-anak pergi berkumpul di sekolah dengan pandemi covid ini yang malah berlanjut dengan varian baru. Jadi terlalu banyak campur tangan berbagai pihak, aromanya menjadi politis.

Ah, biarlah, itu menjadi urusan pembuat kebijakan. Bagian saya hanya bagaimana membawa pembelajaran berlangsung baik dan bermakna 😀 .

Sekolah Tatap Muka. Tatap muka di sini lebih kepada bertemu secara fisik. Karena jika hanya tatap muka, belajar secara daring juga kita menatap wajah siswa kan (jika sedang menggunakan bantuan alat untuk konperensi)?

Apakah dengan tatap muka menjadikan pembelajaran lebih bermakna? Bagi saya, tidak juga, tergantung makna bagian mana yang ingin dibahas. 

Lebih bermakna, iya, jika kita ingin membicarakan memupuk pertemanan antar siswa, bersosialisasi antar siswa, siswa dengan guru. Namun jika bermaknanya dimaksud untuk supaya tidak tertinggal pelajaran, nah itu dilihat dari sudut mana dulu. Jangan digeneralisir. Harus dilihat berdasarkan daerah, sekolah dan sosial budaya penduduknya. Menyamakan satu Indonesia bahwa kondisi pandemi telah menciptakan “learning loss” adalah salah kaprah.

Jika bersekolah didefinisikan memperoleh berbagai macam pelajaran (12 – 15 mata pelajaran seminggu) dengan isi kompetensi kurikulum yang harus diselesaikan, maka mudah sekali kita terjebak dengan mengatakan telah terjadi “learning loss”. 

Bagai buah simalakama bagi guru dan sekolah. Ingin mengambil langkah kebijakan mengurangi jumlah materi, dianggap gagal mengajar, jeleknya dianggap tidak bisa mengajar, tidak bisa mengatur rencana pembelajaran sehingga materi tidak selesai. Materi tidak selesai, ditegur sekolah, sekolah ditegur pengawas karena laporan tidak tuntas. Akibatnya peringkat sekolah mungkin terpengaruh. Begitu saja terus bagai lingkaran setan.

Kemendikbud sudah menyatakan bahwa kurikulum ada penyesuaian. Tapi susah sekali bagi pandangan insan pendidik bahwa dirinya sudah diberi kebebasan untuk merancang kurikulumnya sendiri di dalam kelas (online) bersama dengan siswanya. Saya sangat mempercayai bahwa kurikulum itu adalah yang terjadi di kelas antara guru dengan siswanya. Merdeka Belajar. Mari Bergerak. Guru Penggerak. 

Begitu banyak kata-kata semangat untuk guru, jadi jangan takut. Guru bukan sedang mengajari siswanya ikutan kejuaraan / kompetisi / olimpiade. Bukan semua dijadikan untuk “champion” level akademis saja. Ini sulit, sulit sekali. Keenakan gurunya disuruh bebas merdeka mengajar, nanti siswanya diajarin yang tidak-tidak, wah bahaya. Susah kan? Gurunya tidak dipercaya lagi. Katanya merdeka, bergerak, penggerak tapi tetap diatur, lalu gurunyapun sering terjebak mengatakan harus bagaimana nih tidak ada juklak juknis, dikasih merdeka tetapi maunya tetap seragam berdalih kebersamaan. Susah juga.

Belum lagi demi dibukanya gedung sekolah untuk memulai sekolah tatap muka, banyak sekali webinar dari berbagai pihak diadakan, dengan tema dan judul (terutama) wow sekali, kita (guru) mau dibantu, dipersiapkan, dibekali dengan pengetahuan, kiat-kiat, tips bagaimana membuka sekolah tatap muka kembali. Bagus tidak? Bagus, asal guru benar-benar paham webinar yang cocok untuk diikuti dan didengar. 

Minimal paham bagian mana yang mau didengar. Bukan menaruh semua rasa percaya akan apa yang dikatakan pembicara di dalam webinar. Mengapa? Lha mungkin sekali yang membuat webinar, yang berbicara mengarahkan bagaimana membuka sekolah di masa pandemi itu bukanlah orang yang bekerja di sekolah. Bukanlah guru yang terlibat langsung di sekolah bersama siswa seperti anda para guru. Lalu mengapa mereka yang lebih pintar mengajarkan semuanya kepada guru dan sekolah? 🤔 Jadi memilah dan memilihlah yang paling tepat dan cocok bagi anda dan sekolah anda.

Jika pertanyaan ditujukan kepada diri saya sendiri, siapkah dengan sekolah tatap muka? Siap, walau bagi saya sama sekali tidak ada kendala dan rumor tidak baik tentang pjj. Kami (saya dan kebanyakan siswa) sangat menikmati interaksi dalam belajar selama pjj. 

Siapkah dengan pembelajaran hibrida? Belum, masih mencari bentuk. Tidak semua dari kita guru akan mendapat fasilitas super memadai untuk menyelenggarakan hibrida bukan? Banyak pihak berusaha sibuk melatih untuk hibrida, tapi seringnya berujung jualan alat bantu. Webcam / kamera canggih, papan tulis sentuh, mikrofon, dan segala rupa lain. 

Jadi bagaimana nanti hibridnya? Ya harus jalan jika hal itu terjadi, bukan? Maka saya mempercayai bahwa pertama-tama haruslah mengubah pola pikir, bukan sebatas sekolah mengejar kurikulum. 

Hibrida tidak akan menghasilkan apa-apa jika menganggap yang penting sudah ada siswa yang belajar di sekolah dan semua berjalan seperti biasa. Orang tua yang memilih anaknya tetap belajar dari rumah (karena itu hak mereka seperti instruksi kemendikbud), tidak bisa disamakan dengan anak yang diijinkan belajar di sekolah. Kendala jaringan akan selalu ada. Kesempatan bertanya langsung kepada guru juga lebih banyak dimiliki siswa yang hadir ke sekolah. 

Guru akan lebih banyak detil pekerjaannya untuk sistem hibrid ini. Pola pikir, paling penting, bagaimana guru berani bertindak misalkan dalam asesmen saja, ada asesmen di sekolah dan asesmen di rumah. Percaya pada siswa dengan menilai proses lebih penting, bukan sekedar memberi tes lalu berujung curiga siswa akan mencontek terus jika dari rumah.

Ya, banyak sekali yang masih harus dibenahi, dipahami, dimengerti dan mungkin ditambah rasa kepercayaan pada diri kita sendiri sebagai guru.

Akhir kata, semangat untuk rekan-rekan guru, selamat mempersiapkan sekolah kembali (baik tatap muka terbatas maupun jika kembali pjj).

2 thoughts on “Liku-liku Menuju Sekolah Tatap Muka (Kembali)”

  1. Luar biasa Bu Hedy…. Sebagai orangtua, pasti pertimbangan keselamatan anak mereka dari kemungkinan terjangkit virus covid-19, merupakan prioritas utama.. Kecuali sekolah menjamin adanya pelaksaan prokes yg sangat ketat, ketika sekolah tatap muka dilaksanakan…
    Walaupun kita akui, bahwa “kerinduan” untuk sekolah tatap muka itu sangat besar….

    1. Selamat malam pak Syindhu.
      Iya benar sekali, orang tua harus yakin sekali wkt memberikan ijin tsb.
      Tks pak apresiasinya 🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake