Bapak/Ibu Guru, apa definisi siswa terbaik / pelajar teladan / siswa berprestasi menurut anda?
Kebanyakan akan menjawab dengan definisi siswa yang pelajarannya menghasilkan nilai paling tinggi. Pelajar yang keseluruhan dirinya menjadi teladan bagi teman-temannya. Siswa yang seringkali memenangkan pertandingan / perlombaan baik akademis maupun non akademis. Siswa kesayangan guru (? 😉 ).
Singkat kata, siswa dengan definisi di atas adalah siswa idaman para Guru, bukan? Bahagianya kita dengan pekerjaan yang otomatis menjadi enak ini, tidak perlu mendidik berlebihan, tidak perlu bersusah payah menyampaikan pelajaran dengan berbagai metode yang dianggap cocok. Siswa sudah cakap dari “sananya”, dari lahir maksudnya.
Tapi, yang di atas itu kan masih secara umum. Saya masih meyakini ada perbedaan pandangan atau tidak terfokus pada satu stereotip saja. Terbaik, bisa saja menjadi sama-sama baik dalam satu kelompok, bisa terbaik mengalami kemajuan, atau bisa juga terbaik dalam usaha dan perjuangan selama dia bersekolah.
Kadang saya bingung juga jika ada siswa yang “protes” kepada saya, kok saya bilang bagus untuk sebuah nilai yang menurutnya biasa-biasa saja. Maaf, saya datang dari era “pak Tino Sidin” yang selalu bilang bagus untuk karya anak-anak yang dikirimkan kepada beliau 😉 . Jawaban serius saya salah satunya adalah “Jangan menilai dirimu terlalu tinggi di luar batasmu, nak. Tinggi boleh tapi jangan terlalu tinggi. Jangan samakan dirimu dengan si jenius A, si cerdas B, tapi kamu adalah kamu yang sudah istimewa bagi saya memberikan hasil seperti ini”. Idealkah jawaban itu? Balik lagi, tergantung pandangan anda sendiri. Bukan berarti siswa puas dengan jawaban tersebut, mungkin saja malah menggerutu, “aduuuh ini guru kok nyebelin banget ya, jelek dibilang bagus” 😀
Entahlah, tetapi saya percaya, terbaik saat ini, belum tentu melulu menjadi terbaik di masa depan. Tidak semua yang berprestasi sangat baik saja yang mampu menjadi lulusan hebat dari pendidikan tinggi mereka. Selama 21 tahun di sekolah, rasanya saya cukup melihat bukti, bahwa biasa-biasa saja di sekolah, sekarang telah menjadi dokter, menjadi eksekutif di bidang tertentu. Karena siswa yang biasa atau kurang bagus secara akademis tadi, bukan berarti kalah, mereka hanya berproses lebih lama dari teman-temannya untuk menjadi terbaik di jenjang sekolah. Kan tidak mungkin juga semua menjadi terbaik kalau ujung-ujungnya sekolah diminta membuat peringkat tetap memilih yang “ter-” tadi. Atau contoh lain, malah siswa terbaik di SMP dengan mengambil mata pelajaran “all sciences” di SMA, sudah dibanggakan akan menjadi calon dokter, ternyata setelah menyelesaikan dua gelar sarjana, memilih menjadi penulis, dan bukan sembarang penulis, minggu ini buku perdananya diluncurkan oleh penerbit Gramedia. Dan masih banyak contoh lainnya.
Sebagai Guru, sebagai sekolah, sebenarnya, apa sih tuntutan kita kepada mereka anak-anak? Ingin anaknya berhasil baik dalam hal nilai / prestasi akademis? Untuk siapa? Kebanggaan bapak/ibu? Peringkat sekolah? Bangga posting foto anak-anak itu di pagar sekeliling sekolah? Belum tentu anaknya suka sih fotonya selebar spanduk dipajang di pinggir jalan raya (hmm, sekolah apa ya? adaaa aja 😉 ). Tidak salah menjadi bangga kok, itu hal normal dan manusiawi. Guru memiliki target, sekolahpun sama memiliki target. Namun yang saya sedang bahas di sini adalah dari sisi siswanya.
Sejujurnya saja, namanya manusia yang hidupnya memiliki target, gurupun kadang merasa tantangan mencapai target tadi seperti sebuah perlombaan untuk mengantar siswanya meraih peringkat tertinggi, contohnya waktu saya sedang ikut berdoa bersama siswa menjelang ujian (kebetulan mata pelajaran saya), setelah selesai berdoa, ada rekan yang menghampiri saya dan berkata “wahh doa nih yee supaya dapat bintang”……… Dia tidak tahu kan isi doa saya, jadi “malesin banget” ditanggapi kalau kata anak-anak sekarang, walaupun bisa saja itu hanya ujaran bercanda 😀 .
Sebagai penutup cerita, ada cerita menarik dari seorang siswa yang baru menyelesaikan jenjang SMA, siswa yang hasil nilai akademisnya selalu kurang memuaskan. Dia diganjar predikat siswa terbaik untuk mata pelajaran seni musik. Seorang rekan melontarkan pertanyaan kepada saya, “Tidak salah siswa tersebut mendapat predikat terbaik? (kalimat asli sudah diganti agar lebih halus untuk keperluan tulisan ini 🙂 ). Sebelum saya sempat menjawab atau melawan pernyataan tersebut, guru seni datang menghampiri dan pertanyaan serupa kembali dilontarkan kepadanya. Dan jawabannya, sungguh teramat keren (bagi saya), “eh, justru saya kasih dia yang terbaik karena dia dari tidak bisa apa-apa, sekarang ada niat dan menjadi bisa”. Jawaban Juara <3