Smart Board – Masih “Smart” kah?

Kilas Balik

Teringat 21 tahun lalu, setelah sekitar 2 tahun memulai profesi guru, alat bantu presentasi di kelas adalah OHP projector. Dengan ruangan kelas sendiri, OHP menjadi alat mewah (bagi saya) untuk menemani mengajar.

Kepala Sekolah dulu memberikan apresiasi pada saat saya menjelaskan beberapa bagian geometri seperti membagi sebuah sudut menjadi dua bagian sama besar (garis bagi pada segitiga), menggambar lingkaran dalam dan luar sebuah segitiga, menggunakan jangka langsung pada plastik transparant di atas layar kaca OHP, sambil mengatakan “lho kok jadinya saya lebih ngerti sekarang ya, pasti lebih gampang nih bagi siswa mengikutinya”. Wah bangganya, aku “hi-tech” sekali 😉.

Pemakaian OHP berlanjut sampai sekitar 5-6 tahun berikutnya. Oh ya, OHP bukan jadi satu-satunya alat bantu di kelas ya, melainkan hanya salah satu saja dan pemakaian tergantung topik dan keadaan serta RPP.

 

 

 

 

 

 

Foto-foto di atas adalah contoh plastik presentasi dengan OHP Projector. Masih tersimpan rapi satu file yang ini. Ini plastik utama, saat penjelasan ditumpuk dengan plastik kosong untuk coretan langsung 😛. #nostalgia

Selanjutnya presentasi di kelas berkembang dengan penggunaan PPT. Beberapa orang (mungkin guru) mampu membuat PPT interaktif, namun tak sedikit pula guru yang curhat tidak adanya waktu untuk membuat PPT canggih seperti itu. Hehe urusan waktu bagi guru memang sudah melegenda, kurang selalu apalagi jika guru dihantui berlebihan seputar pekerjaan kelengkapan administrasi dan menjadi EO acara sekolah (yang guru pasti paham benar soal EO ini 😁).

Namun saat itu, belum ada sarana komputer permanen di dalam kelas, jadilah sering meminjam lab komputer untuk memindahkan kelas ke sana, demi bisa presentasi PPT. PPT nya pun dilengkapi dengan suara, agar memudahkan siswa mengerti secara individual. Jadilah rekam-rekaman suara untuk dimasukkan ke dalam PPT, dan waktu itu dilakukan di rumah di saat anak saya masih balita. Setiap mau rekam suara, si balita diminta keluar rumah dulu karena dia pasti dengan lucunya selalu ikut-ikutan.

Papan Tulis Pintar

Bertahun-tahun setelah itu, di tahun 2008, akhirnya masuklah komputer (tabung) ke dalam kelas beserta jaringan internet dan projector, maka semakin mudahlah menggunakan alat bantu PPT maupun menunjukan video atau gambar-gambar dari web tertentu.

Namun seperti pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan terdahulu, bahwa kekuatan PPT saya bukanlah terletak pada daya tarik tampilannya saja, warna-warni, blink-blink, namun lebih kepada memanfaatkan fungsinya sebagai papan tulis pintar. Sentuhan tulisan tangan (bantuan wacom pad dan pen nya) pada beberapa bagian penjelasan yang sudah diletakkan terlebih dahulu di PPT, menurut saya menambah kekuatan guru untuk tetap terlibat langsung sewaktu menjelaskan di depan siswa. Dengan posisi tubuh tetap menghadap siswa (tidak perlu membelakangi karena tidak menulis di papan tulis biasa lagi), interaksi berjalan lebih lancar. Dan saya selalu katakan bahwa itulah papan tulis pintar saya. “My Smart Board – interactive whiteboard”. Lihat artikel di sini.

Lalu sayapun memimpikan memakai smart board yang sesungguhnya. Namun sayang, tidak pernah kesampaian. Beberapa sekolah menyiapkan smart board di ruangan khusus, tetapi karena hanya satu jadilah eksklusif dan hanya dapat diakses oleh guru tertentu yang dianggap berhubungan erat dengan kemampuan smart board, guru ilmu sosial dan guru bahasa. Anggapan ini menurut pihak sekolah lho ya. Guru matematika tidak dapat akses? Mengapa? Ya karena matematika adalah berhitung, mengajarkan berhitung kok pakai smart board? Sedih deh guru matematika ini 🙁. Haha

Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, saya mendapatkan sebuah tablet, IPad beserta apple tv nya. Mula-mula hanya digunakan jika butuh saja untuk melihat video. Namun semenjak tahun 2014, kedua  alat tersebut tidak pernah lepas  dari kehidupan mengajar saya. Masih butuhkah saya dengan smart board yang sebenarnya? Hmm rasanya sudah tidak tertarik lagi, IPad membawa saya untuk berekplorasi semudah menggunakan smart board asli. Untuk presentasi, disertai tulisan tangan, menjadikan dua layar untuk menampilkan grafik matematika di sisi sebelahnya, atau live browsing, semua sangat mudah dilakukan.

Walaupun masih ada kesan “teacher-centered”, interaktif smart board bisa digantikan dengan penggunaan 1:1 device di kelas (bisa laptop, tablet/IPad, smartphone), melalui aplikasi software kolaborasi. Kebetulan di sekolah saya yang sekarang, dimana dikondisikan BYOD (Bring Your Own Device), 90% nya menggunakan produk Apple, jadi jika dibutuhkan, transfer file semudah “airdrop”. Sama atau beda produkpun, tetap bisa berkolaborasi melalui google apps, onenote class notebook, ataupun berbagai apps yang lain. Dan semua siswa dapat bekerja di halaman kerja yang sama.

Contoh foto di atas menggambarkan suasana di kelas pada saat belajar Persamaan dan Fungsi Kuadrat kelas 9, dengan aktivitas kegiatan menggunakan software Student Desmos Activity, yang langsung dapat dipantau oleh guru secara online langkah kerja mereka. Sesaat saya iseng menyebut “say cheese” dan mata mereka spontan melihat layar 😊.

Contoh video di atas adalah sewaktu pembelajaran revisi menjelang ujian. Siswa berkelompok, satu kelompok bertugas mengumpulkan soal dan menyajikan secara online kemudian menjawab soal dari kelompok lain, dan sebaliknya.

Link berikut ini, juga merupakan contoh bagaimana saya menerapkan penggunaan IPad sebagai papan tulis pintar saya. Silahkan klik di sini.

Jadi, sekolah yang masih menganggap investasi melalui satu atau dua buah smart board mungkin sudah tidak tepat lagi. Selain menghabiskan uang dalam jumlah besar, termasuk sekolah harus menyiapkan pelatihan dan distribusi informasi untuk memastikan guru-gurunya pun  mampu mengoperasikan si smart board, kadang penggunaannya pun tidak maksimal, tidak semua guru akan mendapatkan pengalaman mengajar maupun siswa mendapatkan pengalaman belajar. Kecuali sekolah yang sanggup menyediakan di setiap ruang kelasnya, maka akan lain ceritanya. Di beberapa sekolah dengan sumber siswa dari orang tua yang cukup secara ekonomi, strategi BYOD bisa menjadi solusi terbaik untuk membangun sistem belajar kolaborasi, tidak melulu terpusat hanya pada guru saja. Device pun beragam variasinya, beragam pula harganya, jadi penggunaan device di era ini bukanlah lagi menjadi eksklusif atau sekolah kaya atau siswa kaya, melainkan sudah jamannya.  Mengaku miskin tapi tetap pakai smartphone untuk chatting atau bermain sosial media terus menerusNah mending untuk belajar kan.

Selamat Belajar!

Serba Serbi (Dagelan) Sidang MK – Terkait Pendidikan

Kali ini saya mau mengangkat tema seputar sidang MK. Politik sedikit deh, tapi pasti bukan mau “politicking” 😁.

Mengapa saya kaitkan dengan menyebut pendidikan? Karena saya  merasa bahwa ini masih berhubungan dengan pendidikan di negara ini, setidaknya pendidikan politik pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Bicara panjang pendek tentang meningkatkan pendidikan melalui berbagai seminar semisal berjudul “transformasi pendidikan menuju  era Industry 4.0”, meributkan penempatan siswa baru, mendiskusikan kurikulum yang tepat, dan banyak lainnya. Namun dalam 5 hari ini kita disuguhkan suasana ruang sidang penuh “dagelan” dan keanehan (kalau tak enak disebut sebagai kebodohan) oleh para pemangku jabatan, para saksi (konon ahli), penasehat hukum, sekaligus media. Judulnya keren sidang sengketa pilpres namun isinya begitulah.

Belum lagi penasehat hukum yang sensasional bercerita saat menuju gedung MK melewati kawat berduri, demi apa? Entah. Lalu salah satu tim BPN yang selalu mengomentari jalannya sidang melalui cuitan akun twitternya dan selalu tendensius. Ini orang konon S3. Ada pula orang yang pernah sesumbar di media bahwa dirinya tidak akan memilih Jokowi sebagai Presiden namun pada sidang sengketa ini menjadi ketua tim hukum paslon 1.

Yang seperti inikah yang ingin dipertontonkan kepada khalayak, kepada dunia, kepada generasi muda? Di manakah nilai pendidikannya?

Ingat 5 tahun yang lalu sewaktu MK masih dipimpin oleh Hamdan Zoelva? Ada saksi ibu-ibu dari paslon Prabowo-Hatta, Novella, yang “nge-gas” sewaktu ditanya para hakim tapi ujungnya ya tidak kompeten, yang penting lucu dan mencairkan suasana. Dagelan juga kan.

Dan hal yang sama diulang lagi 5 tahun kemudian? Apakah ini akan menjadi momen 5 tahunan dan pendidikan politik bagi generasi muda bangsa ini bahwa sekali capres abadi tetap abadi, atau apa?

Salah satu keuntungan menjadi guru adalah mendapat hari libur minggu-minggu ini. Jadi bisa menonton siaran langsung sidang MK, sidang sengketa pilpres 2019. Tentulah tidak menonton terus menerus, tidak ada juga yang sanggup menonton siaran “dagelan” tanpa henti. Dari lucu sampai bisa mual.

Dari beberapa cuplikan yang tertangkap oleh saya antara lain:

1. Saksi IT dari paslon 02, Agus Maksum, tidak dapat membuktikan 17,5 juta DPT fiktif di dalam sidang, “…kalau begitu, saya minta maaf, saya tidak dapat membuktikan…”. Lha? Dagelan 1.

2. Saksi dari paslon 02, Idham Amiruddin, hadir untuk memberikan kesaksian terkait penemuam DPT invalid. Dalam rangka tanya jawab, sedikit memanas antara termohon KPU dan para hakim, tiba-tiba meringis dan minta ijin ke toilet. Dagelan 2.

3. Masih saksi yang sama, mengaku tinggal di desa / kampung, dicecar hakim  bahwa DPT yang diketahui hanya dari kampung yang bersangkutan kan, mengapa bawa-bawa se Indonesia? Nah sebagai pengacara paslon 02, Bambang Widjoyanto membela Idham dan mengatakan sebagai orang kampung tetap bisa melihat dunia luar, jangan meremehkan orang kampung. Dan jrengggg Hakim Arief Hidayat langsung membuka ancaman agar Bambang stop bicara kalau tidak silahkan keluar ruang sidang. Pak Bambang gak nyambung. Dagelan 3.

4. Pada saat Teuku Nasrullah, salah satu tim hukum paslon 2 yang pernah terkena kasus pelecehan seksual (dagelan 4) ingin bertanya kepada saksi Hermansyah, saksi tentang kelemahan dalam sistem Situng KPU, hakim Arief berseloroh melarang Hermansyah menengok ke Nasrullah melainkan tetap pandangan ke hakim dan layar besar, sambil berucap “Pak Nasrullah kelihatan lebih besar dan lebih cakep daripada aslinya….”. Dagelan 5.

5. Sidang hari Rabu berlangsung sampai hari kamis subuh jam 5 pagi. Entahlah, menurut saya bersidang melewati tengah malam sampai subuh apakah efektif? Dagelan 6.

5. Saat awal pihak kuasa hukum paslon 2 mengajukan ke MK tanggal 24 Mei 2019 lalu dilakukan menjelang batas waktu yaitu tengah malam. Mengapa musti menunggu tengah malam? Di saat orang-orang pun sudah lelah dan jam kerja pun sudah lama lewat? Dagelan 7.

6. Saksi paslon 02, Beti Kristiana, memberikan kesaksian tentang jalan tempuh tak beraspal dari Teras ke Juwangi selama 3 jam, padahal kenyataannya jarak 50 km tersebut ditempuh hanya cukup 1 jam 15 menit dengan kondisi semua beraspal. Lalu saksi Beti pun bisa menjawab “saya tidak bisa menjawab” sewaktu ditanya oleh hakim, padalah saksi sudah di bawah sumpah untuk memberikan keterangan terkait statusnya sebagai saksi di persidangan ini. Dagelan 8.

7. Menanggapi saksi Beti di atas, salah satu tim BPN, Dahnil Anzar, mengeluarkan pernyataan melalui akun twitter nya bahwa pihak KPU terlihat ragu menanggapi kesaksian Ibu Juwangi, yang menempuh medan berat dan jalan kaki selama 3 jam hanya untuk memastikan suara paslon 02 tidak dicurangi dan memastikan demokrasi yang jujur dan adil sebagai bentuk militansi. Hello Dahnil, Juwangi itu nama daerah, ibunya bernama Beti. Dagelan 9.

Dan, tetap masih banyak dagelan-dagelan lainnya. Namun sudahlah cukup dituliskan segini saja. Toh ini catatan pribadi 😁. Merasa kasihan dengan anak-anak muda yang bersemangat belajar banyak hal, melihat kejadian sidang ini mendapati kok orang-orang yang “katanya pintar” cuma begini saja. Kok para saksi yang seharusnya berperan sebagai saksi, ujung-ujungnya terlihat dari jejak digital merupakan tim pemenangan (penggembira) salah satu paslon? Masih banyaklah kok kok yang lain.

Mengakhiri tulisan ini, apakah sidang ini benar-benar serius sebuah sidang MK? Saya menjadi sepakat dengan pendapat bahwa dengan kekalahan di sidang ini, pihak 02 bisa menunjukan (pura-pura) berbesar hati menerima putusan hukum. Daripada mengaku kalah setelah hasil resmi pemilu, kan lebih bergengsi jika kalah demi hukum, “kami taat hukum” jargon yang ingin dibawa. Seperti kata SBY lalu yang mengapresiasi keputusan Prabowo untuk ke MK, mungkin maksudnya daripada hanya perayaan kemenangan dan sujud syukur beberapa kali di Kertanegara. Ke MK akan menyisakan sejarah bahwa Prabowo adalah orang yang taat hukum dan menjunjung konstitusi. Dagelan 10 (eh sudah-sudah, kok hitung dagelan lagi 😛).

Catatan:

Jumlah dagelan mungkin akan ditambah, mengingat tulisan ini hanya berdasarkan beberapa kejadian di sidang ke 2-4. Hari ini sidang ke-5, dan belum melihat TV jalannya sidang lagi 😁

Tambahan: (3 hari kemudian)

Sidang sudah berakhir sampai sidang ke-5. Hasil keputusan masih tunggu beberapa waktu lagi. Dan setelah sidang ada foto berikut ini. Saya senang lihat fotonya, seperti sekelompok peserta retreat yang saling bersaudara, duduk santai selonjoran di lantai. Ataupun seperti para peserta training google educator yang penuh inspirasi dan ingin maju. Saya rasa semua senang ya. 🤗🤗

Setelah senang lihat foto, langsung berpikir, bisa toh foto dengan pose seperti ini. Lalu MENGAPA HARUS SIDANG? Mengapa harus ada saksi-saksi “dagelan” di dalam sidang? Mengapa harus ada emosi- emosi yang ditunjukkan? Mengapa jadi semakin menunjukkan sebuah hiburan / tontonan yang tidak mndidik sama sekali? Berapa biaya untuk penyelenggaraan sidang ini? Akhirnya benarlah bahwa semua itu seperti panggung sandiwara dan sandiwara ini berjenis dagelan.

 

Ricuh Pendidikan Di PPDB

Kali ini saya ingin berpendapat soal sistem ppdb zonasi. Sudah sejak  2017 sistem ini diberlakukan, begitu menurut berita dari kompas.com. Banyak tujuan positif dari sistem ini (menurut saya). Namun seperti tahun 2018 lalu, tahun inipun, ppdb zonasi masih ricuh. Banyak yang kurang suka. Zonasi memberlakukan penerimaan siswa berasal dari zona yang sama, dan sisanya berasal dari siswa pilihan atau orang tua pindah lokasi rumah/kerja. Besarnya persentase tersebut konon disesuaikan dengan daerah masing-masing. Bayangkan jika sistem zonasi ini dikejar oleh para orang tua demi anaknya bersekolah di sekolah favorit / unggulan maka bisnis properti makin semarak dan maju, perekonomian meningkat karena semakin banyak terjadi transaksi jual beli rumah agar dekat lokasi / satu zona. “Senin harga naik” akan kalah dengan “Juli harga naik” 😋

Kebetulan saya memang tidak pernah mengalami sistem ini mengingat anak sendiri selalu bersekolah di sekolah swasta dekat rumah. Jadi tidak bisa bercerita berdasarkan pengalaman. Pengalaman terbaru justru datang dari sbmptn melalui utbk. Tapi beda dengan ppdb, jadi akan dibahas nanti saja.

Kembali ke ppdb, mengapa orang-orang tidak suka sampai ada yang menyebut banyak mudharatnya?
Siswa kategori pandai tidak bisa memilih sekolah favorit di luar zonasinya.
Siswa kategori kurang pandai bisa masuk sekolah favorit karena dalam zonasinya.

Lalu apa masalahnya?

Ya bagi saya tidak ada masalah, hanya gambarannya mengapa dipermasalahkan adalah, siswa kategori pandai tidak masuk sekolah favorit nanti kurang kesempatan bersaing untuk prestasi akademik, akibatnya ikut osn dengan tanpa saingan dan ilmunya mundur. Sekolah favorit terbiasa dengan siswa – siswa kategori pandai, pembelajaran biasanya super lancar, guru mengajar dengan memancing siswa saja sisanya siswanya pintar sendiri karena mencari sendiri sebanyak-banyaknya.

Sementara sekolah favorit berisi siswa biasa cenderung kurang pandai, kok buang- buang energi guru ya, lama untuk mengerti pelajaran, capek dong guru musti buat “personalized learning”. Sekolah tak bisa kirim peserta osn banyak lagi, prestasi sekolah dianggap menurun, ujungnya peringkat sekolah turun deh karena nilai UN nanti juga ikut turun. Yaaa gimana dong?

Lalu mungkin guru-guru sedikit ketar ketir karena kemungkinan akan terkena imbas mutasi. Pemerataan siswa, otomatis diikuti dengan pemerataan guru, dan dilanjutkan dengan pemerataan sarana dan prasarana sekolah. Ya sebenarnya itulah yang benar, jika pendidikan Indonesia ingin dibuat merata.

Lelah sih mendapati jargon-jargon pemerataan pendidikan, dimulai dengan hasil UN bukan syarat kelulusan, tetapi untuk melihat pemerataan. Sudah berapa tahun dari disebutkan bukan syarat kelulusan tetapi selalu diakhiri tiap tahun ajaran dengan pemeringkatan sekolah-sekolah berdasarkan nilai UN. Nah bagaimana tidak membuat sekolah masih berlomba meraih peringkat lebih baik jika makin banyak siswa pintar, nilai rataan meningkat dan sekolahnya dipandang sebagai sekolah terbaik. Semua juga ingin. Belum lagi semakin banyak individu siswa hebat dengan nilai mata pelajaran ujian 100, sekolah mendapat bonus, hayo, siapa yang tidak mengejar mendapatkan siswa bibit unggul.

Nah, hal-hal seperti itulah yang membuat sistem zonasi sepertinya tidak disukai. Padahal sama rata, sama rasa ya .
Para orang tua yang mengeluhkan anaknya tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah favorit di luar zonasinya. Mematikan masa depan, katanya. Yah, padahal ya tidak begitu juga bapak/ibu, masa depan bukan hanya ditentukan dari sekolah favorit saja.

DPR komisi X pun akan turun tangan memanggil mendiknas Bapak Muhajir untuk mempertanyakan dan mempertegas persoalan ini, mengikuti sebegitu maraknya pemberitaan mengenai ppdb zonasi. Pak Mendiknas juga bagaimana gitu ya, masak meminta guru iklas jika dapat rotasi. Menurut saya bukan soal keiklasanlah di sini, menjadi seorang guru pns berarti harus siap dengan semua konsekuensi aturan pemerintah. Ya perintahkanlah, surat tugas. Kalau hanya diminta iklas sih agak susah ya 😁.

Seperti lingkaran setan. Orang tua resah jika anaknya hanya bersekolah di sekolah biasa-biasa saja dan mendapati nanti pembelajaran di sekolah tidak maksimal, kebanyakan “free time”, merasa potensi masa depannya dirampas oleh peraturan ini, padahal ya tidak begitu juga bapak/ibu, masa depan bukan hanya ditentukan dari sekolah favorit saja. Belum lagi walaupun sama-sama sekolah negeri, ada sistem yang saling berbeda di dalamnya akibat beberapa faktor. Misalnya soal seragam. Sayang memang sekarang seragam sekolah jauh dari kata ringkas, dengan rok panjang putih misalnya, lebih cepat kotor sementara siswi harus banyak aktif di kegiatan sekolahnya.

Lain lagi dari sisi Guru dan Sekolah. Guru-guru yang terbiasa menghadapi siswa unggulan akan merasa lebih capek baik fisik dan mental untuk menghadapi siswa non unggulan. Sebaliknya guru-guru yang motivasinya datang – absen – masuk kelas – pulang, akan kerepotan menghadapi siswa unggulan yang bisa meminta lebih untuk maju dan berkembang akibat kemampuan guru kurang terasah. Sekolah unggulan / favorit merasa akan turun peringkatnya akibat pengurangan rata-rata nilai akademis dari pertambahan jumlah siswa yang biasa-biasa saja. Sebaliknya sekolah non unggulan / non favorit bergembira atas bergabungnya siswa unggulan.

Banyak ya PR pemerintah. 😀

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake