Belajar Dari Rumah – Bagian 1

Artikel Pilihan Kompasiana

Tak ada seorang anak sekolahpun di dunia ini yang tidak mengalami proses belajar mengajar dari rumah selama pandemi Covid 19.

Tulisan ini didasari atas pengalaman pribadi, pengamatan lingkungan sekitar, curhat rekan-rekan orang tua dan siswa-siswa dari berbagai sekolah, social media, maupun media online. Saya sangat yakin, dari survey yang katanya 3 juta guru dan hanya 2,5 % yang berkualitas itu, adalah banyak sekali rekan-rekan di sekitar saya. Namun sebagai refleksi diri, mungkin tulisan ini bisa membantu pola pikir rekan-rekan sekalian baik yang sudah melakukan serupa atau berbeda, untuk saling melengkapi. Karena kita guru adalah yang benar-benar terlibat dengan siswa, yang sebarisan dengan siswa, bukan hanya berbicara di forum sebagai pelatih guru atau bukan sebagai pengamat pendidikan yang cenderung bercakap pada sebuah usulan dan kritik.

Covid 19 memaksa setiap orang melakukan pengaturan jarak secara fisik. Pertemuan berkelompok yang mungkin paling besar adalah pertemuan di sekolah. Ya, anak-anak sekolah yang dalam satu kelas bisa terdiri dari 15 – 40 siswa. Waktu istirahat yang makan di kantin dan sebagainya. Itulah dari sejak awal pandemi ini ada di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya, kegiatan nomer 1 yang dihentikan adalah kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dimulai dari keputusan pemerintah daerah setempat, maka berlakulah pembelajaran dari rumah.

Pada saat ini akan terjadi, saya ingat medio Maret 2020, beberapa rekan guru dan orang tua memulai dengan kebingungan, beberapa siswa memulai dengan kegembiraan.

Mengapa guru bingung? Karena sebagian terbiasa dengan pola mengajar sangat tradisional. Bahwa pembelajaran hanya terjadi apabila ada tatap muka. Bahwa belajar harus fokus tidak boleh ada distraksi dari perangkat digital semacam “laptop” atau “telepon genggam”. Bahwa belajar harus runut sesuai RPP atau program tahunannya, dan setiap habis belajar siswa wajib menerima evaluasi.

Mengapa orang tua bingung? Karena sebagian orang tua berpikir dan berpendapat bahwa menyekolahkan anak-anaknya adalah sebagian kecil dari membagi tugas rutin pengontrolan anaknya. Beberapa orang tua mungkin harus jujur juga bahwa dengan sekolah 5 – 8 jam di luar rumah maka orang tua merasa ada sedikit “kebebasan” menjalankan tugasnya yang lain. Dengan kondisi anak-anaknya sekarang harus di rumah? Tentu tidak terbayang. Belum lagi orang tua yang punya motivasi perang ranking bagi anak-anaknya, wah bisa gagal nih cita-cita ranking 1-3.

Mengapa siswa gembira? Karena berpikir secara kebiasaan bahwa belajar itu adalah kegiatan di sekolah. Di rumah adalah beristirahat dan bermain. 

Dan dimulailah masa-masa yang disebut sebagai “Home based Learning”, “Distance Learning”, “Remote Learning” dengan sebuah paradigma baru.

Banyak sekolah yang menerapkan belajar dari rumah ini sebagai memberikan tugas-tugas. Semoga tidak hanya tugas namun disertai dengan penjelasan. Namun bagaimana metodanya? Nah ini menarik karena metoda yang diyakini sebagai yang termudah dan tercepat adalah melalui video pertemuan. Dengan platform yang sangat gencar dipromosikan oleh agen-agen perubahan produk tersebut, maka cara mengundang siswa melalui video menjadi paling laris. Terjadinya pembelajaran pada saat video tadi dan para guru akan berharap siswa fokus mendengarkan dan memperlihatkan wajah melalui video. Jadi pola pikirnya sesederhana memindahkan kelas tradisional ke dalam layar komputer.

Lalu bolehkah para siswa, anak-anak itu merasa sungkan hadir di video meeting memperlihatkan ruang belajar pribadinya, kamar pribadinya? Apakah guru hanya berkata, tidak boleh malu, kalian punya kewajiban untuk belajar dan kami absen. Pernahkah melihat acara “Tonight Show” saat Desta menceritakan betapa anaknya tanpa video menjawab pertanyaan dengan lancar namun begitu di depan kamera, mendadak terbata-bata? Ataukah guru hanya berpatokan pada GNM (anak artis) atau MSJ (selebgram cilik), yang di depan kamera selalu cepat sekali beraksi dan pandai dengan memainkan mimiknya.

Apakah guru juga berpikir jika anak yang sudah besar, maka hal di depan kamera adalah lebih lumrah? Ingat saja, belum tentu, apapun ada kondisi anomali.

Apakah dengan pertemuan melalui video maka pembelajaran sudah lengkap? Dan cenderung menyalahkan siswa jika masih tidak mengerti, pokoknya benar-benar merasa seperti suasana di dalam kelas yang mana semua anak wajib punya pandangam satu arah ke papan tulis? Semoga minimal yang masih begini. Mulailah dengan menikmati berbagai metode mengajar. Teknik individual kadang lebih bermakna bagi siswa yang membutuhkan. Fleksibelkah guru-guru? Tetap dengan PR dan tugas yang harus dikumpulkan setiap hari? Setiap dua tiga hari sekali tergantung jam pelajaran? 

Ingatlah, PR sebagai pekerjaan rumah, dan anak-anak ini setiap hari berada di rumah, jadi bolehlah kita pertimbangkan untuk memberikan berdasarkan jumlah, durasi maupun tingkat kerumitan.

Orang tua harus dilibatkan dong? Setuju. Orang tua sebaiknya duduk di sebelah anaknya saat pemetikan nilai. Sekaligus tanda tangan pakta integritas bagi anaknya. Lho? Iya biar anak sadar harus jujur dan tidak berusaha nyontek atau mencari jawabannya melalui chatting dengan teman atau pencarian di internet. Kalau orang tuanya tidak sempat, orang tua tidak perhatian terhadap anak. Kalau orang tua sudah tidak ada, kan ada wali siswa. Kalau orang tua mendadak ada kesulitan lain, tidak bisa pokoknya harus ditemani. Tiba-tiba saya bersyukur sekali bahwa anak saya telah lulus SMA tahun lalu.

Ya sudah, jangan merepotkan orang tua, siswa memakai kamera luar yang terhubung dengan video pertemuan, jadi guru dapat memantau situasi dan lokasi sekitar siswa yang sedang dipetik nilainya. Orang tua senang tidak direpotkan, guru senang bisa melihat kejujuran siswa, siswa senang bisa dilihat oleh gurunya. Eh, tunggu dulu, ini untuk kelompok siswa dan orang tua yang memiliki kemudahan fasilitas ya, memiliki kamera sekunder atau kamera telepon genggam yang bagus. Kalau tidak memiliki itu? Uhm, ya, kita akan pikirkan cara lain *o-ow*

Cara lain? Aha, cara membuka menutup soal dari platform e-learning. Nah ini efektif. Pertanyaan dibuka selama beberapa menit sesuai bobot soal, lalu siswa menjawab di selembar kertas (mata pelajaran dengan ada hitungan, misalkan), lalu upload ke e-learning, soal ditutup, pindah ke soal lain. Iya, menarik banget ini cara. Hanya faktor tidak memberikan kepercayaan sama sekali (zero trust) kepada siswa. Selama ini menghadapi siswa tukang berbohong maka harus mendapat perlakuan seperti ini. Lho? hmm.

Mari instrospeksi diri, di level manakah para guru berada? 

Para siswa, apakah kalian menikmati suasana belajar dari rumah, alias tidak pernah memperdulikan panggilan email atau pesan dari gurunya? Pura-pura saja tidak tahu nanti tinggal beri alasan “saya kok tidak terima email ya?”. Lalu mengambek dengan bilang “saya tidak suka cara ini, saya mau dijelaskan bertemu muka. Ini bukan gaya saya.” Atau justru kalian ada di tipe yang menyambut suka cita bahwa inilah waktunya saya tampil karena biasa di kelas sering tertinggal, saya mau menunjukkan bahwa sekarang saya mampu berusaha. Atau kalian yang memiliki akademis sangat baik, dengan kebiasaan kalian yang selalu tepat waktu, menjadi tergopoh-gopoh dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan dan dikumpulkan secara online dengan batas waktu tertentu. 9 mata pelajaran artinya 9 tugas. 13 mata pelajaran artinya 13 tugas. Lalu kalian mengambil kesimpulan “aaaahhh kami ingin kembali ke sekolah, cara ini membuat gila dengan tugas tidak ada putus-putusnya.” Sabar ya, Nak 🙂

Secara umum kondisi belajar dari rumah ini memiliki kendala yang berbeda-beda. Bahwasanya seorang Menteri Pendidikan kemaren diberitakan terkejut menemukan kondisi di pedesaan yang tidak berlistrik dan memiliki akses internet. Bahkan ada guru yang di saat menjaga jarak ini, malah harus berkeliling antar kampung untuk memastikan siswanya belajar sesuai yang dia instruksikan. Kalau melihat secara global, iya, sulit sekali.

Satu hal yang saya pahami adalah bahwa di Indonesia khususnya, Menteri Pendidikan sudah memberikan surat edaran mengenai penyesuaian pengajaran, tidak wajib menyelesaikan satu silabus kurikulum, lalu mengajar dengan cara sesuai yang dipahami guru dan siswa, tidak perlu melakukan ujian tradisional seperti di dalam kelas. Saya pikir hal-hal tersebut sudah menggambarkan diberikannya sebuah “kebebasan” untuk berkreasi dalam porsi kita sebagai guru. Namun, masih banyak pula guru-guru mengeluh yang diwakilkan oleh para pengamat pendidikan, pejabat-pejabat organisasi guru, mengatakan bahwa guru kebingungan di lapangan musti melakukan apa, lalu didesaklah Kemendikbud untuk membuat kurikulum darurat karena guru cenderung berusaha menyelesaikan silabusnya.

Nah, di sinilah letak miskomunikasi dan mispersepsi. Sudah diberikan kebebasan tetapi masih minta diatur supaya guru tidak salah langkah. Terus terang lelah membaca berita seputar itu. Tapi sayapun tidak pada kapasitas mampu memberikan solusi.

Belum lagi, sekolah yang mengadaptasi kurikulum international, sama seperti UNBK, semua ujian akhir bersifat “high stake exam” sudah dibatalkan periode Mei-Juni ini. Maka dengan batal, marilah guru bereksplorasi sesuai dengan potensi guru dan siswa kita. Namun masih banyak pula guru dan sekolah dengan pola pikir tetap ujian secara tradisional. Boleh buat proyek, boleh buat portofolio. Ah, namun bagi guru tetap lebih mudah adalah ujian online. Kita butuh bukti (“evidence”), ya benar. Namun tidak pernah pernyataan bukti itu adalah nilai ujian bersifat “high stake”. Benar-benar perubahan pola pikir, bukan?

Sehabis mengajar, kalau tidak diujiankan, maka siswa tidak mau belajar. Jadi orang tua pun menuntut ada tes. Iya benar. Namun tes atau evaluasi tadi bisa dipakai yang bersifat formatif saja. Tapi bagaimana kalau ada yang berpendapat tetap harus sumatif? Silahkan, karena sumatif bukan melulu “high stake” tadi kan? Jika dalam kondisi normal seorang guru ada yang memberikan evaluasi setiap minggu, maka dalam kondisi tidak normal ini, mungkin jangan mempertahankan kebiasaan tersebut. Walau kebiasaan baik tetapi kondisi “new normal” ini membuat kita ditantang untuk melakukan semua jenis penyesuaian.

Banyak cara lama yang musti disesuaikan atau bahkan diubah. Jangan ragu untuk berubah. Jangan takut untuk merubah. Siapa tahu ini menjadi keadaan normal hingga beberapa tahun ke depan? Jangan kuatir dikatakan terlalu fleksibel oleh rekan-rekan guru lain atau dianggap merusak “tatanan” peraturan baku guru yang tidak pernah tertulis tetapi tersirat, karena yang paling penting di saat ini adalah anak-anak yang mau belajar. Belajar yang tentu beragam kemauan, ada yang 100% mau, ada yang 30% mau bahkan masih ada yang 0% mau. Tetapi anggaplah mereka semua mau. Sepakat kan? 🙂 

Di kenormalan baru ini, tantangan bagi saya adalah, membuat siswa lebih tertarik belajar, bukan lebih tertarik dapat nilai saja. Ini sulit, budaya belajar di sekolah adalah demi penentuan peringkat sudah mendarah daging. Legitimasi pintar dan tidak pintar sudah menempel di benak semua orang dan lembaga pendidikan. Juara di SD, masuk SMP mudah, masuk SMA mudah, masuk universitas mudah, masuk kerja awal mudah. Sukses? Berpenghasilan tinggi dari nilai akademisnya? Itu yang bukan pegangan. Tetapi budaya kita sudah mengakar, semua diawali dari peringkat akademis. 

Jadi, marilah kita belajar. Guru belajar, Siswa belajar, Orang tua belajar. Dalam porsi masing-masing. Selamat Belajar!

 

 

 

Add Math – Past Papers Compilation

During home based learning, one of the final assignments to G10 students was creating a compilation questions from Additional Mathematics syllabus, IGCSE curriculum. This happened after official statement from CIE about exam cancellation for May-June 2020 batch.

Students chose 5 different questions, typed on one document and answered 5 other questions from their friends. They collaborated from the same document. They must use math equation if needed for typing questions, but they may answer on paper manually and attach in the docs as image.

I compiled and converted those files into one pdf file and share to those students (from all over the world 🙂 ) who need extra past paper questions or text book recap questions for IGCSE exam preparation, one day, later.

So, please check the compilation attached below. Still open any inputs for misunderstanding questions or wrong answers. Also, some questions still have empty answers. If you want to answer please submit through comment.

Enjoy!

#remotelearning

#distancelearning

#homebasedlearning

 

Add Math Past Papers Compilation by G10 Students

Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama

Artikel Pilihan Kompasiana

Kilas balik ke tahun 2000 an, sekolah – sekolah internasional di Indonesia mulai menjamur, menandakan geliat pendidikan melalui sekolah semakin berkembang untuk menggunakan sistem kurikulum dari luar negeri dan juga sistem operasional sekolah yang berbeda dengan sekolah nasional pada umumnya.

Hampir di tiap pelosok (Jakarta, karena tempat tinggal saya di kota ini) terdapat sekolah yang memberi label dirinya sebagai sekolah internasional. Apakah sekolah – sekolah tersebut adalah benar sekolah internasional? Benar, dilihat dari kurikulumnya yang dipakai, dari luar negeri. Guru-gurunya beberapa dikontrak dari luar negeri. Namun kebanyakan siswa-siswanya adalah lokal. Segelintir sekolah saja yang banyak dengan siswa anak-anak expat.

Banyak orang tua bangga dengan dapat menyekolahkan anaknya di sekolah model jenis begini, mungkin menganggap lebih kerenlah minimal dari kebanyakan siswa sekolah nasional. “Over heard” sampai kemarinpun sekelompok orang tua berkumpul di kedai kopi dan salah satu topik pembicaraannya adalah betapa anak-anak mereka lebih terasah kemampuannya di sekolah dengan kurikulum dari luar negeri 😊.

Sejalan dengan semakin banyaknya kata “International” dipakai, mungkin membuat petinggi di bidang pendidikan gerah. Bertahun-tahun kemudian, kata tersebut kembali dicabut. Status sekolah internasional hanya diperuntukkan bagi anak-anak korps diplomatik asing atau sekolah untuk satu kewarganegaraan tertentu. Bahkan sebagai hasil akhir, sekolah-sekolah yang dulunya menyandang nama (status) internasional pun harus menggantinya semisal dengan “intercultural”, “independent”, “global”, atau dipadu dengan kata “Jakarta” dan lain sebagainya.

Dilengkapi dengan aturan baru, siapapun siswa yang bersekolah di sekolah “ex international” dan seorang warga negara Indonesia maka dia wajib mengambil ujian nasional yang “high stake test” di kelas 12 asalkan telah lulus ujian di kelas 9. Yang wajib diambil di kelas 9 asalkan telah lulus ujian di kelas 6. Kalau tidak diambil di kelas 6, maka harus mengurus penyetaraan atau paket A  supaya dapat ikut ujian di kelas 9 atau paket B supaya dapat ikut di kelas 12. Jadi kesimpulannya, boleh disimpulkan sendirilah 😊 , dan sepertinya untuk alasan kemudahan, ambilah semua jenjang ujian nasional, terlebih semenjak tahun 2015, bukan lagi sebagai penentu kelulusan.

Di bagian ini saja ceritanya sudah berbeda dengan ujian standar dari kurikulum Cambridge contohnya. Siswa tidak wajib mengambil ujian “checkpoint” sebelum ujian IGCSE, tidak wajib lulus IGCSE untuk ujian AS/A level.

Lalu kemana perginya sekolah-sekolah ex nama internasional tadi? Selain secara nama juga berganti, sekolah-sekolah itupun membentuk suatu komunitas baru di bawah payung Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). SPK merupakan satuan pendidikan yang mengolaborasikan antara kurikulum internasional dengan kurikulum nasional. Sekolah SPK berada di bawah naungan langsung kemendikbud namun tetap tunduk kepada dinas pendidikan daerah di mana sekolah SPK itu berada. Nah di bagian ini saya masih bingung, di satu sisi di bawah kewenangan langsung kemendikbud namun basa basi tetap dipertahankan kepada dinas setempat. Yang konon istilahnya, menghormatilah di mana SPK tersebut berada.

Itukah sebabnya jadi seperti yang terjadi sehari-hari sekarang ini? Misal Dinas Pendidikan melalui pengawas sekolah, datang ke suatu SPK demi mengawasi apakah jalannya sesuai aturan atau tidak. (Nah, aturannya kan boleh mengembangkan kurikulum sendiri atau adaptasi dari luar negeri dengan tetap menyertakan mata pelajaran wajib Pkn, Bahasa Indonesia dan Agama). Pengawasan ketat seperti sosialisasi ujian nasional (baca: simulasi), pemeriksaan RPP utk mata pelajaran wajib BI, PKn dan Agama. Mungkin masih ada agenda lain, entah.

Sehingga di pihak SPK pun, tetap mengupayakan ujian nasional yang akan menghasilkan nilai-nilai ujian fantastis untuk mempertahankan peringkat, dengan cara tetap belajar materi UNBK di slot jam pelajaran sekolah atau di luar jam pelajaran sekolah (sehingga siswa pulang makin sore), mengikuti rangkaian ujian uji coba (trial UNBK) yang jumlahnya berkali-kali, ujian praktek yang tidak pernah ada prosesnya langsung praktek.

Kira-kira begini, kurikulum inti adalah kurikulum dari luar negeri, dengan tetap menjalankan tiga yang wajib tadi. Mata pelajaran yang di-UNBK-kan diajari di jenjang terakhir suatu level (seperti di kelas 6 saja, 9 saja, 12 saja), atau dilakukan di luar jam sekolah yang notabene sudah 7-8 jam sehari. Alhasil, sekolah yang mulai jam 7:45 misalnya, menjadi mulai jam 7:15, yang berakhir 15:10 menjadi 16:00. Semua demi menambah kapasitas otak si anak dengan materi UN. Atau bahkan yang lebih dasyat adalah membagi dua mata pelajaran yang sama akarnya (sebut saja mata pelajaran mathematics dan matematika) sebagai dua mata pelajaran berbeda (baik materi maupun guru), beda pula biology dan biologi, beda pula physics dan fisika, economics dan ekonomi, pokoknya satu kata bahasa Inggris, satu kata bahasa Indonesia hehe…. Guru terpenuhi tugasnya, siswa ya begitulah….. Pokoknya jejali saja deh kepalanya dengan semua pelajaran, “mosok gitu aja ndak bisa sih” hehe…..

Jika SPK di bawah kemendikbud, apa perlu ini semua yang (disarankan) dari dinas pendidikan? Apakah budaya “ewuh pakewuh” menjadi faktor terbesarnya? Pernah terpikirkah kalau yang paling korban adalah siswanya? Anak-anak? Peserta didik? Apakah tanpa mengikuti ini sebuah sekolah (SPK) menjadi bermasalah? Saya tidak tahu. Tapi saya rasa tidak. 

Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi 😁), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari “kasta” mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk “mengakali” saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang. Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya “tidak mau belajar”, pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata “jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.

Jadi….. rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional ”xyz” kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan “Project based” kah?  Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak “apakah” yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK? 

Harapan kita bersama, kedepannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat. Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.

Demikianlah….

"Featured Image" adalah foto kegiatan siswa di kelas pada pelajaran UN matematika. Melalui manfaat LMS, siswa belajar sendiri setelah diberikan pengenalan dan penjelasan akan suatu topik. Belajar sendiri yang dimaksud bisa berupa mengerjakan paket soal-soal ataupun membaca kesimpulan catatan atau video pembelajaran. Dan yang pasti, siswa boleh bertanya kapan saja di saat kesulitan.
snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake