Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama

Artikel Pilihan Kompasiana

Kilas balik ke tahun 2000 an, sekolah – sekolah internasional di Indonesia mulai menjamur, menandakan geliat pendidikan melalui sekolah semakin berkembang untuk menggunakan sistem kurikulum dari luar negeri dan juga sistem operasional sekolah yang berbeda dengan sekolah nasional pada umumnya.

Hampir di tiap pelosok (Jakarta, karena tempat tinggal saya di kota ini) terdapat sekolah yang memberi label dirinya sebagai sekolah internasional. Apakah sekolah – sekolah tersebut adalah benar sekolah internasional? Benar, dilihat dari kurikulumnya yang dipakai, dari luar negeri. Guru-gurunya beberapa dikontrak dari luar negeri. Namun kebanyakan siswa-siswanya adalah lokal. Segelintir sekolah saja yang banyak dengan siswa anak-anak expat.

Banyak orang tua bangga dengan dapat menyekolahkan anaknya di sekolah model jenis begini, mungkin menganggap lebih kerenlah minimal dari kebanyakan siswa sekolah nasional. “Over heard” sampai kemarinpun sekelompok orang tua berkumpul di kedai kopi dan salah satu topik pembicaraannya adalah betapa anak-anak mereka lebih terasah kemampuannya di sekolah dengan kurikulum dari luar negeri 😊.

Sejalan dengan semakin banyaknya kata “International” dipakai, mungkin membuat petinggi di bidang pendidikan gerah. Bertahun-tahun kemudian, kata tersebut kembali dicabut. Status sekolah internasional hanya diperuntukkan bagi anak-anak korps diplomatik asing atau sekolah untuk satu kewarganegaraan tertentu. Bahkan sebagai hasil akhir, sekolah-sekolah yang dulunya menyandang nama (status) internasional pun harus menggantinya semisal dengan “intercultural”, “independent”, “global”, atau dipadu dengan kata “Jakarta” dan lain sebagainya.

Dilengkapi dengan aturan baru, siapapun siswa yang bersekolah di sekolah “ex international” dan seorang warga negara Indonesia maka dia wajib mengambil ujian nasional yang “high stake test” di kelas 12 asalkan telah lulus ujian di kelas 9. Yang wajib diambil di kelas 9 asalkan telah lulus ujian di kelas 6. Kalau tidak diambil di kelas 6, maka harus mengurus penyetaraan atau paket A  supaya dapat ikut ujian di kelas 9 atau paket B supaya dapat ikut di kelas 12. Jadi kesimpulannya, boleh disimpulkan sendirilah 😊 , dan sepertinya untuk alasan kemudahan, ambilah semua jenjang ujian nasional, terlebih semenjak tahun 2015, bukan lagi sebagai penentu kelulusan.

Di bagian ini saja ceritanya sudah berbeda dengan ujian standar dari kurikulum Cambridge contohnya. Siswa tidak wajib mengambil ujian “checkpoint” sebelum ujian IGCSE, tidak wajib lulus IGCSE untuk ujian AS/A level.

Lalu kemana perginya sekolah-sekolah ex nama internasional tadi? Selain secara nama juga berganti, sekolah-sekolah itupun membentuk suatu komunitas baru di bawah payung Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). SPK merupakan satuan pendidikan yang mengolaborasikan antara kurikulum internasional dengan kurikulum nasional. Sekolah SPK berada di bawah naungan langsung kemendikbud namun tetap tunduk kepada dinas pendidikan daerah di mana sekolah SPK itu berada. Nah di bagian ini saya masih bingung, di satu sisi di bawah kewenangan langsung kemendikbud namun basa basi tetap dipertahankan kepada dinas setempat. Yang konon istilahnya, menghormatilah di mana SPK tersebut berada.

Itukah sebabnya jadi seperti yang terjadi sehari-hari sekarang ini? Misal Dinas Pendidikan melalui pengawas sekolah, datang ke suatu SPK demi mengawasi apakah jalannya sesuai aturan atau tidak. (Nah, aturannya kan boleh mengembangkan kurikulum sendiri atau adaptasi dari luar negeri dengan tetap menyertakan mata pelajaran wajib Pkn, Bahasa Indonesia dan Agama). Pengawasan ketat seperti sosialisasi ujian nasional (baca: simulasi), pemeriksaan RPP utk mata pelajaran wajib BI, PKn dan Agama. Mungkin masih ada agenda lain, entah.

Sehingga di pihak SPK pun, tetap mengupayakan ujian nasional yang akan menghasilkan nilai-nilai ujian fantastis untuk mempertahankan peringkat, dengan cara tetap belajar materi UNBK di slot jam pelajaran sekolah atau di luar jam pelajaran sekolah (sehingga siswa pulang makin sore), mengikuti rangkaian ujian uji coba (trial UNBK) yang jumlahnya berkali-kali, ujian praktek yang tidak pernah ada prosesnya langsung praktek.

Kira-kira begini, kurikulum inti adalah kurikulum dari luar negeri, dengan tetap menjalankan tiga yang wajib tadi. Mata pelajaran yang di-UNBK-kan diajari di jenjang terakhir suatu level (seperti di kelas 6 saja, 9 saja, 12 saja), atau dilakukan di luar jam sekolah yang notabene sudah 7-8 jam sehari. Alhasil, sekolah yang mulai jam 7:45 misalnya, menjadi mulai jam 7:15, yang berakhir 15:10 menjadi 16:00. Semua demi menambah kapasitas otak si anak dengan materi UN. Atau bahkan yang lebih dasyat adalah membagi dua mata pelajaran yang sama akarnya (sebut saja mata pelajaran mathematics dan matematika) sebagai dua mata pelajaran berbeda (baik materi maupun guru), beda pula biology dan biologi, beda pula physics dan fisika, economics dan ekonomi, pokoknya satu kata bahasa Inggris, satu kata bahasa Indonesia hehe…. Guru terpenuhi tugasnya, siswa ya begitulah….. Pokoknya jejali saja deh kepalanya dengan semua pelajaran, “mosok gitu aja ndak bisa sih” hehe…..

Jika SPK di bawah kemendikbud, apa perlu ini semua yang (disarankan) dari dinas pendidikan? Apakah budaya “ewuh pakewuh” menjadi faktor terbesarnya? Pernah terpikirkah kalau yang paling korban adalah siswanya? Anak-anak? Peserta didik? Apakah tanpa mengikuti ini sebuah sekolah (SPK) menjadi bermasalah? Saya tidak tahu. Tapi saya rasa tidak. 

Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi 😁), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari “kasta” mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk “mengakali” saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang. Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya “tidak mau belajar”, pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata “jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.

Jadi….. rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional ”xyz” kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan “Project based” kah?  Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak “apakah” yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK? 

Harapan kita bersama, kedepannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat. Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.

Demikianlah….

"Featured Image" adalah foto kegiatan siswa di kelas pada pelajaran UN matematika. Melalui manfaat LMS, siswa belajar sendiri setelah diberikan pengenalan dan penjelasan akan suatu topik. Belajar sendiri yang dimaksud bisa berupa mengerjakan paket soal-soal ataupun membaca kesimpulan catatan atau video pembelajaran. Dan yang pasti, siswa boleh bertanya kapan saja di saat kesulitan.

Menuju Pendidikan 4.0

Artikel Pilihan di Kompasiana

Edu 4.0 – menurut opini saya.

Pertanyaan untuk rekan-rekan pendidik, sejujurnya, apakah yang ada di benak Bapak/Ibu mengenai pemahaman edu 4.0?

Sudahkah Bapak/Ibu Guru dijejali berbagai seminar tentang edu 4.0? Sudahkah dianjurkan (baca: dipaksa) memakai bermacam-macam alat bantu dengan teknologi dalam mengajar para siswa supaya berkesan sekolah sedang menuju edu 4.0? Sudahkah diajak (baca: dengan terpaksa) mengganti kurikulum yang (katanya) lebih bagus, bukan “teaching for the test”? (Padahal semua kurikulum ya sama saja sebenarnya, tergantung sejauh mana sekolah dan seluruh orang yang terlibat di dalamnya mampu mengadaptasinya).

Untuk membuat kita bisa introspeksi diri, mari kita lihat satu persatu rangkuman bagian-bagian edu dari 1.0 sampai 4.0.

Dimulainya Edu 1.0 dengan ditandai adanya bangunan-bangunan sekolah. Murid datang ke sekolah, duduk rapi dalam aturan tempat duduk dan pengajaran hanya satu arah, dari guru ke murid. Guru adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan di sekolah tersebut, dan tentu saja si guru didukung oleh buku-buku pelajaran, catatan-catatan, “handouts”, juga video-video yang mendukung sumber belajar tadi. Lingkupnya hanya terjadi di sekolah saja. (…..uuhhmm tunggu, masih adakah Bapak/Ibu guru yang hanya memiliki nuansa sekolah yang seperti ini? semoga tidak ya, karena kita sekarang sudah di tahun 2019, terlalu jauh jika masih di sini 🙂 ).

Lalu mari sekarang kita lihat Edu 2.0. Di era ini sudah mulai berkembang adanya berbagai metode pengajaran, tidak hanya dari guru ke murid, tetapi sudah terjadi antar murid saling belajar dan berbagi (Metode Jigsaw umpamanya). Hampir seluruh pembelajaran terjadi di dalam kelas dan sekolah, tetapi sudah dimulai dengan pembelajaran secara online. Sama seperti edu 1.0, di edu 2.0 guru- guru masih dipandang sebagai tenaga profesional, dan semakin memiliki lisensi profesional pendidik maka makin sah dan komplit sebagai pengajar siswa di sekolah. Waahh, bersertifikat pendidik secara profesional nih, berarti boleh dong kita makin rajin mengumpulkan berkas dan melaporkan kembali per tahun walaupun berulang dan dipersulit untuk kasus mutasi guru (pengalaman pribadi dan akhirnya tak melanjutkan urusan berkas apalagi tunjangan / baca: “bodo amat” – Red). tetapi yang penting tetap bersertifikat (sekaligus terima tunjangan 😉 ). Jadi Bapak/Ibu masih di era edu 2.0? Jrengg.. 😉

Berikutnya, Edu 3.0, dimulainya era pembelajaran secara kontekstual. Belajar hal-hal nyata yang bebas dan siap didapat dari berbagai sumber. Belajar antar guru, antar siswa, tak menutup peluang guru belajar dari siswa. Pengetahuan siswa bisa bertumbuh dari lingkungan sosial budaya mereka, dan melalui guru/pendidik memperluas apa yang para siswa itu ketahui sebagai dasarnya. Bukan mencekoki siswa dengan sendok “pengetahuan” tapi mendampingi dan memfasilitasi pelajaran dari proses konstruksi yang sudah ada sebagai dasar siswa tersebut.

Pelajaran ditingkatkan dengan penggunaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari. Pemakaian platform LMS sudah melekat dalam proses belajar siswa. Integrasi penggunaan teknologi untuk menunjang proses belajar mengajar sudah menjadi menu sehari-hari bukan lagi kemewahan.

Sampai di sini, mari kita evaluasi diri sendiri dulu. Jika masih aktif terlibat dalam status sebagai guru di sekolah, ada di manakah kita? Sudah di Edu 3.0? Masih di edu 2.0? Semoga bukan di edu 1.0 🙂 .

Bagi beberapa orang, menuju edu 3.0 ini masih cukup keteteran. Belum mencoba memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu belajar. Masih “lecture style” dalam menyampaikan pelajaran. Masih merasa diri sebagai pusat informasi. Namun sebaliknya, ada juga yang terlalu percaya diri mengungkapkan bahwa sekarang ya artinya sudah berada di edu 4.0. Kan sudah buat ujian online? Artinya sudah super canggih dong. Pokoknya ujian tidak pakai kertas kan? Sayangnya, edu 4.0 tidak sesempit itu.

Semua ingin masuk era edu 4.0, karena sudah pasti yang paling mendukung Industri 4.0. Yakin? Benar? Tidak tersinggung kalau siswanya bilang “saya tak butuh belajar ini karena saya bisa cari sumbernya sendiri.” Atau “saya mau dites bagian ini tapi saya belum siap sekarang, minggu depan saja ya.” Siswa tidak butuh semua dipelajari dalam satu hari 8 jam pelajaran, 7 period, 5 blok, apapun penjadwalan sekolahnya. Bukan semua dijejali di satu kepala siswa, yang setelah dites melalui “standard based test” juga bisa langsung lupa.

Karena edu 4.0 sebagai pendidikan masa depan (yang dalam beberapa tempat, kenyataan masa depan ini sudah terjadi) yang akan benar-benar berubah dari sistem yang kita kenal saat ini.

Ekstrimnya, siswa bisa memilih sendiri apa yang ingin dipelajarinya, bahkan seperti “mendisain” sendiri kurikulum yang ingin dipakainya. Dan memilih mentornya sendiri. Luar biasa.

Jadi masih adakah sekolah? Sekolah sebagai lembaga mungkin masih ada, sekolah sebagai bangunan? Menurut saya sekolah sebagai bangunan seperti sekarang ini sih kemungkinan sudah tidak ada lagi, yang ada semacam “co-work space” untuk pilihan pelajaran yang ingin dipelajari sekelompok siswa saja, atau bahkan hanya membutuhkan ruang pertemuan online. Lalu bagaimana memperoleh ijasah atau sertifikat sebagai tanda telah menyelesaikan suatu jenjang pelajaran? Jika saat ini tiba, semua ujianpun akan dapat dilakukan secara online, sehingga, sertifikatpun akan didapatkan secara online pula.

Mungkin ada yang berpikir, eh sekarang juga sudah dong? Buktinya banyak bimbel online keren-keren. Lha iya, bimbel ada tapi sekolah masih saja dengan “cram” semua pelajaran dan tes bertubi-tubi. Lalu, eh sekarang juga ada “homeschooling”? Nah mungkin ini lebih mendekati era edu 4.0. Jadi jika sekarang sekolah masih mendominasi pendidikan, suatu ketika di masa depan dengan edu 4.0 ini, model seperti “homeschooling” akan lebih dominan, dan namanyapun saya rasa sudah berubah menjadi “learning space” (contohnya).

Walau sayapun masih meragukan “homeschooling” yang berbentuk bangunan seperti sekolah normal di Jakarta telah benar-benar menjalankan fungsinya, karena saya ingat di tahun 2013 lalu, salah satu mantan siswa saya memutuskan untuk meneruskan pendidikan SMA nya melalui homeschooling di suatu tempat di Jakarta Selatan. Namun yang terjadi, anak ini berangkat ke rumah sekolah itu tiap hari dan belajar pelajaran yang sama seperti di sekolah pada umumnya dengan jadwal pelajaran yang sama padatnya bahkan mewajibkan siswa mengambil pelajaran matematika yang sebenarnya merupakan mata pelajaran pilihan di kurikulum tersebut.  Jadi sedikit ragu juga menyamakan kenyataan homeschooling yang seperti itu dengan sekolah masa depan dari edu 4.0. Kita lihat saja nanti.

Lalu kemudian pikiran-pikiran saya membayangkan, di masa depan (yang mungkin sudah dimulai sekarang ini) terdengarlah percakapan antar siswa:

EDU 3.5: (versi sendiri – Red. Karena butuh proses dong sebelum 4.0 🙂 )

“Eh, belajar Geografi yuk, kita buat rute perjalanan keliling dunia kita dengan Google Tool Builder”. “Yuk, ketemuan di LS (Learning Space) kedai kopi “Kenangan Terindah” ya, kamu hubungi Ms. XXX untuk ikutan ajarin kita. pokoknya kita patungan biaya pelajaran 1 minggu. Sip” Sementara itu di kedai baso “Taman” berkumpul siswa-siswa yang sedang belajar Matematika untuk mengambil ujian online dari Cambridge di bulan November bersama guru Mr. YYY.

EDU 4.0:

“Saya ingin belajar dan mencari tahu mengapa mobil membutuhkan bahan bakar untuk bergerak. Jadi saya pikir saya harus belajar fisika, mekanik dan kinematik. Tapi saya juga perlu belajar berhitungnya, jadi rasanya butuh matematika”.

“Saya ingin menciptakan alat bantu membersihkan rumah saya sendiri. Jadi saya perlu belajar matematika, coding, robotik dan tentu saja fisika.”

“Saya ingin membuat aplikasi alat pembayaran di beberapa bisnis orang tua saya suatu hari nanti. Maka saya butuh belajar matematika, bahasa pemrograman, elektronika, strategi ekonomi pemasaran.”

*****

Sebagai Guru / Pendidik, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk masa depan itu? Banyak caranya. Tidak ada salahnya memulai dengan berani berubah. Mencoba beragam teknologi penunjang perubahan tadi termasuk tidak reaktif melihat siswa memegang telepon genggam di sekolah. Tidak juga langsung menuduh dan berkesimpulan siswa yang tidak menampilkan akademik baik sebagai pemalas saja. Belajar menempatkan diri di masa siswa kita sekarang, bukan meminta mereka belajar seperti jaman kita dahulu. 

“If we teach today’s students as we taught yesterday’s, we rob them of tomorrow.” ― John Dewey

Smart Board – Masih “Smart” kah?

Kilas Balik

Teringat 21 tahun lalu, setelah sekitar 2 tahun memulai profesi guru, alat bantu presentasi di kelas adalah OHP projector. Dengan ruangan kelas sendiri, OHP menjadi alat mewah (bagi saya) untuk menemani mengajar.

Kepala Sekolah dulu memberikan apresiasi pada saat saya menjelaskan beberapa bagian geometri seperti membagi sebuah sudut menjadi dua bagian sama besar (garis bagi pada segitiga), menggambar lingkaran dalam dan luar sebuah segitiga, menggunakan jangka langsung pada plastik transparant di atas layar kaca OHP, sambil mengatakan “lho kok jadinya saya lebih ngerti sekarang ya, pasti lebih gampang nih bagi siswa mengikutinya”. Wah bangganya, aku “hi-tech” sekali 😉.

Pemakaian OHP berlanjut sampai sekitar 5-6 tahun berikutnya. Oh ya, OHP bukan jadi satu-satunya alat bantu di kelas ya, melainkan hanya salah satu saja dan pemakaian tergantung topik dan keadaan serta RPP.

 

 

 

 

 

 

Foto-foto di atas adalah contoh plastik presentasi dengan OHP Projector. Masih tersimpan rapi satu file yang ini. Ini plastik utama, saat penjelasan ditumpuk dengan plastik kosong untuk coretan langsung 😛. #nostalgia

Selanjutnya presentasi di kelas berkembang dengan penggunaan PPT. Beberapa orang (mungkin guru) mampu membuat PPT interaktif, namun tak sedikit pula guru yang curhat tidak adanya waktu untuk membuat PPT canggih seperti itu. Hehe urusan waktu bagi guru memang sudah melegenda, kurang selalu apalagi jika guru dihantui berlebihan seputar pekerjaan kelengkapan administrasi dan menjadi EO acara sekolah (yang guru pasti paham benar soal EO ini 😁).

Namun saat itu, belum ada sarana komputer permanen di dalam kelas, jadilah sering meminjam lab komputer untuk memindahkan kelas ke sana, demi bisa presentasi PPT. PPT nya pun dilengkapi dengan suara, agar memudahkan siswa mengerti secara individual. Jadilah rekam-rekaman suara untuk dimasukkan ke dalam PPT, dan waktu itu dilakukan di rumah di saat anak saya masih balita. Setiap mau rekam suara, si balita diminta keluar rumah dulu karena dia pasti dengan lucunya selalu ikut-ikutan.

Papan Tulis Pintar

Bertahun-tahun setelah itu, di tahun 2008, akhirnya masuklah komputer (tabung) ke dalam kelas beserta jaringan internet dan projector, maka semakin mudahlah menggunakan alat bantu PPT maupun menunjukan video atau gambar-gambar dari web tertentu.

Namun seperti pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan terdahulu, bahwa kekuatan PPT saya bukanlah terletak pada daya tarik tampilannya saja, warna-warni, blink-blink, namun lebih kepada memanfaatkan fungsinya sebagai papan tulis pintar. Sentuhan tulisan tangan (bantuan wacom pad dan pen nya) pada beberapa bagian penjelasan yang sudah diletakkan terlebih dahulu di PPT, menurut saya menambah kekuatan guru untuk tetap terlibat langsung sewaktu menjelaskan di depan siswa. Dengan posisi tubuh tetap menghadap siswa (tidak perlu membelakangi karena tidak menulis di papan tulis biasa lagi), interaksi berjalan lebih lancar. Dan saya selalu katakan bahwa itulah papan tulis pintar saya. “My Smart Board – interactive whiteboard”. Lihat artikel di sini.

Lalu sayapun memimpikan memakai smart board yang sesungguhnya. Namun sayang, tidak pernah kesampaian. Beberapa sekolah menyiapkan smart board di ruangan khusus, tetapi karena hanya satu jadilah eksklusif dan hanya dapat diakses oleh guru tertentu yang dianggap berhubungan erat dengan kemampuan smart board, guru ilmu sosial dan guru bahasa. Anggapan ini menurut pihak sekolah lho ya. Guru matematika tidak dapat akses? Mengapa? Ya karena matematika adalah berhitung, mengajarkan berhitung kok pakai smart board? Sedih deh guru matematika ini 🙁. Haha

Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, saya mendapatkan sebuah tablet, IPad beserta apple tv nya. Mula-mula hanya digunakan jika butuh saja untuk melihat video. Namun semenjak tahun 2014, kedua  alat tersebut tidak pernah lepas  dari kehidupan mengajar saya. Masih butuhkah saya dengan smart board yang sebenarnya? Hmm rasanya sudah tidak tertarik lagi, IPad membawa saya untuk berekplorasi semudah menggunakan smart board asli. Untuk presentasi, disertai tulisan tangan, menjadikan dua layar untuk menampilkan grafik matematika di sisi sebelahnya, atau live browsing, semua sangat mudah dilakukan.

Walaupun masih ada kesan “teacher-centered”, interaktif smart board bisa digantikan dengan penggunaan 1:1 device di kelas (bisa laptop, tablet/IPad, smartphone), melalui aplikasi software kolaborasi. Kebetulan di sekolah saya yang sekarang, dimana dikondisikan BYOD (Bring Your Own Device), 90% nya menggunakan produk Apple, jadi jika dibutuhkan, transfer file semudah “airdrop”. Sama atau beda produkpun, tetap bisa berkolaborasi melalui google apps, onenote class notebook, ataupun berbagai apps yang lain. Dan semua siswa dapat bekerja di halaman kerja yang sama.

Contoh foto di atas menggambarkan suasana di kelas pada saat belajar Persamaan dan Fungsi Kuadrat kelas 9, dengan aktivitas kegiatan menggunakan software Student Desmos Activity, yang langsung dapat dipantau oleh guru secara online langkah kerja mereka. Sesaat saya iseng menyebut “say cheese” dan mata mereka spontan melihat layar 😊.

Contoh video di atas adalah sewaktu pembelajaran revisi menjelang ujian. Siswa berkelompok, satu kelompok bertugas mengumpulkan soal dan menyajikan secara online kemudian menjawab soal dari kelompok lain, dan sebaliknya.

Link berikut ini, juga merupakan contoh bagaimana saya menerapkan penggunaan IPad sebagai papan tulis pintar saya. Silahkan klik di sini.

Jadi, sekolah yang masih menganggap investasi melalui satu atau dua buah smart board mungkin sudah tidak tepat lagi. Selain menghabiskan uang dalam jumlah besar, termasuk sekolah harus menyiapkan pelatihan dan distribusi informasi untuk memastikan guru-gurunya pun  mampu mengoperasikan si smart board, kadang penggunaannya pun tidak maksimal, tidak semua guru akan mendapatkan pengalaman mengajar maupun siswa mendapatkan pengalaman belajar. Kecuali sekolah yang sanggup menyediakan di setiap ruang kelasnya, maka akan lain ceritanya. Di beberapa sekolah dengan sumber siswa dari orang tua yang cukup secara ekonomi, strategi BYOD bisa menjadi solusi terbaik untuk membangun sistem belajar kolaborasi, tidak melulu terpusat hanya pada guru saja. Device pun beragam variasinya, beragam pula harganya, jadi penggunaan device di era ini bukanlah lagi menjadi eksklusif atau sekolah kaya atau siswa kaya, melainkan sudah jamannya.  Mengaku miskin tapi tetap pakai smartphone untuk chatting atau bermain sosial media terus menerusNah mending untuk belajar kan.

Selamat Belajar!

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake