Seven Habits camp, Batch 2, 10 – 12 Sept 2012

Hari ke-1:

Setelah berdoa dari sekolah jam 7.30, saya bersama 6 rekan guru lain yang bertugas mendampingi siswa kelas 7B dan 7F, pergi menuju wisma Santa Monica 1 dengan mengendarai dua buah bus.

Seperti biasa, setiap anak yang pergi bersama-sama dengan teman-teman pasti akan menyambut dengan sangat antusias. Saya berada di bus 7B bersama dengan dua rekan guru lain. Ada anak-anak yang nyanyi-nyanyi, baca buku cerita anak-anak, ngobrol dan masih boleh main handphone yang mereka bawa 🙂

Tiba di wisma Santa Monika 1, sekitar jam 10 pagi, kami disambut oleh rekan-rekan dari Dunamis. Siswa akan didampingi oleh dua orang fasilitator (Kak Teddi dan kak Vonny) dan dua orang asistennya.

Kami berfoto-foto sebentar dengan memegang spanduk kegiatan Seven Habits ini. Lalu seluruh handphone dan gadget yang dibawa siswa harus dititipkan kepada wali kelas.

Setelah itu seluruh hari ini dihabiskan dengan ice breaking, membentuk grup dan mempersiapkan yel-yel group serta sesi training habit ke-1 dan pengantar habit ke-2 yaitu membuat personal mission statement. Sesi training dilewatkan dengan metode ceramah dan interaktif serta games seputar habit 1.

Hari ke-2:

Karena dengan padatnya jadwal di hari kedua ini maka sesi ceramah agaknya seperti dikurangi waktunya dan anak-anak menjalani sesi habit ke-2 sampai dengan ke-7 di sepanjang pagi sampai sore. Tentu saja ada bagian games pendukung semua habit yang diberikan.

Satu yang paling berkesan untuk saya adalah penjelasan mengenai big rocks di habit ke-3. Bagaimana anak-anak diminta untuk mulai mengenal hal apa atau pekerjaan mana yang harus ditempatkan sebagai big rocks dan mana yang small rocks. Foto berikut menunjukkan ilustrasi yang dibuat oleh kak Teddi bahwa orang normal memiliki 1 – 3 big rocks dan idealnya adalah semua big rocks itu dapat diselesaikan. Tetapi jika ditambah 4 – 10, bisa saja selesai tetapi tanpa hasil yang maksimal atau hanya selesai 1 – 2 pekerjaan, dan jika “dipaksakan sampai 11 buah maka yang terjadi malah bisa sebuah kegagalan (satupun tidak ada yang berhasil).

Sore hari diakhiri dengan championship games, terdiri dari tiga permainan air yaitu perang balon air, berjalan di atas bambu yang diletakkan di atas kolam renang dan menangkap ikan. Bisa dibayangkan jika kolam renang yang berukuran sekitar 3 x 5 meter dipenuhi oleh hampir 50 anak 🙂 di akhir acara games.

Malam pun tiba, dan acara api unggun berlangsung cukup baik. Kembali ice breaking dilakukan, kali ini oleh rekan rangers yang akan mendampingi siswa saat kegiatan games luar ruang. Dilanjutkan dengan penampilan dari ke-6 kelompok, ada yang drama dan ada yang bernyanyi. Jam 10 malam acara berakhir, ditemani susu coklat hangat dan jagung bakar.

Hari ke-3:

Jam 7.30 pagi, semua siswa sudah bersiap di lapangan besar untuk mengikuti games luar ruang. Acara kembali dimulai dengan ice breaking dan games bersama. Setelah itu, untuk mengikuti ke-7 games luar ruang, ada peraturan yang harus ditaati peserta dan cara pengumpulan point. Sesuai dengan jenis permainan team building ini, maka seluruh permainan merupakan bentuk kekompakan dan kerjasama solid dalam satu tim. Ke-7 games tersebut adalah:

  1. Mengumpulkan balon air dengan dilemparkan secara estafet dari titik start ke titik akhir.
  2. Mengisi air dalam ember sebanyak-banyaknya dengan memindahkan air dari kolam dengan busa yang diperas airnya dengan cara diduduki.
  3. Memindahkan sebatang bambu tipis dimana seluruh siswa dalam grup hanya boleh menyentuh bambu menggunakan kedua jari telunjuk.
  4. Memindahkan 3 bola pingpong ke dalam tabung bambu dengan cara estafet menggelindingkan bola pada belahan pipa.
  5. Mengarahkan teman yang berjalan dengan mata tertutup melewati rintangan yang terhubung dengan perangkap air otomatis. Jika yang diperintahkan gagal melewati rintangan maka rekan yang memerintahkan akan ketumpahan perangkap air.
  6. Mencari bendera kuning di sepanjang jalan setapak hutan.
  7. Flying fox.

Akhir dari acara ini adalah evaluasi sekitar setengah jam dan setelah penutupan oleh guru pendamping maka berakhirlah acara camp selama 3 hari tersebut. Camp yang rasanya tidak akan dilupakan oleh setiap anak yang menjalaninya. Pasti ada kesan positif selama kegiatan berlangsung.

Kebetulan saya menemani siswa grup 3 dari kelas 7B, mereka adalah Timmy, Nico, Bryant, Maria Sasa, Cindy, Daryn, Pandu, Priscilla, Erina, Jolly, Aditya, Jason. Dan selamat untuk grup 3 yang menjadi juara umum sepanjang kegiatan Seven Habits camp di batch ini.

Berikut cuplikan video yang saya rangkum selama kegiatan keberangkatan, games luar ruang dan beberapa foto sesi games penunjang training.

Video ini sudah saya coba perkecil dari aslinya, tetapi mungkin tetap membutuhkan waktu beberapa saat sebelum tayang dengan lancar

 

My Personal Reflection

Menyisakan pertanyaan bagi saya yaitu trend pendidikan karakter yang ideal itu seperti apa? Apakah keikutsertaan partner yang ditunjuk yang berperan mensuply kurikulum berbasis karakter dan pengejawantahannya sesuai dengan masing-masing sekolah? Apakah definisi mentor sesuai dengan kultur sekolah yang memiliki wali kelas? Bukankah semua guru adalah mentor bagi siswanya? Apakah mendidik karakter seseorang itu harus melalui sebuah administrasi kurikulum yang njelimet? Apakah Seven Habits identik dengan games luar ruang yang pada umumnya selalu dilakukan jika ada kegiatan luar ruangan? Bentuk karakter apakah yang ingin dibangun dari jiwa seorang anak?

Saya akan mencari jawabannya secepat angin berlalu setelah yang satu ini….. 😉

Introduction: Fundamental Algebra – video flash

Hmm…… what should I do to start lesson about algebra for grade 7 students? By giving them definition? owww noooo, check it out the two definitions below:

“Algebra is the mathematics of generalized arithmetical operations” (source: wordnet30)

“Algebra is that branch of mathematics which treats of the relations and properties of quantity by means of letters and other symbols. It is applicable to those relations that are true of every kind of magnitude” (source: webster1913)

What’s that??? why is so hard to understand those words?

Some of students will cheer up when their hear the word “algebra”…..”yeaaayyy, I’ve learned it since I was young at …….. (mentioned one famous tuition for algebra ;))

Some of students will sad and scream “noooo, not that one, I don’t understand why should I get annoyed by those letters”

Below is just a sharing from me when I presented the introduction to my students in class why they should learn algebra, using video flash presentation.

English oh English, is it the icing on the cake?

http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/18/bahasa-inggris-hancur-lulus-cumlaude-di-amerika/

Silahkan klik link di atas dan bacalah bacaan yang amat menarik seputar pentingnya bahasa Inggris dalam dunia belajar dan apa yang bisa diukur dari kemampuan berbahasa Inggris tersebut.

Kisah pak Rhenald Kasali dan pak Yohanes Surya tersebut pernah saya baca juga sebelum ditulis dalam artikel di atas. Tapi entah mengapa, saat membaca tulisan pak Yusran Darmawan di index headline kompasiana, rasanya menarik sekali (menarikkkkkkkkk, sampai banyak “k” nya 🙂 ).

Jadi sangat tergambar di kepala dan ingatan saya tentang pengetahuan seseorang pada test bahasa Inggris tertulis ini, contohnya ya diri sendiri. Saya harus mengambil beberapa test TOEFL untuk keperluan pekerjaan saya di dunia sekolah dan pendidikan yang saya jalani semenjak saya masih duduk di bangku SMA. Mulai dengan ujicoba TOEFL (untuk keperluan belajar / diselenggarakan internal), lalu TOEFL yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga bahasa, lalu TOEIC, dan mungkin TOEFL lagi minggu depan 😉

Alkisah, ada sekolah – sekolah yang ingin menilai gurunya dari kemampuan berbahasa Inggris. Bahasa Inggris yang harus ditestkan sebagai TOEFL atau TOEIC. Atas dasar sekolah yang berbasis kurikulum dari luar negri dan menyandang kata internasional maka bahasa Inggris menjadi sedemikian penting dan harus diteskan dengan kondisi hanya “lulus atau tidak lulus”. Kalau tidak lulus dengan standar skor tertentu maka mohon maaf harus mengalami mutasi ke bidang lain. Ayo belajar……belajar, siswa saja disuruh belajar sewaktu mau test, masak gurunya tidak?

Saya tidak mengatakan dan tidak bermaksud bahwa penggunaan bahasa Inggris tidak penting sama sekali. Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa dunia yang sangat layak dan pantas dipelajari oleh kita semua. Dari berbagai bidang kehidupan, dunia pekerjaan, kita sudah tidak boleh lagi menutup diri akan kemampuan berbahasa Inggris tersebut. Apalagi bidang pendidikan, dunia sekolah, dalam rangka mengajar suatu konsep ilmu dari berbagai mata pelajaran yang kita ajarkan, bahasa pengantar Inggris merupakan suatu yang penting dan sudah sangat cocok dipakai dan ditransfer kepada siswa.

Sayangnya lalu bahasa Inggris menjadi seperti icing on the cake. Icing yang mendadak menjadi lebih penting dari isi si kue itu sendiri. Seakan-akan, materi pendidikan yang disampaikan dalam bahasa Inggris juga otomatis menjadi lebih ‘cantik’ dan ‘modern’ atau bahkan *keselek* lebih internasional.

Memang jadinya banyak orang tua yang hanya memperhatikan beragam icing daripada kuenya (karena memang lebih mudah dilihat), terlalu banyak manajemen dan pemilik sekolah yang berjualan icing-nya saja, dan terlalu banyak guru yang lebih sibuk menolak atau menerima icing nya daripada rasa dan isi asli kue-nya.  Bahkan bisa jadi ada guru yang berlindung dari icing berbahasa Inggris untuk sekedar menutupi kekurangannya yang lain…….hmmm mungkin ada kali ya? *think hard* or *maybe not so hard*

Ironisnya, keadaan satu icing yang disebut di atas, seperti mewakili icing lain yang terjadi di dunia pendidikan di tanah air. Hmm apa ya?

Pendidik yang sudah mendapat sertifikasi seperti dianggap sudah layak dengan sebutan profesional, padahal… mengaku-ngaku jumlah jam mengajar demi tuntutan 24 (“Guru profesional memanipulasi data beban kerja tatap muka”, ditulis oleh Seni itu Indah).

Lalu contoh lain, bisa timbulnya persepsi kurang tepat masyarakat dari penayangan televisi kalau RSBI identik dengan gedung ber AC dan pemakaian OHP (dan yang lain? silahkan ditebak sendiri :D).

Seorang pendidik disamping memiliki ilmu, kemampuan mentransfer ilmu, karakter yang baik, passion, calling, juga dituntut untuk mampu berkomunikasi yang baik dalam bahasa Inggris. Sekolah – sekolah tertentu menuntut gurunya untuk mentransfer ilmu dalam bahasa Inggris dan “hanya” bahasa Inggris saja. Kondisi yang tercipta adalah si guru sibuk belajar sendiri agar saat ditest TOEFL atau TOEIC tidak boleh gagal atau harus lewat standar nilai agar tunjangannya tidak hilang…… Menurut hemat saya sih, mentransfer ilmu menggunakan bahasa pengantar Inggris adalah hal yang berbeda dengan test tertulis toefl.

Pernah terpikirkah oleh penyelenggara sekolah bahwa keadaan di lapangan bisa seperti berikut ini?

Bicara bahasa Inggris? “little little sih I can lah”, broken english dikit juga bisa lah, tulalit tulalit…. Yang penting keliatan bicara bahasa Inggris, murid mengerti atau tidak akan pelajarannya yang penting disampaikan pakai bahasa Inggris, “les saja deh kamu kalau tidak mengerti”, kata si guru. Si murid juga bisa bilang “Come on school, I go to school to study, not to listen to teachers practising their so-and-so english. It’s either you study or we do”. Miris ya keadaan demikian.

Belum lagi sekolah yang mengatakan “test ini kami tujukan untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris bapak / ibu, kami berikan kebebasan memilih level mana yang bapak / ibu inginkan, ini bukan test satu-satunya yang dipakai untuk mengukur kemampuan bapak / ibu tetapi akan ada banyak penilaian untuk mengetahui kemampuan bapak / ibu seperti manajemen kelas, cara dan metode mengajar de-el-el……” Tetapi test Inggris tersebut yang tercantum sebagai “skill” yang ada di struktur gaji…….ooowww, apa maksudnya……

Jadi fungsi sekolah sebagai tempat belajar, fungsi guru sebagai pendidik dan mentransfer ilmu, tersampaikan atau tidak ya dengan keadaan seperti itu?

Dua bagian kutipan berikut ini sangat saya suka:

“https://twitter.com/TeachersJourney/status/234606334551658496”

“……Logikanya, meskipun anda jago ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang mendapatkan apresiasi………”  (artikel pak Yusran)

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake