Reward and Punishment

If people are good only because they fear punishment, and hope for reward, then we are a sorry lot indeed.  ~ Albert Einstein

Reward dan Punishment, masihkah relevan dengan pendidikan saat ini?

Kalau saya melihat masa hidup Einstein, yang lahir tahun 1879 dan wafat tahun 1955, dan memberikan quote seperti di atas, rasanya Einstein melihat betul bahwa era kelahirannya di akhir revolusi industri sudah berbeda dengan era beliau beranjak dewasa.

Jadi seperti menegaskan, hati-hati dengan ungkapan Reward dan Punishment ini. Digunakan saat kapan, dan kepada siapa. Itu menjadi faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan.

Jika kita menonton pertunjukan aksi hewan di sebuah sirkus katakanlah, kita menyaksikan secara langsung, sang pawang yang memberikan reward berupa ikan kecil kepada anjing laut apabila bisa melakukan atraksinya dengan benar. Lalu kita juga melihat ada semacam tali untuk dipecutkan, seolah-olah pelatih / pawang menegur hewan yang dilatih untuk tidak salah melakukan atraksinya seperti yang diajarkan, seperti memberi tanda “saya hukum kamu kalau tidak benar atraksinya”.

Lalu bagaimana menggunakan Reward dan Punishment di dalam pendidikan anak-anak? Menurut saya, definisi anak-anak pun harus terbagi dalam beberapa jenjang. Anak TK – SD kelas 2, kelas 3 – 5, kelas 6 – 8, kelas 9 – 10, dan kelas 11 – 12. Perlakuan kepada mereka harus dibedakan.

Saya bukan pakar dalam hal ini, namun pengalaman belajar dan mengajar, mendorong saya untuk menghindari Reward dan Punishment dalam manajemen kelas saya. Menghindar di sini bukan berarti tidak mendukung Tata Tertib Peraturan Sekolah. Peraturan tetap harus ada. Konsekuensi terhadap tidak berjalannya peraturan secara benar juga tetap ada.

Meyakini “Reward” adalah memberikan motivasi kepada siswa dengan metode “personalized learning” lebih bermakna bagi saya dibanding memberi reward dengan menambah point urusan akademik dan non akademik. Personalized learning membuat siswa tertentu merasa dihargai kemampuan akademiknya dan (semoga) lebih terpacu motivasi belajarnya. Berat melakukan personalized learning? Iya. Selalu melakukannya? Tidak.

Sama seperti meyakini “Punishment” adalah bukan sekedar menghukum siswa yang ketahuan tidur di kelas saya, yang datang terlambat, yang tidak mengerjakan tugas, yang tidak berseragam lengkap. Lebih bermakna dengan membangunkan siswa tersebut dan meminta cuci muka lalu membantu saya mengerjakan hal lain. Datang terlambat? Ayo duduk paling depan. Tidak mengerjakan tugas, mari kerjakan bersama saya di kelas, sekarang. Temanmu tugas B, kamu tetap A dan bersama saya.

Pasti seorang Guru bermimpi dan berangan untuk memiliki siswa ideal yang berkarakter baik, berdaya juang tinggi, rajin dan hormat kepada Guru maupun teman. Namanya saja ideal, semua ingin, tetapi hampir tidak mendapatkan kondisi ideal tersebut, bukan?

Membuat siswa muncul dengan karakter baik bukan hanya dengan diberi hukuman karena salah yang bisa ditolerir. Salah tidak buat tugas sekali dengan salah memukul teman, adalah dua hal berbeda. Salah karena telat masuk kelas juga berbeda dengan salah meninggalkan kelas karena pura-pura sakit. Atau sebaliknya dengan diberi penghargaan kalau melakukan hal yang benar, benar di mata siapa? Apakah penghargaan berhak didapat siswa jika dia “hanya” sekali dapat 60 dari sekian nilai 40 nya? Atau berhak untuk siswa yang ranking 1 di kelas saja? Atau siswa berpakaian paling sesuai aturan?

Guru dan sekolah masih sering terjebak pula dengan sistem ini. Satu sisi sekolah ingin mendisiplinkan siswanya. Sejarah menorehkan catatan sekolah yang terkenal dengan pendidikan disiplinnya dan nilai akademik akan selalu menjadi sekolah favorit dan diminati oleh calon siswa dan orang tuanya. Demikian pula sekolah yang lebih murah secara biaya tentu saja punya peminat tersendiri 🙂

Dibuatlah berbagai buku tiket (yang dirobek kalau mau dipakai), tiket keterlambatan, tiket kedisiplinan, tiket kelengkapan seragam, dan lain-lain sesuai nama dan fungsi buku tiket tersebut (mungkin). Atau semuanya dirangkum dalam satu tiket bernama tiket konsekuensi untuk apapun pelanggaran siswa. Dengan nama konsekuensi menjauhkan paradigma sebagai sebuah hukuman langsung.

Diberikanlah sangsi pengurangan nilai baik akademik maupun non akademik untuk mendapatkan penghargaan dari guru atau sekolah di akhir tahun akademik. Pengurangan nilai akademik digadang-gadang masih menjadi senjata ampuh untuk mengendalikan tindakan siswa. Pengurangan nilai non akademik yang dipakai sebagai alat ukur karakter siswa, secara individu atau grup. Penilaian grup dimaksud untuk mendidik kekompakan, kebersamaan dan toleransi di antara siswa dalam satu grup. Nilai yang tidak berkurang atau justru penambahan itulah akan menjadi Reward yang diberikan guru dan sekolah kepada siswanya.

Datang terlambat, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Tidak memakai sepatu seluruhnya hitam, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Seragam kemeja keluar dari celana atau rok, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Tidak pakai dasi, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Tidak memakai kaos kaki / kaos kaki hanya di bawah mata kaki, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Tidak membawa buku pelajaran, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Berbicara di dalam kelas dengan teman, dapat tiket. dan pengurangan nilai.

Tidak mengerjakan PR atau tugas atau proyek, dapat tiket.

Rambut siswa laki-laki menutup alis mata / siswa perempuan tidak diikat untuk panjang lebih dari sebahu, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Rambut dicat gelap natural orang Indonesia umumnya / pirang / warna warni, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Membalas kata-kata gurunya / berani berargumentasi dengan gurunya, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Tidur di dalam kelas saat pelajaran, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Berkelahi / bercanda kasar di lingkungan sekolah, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Mencuri uang atau barang bukan miliknya, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Mengucapkan sengaja atau tidak sengaja kata-kata tidak pantas, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Pelaku bullying / korban bullying yang membalas dengan tindakan yang menyebabkan perkelahian, dapat tiket dan pengurangan nilai.

Bapak Ibu ingin menambahkan daftar di atas? Silahkan 🙂 , dari saya sementara ini cukup dulu. Jenis pelanggarannya berbeda-beda bukan? Setujukah untuk tidak menghukum semuanya sama rata?

Kalau ingin siswa menghargai suatu pelajaran, mengapa dia diberikan tiket konsekuensi ngeyel / tidak sopan pada gurunya pada saat dia berargumen mencari kebenaran versinya sendiri akan pelajaran yang belum terlalu dimengerti olehnya.

Kalau ingin siswanya tidak tidur di dalam kelas saat guru menjelaskan atau saat diberikan evaluasi, mengapa tidak mencoba metoda pengajaran selain ceramah di kelas yang membosankan, mengapa tidak memberikan evaluasi / penilaian cara lain selain “pencil and paper based test”.

Kalau ingin siswanya mengerjakan semua tugas pelajaran dengan baik, mengapa guru-gurunya tidak memberikan berdasarkan jadwal yang baik, semua guru ingin nampak memberikan tugas yang “wah” (ingin menunjukan berada dalam kerangka SAMR di M-Modification, salah satunya meminta siswa dengan tugas melaporkan dalam bentuk video). Mengapa tidak menjalankan metode “Integrated Curriculum”. Satu tugas berintegrasi dengan beberapa mata pelajaran. Guru memberikan tugas kepada siswa membuat video selama 5 menit, pokoknya siswa harus kumpul video, tanpa pernah menjelaskan ataupun membantu “platform” video apa yang lebih mudah dan nyaman bagi siswa (jangan-jangan gurunya tidak mengerti, contohnya video laporan sampai 5 menit, sementara iklan di media saja cukup sekian detik sampai 1-2 menit. 5 menit? itu bukan laporan tapi membuat film pendek).

Jika sekolah mendukung penggunaan teknologi secara tepat guna dan benar, pakar teknologi integrasi amat dibutuhkan. Pakar ini bisa membantu guru mendisain tugasnya, serta membantu siswa dengan solusi-solusi alat bantu yang tepat. Bayangkan, guru Bahasa Indonesia meminta tugas video drama, guru biologi meminta tugas video peredaran darah, guru Sejarah meminta tugas video drama sejarah, guru Pkn meminta video kunjungan museum dan kantor pemerintahan di Jakarta misalnya…… Kebayangkah bagaimana nasib sang siswa yang harus mengerjakan itu semua? Dia bingung, ditumpuklah sampai hari pengumpulan tiba dan hanya bisa bilang “susah bu, susah pak, gak bisa, minta tugas tambahan deh pak yang lain, remedial bu…..”.

Kalau ingin siswanya disiplin terus, baju seragam harus selalu dimasukkan, selalu pakai dasi, menurut saya sudah bukan di jaman yang tepat. Modifikasilah baju seragam menjadi tidak perlu model yang dimasukkan ke dalam celana atau rok. Dasi tidak perlu diwajibkan lagi, kalaupun tetap mau wajib, didisain dalam bentuk yang lebih modern bagi siswa perempuan, sementara bagi siswa laki-laki ada rompi modern penutup keseluruhan dasi yang tampak agar lebih modis saja, dan lain-lain.

Kerapian berseragam diberi Reward, itu seperti menyetujui bahwa setiap karakter anak harus sama. Definisi tiap individu bahkan anak tentang kerapihan selalu berbeda-beda satu dengan lainnya.

Mengingatkan anak terus menerus dengan contoh Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates, bisa menciptakan kebosanan. 3 atau katakanlah 200 orang seperti mereka dibandingkan +/- 7,3 Milyar penduduk dunia, tidak adil menurut saya didengungkan terlalu sering kepada siswa.

Sepakat, mereka bertiga dan banyak lagi contoh orang berhasil dan sukses, menjadi motivasi untuk menggiring kesuksesan siswa atau orang lain. Tetapi jika terlalu sering, siswa merasa ini aku datang ke sekolah belajar dengan guru atau kalian guru sudah berubah semua menjadi Merry Riana, sang motivator? Mengingatkan, setuju. Terus menerus, bosan.

Sekolah membantu siswa mendapatkan pendidikan formal. Karena formal, sekolah terjebak berbagai rutinitas. Sekolah membutuhkan dana, ada para guru dan staf yang membantu operasional sekolah dan profesional secara pekerjaan. Dana, berarti uang sekolah adalah salah satunya. Uang sekolah mahal, orang tua berharap anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik. Sekolah melalui para pembuat keputusan berpedoman bahwa pendidikan yang baik adalah seiring sejalan antara pendidikan karakter dan akademik. Karakter dan akademik dituntut untuk ditingkatkan. Jalan termudah, Reward dan Punishment. Terdengar umum? Iya, sebuah lingkaran setan mungkin 🙂 Disiplin dapat dikuatkan tanpa hukuman. Keyakinan dan pola pikir akan hal ini yang perlu hadir dulu dalam kelompok guru dan sekolahnya.

Saya masih terus merindukan sekolah yang seperti didengungkan untuk berubah di era abad 21 ini. Sekarang sudah hampir 18 tahun lewat dari awal abad 21. Lalu, masih begini-begini saja? Balik lagi berharap pendidikan anak harus dari karakter yang mana karakternya tercipta melalui teori dari pelajaran pkn, cb, pramuka, agama, sejarah, bahasa dan alat pacunya adalah Reward dan Punishment? Oh come on……

~Desember 2017~

GeoGebra @EduX – October 2017

On Saturday, 14 October 2017, I joined the event held by EduXpert, in Menara Kibar, Menteng. The event based on their motto, “with the aim of enhancing the integration of technology in the classroom, so that it directly impacts students’ learning attitude and the understanding of teaching materials”, fits for us, the educators.

I had opportunity to share my class with GeoGebra, a tool that exist from 2001. After 16 years, GeoGebra still commit to help students and teachers to discover Math deeper. Solve equations, graph functions, create constructions, analyze data, explore 3D math. Amazing!

Last month, in September 2017, they launched the shiny new GeoGebra Graphing Calculator and Geometry apps. The completely revised design and cool new features are available for all devices.

They also make “Turn your Phone into an Exam Calculator”. The exam mode has been developed to create an easy-to-use solution for paper based exams where phones or tablets with the GeoGebra Graphing Calculator app replace a traditional calculator. During exam mode, students are offline and can only use the GeoGebra app – nothing else.

I (and hopefully Math Teachers 🙂 )love GeoGebra because:

  • It allows me and teachers to continue teaching. GeoGebra doesn’t replace me. It helps me what I do best – teach.
  • It allows me and teachers to plan and deliver better lessons. GeoGebra gives me the freedom to create lessons that I know know my students will find interesting.
  • It allows me and teachers to connect to other teachers as a part of a global math community.

I really do hope for my students and all students who use GeoGebra, to love it, too, because:

  • It makes math tangible. GeoGebra makes visual way, students can finally see, touch and experience math.
  • It makes math dynamic, interactive and fun (fun?? 🙂 ), that goes beyond whiteboard and leverages new media.
  • It makes math accessible and available.
  • It makes easier to learn. The interactions created by GeoGebra fulfill the students’ need in order to absorb mathematical concepts.

So teachers, don’t just wait, please go and explore GeoGebra as much as you can to fulfill your mathematics class’ need and makes your students absorb more concepts 🙂

Below are photos and a video during my sharing session sparks:

 

GESS Indonesia 2017

 

This year, I had opportunity again to join GESS as one of the speaker in their Conference Section.

I shared twice. My personal sharing session on 28 September 2017, and as an Microsoft Innovative Educator Expert on 29 September 2017.

In my personal sharing, I shared about Desmos Classroom Activities, a collection of unique and engaging digital activities, which are free for you and your students.

You can choose bundles from other teachers sharing and use them in your class. Or even you can create your own activities that fit for your students and see how they will learn Math and love learning Math.

Here is my presentation:

In my second sharing, I shared OneNote Class Notebook in Classroom. OneNote is a member of the Microsoft Office family. With OneNote, I bring my students together in a collaborative space or give them individual support in private notebooks. And no more print handouts. I can also organize lessons and distribute assignments from a central content library.

Here is my presentation:

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake