Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama

Artikel Pilihan Kompasiana

Kilas balik ke tahun 2000 an, sekolah – sekolah internasional di Indonesia mulai menjamur, menandakan geliat pendidikan melalui sekolah semakin berkembang untuk menggunakan sistem kurikulum dari luar negeri dan juga sistem operasional sekolah yang berbeda dengan sekolah nasional pada umumnya.

Hampir di tiap pelosok (Jakarta, karena tempat tinggal saya di kota ini) terdapat sekolah yang memberi label dirinya sebagai sekolah internasional. Apakah sekolah – sekolah tersebut adalah benar sekolah internasional? Benar, dilihat dari kurikulumnya yang dipakai, dari luar negeri. Guru-gurunya beberapa dikontrak dari luar negeri. Namun kebanyakan siswa-siswanya adalah lokal. Segelintir sekolah saja yang banyak dengan siswa anak-anak expat.

Banyak orang tua bangga dengan dapat menyekolahkan anaknya di sekolah model jenis begini, mungkin menganggap lebih kerenlah minimal dari kebanyakan siswa sekolah nasional. “Over heard” sampai kemarinpun sekelompok orang tua berkumpul di kedai kopi dan salah satu topik pembicaraannya adalah betapa anak-anak mereka lebih terasah kemampuannya di sekolah dengan kurikulum dari luar negeri 😊.

Sejalan dengan semakin banyaknya kata “International” dipakai, mungkin membuat petinggi di bidang pendidikan gerah. Bertahun-tahun kemudian, kata tersebut kembali dicabut. Status sekolah internasional hanya diperuntukkan bagi anak-anak korps diplomatik asing atau sekolah untuk satu kewarganegaraan tertentu. Bahkan sebagai hasil akhir, sekolah-sekolah yang dulunya menyandang nama (status) internasional pun harus menggantinya semisal dengan “intercultural”, “independent”, “global”, atau dipadu dengan kata “Jakarta” dan lain sebagainya.

Dilengkapi dengan aturan baru, siapapun siswa yang bersekolah di sekolah “ex international” dan seorang warga negara Indonesia maka dia wajib mengambil ujian nasional yang “high stake test” di kelas 12 asalkan telah lulus ujian di kelas 9. Yang wajib diambil di kelas 9 asalkan telah lulus ujian di kelas 6. Kalau tidak diambil di kelas 6, maka harus mengurus penyetaraan atau paket A  supaya dapat ikut ujian di kelas 9 atau paket B supaya dapat ikut di kelas 12. Jadi kesimpulannya, boleh disimpulkan sendirilah 😊 , dan sepertinya untuk alasan kemudahan, ambilah semua jenjang ujian nasional, terlebih semenjak tahun 2015, bukan lagi sebagai penentu kelulusan.

Di bagian ini saja ceritanya sudah berbeda dengan ujian standar dari kurikulum Cambridge contohnya. Siswa tidak wajib mengambil ujian “checkpoint” sebelum ujian IGCSE, tidak wajib lulus IGCSE untuk ujian AS/A level.

Lalu kemana perginya sekolah-sekolah ex nama internasional tadi? Selain secara nama juga berganti, sekolah-sekolah itupun membentuk suatu komunitas baru di bawah payung Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). SPK merupakan satuan pendidikan yang mengolaborasikan antara kurikulum internasional dengan kurikulum nasional. Sekolah SPK berada di bawah naungan langsung kemendikbud namun tetap tunduk kepada dinas pendidikan daerah di mana sekolah SPK itu berada. Nah di bagian ini saya masih bingung, di satu sisi di bawah kewenangan langsung kemendikbud namun basa basi tetap dipertahankan kepada dinas setempat. Yang konon istilahnya, menghormatilah di mana SPK tersebut berada.

Itukah sebabnya jadi seperti yang terjadi sehari-hari sekarang ini? Misal Dinas Pendidikan melalui pengawas sekolah, datang ke suatu SPK demi mengawasi apakah jalannya sesuai aturan atau tidak. (Nah, aturannya kan boleh mengembangkan kurikulum sendiri atau adaptasi dari luar negeri dengan tetap menyertakan mata pelajaran wajib Pkn, Bahasa Indonesia dan Agama). Pengawasan ketat seperti sosialisasi ujian nasional (baca: simulasi), pemeriksaan RPP utk mata pelajaran wajib BI, PKn dan Agama. Mungkin masih ada agenda lain, entah.

Sehingga di pihak SPK pun, tetap mengupayakan ujian nasional yang akan menghasilkan nilai-nilai ujian fantastis untuk mempertahankan peringkat, dengan cara tetap belajar materi UNBK di slot jam pelajaran sekolah atau di luar jam pelajaran sekolah (sehingga siswa pulang makin sore), mengikuti rangkaian ujian uji coba (trial UNBK) yang jumlahnya berkali-kali, ujian praktek yang tidak pernah ada prosesnya langsung praktek.

Kira-kira begini, kurikulum inti adalah kurikulum dari luar negeri, dengan tetap menjalankan tiga yang wajib tadi. Mata pelajaran yang di-UNBK-kan diajari di jenjang terakhir suatu level (seperti di kelas 6 saja, 9 saja, 12 saja), atau dilakukan di luar jam sekolah yang notabene sudah 7-8 jam sehari. Alhasil, sekolah yang mulai jam 7:45 misalnya, menjadi mulai jam 7:15, yang berakhir 15:10 menjadi 16:00. Semua demi menambah kapasitas otak si anak dengan materi UN. Atau bahkan yang lebih dasyat adalah membagi dua mata pelajaran yang sama akarnya (sebut saja mata pelajaran mathematics dan matematika) sebagai dua mata pelajaran berbeda (baik materi maupun guru), beda pula biology dan biologi, beda pula physics dan fisika, economics dan ekonomi, pokoknya satu kata bahasa Inggris, satu kata bahasa Indonesia hehe…. Guru terpenuhi tugasnya, siswa ya begitulah….. Pokoknya jejali saja deh kepalanya dengan semua pelajaran, “mosok gitu aja ndak bisa sih” hehe…..

Jika SPK di bawah kemendikbud, apa perlu ini semua yang (disarankan) dari dinas pendidikan? Apakah budaya “ewuh pakewuh” menjadi faktor terbesarnya? Pernah terpikirkah kalau yang paling korban adalah siswanya? Anak-anak? Peserta didik? Apakah tanpa mengikuti ini sebuah sekolah (SPK) menjadi bermasalah? Saya tidak tahu. Tapi saya rasa tidak. 

Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi 😁), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari “kasta” mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk “mengakali” saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang. Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya “tidak mau belajar”, pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata “jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.

Jadi….. rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional ”xyz” kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan “Project based” kah?  Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak “apakah” yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK? 

Harapan kita bersama, kedepannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat. Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.

Demikianlah….

"Featured Image" adalah foto kegiatan siswa di kelas pada pelajaran UN matematika. Melalui manfaat LMS, siswa belajar sendiri setelah diberikan pengenalan dan penjelasan akan suatu topik. Belajar sendiri yang dimaksud bisa berupa mengerjakan paket soal-soal ataupun membaca kesimpulan catatan atau video pembelajaran. Dan yang pasti, siswa boleh bertanya kapan saja di saat kesulitan.

Menuju Pendidikan 4.0

Artikel Pilihan di Kompasiana

Edu 4.0 – menurut opini saya.

Pertanyaan untuk rekan-rekan pendidik, sejujurnya, apakah yang ada di benak Bapak/Ibu mengenai pemahaman edu 4.0?

Sudahkah Bapak/Ibu Guru dijejali berbagai seminar tentang edu 4.0? Sudahkah dianjurkan (baca: dipaksa) memakai bermacam-macam alat bantu dengan teknologi dalam mengajar para siswa supaya berkesan sekolah sedang menuju edu 4.0? Sudahkah diajak (baca: dengan terpaksa) mengganti kurikulum yang (katanya) lebih bagus, bukan “teaching for the test”? (Padahal semua kurikulum ya sama saja sebenarnya, tergantung sejauh mana sekolah dan seluruh orang yang terlibat di dalamnya mampu mengadaptasinya).

Untuk membuat kita bisa introspeksi diri, mari kita lihat satu persatu rangkuman bagian-bagian edu dari 1.0 sampai 4.0.

Dimulainya Edu 1.0 dengan ditandai adanya bangunan-bangunan sekolah. Murid datang ke sekolah, duduk rapi dalam aturan tempat duduk dan pengajaran hanya satu arah, dari guru ke murid. Guru adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan di sekolah tersebut, dan tentu saja si guru didukung oleh buku-buku pelajaran, catatan-catatan, “handouts”, juga video-video yang mendukung sumber belajar tadi. Lingkupnya hanya terjadi di sekolah saja. (…..uuhhmm tunggu, masih adakah Bapak/Ibu guru yang hanya memiliki nuansa sekolah yang seperti ini? semoga tidak ya, karena kita sekarang sudah di tahun 2019, terlalu jauh jika masih di sini 🙂 ).

Lalu mari sekarang kita lihat Edu 2.0. Di era ini sudah mulai berkembang adanya berbagai metode pengajaran, tidak hanya dari guru ke murid, tetapi sudah terjadi antar murid saling belajar dan berbagi (Metode Jigsaw umpamanya). Hampir seluruh pembelajaran terjadi di dalam kelas dan sekolah, tetapi sudah dimulai dengan pembelajaran secara online. Sama seperti edu 1.0, di edu 2.0 guru- guru masih dipandang sebagai tenaga profesional, dan semakin memiliki lisensi profesional pendidik maka makin sah dan komplit sebagai pengajar siswa di sekolah. Waahh, bersertifikat pendidik secara profesional nih, berarti boleh dong kita makin rajin mengumpulkan berkas dan melaporkan kembali per tahun walaupun berulang dan dipersulit untuk kasus mutasi guru (pengalaman pribadi dan akhirnya tak melanjutkan urusan berkas apalagi tunjangan / baca: “bodo amat” – Red). tetapi yang penting tetap bersertifikat (sekaligus terima tunjangan 😉 ). Jadi Bapak/Ibu masih di era edu 2.0? Jrengg.. 😉

Berikutnya, Edu 3.0, dimulainya era pembelajaran secara kontekstual. Belajar hal-hal nyata yang bebas dan siap didapat dari berbagai sumber. Belajar antar guru, antar siswa, tak menutup peluang guru belajar dari siswa. Pengetahuan siswa bisa bertumbuh dari lingkungan sosial budaya mereka, dan melalui guru/pendidik memperluas apa yang para siswa itu ketahui sebagai dasarnya. Bukan mencekoki siswa dengan sendok “pengetahuan” tapi mendampingi dan memfasilitasi pelajaran dari proses konstruksi yang sudah ada sebagai dasar siswa tersebut.

Pelajaran ditingkatkan dengan penggunaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari. Pemakaian platform LMS sudah melekat dalam proses belajar siswa. Integrasi penggunaan teknologi untuk menunjang proses belajar mengajar sudah menjadi menu sehari-hari bukan lagi kemewahan.

Sampai di sini, mari kita evaluasi diri sendiri dulu. Jika masih aktif terlibat dalam status sebagai guru di sekolah, ada di manakah kita? Sudah di Edu 3.0? Masih di edu 2.0? Semoga bukan di edu 1.0 🙂 .

Bagi beberapa orang, menuju edu 3.0 ini masih cukup keteteran. Belum mencoba memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu belajar. Masih “lecture style” dalam menyampaikan pelajaran. Masih merasa diri sebagai pusat informasi. Namun sebaliknya, ada juga yang terlalu percaya diri mengungkapkan bahwa sekarang ya artinya sudah berada di edu 4.0. Kan sudah buat ujian online? Artinya sudah super canggih dong. Pokoknya ujian tidak pakai kertas kan? Sayangnya, edu 4.0 tidak sesempit itu.

Semua ingin masuk era edu 4.0, karena sudah pasti yang paling mendukung Industri 4.0. Yakin? Benar? Tidak tersinggung kalau siswanya bilang “saya tak butuh belajar ini karena saya bisa cari sumbernya sendiri.” Atau “saya mau dites bagian ini tapi saya belum siap sekarang, minggu depan saja ya.” Siswa tidak butuh semua dipelajari dalam satu hari 8 jam pelajaran, 7 period, 5 blok, apapun penjadwalan sekolahnya. Bukan semua dijejali di satu kepala siswa, yang setelah dites melalui “standard based test” juga bisa langsung lupa.

Karena edu 4.0 sebagai pendidikan masa depan (yang dalam beberapa tempat, kenyataan masa depan ini sudah terjadi) yang akan benar-benar berubah dari sistem yang kita kenal saat ini.

Ekstrimnya, siswa bisa memilih sendiri apa yang ingin dipelajarinya, bahkan seperti “mendisain” sendiri kurikulum yang ingin dipakainya. Dan memilih mentornya sendiri. Luar biasa.

Jadi masih adakah sekolah? Sekolah sebagai lembaga mungkin masih ada, sekolah sebagai bangunan? Menurut saya sekolah sebagai bangunan seperti sekarang ini sih kemungkinan sudah tidak ada lagi, yang ada semacam “co-work space” untuk pilihan pelajaran yang ingin dipelajari sekelompok siswa saja, atau bahkan hanya membutuhkan ruang pertemuan online. Lalu bagaimana memperoleh ijasah atau sertifikat sebagai tanda telah menyelesaikan suatu jenjang pelajaran? Jika saat ini tiba, semua ujianpun akan dapat dilakukan secara online, sehingga, sertifikatpun akan didapatkan secara online pula.

Mungkin ada yang berpikir, eh sekarang juga sudah dong? Buktinya banyak bimbel online keren-keren. Lha iya, bimbel ada tapi sekolah masih saja dengan “cram” semua pelajaran dan tes bertubi-tubi. Lalu, eh sekarang juga ada “homeschooling”? Nah mungkin ini lebih mendekati era edu 4.0. Jadi jika sekarang sekolah masih mendominasi pendidikan, suatu ketika di masa depan dengan edu 4.0 ini, model seperti “homeschooling” akan lebih dominan, dan namanyapun saya rasa sudah berubah menjadi “learning space” (contohnya).

Walau sayapun masih meragukan “homeschooling” yang berbentuk bangunan seperti sekolah normal di Jakarta telah benar-benar menjalankan fungsinya, karena saya ingat di tahun 2013 lalu, salah satu mantan siswa saya memutuskan untuk meneruskan pendidikan SMA nya melalui homeschooling di suatu tempat di Jakarta Selatan. Namun yang terjadi, anak ini berangkat ke rumah sekolah itu tiap hari dan belajar pelajaran yang sama seperti di sekolah pada umumnya dengan jadwal pelajaran yang sama padatnya bahkan mewajibkan siswa mengambil pelajaran matematika yang sebenarnya merupakan mata pelajaran pilihan di kurikulum tersebut.  Jadi sedikit ragu juga menyamakan kenyataan homeschooling yang seperti itu dengan sekolah masa depan dari edu 4.0. Kita lihat saja nanti.

Lalu kemudian pikiran-pikiran saya membayangkan, di masa depan (yang mungkin sudah dimulai sekarang ini) terdengarlah percakapan antar siswa:

EDU 3.5: (versi sendiri – Red. Karena butuh proses dong sebelum 4.0 🙂 )

“Eh, belajar Geografi yuk, kita buat rute perjalanan keliling dunia kita dengan Google Tool Builder”. “Yuk, ketemuan di LS (Learning Space) kedai kopi “Kenangan Terindah” ya, kamu hubungi Ms. XXX untuk ikutan ajarin kita. pokoknya kita patungan biaya pelajaran 1 minggu. Sip” Sementara itu di kedai baso “Taman” berkumpul siswa-siswa yang sedang belajar Matematika untuk mengambil ujian online dari Cambridge di bulan November bersama guru Mr. YYY.

EDU 4.0:

“Saya ingin belajar dan mencari tahu mengapa mobil membutuhkan bahan bakar untuk bergerak. Jadi saya pikir saya harus belajar fisika, mekanik dan kinematik. Tapi saya juga perlu belajar berhitungnya, jadi rasanya butuh matematika”.

“Saya ingin menciptakan alat bantu membersihkan rumah saya sendiri. Jadi saya perlu belajar matematika, coding, robotik dan tentu saja fisika.”

“Saya ingin membuat aplikasi alat pembayaran di beberapa bisnis orang tua saya suatu hari nanti. Maka saya butuh belajar matematika, bahasa pemrograman, elektronika, strategi ekonomi pemasaran.”

*****

Sebagai Guru / Pendidik, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk masa depan itu? Banyak caranya. Tidak ada salahnya memulai dengan berani berubah. Mencoba beragam teknologi penunjang perubahan tadi termasuk tidak reaktif melihat siswa memegang telepon genggam di sekolah. Tidak juga langsung menuduh dan berkesimpulan siswa yang tidak menampilkan akademik baik sebagai pemalas saja. Belajar menempatkan diri di masa siswa kita sekarang, bukan meminta mereka belajar seperti jaman kita dahulu. 

“If we teach today’s students as we taught yesterday’s, we rob them of tomorrow.” ― John Dewey

Ibu Dan Anak Laki-lakinya

Artikel Utama di Kompasiana

Di usia 29 tahun saya melahirkan seorang bayi laki-laki super menggemaskan dengan panjang 52 cm dan berat 4.05 kg secara normal (heboh banget menjelang persalinannya hehe).

Beberapa saat kemudian, salah satu siswi saya, anak tunggal, kelas 3 SMP (sekarang menjadi pianis cukup handal) mengucapkan “ma’am, nanti harus ada anak satu lagi ya, kalau bisa perempuan aja, karena nanti ma’am tua gak ada yang urusin, anak laki kan udah gede tinggalin mamanya, punya pacar aja mamanya ya ditinggal…”. Untung belum sempat dijitak anaknya 😊.

Tahun berganti tahun, lucu menggemaskan berganti menjadi jengkel, berganti menjadi sangat protektif, berganti lagi, beberapa kali, ups and downs, sampai sekarang usianya menjelang 18 tahun.

Cerita-cerita selama 17 tahun, jika diulang kembali, ya tidak akan selesai dalam satu judul. Jadi biarlah menjadi kenangan di benak mamanya saja 😊.

Cerita langsung saja ke seputar pertemanan anak laki-laki ini dengan teman wanitanya, pacar lah begitu. Mamanya senang dong anaknya sudah besar, bisa mengayomi pacarnya. Tetapi sekaligus jreeennngg, ketakutan anaknya nanti menjadi jauh. Oh nooo, inikah yang ditakutkan semua ibu, semua mama terhadap anak laki-lakinya? Apalagi ini anak tunggal, tidaaakkkk….. 😱

Jujur, kadang timbul perasaan cemburu, saat si anak memilih pergi bersama pacar dan mamanya ditinggalkan seorang diri (kayak lagu aja). Auto nasehat, berbondong kata-kata keluar dari mulut ini tentang pergaulan yang benar, jangan terjebak kesalahan konyol, bla bla bla, sampai si anak “mama kenapa sih?” Huhuhu, mama cemburu, nak. Lalu berbunga-bunga lagi waktu dia lanjut “besok ya ma, waktunya pergi sama mama…” hahaha, sering lho terjadi seperti itu.

Mama butuh eksistensi dari si anak laki-laki ini. Halah… wong anaknya eksis banget kok, mama cari pembenaran. Biasalah mama….haha.

Para ibu musti sadar betul, sifat dan karakter anak laki-lakinya. Ada anak yang sangat dekat dengan ibunya sampai remaja dewasa dan tidak malu-malu menunjukkan kedekatan itu melalui foto-foto misalnya. 

Namun ada juga anak yang tidak suka, bukan berarti tidak sayang, hanya dia tidak suka menonjolkan kedekatan dengan orang tua nya lalu dipamerkan di media melalui foto-foto. Jangan sakit hati bu, kalau kita tahu sifatnya, ya begitulah dia.

Anak laki-lakiku seperti nomer 2 . Haha, jadi alhasil, daripada menunggu dia yang memamerkan foto, sayalah tukang pamernya. Senang sekali bisa memamerkan beberapa foto dengannya apalagi dalam pose sedang dipeluk. Rasanya gak mau dilepas dan berharap begini terus dong.

Salah satu masa dari pacaran anak-anak ini yang paling membuat saya tertawa bahagia adalah saat mereka saling bantu belajar. Anakku biasanya berbagi dengan menjelaskan topik matematika atau ilmu IPA lainnya, sementara kolaborasinya adalah dapat catatan, sesuatu yang berhubungan dengan kerajinan menulis. Kalau sedang bertukar pelajaran, ada terdengar “aduuuhh kamu gimana sih, masak gini aja gak bisa, itu tuh pakai rumus…….” hahaha terngiang kembali, jadi senyum lagi. Begitulah nak, belajar saling mengasihi dan membantu.

Kuatirkah para ibu dengan gaya pacaran anak muda? Iya, pasti. Sama. Saya rasa bagi kita para ibu normal, ada sedikit rasa kuatir terhadap kemampuan mereka menjaga diri. Boleh diulang diingatkan kepada anak laki-laki kita untuk menjaga hubungan dengan baik. Tanggung jawab anak laki lebih besar karena memiliki dua tanggung jawab, pada dirinya dan pacarnya. Kekuatan iman menjadi dasar anak-anak melakukan tanggung jawabnya ini. Bersyukur mereka cukup rajin  mengikuti ibadah. Sebagai mama, saya terus mendoakan yang terbaik.

Selepas SMA, mereka akan berjauhan karena beda kampus dan jarak. Akankah langgeng? Bukan kita, ibunya, yang menentukan. Harapan terbaik selalu disematkan kepada anak-anak, tetapi masa depan masih cukup panjang. Apapun ujung dari semua ini, merekalah yang menentukan. Sebijaksana inikah saya? Tidak, tapi saya ingin seperti itu dan belajar sehari demi sehari. Dan saya tersadar, anak laki-lakiku sudah menjelang dewasa.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake