Sumpah Pemuda

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

~ Kongres Pemuda Indonesia – 28 Oktober 1928 ~

 

Mendengar kumandang Edo Kondologit di acara 100 tahun Kebangkitan Nasional (siaran ulangan versi TransTV) pagi ini, membuat saya merinding, bagus sekali lagu Indonesia Raya tanpa instrumen, hanya suara dia di tengah-tengah stadion GBK. Walau acara ulang dan tidak ada hubungan dengan peringatan hari ini, tetapi mendengar lagu itu menimbulkan niat mengeja ulang kata per kata lagu kebangsaan kita, dan bagi saya, kata-kata yang baik dan indah, tidak berlebihan, membangkitkan semangat,  iramanya pun indah 🙂

Sejarah mengatakan lagu Indonesia Raya itu memang diperdengarkan pertama kali saat kongres pemuda II di Jakarta oleh penciptanya sendiri WR Supratman. Jadi tepat hari ini, tepat saat lagu itu terdengar kembali di telinga, rasanya harusnya bangga menjadi bagian dari suatu bangsa. Itu pemersatunya lho. Tapi…..? wah bisa panjang deh….

Makna Sumpah Pemuda bagi tiap orang mungkin beda. Tuangkan maknanya menurut kalian masing-masing. Semakin banyak makna bagi kalian, semakin kaya keragaman bangsa kita. Ambil yang positif, jauhkan yang negatif. Belajar dari pengalaman yang lain, perkaya dengan variasi yang sesuai masing-masing. Berharap pada kondisi ideal, tidak selalu salah kok 🙂

Sering orang mengungkit makna mencintai bangsa dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa asing mencerminkan tidak nasionalis. Makna persatuan bangsa dengan melakukan aktivitas kebersamaan. Benarkah demikian?

Pemakaian bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, banyak dijumpai di sekolah-sekolah yang mengadaptasi kurikulum internasional. Ada kemungkinan hal ini dianggap tidak cinta bahasa Indonesia, tidak nasionalis. Tapi tentu saja tidak boleh semena-mena mengatakan demikian. Pandai berbahasa asing tentu saja tidak ada hubungan dengan sikap nasionalis seseorang.  Lalu ada lagi yang menyebutkan anak-anak tersebut menjadi tidak kenal budaya bangsa kan, tidak bisa berbahasa Indonesia, bagaimana bisa bilang menanamkan sikap nasionalis kalau bahasa saja dia tidak bisa ucapkan? Miris juga.

Sering saya melihat kasus seperti berikut ini. Anak yang pandai, sekolah dan lulus di dalam negri, dibandingkan dengan anak yang memiliki kesempatan besar dalam hidupnya bersekolah di luar negri karena keluarganya mampu. Begitu memasuki dunia pekerjaan, anak kedua yang mendapatkan penghargaan lebih untuk kategori memiliki kecakapan bahasa internasional yang lebih baik ditunjang dengan sertifikat asing. Bayangkan jika hal itu yang sering dihadapi, ya tidak menutup peluanglah, orang akan makin berpikir, jika ada kesempatan keluar, berbahasa asing lebih lancar, masa depan lebih terjamin, mengapa tidak?

Jadi seperti mana duluan, telur atau ayam? Siapa yang mulai bersikap demikian? Terlebih bahkan ada kasus anak asli bersekolah di dalam negri, memiliki nilai test TOEFL lebih tinggi dari anak yang berkesempatan sekolah di luar negri saja, ujungnya diperlakukan sebagai lulusan lokal, tidak dapat tunjangan sekolah luar negri… bayangkan 🙂

Sebagai guru matematika, sampai detik ini, saya masih mempercayai bahwa anak belajar matematika bukanlah dibedakan berdasarkan bahasa penyampaian, bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Matematika sebagai ilmu dasar, dipelajari untuk dipakai menunjang beberapa ilmu lain juga. Mathematical Notation are meant to be universal, encompassing any natural language. Why worry too much, when a child have to be tested in a certain natural language. Entahlah…..

Lanjut ke makna persatuan Indonesia, apakah bersatu identik dengan kebersamaan? “bersama-sama ya, tidak boleh ada yang lebih, tidak boleh ada yang kurang, kalau saya lebih-lebih sedikit, ya nanti kita bagi-bagi deh sama-sama” begitukah? “wah, pintar sekali kamu, jangan begitulah, kita sama-sama dong, kan kita teman. Kalau dia kurang, kita tutupi lah, dia kan teman kita, harus sama-sama” begitukah?

Akhirnya demi bersama, bersama-sama melawan arus di jalanan. Kalau di tegur jawabnya standar “belagu ya kamu, situ kan orang kaya, kita kan naik motor….” Ini ada faktor pengalaman, motor-motor yang melawan arus dan cepat-cepatan mungkin takut ketahuan polisi, mereka yang menyerempet saya selaku pejalan kaki, mereka yang “marah” “jalan yang benar dong”. Prof. Iwan Pranoto dalam account twitternya beberapa kali menulis, bangsa Indonesia perlu pemimpin sinting…. Nah bagi saya, pengendara motor tadi bukan anekdot kesintingan seorang pemimpin, tetapi sinting sungguhan.

Kembali ke Sumpah Pemuda, semalam, Matthew anak saya, menyiapkan topi karena katanya “aku ada upacara, siap siap ah”. Simpel, tapi buat saya berpikir, ini contoh paling kecil dari siswa yang sadar ingin ikut upacara peringatan salah satu sejarah bangsa ini. Lalu apa lagi ya, hmm, mungkin buang sampah pada tempatnya, mencintai lingkungan berarti mencintai tanah air kita. Gunakan bahasa yang baik diperkaya dengan penggunaan bahasa asing. Tidak mentertawakan kasus vicky dengan vickinisasi yang terus menerus jadi candaan, padahal mungkin diri sendiri masih dalam level kemampuan bicara yang kurang lebih mirip.

Tulisan ini saya sudahi di sini, menyisakan tanda tanya besar kembali bagi saya, sambil membaca berita Gerakan Mahasiswa Jawa Barat yang menolak Sumpah Pemuda karena tidak sesuai dengan ideologi agama tertentu.

God Bless Indonesia

 

 

Using Google SketchUp “3D for everyone”

Students in Primary and Junior high level, usually get introduced to 3D basic shapes through topics of finding the surface area and its volume. I’m not sure how deep they get into the idea and concept about it. Sometimes it can be so  hard for the children to see things in 3D or perspective.

Basic 3D shapes are prisms, cylinder, pyramid, cone and sphere. There are many prisms based on its bases. Rectangular prism means a prism with rectangle form base. Hexagonal prism means a prism with hexagon form base. Prisms and pyramid have flat faces, while cylinder, cone and sphere have curved surfaces.

They also focus on learning of rectangular prism or sometimes called cuboid (“balok” in Indonesian), there are some terms used to represent part of it.

1. Face Diagonal: is a diagonal on one of the faces. Since there are 6 faces in rectangular prism then the total is 12 face diagonals.

2. Body Diagonal / Space Diagonal: is a diagonal passing through the interior of the polyhedron, so there are 4 body / space diagonals.

3. Plane Diagonal: When two opposite face diagonals connected, a plane diagonal is formed. There are 6 plane diagonals.

Beside 3D basic shapes, there are composite 3D, such as capsules, combination between cube and pyramid, pendulum.

There are many 3D modeling softwares, and teachers can choose one that is more suitable for their students. For me, to help my students develop their three dimensional visualization ability, I found that Google SketchUp is a very useful software tools. A little bit of SketchUp, SketchUp is a 3D modelling program for a broad range of applications such as architectural, civil, mechanical, film as well as video game design — and available in free as well as ‘professional’ versions.

The concept of using Google SketchUp, is the basic knowledge of mathematics when students need to study how they find the volume. You just find the base area and measure how height it will be. That is volume. SketchUp tells you after drawing 2D shape as its base, “pull up” as height as you want then booommm 3D shape has been made. Easy to connect with Primary or Junior High level, isn’t it?

When I said about diagonals in a cube above, pictures below are the result when it’s drawn in Google SketchUp:

From left to right: cube 1, 2 and 3 describe plane diagonals (plane diagonal is in 2D shape), cube 4 describes face diagonals and cube 5 describes body / space diagonals.

diagonals' types

Below are some basic steps how to use Google SketchUp to create 3D shapes (my student Chika helped me with the tutorial)

How to make prism (4 sides)?

1.  First make a rectangle using this button tool rectangle

on layer rectangle

2. Press  pushpull tool  button then select the rectangle and pull the rectangle into a prism 4 sides.

rectangular prism

How to make pyramid (rectangle base)?

1.  First make a rectangle.

on layer rectangle

2.  Press line tool  button then make one line on the first diagonal of the rectangle.

face diagonal

3. Then take another line on the other diagonal.

two face diagonals

4. Then use button move tool , put on the intersection point of two face diagonals, move up, to make it into pyramid.

pyramid

How to make a cone?

1. Make a circle using this button circle tool

on layer circle

2. Then use line tool  button and put it on the center of the circle and drag it up, vertically on blue axis.

height of cone

3. Still use line tool button to draw a line from the top to one side of the circumference.

slant height

4. Still use line tool button and draw the third line connects the two end points, it becomes a right angle triangle.

before follow me

5. Press  tools  and press follow me lists in tools, then drag the triangle around the circle.

cone being followed

After creating 3D basic shapes, students explored and practiced themselves (under my supervision) to create many shapes and objects. Capsules and torus are combined as follow and students might end up with a very interesting cartoon character 🙂

Grisel's cartoon

This kind of active learning is one of the example of metacognition (The idea of controlling our thinking processes and becoming more conscious of our learning).  When higher-order thinking skills are what teachers are striving for in the classroom, then, teachers should make sure each student know their basic building blocks, and know how to combine it into more complex knowledge.

First, students installed the software. Second, they recognised and learned the tools. And finally, they created 3D shapes (started from the basic one – from simple composite 3D up to complex 3D object).

As their teacher, I also created one 3D object and use it to challenge them. This based on the metacognitive principles to include three essential skills:

  1. Planning: refers to the appropriate selection of strategies and the correct allocation of resources that affect task performance.
  2. Monitoring: refers to one’s awareness of comprehension and task performance.
  3. Evaluating: refers to appraising the final product of a task and the efficiency at which the task was performed. This can include re-evaluating strategies that were used.

Enjoy Learning! 🙂

After the lesson, then I received “A Gift” 🙂 love it…

(Seni)nya Belajar

“In teaching our pupil’s school subjects, we fail lamentably on the whole in teaching them how to think. They learn everything except the art of learning”

Membaca kutipan dari Dorothy Sayers di atas, membuat saya merasa tergelitik dan merefleksikan bahwa mungkin sekali sebagai guru lupa menekankan betapa belajar itu bukan hanya belajar sebagai bisa atau tidak, benar atau salah, tetapi lebih dalam lagi sebagai sebuah seni.

Dengan memberikan kerangka untuk kualitas bagi anak-anak pelajar itu, kita turut membantu mereka untuk mengembangkan kreatif, semangat tangguh untuk belajar dan peningkatan kinerja yang akan menjadi katalisator seumur hidupnya untuk sukses.

Tetapi pertanyaannya, apa saja yang masuk dalam kerangka kualitas tersebut? Setiap orang merasa akan memiliki kerangka sesuai pola pikir masing-masing. Mungkin tidak ada benar atau salah di sini, melainkan kombinasi ide dan situasi kondisi yang dihadapi di lingkungan kita sebagai pendidik dengan para siswa sebagai yang dididik.

Berikut ini mungkin contoh yang bisa atau pernah terjadi. Siswa mendapatkan nilai tes yang baik di mata pelajaran yang diampu seorang guru. Banggakah siswa dan guru? Jelas. Bagaimana respon guru menanggapi hasil memuaskan si siswa? “Wah nak, kamu pandai sekali ya”, atau bercanda sesama guru “siapa dulu dong gurunya”, atau “saya bangga lho dengan usaha dan kerja kerasmu”. Kualitas respon mana yang lebih baik menurut anda?

“Bangga dengan usaha dan kerja keras” menunjukkan jika si guru sangat menguasai proses belajar siswanya. Jauh lebih bangga bagi kita jika mendapati siswa yang menjadi lebih suka belajar atau lebih mau belajar dalam proses bersama gurunya. Banyak sekolah dan guru terjebak dengan keuntungan memiliki siswa sebagai sumber daya yang sudah memiliki kemampuan / bakat menonjol baik akademis maupun bukan. Bangga dengan berbagai kejuaraan yang disandang walau kadang miris juga melihat kebanggaan guru yang sebenarnya “wong anaknya sudah pintar dari sananya”. Atau guru yang sudah terlihat apriori bahkan membuat label jika anak yang bersangkutan sudah pasti nilainya kurang. “Pasti remedial”… hmm, sadar tidak ya guru dan sekolah, bagi sebagian siswa, mereka mampu memanfaatkan remedial sebagai jalan keluar. “Ulangan? Pasti gagallah, tunggu saja nanti juga remedial”. Katalisator guru seperti itu jelas-jelas beda dengan katalisator yang dimiliki sebagian siswa. Siswa dari berbagai kalangan seringkali bertanya untuk apa saya belajar pelajaran ini? Belajar topik ini? Kaitannya di masa depan saya apa?

Belajar adalah seni. Seni apa? Ya itu dia, salah satu seninya belajar adalah menghargai proses. Setiap kali di kelas waktunya belajar, itulah proses. Dalam proses belajarnya, siswa dibimbing, dibantu oleh gurunya. Tapi jangan lupakan dalam proses itu juga, siswa menunjukkan kinerjanya dan secara formatif hal tersebut dapat dites-kan. Yang sering saya amati sebagai “gap” nya adalah si guru merasa tes yang harus formal dong, guru kan dituntut professional, harus dalam format tes rapi, sekolah akan menentukan jumlah soal, soal-soal didokumentasikan dengan rapi, nanti diperiksa pengawas sekolah, nanti untuk diperiksa dinas, supaya akreditasi baik…..yaaaa panjang deh urusan pendidikan di negeri ini. Kalau saya berkomentar, memang dalam proses tadi tes tidak dapat diformalkan? Dengan rubric score yang baik, sangat bisa. Jangan-jangan si guru dan sekolah yang merasa “rugi” karena siswa lagi sedang paham-pahamnya terhadap pelajaran lalu diambil nilainya. Kalau lewat 1-2 minggu kan siswa belajar ulang, usaha dong supaya harus bisa…. (moga-moga bukan yang terakhir itu X_X).

Di samping menghargai proses, membimbing dengan contoh juga merupakan satu bentuk lain dari seni belajar. Membimbing dengan contoh saya yakini sebagai bagian dari “meta cognition” (berpikir untuk berpikir, belajar cara belajar).

Pada saat memberikan tugas kepada siswa, “memberikan contoh tugas” diyakini banyak pihak sebagai menutup peluang siswa berpikir dan berkembang atau dengan melontarkan pernyataan bahwa siswa harus kreatif dong. Itu dia, meminta siswa menjadi kreatif tetapi tidak dibimbing bagaimana mencari “kreatif” itu sendiri, tidak adil dong bagi siswanya. Kreatif kan bukan tujuan, bukan pula menunjukkan diri jadi guru yang kreatif, tetapi justru bagaimana si guru menciptakan peluang mencari cara menjangkau siswa dengan metode dan bahasa yang mereka mengerti, baru mudah-mudahan dari situlah metode kreatif akan muncul dengan sendirinya.

Percayalah, contoh yang kita berikan, tidak ada apa-apanya dibanding kemampuan mereka mengeksplor sendiri. Pancingan contoh kita membuat mereka berusaha menjangkau level kemampuan seperti itu bahkan tidak jarang bertekad mengalahkan level kemampuan itu (tergantung juga dengan kemampuan si siswa sendiri).

Contoh lain, guru tidak asing kan dengan kata kisi-kisi atau notifikasi untuk evaluasinya? Maukah guru memberikan kisi-kisi? Pasti beragam juga cara guru menjawab 🙂 “wahh muridnya nanti keenakan, mereka kan harus tahu belajar sendiri”, “sudah SMP, sudah SMA, sudah besar, bukan SD lagi, nanti keenakan”, “UN kan ada kisi-kisi, kita juga harus ada dong”, “tidak boleh sama sekolah, sekolah memiliki kebijakan tidak boleh kasih kisi-kisi”, “ah percuma, sudah capek-capek dibantu dengan kisi-kisi, belajar juga tidak, malah fotokopinya dibuang”… Atau sebaliknya justru ada sekolah yang mewajibkan buat kisi-kisi untuk formal tes nya, tetapi si guru yang sungkan memberikan lalu cukup dengan “outcomes” seperti “siswa dapat menyelesaikan soal aljabar” 😉 aljabar itu luassssss, yang mana? Berharap anak usia 12-16 tahun jadi jenius tahu aljabar semua?

Pernahkah guru mengajarkan pada siswanya bagaimana membaca kisi-kisi / notifikasi tadi? Bisa dicoba dengan mengajarkan kalimat-kalimat “outcomes” tersebut menjadi rangkaian kalimat soal dalam evaluasi yang akan dilakukan. Ajak mereka membuat soal-soal sendiri atau diawali dengan mencari kembali pada referensi buku teks atau catatan mereka soal-soal yang mencerminkan outcomes tersebut. Ajar mereka untuk melakukan prediksi, mencari alur dan koneksi dalam belajarnya akan kemungkinan soal-soal yang akan muncul dalam evaluasi nanti.

Untuk mengatasi ekspektasi yang tinggi dari anak-anak yang berkemampuan di atas rata-rata, guru juga dituntut sanggup memberikan materi lebih berarti juga perhatian lebih serta mengakomodasi sesuai dengan kebutuhan individual siswa. Jadi saat evaluasi berlangsung, siswa yang berkemampuan seperti ini juga layak mendapatkan ekstra bobot soal yang lebih mengundangnya untuk berpikir.

Jadi, belajar adalah sebuah seni yang akan terus menerus mengalir, tidak akan mati. Selamat belajar! Selamat mencoba berbagai metode / teknik pembelajaran baru / mengkombinasikannya! Semoga bermanfaat!

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake