Serba Serbi (Dagelan) Sidang MK – Terkait Pendidikan

Kali ini saya mau mengangkat tema seputar sidang MK. Politik sedikit deh, tapi pasti bukan mau “politicking” 😁.

Mengapa saya kaitkan dengan menyebut pendidikan? Karena saya  merasa bahwa ini masih berhubungan dengan pendidikan di negara ini, setidaknya pendidikan politik pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Bicara panjang pendek tentang meningkatkan pendidikan melalui berbagai seminar semisal berjudul “transformasi pendidikan menuju  era Industry 4.0”, meributkan penempatan siswa baru, mendiskusikan kurikulum yang tepat, dan banyak lainnya. Namun dalam 5 hari ini kita disuguhkan suasana ruang sidang penuh “dagelan” dan keanehan (kalau tak enak disebut sebagai kebodohan) oleh para pemangku jabatan, para saksi (konon ahli), penasehat hukum, sekaligus media. Judulnya keren sidang sengketa pilpres namun isinya begitulah.

Belum lagi penasehat hukum yang sensasional bercerita saat menuju gedung MK melewati kawat berduri, demi apa? Entah. Lalu salah satu tim BPN yang selalu mengomentari jalannya sidang melalui cuitan akun twitternya dan selalu tendensius. Ini orang konon S3. Ada pula orang yang pernah sesumbar di media bahwa dirinya tidak akan memilih Jokowi sebagai Presiden namun pada sidang sengketa ini menjadi ketua tim hukum paslon 1.

Yang seperti inikah yang ingin dipertontonkan kepada khalayak, kepada dunia, kepada generasi muda? Di manakah nilai pendidikannya?

Ingat 5 tahun yang lalu sewaktu MK masih dipimpin oleh Hamdan Zoelva? Ada saksi ibu-ibu dari paslon Prabowo-Hatta, Novella, yang “nge-gas” sewaktu ditanya para hakim tapi ujungnya ya tidak kompeten, yang penting lucu dan mencairkan suasana. Dagelan juga kan.

Dan hal yang sama diulang lagi 5 tahun kemudian? Apakah ini akan menjadi momen 5 tahunan dan pendidikan politik bagi generasi muda bangsa ini bahwa sekali capres abadi tetap abadi, atau apa?

Salah satu keuntungan menjadi guru adalah mendapat hari libur minggu-minggu ini. Jadi bisa menonton siaran langsung sidang MK, sidang sengketa pilpres 2019. Tentulah tidak menonton terus menerus, tidak ada juga yang sanggup menonton siaran “dagelan” tanpa henti. Dari lucu sampai bisa mual.

Dari beberapa cuplikan yang tertangkap oleh saya antara lain:

1. Saksi IT dari paslon 02, Agus Maksum, tidak dapat membuktikan 17,5 juta DPT fiktif di dalam sidang, “…kalau begitu, saya minta maaf, saya tidak dapat membuktikan…”. Lha? Dagelan 1.

2. Saksi dari paslon 02, Idham Amiruddin, hadir untuk memberikan kesaksian terkait penemuam DPT invalid. Dalam rangka tanya jawab, sedikit memanas antara termohon KPU dan para hakim, tiba-tiba meringis dan minta ijin ke toilet. Dagelan 2.

3. Masih saksi yang sama, mengaku tinggal di desa / kampung, dicecar hakim  bahwa DPT yang diketahui hanya dari kampung yang bersangkutan kan, mengapa bawa-bawa se Indonesia? Nah sebagai pengacara paslon 02, Bambang Widjoyanto membela Idham dan mengatakan sebagai orang kampung tetap bisa melihat dunia luar, jangan meremehkan orang kampung. Dan jrengggg Hakim Arief Hidayat langsung membuka ancaman agar Bambang stop bicara kalau tidak silahkan keluar ruang sidang. Pak Bambang gak nyambung. Dagelan 3.

4. Pada saat Teuku Nasrullah, salah satu tim hukum paslon 2 yang pernah terkena kasus pelecehan seksual (dagelan 4) ingin bertanya kepada saksi Hermansyah, saksi tentang kelemahan dalam sistem Situng KPU, hakim Arief berseloroh melarang Hermansyah menengok ke Nasrullah melainkan tetap pandangan ke hakim dan layar besar, sambil berucap “Pak Nasrullah kelihatan lebih besar dan lebih cakep daripada aslinya….”. Dagelan 5.

5. Sidang hari Rabu berlangsung sampai hari kamis subuh jam 5 pagi. Entahlah, menurut saya bersidang melewati tengah malam sampai subuh apakah efektif? Dagelan 6.

5. Saat awal pihak kuasa hukum paslon 2 mengajukan ke MK tanggal 24 Mei 2019 lalu dilakukan menjelang batas waktu yaitu tengah malam. Mengapa musti menunggu tengah malam? Di saat orang-orang pun sudah lelah dan jam kerja pun sudah lama lewat? Dagelan 7.

6. Saksi paslon 02, Beti Kristiana, memberikan kesaksian tentang jalan tempuh tak beraspal dari Teras ke Juwangi selama 3 jam, padahal kenyataannya jarak 50 km tersebut ditempuh hanya cukup 1 jam 15 menit dengan kondisi semua beraspal. Lalu saksi Beti pun bisa menjawab “saya tidak bisa menjawab” sewaktu ditanya oleh hakim, padalah saksi sudah di bawah sumpah untuk memberikan keterangan terkait statusnya sebagai saksi di persidangan ini. Dagelan 8.

7. Menanggapi saksi Beti di atas, salah satu tim BPN, Dahnil Anzar, mengeluarkan pernyataan melalui akun twitter nya bahwa pihak KPU terlihat ragu menanggapi kesaksian Ibu Juwangi, yang menempuh medan berat dan jalan kaki selama 3 jam hanya untuk memastikan suara paslon 02 tidak dicurangi dan memastikan demokrasi yang jujur dan adil sebagai bentuk militansi. Hello Dahnil, Juwangi itu nama daerah, ibunya bernama Beti. Dagelan 9.

Dan, tetap masih banyak dagelan-dagelan lainnya. Namun sudahlah cukup dituliskan segini saja. Toh ini catatan pribadi 😁. Merasa kasihan dengan anak-anak muda yang bersemangat belajar banyak hal, melihat kejadian sidang ini mendapati kok orang-orang yang “katanya pintar” cuma begini saja. Kok para saksi yang seharusnya berperan sebagai saksi, ujung-ujungnya terlihat dari jejak digital merupakan tim pemenangan (penggembira) salah satu paslon? Masih banyaklah kok kok yang lain.

Mengakhiri tulisan ini, apakah sidang ini benar-benar serius sebuah sidang MK? Saya menjadi sepakat dengan pendapat bahwa dengan kekalahan di sidang ini, pihak 02 bisa menunjukan (pura-pura) berbesar hati menerima putusan hukum. Daripada mengaku kalah setelah hasil resmi pemilu, kan lebih bergengsi jika kalah demi hukum, “kami taat hukum” jargon yang ingin dibawa. Seperti kata SBY lalu yang mengapresiasi keputusan Prabowo untuk ke MK, mungkin maksudnya daripada hanya perayaan kemenangan dan sujud syukur beberapa kali di Kertanegara. Ke MK akan menyisakan sejarah bahwa Prabowo adalah orang yang taat hukum dan menjunjung konstitusi. Dagelan 10 (eh sudah-sudah, kok hitung dagelan lagi 😛).

Catatan:

Jumlah dagelan mungkin akan ditambah, mengingat tulisan ini hanya berdasarkan beberapa kejadian di sidang ke 2-4. Hari ini sidang ke-5, dan belum melihat TV jalannya sidang lagi 😁

Tambahan: (3 hari kemudian)

Sidang sudah berakhir sampai sidang ke-5. Hasil keputusan masih tunggu beberapa waktu lagi. Dan setelah sidang ada foto berikut ini. Saya senang lihat fotonya, seperti sekelompok peserta retreat yang saling bersaudara, duduk santai selonjoran di lantai. Ataupun seperti para peserta training google educator yang penuh inspirasi dan ingin maju. Saya rasa semua senang ya. 🤗🤗

Setelah senang lihat foto, langsung berpikir, bisa toh foto dengan pose seperti ini. Lalu MENGAPA HARUS SIDANG? Mengapa harus ada saksi-saksi “dagelan” di dalam sidang? Mengapa harus ada emosi- emosi yang ditunjukkan? Mengapa jadi semakin menunjukkan sebuah hiburan / tontonan yang tidak mndidik sama sekali? Berapa biaya untuk penyelenggaraan sidang ini? Akhirnya benarlah bahwa semua itu seperti panggung sandiwara dan sandiwara ini berjenis dagelan.

 

Demam Queen

12 December 2018

Queen yang mana? Queen yang sesungguhnya 🙂

Queen the movie “Bohemian Rhapsody” diputar pertama kali di bioskop-bioskop Indonesia tanggal 24 Oktober 2018 lalu. Seperti biasa, saya bukanlah orang yang bertipe menggebu-gebu nonton film dan membuat bocoran haha. Terlalu santailah untuk urusan nonton. Nonton hanya berdasarkan kesukaan saja.

Nah, sudah bercita-cita, film ini masuk kategori wajib tonton. Tanggal 3 ke Cinema dan gagal. Dua periode jam tayang sudah full. Hah? apa-apaan ini, begitu pikir saya. Namun, ya tahu juga, bahwa begitu dasyatnya film ini membuat masyarakat kalangan usia di atas 40 tahun tergila-gila 😀

Hati ini “teriris” (sambil ketawa geli) ketika suatu hari muridku bersenandung Radio GaGa. Dan dengan bangga bercerita sudah nonton dua kali dan mengatakan bahwa “Ms Hedy harus nonton”. Ha ha ha. Pasti kamu nonton sama Papa Mama (seumuran gitu deh  😛 ) Dan responnya hanya Iyaaaaaa…….

Akhirnya 10 November, kesampaian juga nonton, di bangku barisan 4 (mabuk sih sebenarnya, tidak suka, terlalu depan, tapi ya mau bagaimana lagi hehe).

Ah senangnya, ini kok keren banget ya. Film keseluruhan yang bagus, indah dan menghibur. Kilas balik, saya bukanlah penggemar Queen jaman dahulu. Terlebih lagi jaman dulu juga tidak se-update- gitu. Jadi kurang lebih hanya mendengar melalui radio. Contoh lagu Bohemian Rhapsody, sebagai anak kecil saat itu merasa aneh dan lucu saja mendengar nada dan lirik yang tertangkap (Bismilah, Mama, Galileo, Scaramouch). Lalu menjelang remaja mendengar Radio GaGa, dari tape, dan kok suka yaa, sampai yang paling berkesan dan suka ya I want to break free.

Masih berkesan kejadian lucu di SMP dulu. Guru bahasa Inggris sedang menjelaskan membuat kalimat diawali dengan I want…… Dan jawaban saya spontan I want to break free. Dan pak Guru melotot seperti mau tegur atau marah tapi batal karena yang iseng ini ranking 1 ha ha ha *nakal*

Kembali ke film. Kisah seorang Freddie Mercury, digambarkan menarik. Tidak mendayu-dayu, tetapi sekelumit mengajarkan dan membuka pikiran kita bahwa ada hal dalam kehidupan ini yang dijalani seseorang bisa berbeda dengan kita dan pada umumnya. Secara seksual, dorongan untuk memiliki kekasih dua jenis sekaligus. Sikap orang tua dan adik Freddie yang kecewa tapi tetap mendukung. Tidak terbayang saat itu (sampai sekarang) mengetahui anaknya memiliki kelainan seksual. Jika kita semua suatu saat akan menjadi orang tua, kita harus belajar melihat cara mereka menyikapinya.

Sebagai Brian, Roger dan Deacon, teman yang tetap bersatu dan kompak di dalam Queen. Belajar melihat mereka menyikapi rekan satu tim terlibat dalam kehidupan tidak normal, tetapi mereka bisa mengambil jarak dan tetap mendukung karir Freddie. Pernah bertengkar? Pasti, dalam satu scene film saja diperlihatkan Roger kesal dan marah melihat pesta yang diadakan Freddie. Kejadian sebenarnya selama mereka 20 tahun berteman? Sudah pasti lebih dari sekali mereka ribut dan bertengkar. Tapi kita harus belajar bahwa teman itu mendukung bukan menyebar hoax dan pura-pura perhatian padahal menjatuhkan.

Sebagai film musik dan drama, film ini sukses membuat saya terkagum-kagum. Di waktu dua jam, saya disuguhi Queen selama duapuluh tahun berkarir. Puncak nya, seperti menonton “live concert” mereka di London 33 tahun lalu, Live Aid 1985. Walau itu hanya Rami Malek bukan Freddie Mercury, tapi rasanya saya lihat Freddie hidup kembali lho. Bagaimana anda? Lebaykah saya? Tidak ya rasanya. Rami bisa banget mewakili sosok Freddie dalam bernyanyi. Ganjarannya sih Oscar harusnya. Saya bias haha, iya sih, tapi ya begitulah.

Nah, nonton ditemani anak 17 tahun itu seru banget. Awalnya kuatir dia bosan dengar lagu-lagu dan kisah Queen. Namun, ternyata dia menikmati sekali, dan jadilah setelah pulang dari bioskop sampai sekarang, ganti-gantian kita saling mendengar lagu-lagu Queen. Bagus, bukan kpop (habis ini, saya ditimpuk dan bisa didaulat masuk blackpink  😳 ). Diapun sepakat bahwa para tokoh di film sangat bisa mewakili aslinya. Gaya Deacon, rambut Brian. Dan terutama Rami, calon peraih Oscar, katanya. Aduh senangnya hati ini  😆

Jadi ceritanya, setelah hampir 2 bulan ini, demam Queen masih terjadi di diriku. Ha ha… Tak apalah, lagu-lagu yang enak, vokal yang kuat, dan kompak selama 20 tahun karir mereka, kagum. Single Freddie? Iya ada, namun Queen lebih kuat.

Sambil menikmati lagu-lagu mereka *E*

O_163_wem_1360_comp_v003_01,1159 2 – L-R: Gwilym Lee (Brian May), Ben Hardy (Roger Taylor), Rami Malek (Freddie Mercury), and Joe Mazzello (John Deacon) star in Twentieth Century Fox’s BOHEMIAN RHAPSODY. Photo Credit: Courtesy Twentieth Century Fox.

Crazy Little Thing Called Love

Radio GaGa (official)

I Want To Break Free

Don’t Stop Me Now

Radio GaGa (Live Aid)

I Was Born To Love You

Under Pressure

Bohemian Rhapsody

Love Of My Life

Too Much Love Will Kill You

Melihat Kembali Fenomena Bimbel Era Kiwari

Artikel Utama di Kompasiana

Bimbel dan Sekolah. Apa bedanya? Bimbel membantu siswa belajar di luar jam sekolah. Sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar formal dan memberikan bukti otentik berupa laporan nilai dan lembar sertifikat sebagai tanda telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan formal.

Dapatkah Bimbel mengeluarkan ijasah resmi sebagai tanda kelulusan formal? Jika bisa, saya rasa sudah banyak sekolah-sekolah yang tutup buku 🙂 . Atau malah bisa dan saya tidak tahu? 😉

Beberapa fakta yang terjadi di hadapan kita beragam. Ada guru sekolah yang mengarahkan siswanya untuk belajar pada Bimbel saja (tidak menutup faktor kebetulan bahwa guru tersebut memiliki peran di Bimbel yang diarahkan). Yang seperti ini, memunculkan anggapan umum yaitu si Guru sengaja tidak serius di sekolah karena ingin siswanya belajar tambahan / les di Bimbelnya. Guru tipe ini nampak kurang bijaksana. Model inilah yang menjadikan Sekolah kurang dihargai.

Ada guru tipe lain yang menyarankan saja agar siswa mengambil Bimbel di luar jam sekolah karena memang benar-benar dibutuhkan setelah berbagai usaha sudah dilakukan. Gurupun tidak mempunyai hubungan dengan Bimbel manapun. Ini mungkin lebih bijaksana. Ada beberapa faktor mengejar ketertinggalan yang harus dilakukan siswa, salah satunya belajar tambahan. Dengan jumlah mata pelajaran bervariasi antara 12 – 16, akan sangat sulit jika dilakukan hanya di sekolah, maka dibutuhkanlah Bimbel ini.

Orang tua maupun siswa pun juga terbagi dua tipe. Tipe yang merasa sudah membayar uang sekolah dan anaknya sudah menghabiskan waktu demikian lama di sekolah serta akademik bukan jalan satu-satunya yang disebut belajar, maka tidak perlu lagi namanya Bimbel. Cukup 8 – 10 jam belajar di Sekolah.

Sementara tipe sebaliknya adalah, mereka menyadari bahwa di sekolah saja waktu belajar tidak cukup (padahal sudah 8 jam tadi lho). Maka tetap dicari waktu untuk menambah jam belajar dengan ikut Bimbel / les mata pelajaran lagi. Biasanya mapel utama seperti matematika, ipa, kadang akuntansi, bahasa, bahkan ada yang full paket lengkap.

Tipe yang manakah anda? Bisa dijawab sendiri melalui perasaan dan keadaan anda yang terjadi sekarang 🙂

Sharing sedikit pengalaman pribadi tentang Bimbel. Saya pernah ikut Bimbel (yang tak bermerek seperti G***** atau Pri****** dan lainnya) selama 3 tahun di SMA. Bukan bodoh, bukan butuh, tetapi suka saja ikut belajar karena Om nya pintar mengajar yang susah jadi mudah. Bimbel ini hanya terkenal di kalangan siswa teman-teman SMA saya (dan sedikit dari SMA lain). Cukup menyebut nama Om B, semua kenal dan jadi jaminan mutu untuk jadi (lebih) pintar di pelajaran sekolah. Keren gak tuh. Belum lagi jiwa sosial Om yang luar biasa. Mungkin melihat cara beliau mengajar itulah yang membuat saya mencintai dunia mengajar siswa sekolah.

Sesuai arti kata “bimbingan” dari Bimbingan Belajar alias Bimbel tadi, maka sudah semestinya lembaga ini bertugas membimbing siswa untuk lebih memahami dan mengerti pelajaran yang didapat dari sekolah.

Namun kadang saya melihat begini, beberapa Bimbel mendahului sekolah, dalam arti, siswa di Bimbel bisa merasa ikutan jenuh dan lelah karena mendapat banyak tugas (PR) dari Bimbelnya untuk diselesaikan lagi di rumah. Lalu PR Bimbel minta bantuan lagi kemana? Bimbel kuadrat? Nah kan bingung.

Seyogyanya, ikut Bimbel, dapat membantu siswa mengatasi masalah cara belajarnya atau kesulitan mencerna topik tertentu. Bukan dijejali lagi oleh berbagai soal yang hanya bersifat “untuk diselesaikan”. Prinsipnya hanya dijejali lalu tumpah keluar lagi semua, atau dijejali untuk paling tidak ada yang masuk tercerna. Anda ingin yang mana? Saya sih tidak dua-duanya mengingat yang pertama, benar-benar untuk apa? Tidak ada gunanya kalau hanya dimuntahkan lagi. Sementara yang kedua, terkesan kuat-kuatan saja dengan anak, yang kuat sekali makanya ada yang tercerna, yang tidak kuat akan makin stress dan frustasi.

Ada seorang anak (yang masuk kategori bernilai akademik baik) pernah mengeluarkan uneg-uneg seperti ini kepada saya. Demi untuk bertanya hal-hal yang kurang dimengerti dan membantunya dalam belajar agar supaya tidak ketinggalan di sekolah, maka bergabunglah anak ini dengan sebuah Bimbel yang berlokasi tidak jauh dari sekolahnya. Dan tentu saja kebanyakan siswa adalah siswa dari sekolah yang sama. Setelah tiga kali pertemuan, anak ini merasa gagal dan tidak mampu melanjutkan. Mengapa? Ternyata alasannya adalah, saat belajar di Bimbel tersebut, sang Guru mengajarkan dengan sangat cepat, memberikan soal-soal yang banyak sekali, tanpa memberikan kesempatan anak ini bertanya yang kurang dipahami. Jadi anak ini merasa tidak ada manfaatnya, untuk apa adu cepat dan banyak tapi belum terlalu mengerti. Cukup di sekolah saja begitu, jangan di Bimbel, pikirnya. Dan dia memilih mundur.

Bimbel seperti contoh di atas, masuk ke dalam kategori Bimbel yang (tak tertulis) hanya ingin menerima anak siap pakai atau sudah jadi, maksudnya anak tersebut memang sudah pintar secara akademik, tidak membutuhkan pertolongan apapun sebenarnya, tapi anak-anak ini saja yang berinisiatif sendiri ingin mendapatkan yang lebih banyak dari sekolah.

Jadi di sini, peran Bimbel pun sudah mirip seperti sekolah yang mengejar prestasi berdasarkan ranking sekolah. Suatu ketika saya pernah mendengar saat pertemuan sekolah, pernyataan turunnya peringkat sekolah karena hasil UN menurun. Kesan yang saya tangkap adalah jadi seperti salah siswa yang kurang gigih belajar. Ini kan jadi salah kaprah ya? Nah bagaimana jadinya kalau hal itu terjadi juga di Bimbel yang seyogyanya untuk mendukung anak dari hal yang kurang didapat di sekolah, malah memberikan kesan ada peringkat Bimbel per kecamatan / kotamadya misalnya. Kan jadi repot 🙂

Bagi para orangtua, bantulah anaknya menemukan Bimbel yang tepat, mencari yang benar-benar berfungsi untuk membimbing bukan sekedar menjejal. Sebagai contoh, orang tua tahu cara menyikapi bagaimana jika Bimbel memberikan “worksheet” khusus dengan label sekolah A, sekolah B, sekolah C, dan seterusnya, mungkin bisa dipertimbangkan kira-kira begini “Bimbel ini bermaksud membimbing atau lebih kepada promo eksklusif bahwa mereka menguasai bahan pelajaran dari sekolah-sekolah tersebut?” Apakah anak kita ikut sebagai komoditas mereka memasarkan produk jasa bimbelnya? Atau Bimbel yang seperti contoh paragraph di atas, siswanya cenderung sudah pintar, apakah anak kita dengan kemampuan saat ini, cocok di sana atau malah bikin anak kita tambah stress?

Jaman sekarang juga bertaburan jenis Bimbel online. Baguskah fenomena ini? Yah, itu relatif, kembali lagi bergantung pada kebutuhan dan cara belajar siswa. Online terjadi kan juga karena ada permintaan, maka ada penawarannya. Seiring berkembangnya penggunaan teknologi dalam pendidikan maka sudah tentu berkembang pula cara belajar siswa dengan mengganakan teknologi sebagai substitusi nya. Dan jika gaya belajar demikian cocok dengan siswa tertentu, maka Bimbel seperti ini tentulah yang dicari, di samping alasan lebih murah dan hemat waktu serta dapat diakses di mana-mana.

Jadi kembali kepada intinya Bimbel sebagai wadah membantu atau membimbing anak-anak dalam belajar. Anak sudah menyediakan waktu tambahan di luar jam sekolah untuk mengejar pelajarannya yang ketinggalan. Baiknya ya bukan ditambah beban lagi dengan pekerjaan soal dari Bimbel. Pilihlah yang benar-benar membantu anak atau membuat anak merasa terbantu, membuat anak menikmati suasana belajar tambahannya dengan nyaman dan gembira. Sehabis itu, tentu saja kita berharap prestasi di sekolah hendaknya meningkat, baik akademik maupun non akademik.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake