Schooling vs Learning

Mungkin sedikit penyegaran, bisa dibaca kembali artikel ini terlebih dahulu.

Beberapa waktu lalu, saya berjumpa dengan beberapa siswa yang pernah menjadi siswa di kelas matematika saya beberapa tahun yang lalu. Wah, rasanya senang sekali, melihat mereka bertumbuh lebih dewasa.

Bincang sana, bincang sini, sampailah pada hal yang cukup menggelitik dan menarik perhatian lebih bagi saya. Beberapa dari siswa tersebut memutuskan memilih “homeschooling” dibanding belajar di bangku sekolah resmi. Wow “this is it” seperti itulah kurang lebih pemikiran saya saat itu, apa yang sering menjadi visi ke depan seperti telah berada di depan mata dan sedang dijalani.

Apa yang istimewa dari hal tersebut? Sekilas nampak biasa saja kok. “Homeschooling” telah berjalan beberapa tahun di negri ini. Disebut orang sana sini, diberitakan orang sana sini, pesohor negri seperti Kevin Aprilio sudah menjalani saat dia di SMA, jadi di mana istimewanya?

Mungkin bagi saya, istimewanya adalah, ini terjadi pada anak-anak yang pernah menjadi bagian kehidupan proses belajar mengajar saya. Ini bukan hanya menjadi “pembicaraan di sana sini lagi”. Ini telah menjadi keputusan dan dijalankan oleh anak-anak itu sendiri yang akan bertanggung jawab pada kehidupannya kelak.

Saya tanya, apa pemikiranmu menyebut dirimu menjalani “homeschooling” itu? Seorang anak menjawab “oh, iya, saya dan beberapa teman menjalani homeschooling karena kita hanya belajar fokus sehari 3 jam di sebuah tempat pembelajaran. Kita belajar di sana untuk persiapan diri menghadapi ujian standarisasi dari IGCSE Cambridge, kita ambil lima subject yang akan membantu kita untuk meneruskan ke college”.

3 jam fokus belajar? Sisanya kalian melakukan apa? Muncul di benak saya pertama kali apa yang kira-kira akan mereka katakan pada saya, “come on Ma’am Hedy, we need to have our own life, we need social life, too…..” Senyum deh saya, dan lalu muncul di benak kedua, kalian memang pintar dan telah menunjukkan kepintaran kalian melalui pengambilan keputusan yang tepat, memfokuskan diri pada sebuah pilihan yang kalian anggap paling penting untuk diri dan kehidupan kalian masing-masing.

Jangan pernah menyamakan kehidupan kalian sendiri, sekarang apalagi rencana masa depan, dengan teman atau orang lain. Jangan pula keputusan kalian dipengaruhi atau dipaksa oleh orang lain, teman ataupun guru kalian. Orang tua saja yang mungkin bisa dan berhak menuntun, membantu anak-anaknya mengambil keputusan.

Berikutnya, jika saya angkat topi dengan mereka, apakah yang memutuskan tetap belajar di sekolah adalah salah? Tentu saja tidak. Kan seperti saya katakan, itu adalah pilihan hidup, sejauh mana kita bertanggung jawab dalam menjalani pilihan tersebut, itu yang harus dipertahankan.

Jadi untuk siswa yang tetap menjalani pendidikan formalnya hingga menyelesaikan level tertentu untuk mendapatkan sertifikat kelulusan, bertahanlah, dan tetap melanjutkan proses pembelajaran kalian melalui lembaga sekolah, tetap ceria dan belajar keras serta bertanggung jawab.

______________________________________________________________________

Perenungan berikutnya, sadarkah sekolah-sekolah akan maraknya pilihan meraih pendidikan dalam bentuk yang lain bukan melulu melalui jalur formal institusi atau sekolah tertentu?

Masih layakkah sekolah disebut sebagai satu-satunya tempat memperoleh pendidikan? Akankah kembali ke akarnya bahwa pendidikan itu adalah murni hak milik semua orang dan orang yang ingin melegalkan pendidikan dasarnya dapat mengambil tes standar dari lembaga manapun saja dari seluruh dunia untuk menunjukkan dirinya mutlak dinilai setara dengan anak – anak seusia yang dinyatakan lulus jenjang SD, SMP ataupun SMA?

Pilhan beberapa anak untuk meraih sertifikat dari IGCSE Cambridge dan memfokuskan diri mereka dengan hanya belajar  3 – 6 bulan pada lima mata pelajaran tertentu untuk mengambil test standard tersebut  memang patut diberi jempol. Mereka disamping membuktikan diri telah setara dengan siswa kelas 10 dari seluruh dunia juga telah secara sah menyelesaikan suatu pendidikan dasar.

Lima? dibanding 12-15 mata pelajaran di sekolah? Atau ada yang sampai 17-18? Semoga anak-anak ini sudah cukup tahu apa yang menjadi prioritasnya untuk pendidikan lanjutannya. Atau sebaliknya, untuk membuat prioritas tersebut, mereka telah mencoba fokus pada ilmu dasarnya saja.

Tetapi kan kalau hanya 5 mata pelajaran, anak-anak tidak mendapat ilmu yang cukup. Coba dengan 12-15 pelajaran, mereka diberi peluang untuk menentukan mana yang lebih cocok bagi mereka di pendidikan tingkat lanjutannya. Masa 3 tahun dipakai untuk memahami akan memilih jurusan pendidikan yang mana.

Iya, kalau memahami, memilih lalu menentukan. Bagaimana kalau mereka ‘hanya’ dijejali begitu banyak tugas, harus bisa semua, harus dites segi akademisnya melulu untuk tahu anak ini naik tingkatan kelasnya atau tidak. Tidak bisa matematika dan IPA menjadi wah anak ini tidak cocok di suatu sekolah unggulan tertentu. Tidak bisa mencapai kkm pelajaran tertentu, remedial terus, pokoknya harus memenuhi kkm, diberi kesempatan lho, nilai rapor kurang, remedial juga, luar biasa!!

Amatlah tidak mungkin kan seseorang yang tercatat pintar dan memiliki kecakapan IQ tinggi langsung masuk ke perguruan tinggi karena usianya yang sudah cukup tetapi tidak memiliki ijasah? Maka mungkin di sini tes standar dibutuhkan sebagai bukti, anak tersebut mampu dan layak melanjutkan pendidikan formal di institusi tertentu.

Sayangnya, sampai saat ini, di Indonesia seperti masih mimpi ya menjalankan pola seperti itu. SMP harus lulus UN SD (UN atau apapun namanya nanti dan lampau, (kabar terakhir UN SD resmi dihapus, disertai ada beberapa pendapat pro dan kontra, salah satunya yang terkesan ‘pro pakai tapi’ “kalau memang begitu aturannya dan sudah diputuskan ya sudah tetapi sebaiknya ujian sekolah kita buat seperti sistem UN agar siswa belajar”  nahh lhooo X_X), SMA harus lulus UN SMP, PT harus lulus UN SMA, sehingga ya UN kembali lagi di sini jadi momok, karena untuk ikut UN harus sekolah sepanjang 3 atau 6 tahun itu. Padahal kalau mau “yang penting lulus” ikut saja bimbel kilat, dijamin lulus UN (seperti slogannya) 🙂 karena ikut sekolah bisa jadi sama juga karena pembelajaran menjadi tidak ada tapi tergantikan dengan fokus persiapan ujian, teaching for the test.

Kok begitu? Ya begitulah, kan mempersiapkan siswa lulus agar mendapatkan suatu sertifikat tertentu. Kegembiraan belajar? jauh deh, yang ada pokoknya “saya harus lulus biar masalah beres dan hidupku lebih mudah di kemudian hari”. Proses pembelajaran toh semuanya tergantikan oleh instruksi di sekolah, “schooling” tadi. Instruksi tentang jadwal test, tentang materi test, tentang cara menjawab soal. Tidak ada bedanya kan dengan bimbel? 😉 Ada ungkapan “schooling the fish”, Schooling fish are usually of the same species and the same age/size. Fish schools move with the individual members precisely spaced from each other. The schools undertake complicated manoeuvres, as though the schools have minds of their own. Jadi? apa bedanya dengan sekolah anak manusia?

Kembali kepada fokus saya tentang sekolah – sekolah di kota besar, dan memiliki siswa – siswa dengan latar belakang finansial keluarga yang baik, memiliki siswa dan orang tua yang “open-minded” kepada dunia pendidikan yang sesungguhnya, bersiap-siaplah, apa yang bisa ditawarkan sekolah kepada anak-anak era abad 21 ini? Pendidikan Karakter yang diagung-agungkan itukah? Dijejalkan oleh segudang teori berkarakter baik, tanpa contoh karakter yang lebih tepat sasaran kepada usia mereka?

Atau sekolah yang menjual fasilitas fisik yang keren tapi kurang berdaya guna. Atau sekolah yang menjejal segudang mata pelajaran dan segudang tugas silih berganti dengan asumsi mempersiapkan anak, jangan sampai terjebak ‘membuat anak kreatif dengan dilatih kreatif tadi’ atau ‘supaya gurunya yang kelihatan kreatif’. Atau sekolah yang masih memiliki pola pemikiran yang namanya siswa harus mencatat, harus susah dong, masak enak saja tinggal minta soft copy.

Atau sekolah yang memaksakan pemakaian bahasa asing tapi lupa menyiapkan sumber daya gurunya dengan benar sehingga yang terjadi nasionalis menjadi terbawa-bawa dan selalu kata nasionalis tadi menjadi senjata untuk membuat pernyataan “masak kita terjajah lagi tidak boleh pakai bahasa nasional sendiri” 😉 Pemakaian bahasa Inggris menjadi dinilai salah antara “cuma sekedar yang penting ngomong Inggris, kalau tidak pakai bahasa Inggris, dapat konsekuensi” dengan “pemakaian bahasa untuk menunjang anak-anak di era global”.  *10 alinea khusus lagi kalau bicara masalah bahasa…… ahh*

Sekolah kadang merasa jika pendidikan secara akademis (berkurikulum, apapun kurikulumnya) terbaik bagi anak adalah didapat dari sekolah, di sisi yang bersamaan pula sekolah merasa pendidikan terbaik (non akademis) selalu datang dari latar belakang anak di keluarga. 8 – 10 jam di sekolah, tetap lebih sedikit jika dihitung secara persentase matematika, dibandingkan dengan lama waktu seorang anak di luar sekolah. Jadi pendidikan di keluarga nomer satu. Seperti bola salju jika kemudian muncul pula dua hal akibat dua sisi tadi. Kalau tidak di sekolah, bagaimana siswa dapat menemukan ujung dari prestasi akademisnya? Jadi sekolah adalah paling penting, anak butuh sekolah untuk melegalkan pendidikannya. Sekolah pongah. Tapi sisi satunya lagi, anak-anak ini kan lebih lama di luar sekolah, orang tua harus paling tahu cara mendidik mereka. Jika di keluarga pendidikan yang dijalankan orang tua terhadap anak mereka benar, maka di sekolah pasti anak-anak mampu belajar dengan baik. Kalau terjadi sesuatu di sekolah, maka sekolah mengembalikan kewajiban tadi kepada orang tua dengan cara konsekuensi skorsing umpamanya, atau lebih miris lagi, anak yang tidak mampu secara akademis dikembalikan kepada orang tua untuk dicarikan dipindahkan ke tempat sekolah lain yang lebih cocok.

Sekolah yang isinya belajar akademis keren, prestasi siswanya keren, sering menjuarai berbagai lomba akademis, mudah sekali melabelkannya menjadi sekolah favorit. Belajar melulu akademis? Di bimbel juga bisa sebenarnya (Di meja saya sekarang ada lembar kerja produksi bimbel ternama, rupanya tertinggal oleh siswa, penampilannya tidak berbeda dengan lembar kerja produksi beberapa guru di sekolah, termasuk saya ^_*). Lalu apa bedanya sekolah dengan bimbel semacam ini? Sekolah sering juga mengadakan persiapan khusus untuk anak-anak dalam rangka persiapan ujian tertentu, UN contohnya. Atau malah belajar di sekolah itu identik hanya untuk persiapan tes saja? 😉 Bimbel dalam kemasan sekolah. Di Bimbel tidak ada pelajaran karakter lho, kata seseorang di akun twitternya (di sekolah sih ada dong #katanya *senyum lebar*).

Atau masihkah sekolah beruntung dengan pemikiran banyak orang tua yang merasa tanpa sekolah anak mereka akan bodoh secara akademis dan sosialnya? Ada orang tua yang ingin anak mereka pendapat pendidikan yang mampu membawa anak mereka menjadi manusia dewasa yang baik secara mental, karakter dan juga ilmu pengetahuan. Ada orang tua yang merasa ‘terganggu’ jika anaknya tidak mendapatkan pekerjaan dari sekolah yang banyak berupa tugas-tugas, PR. Kok terganggu? karena anaknya jadi banyak bermain dan orang tua yang harus memberi waktu lebih banyak kepada anaknya padahal sudah merasa bayar mahal untuk biaya sekolah. #tricky

Masihkah sekolah merasa paling berhak menyeleksi anak-anak hanya berdasarkan nilai akademis berbasis tes tertulis saja yang hanya menilai “memorizing” tapi menggembar gemborkan “multiple intelligence”?

Sadarkah sekolah bahwa hal-hal tersebut bisa menjadi pemicu anak dan orang tua mengambil kembali tanggung jawab pendidikan itu kembali kepada diri mereka masing-masing? Karena dirasa “tempat penitipan anak” dalam balutan nama keren sekolah sudah tidak dapat merawat dan mendidik anak mereka lagi?

______________________________________________________________________

Terlepas dari semua perenungan di atas, perlu juga pemikiran bagaimana menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran yang lebih ideal di era ini, lebih sesuai dengan “real life” anak-anak ini. Bagaimana sekolah tidak menjadi terjebak dengan pola pikir memberikan pelajaran-pelajaran dalam kemasan bidang studi pokok dan tidak pokok. Kurikulum benar-benar terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas dalam lingkungan sekolah.

Mata pelajaran Pkn bisa menjadi sebuah pembelajaran yang mampu memacu siswa mengenal negerinya lebih dalam, kritis bersikap atas berbagai informasi melalui media tentang negri sendiri maupun luar negri. Sikap kritis ditujukan dengan memunculkan ide dan opini, argumen positif dengan guru yang notabene sudah lebih dewasa. Melakukan trip belajar ke tempat-tempat luar sekolah, dll.

Mata pelajaran BI mengajak anak-anak menyenangi membaca, buku-buku sastra, menggali ide dan opini dalam mengungkapkan fakta atau hayalan, dalam struktur tata bahasa yang baik. Memberikan kesempatan seluas-luasnya siswa untuk menulis, memberikan bahan ajar cara menulis. Apresiasi bahasa melalui drama, puisi, pantun, apapun yang menjadi kelebihan siswa.

Mata pelajaran Matematika, memancing siswa mengungkapkan apa yang dia ketahui tentang penyelesaian suatu masalah, bukan semata-mata mencari jawaban benar atau salah saja. Sebenarnya mungkin saja lebih menarik perhatian siswa, jika dia dapat kesempatan mengungkapkan langkah seperti apa untuk menyelesaikan suatu soal, bukan hanya dituntut berhitungnya saja. Sebagai contoh, saya mendapati kertas ulangan seorang siswa yang menulis -6 > -x  diberi skor 3/10 untuk jawaban yang benarnya  x > 6 (skor 10/10), dibanding dengan yang salah semua dari awal tetap diberi skor 3/10.

Mengakhiri opini dalam artikel kali ini, saya tutup dengan artikel dari web berikut yang sangat menarik. Berikut kutipannya: It is not true that the more courses we offer students, the more they learn. Indeed, the opposite is true — the more courses we offer students, the more we lose sight of what students should be learning. {May, 1985, Adview Magazine} http://jesseshearin.com/learning-and-schooling/

Digugu dan Ditiru 2.0

Sebagai seorang pendidik yang notabene adalah orang yang berperan penting dalam pembentukan karakter siswa, guru seringkali diidentikkan dengan orang yang harus baik, ramah, supel, menjadi pendengar, menjadi penasehat, menjadi tutor, menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi segalanya bagi si siswa. Banyak guru mampu berperan super ganda seperti itu karena memang dia bertalenta banyak, tetapi banyak guru juga yang tergopoh-gopoh untuk mampu seperti itu dan banyak berkesan dipaksakan.

Karakter guru saja beragam, bertemu dengan karakter siswa juga lebih beragam, jumlah siswa jelas jauh lebih banyak. Sering sekali perbedaan karakter guru dengan siswanya menjadi boomerang bagi si guru maupun si siswa sendiri. Di sinilah mungkin dibutuhkan guru yang lebih berpengalaman dalam hal uji kesabaran, mungkin dibutuhkan untuk mengatasi karakter siswa yang beragam itu.

Hubungan guru dan siswa pun banyak sekali persepsinya. Ada yang berpendapat, guru harus gaul agar mampu mendekatkan diri dengan siswa, bisa jalan bareng siswa, bisa nonton bareng siswa. Ada juga, guru harus punya wibawa, biar dihargai dan dihormati siswa, jangan bergaul terlalu dekat dengan siswa nanti kewibawaan kita hilang. Ada juga yang di antaranya, guru harus gaul tetapi tetap menjaga kewibawaannya. Nah, tentu saja pilihan jatuh di tangan rekan guru sendiri, memilih yang seperti apa, asal tidak ada yang dipaksakan dan dibuat-buat.

Logika saya selalu memunculkan pendapat “untuk membuat pengaruh kepada siswa adalah bukan pada  tindakan spektakuler apa yang harus dilakukan dan bukan pada kata-kata mutiara yang harus dikeluarkan”. Tetapi “ketulusan, niat, tindakan dan konsisten seorang guru” mungkin lebih membuat suatu perubahan kepada siswa.

Saya, merasa sebagai pribadi yang cukup terbuka, mau mendengar dan mau melihat latar belakang siswa, mau berkomunikasi dalam dunia / era mereka sekarang, “mau belajar” seperti mereka, tetapi mungkin bukan tipe yang bisa jalan-jalan, nonton bareng atau makan bareng dengan siswa (garing ah ngajak saya :p berasa beda umur #sadarusia).

Menengok ke tren pendidikan sekarang ini, salah satunya pendidikan berbasis IT sebagai salah satu skill abad 21, pendidik dan guru pun banyak yang sudah mengembangkan dan membekali dirinya dengan kemampuan IT dan memiliki banyak jejaring sosial serta blog pribadi.

IT is not out there, it is in here. Apakah guru ngeblog menjadi suatu tanda jika dia “up-to-date”? Mengerti teknologi dengan baik dan siap untuk hadir di pendidikan abad 21? Apakah guru yang nge-blog mempengaruhi gaya mengajarnya, media dan metode pengajarannya, interaksi dengan siswanya? Beberapa pertanyaan tersebut sering muncul di benak saya.

Hubungan “guru yang ng-blog” dengan “menjadi pendidik yang baik”, harus disepakati dan dipahami dulu sebagai dua hal yang berbeda (tetapi tetap berhubungan). Guru memiliki blog / situs yang dikelola dengan professional dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan siswa pembelajar adalah tujuan mulia. Guru yang hebat, terlahir dengan jiwa pelayanan yang luar biasa, tidak perlu mengidentifikasikan dirinya melalui sebuah blog tetapi dia sudah dicari dan dijadikan panduan bagi siswanya. Guru hebat bukan lagi digugu dan ditiru (saja) oleh muridnya (karena digugu dan ditiru masih edu 2.0 🙂 ). Guru hebat, membuat anak menjadi pembelajar bukan peniru. Guru yang nge-blog terus, lupa tugasnya bahwa ia menjadi seorang guru bagi ratusan siswanya dan membiarkan siswanya berkelana sendiri memasuki situs-situs yang diperkaya sang guru tanpa didampingi proses pengajarannya dan transfer knowledgenya, maka arti seorang blogger juga tidak ada gunanya. Jadi ? bagi kita pendidik yang kebetulan memiliki sebuah blog / situs pribadi, memanfaatkan kecanggihan komunikasi dan media yang baik untuk ilmu pengetahuan dan belajar.

Berada di lingkungan siswa yang kebetulan memiliki background cukup baik dan mengetahui dunia social media jauh lebih pandai daripada guru-gurunya tentunya banyak membuat gurunya minder, apalagi terus dibarengi dengan sikap guru yang malah memblok diri dengan mengatakan media dapat merusak siswa tanpa pernah mau memasuki dunia mereka adalah tindakan keliru dari seorang pendidik atau pengelola sekolah. Siswa memiliki blog? Hampir pasti iya karena tuntutan dari mata pelajaran bahasa (Inggris maupun Indonesia). Sebatas apakah mereka mengelola blog mereka? Rata – rata yang sebatas untuk membuat essay dan tugas pelajaran bahasa Inggris. Guru memiliki blog? “ah biasa, terus saya harus bilang  wow gitu?” (mengutip bahasa gaul sekarang), rasanya mungkin itu ada di benak siswa saya saat saya memutuskan aktif di dunia blog melalui web yang saya kelola sendiri (geer nih :p).

Belajar itu proses, sering tidak terlihat di depan mata saat ini juga. Siapa dapat tentukan berhasil sekarang, setahun kemudian, lima atau dua puluh tahun kemudian? Suatu hari, saya menerima sms dari seorang siswa, memberitahukan alamat blognya. Di lain hari didatangi siswi kelas 7 dengan cerita-cerita lucunya dan alamat blognya. Rasanya hati ini senang sekali dan “lega” bahwa pemikiran saya selama ini tentang “menjadi konsisten” dan “mau belajar” (belajar menulis, belajar mengenal dunia social media mereka, belajar menggunakan software pembelajaran kreatif) adalah pengaruh yang besar untuk usia remaja mereka (semoga “kejutan-kejutan” itu tidak akan pernah berhenti, perihal mereka ikutan punya blog, itu hanya salah satunya).

“Tirani” KKM

Kriteria Ketuntasan Minimal atau KKM di dunia pendidikan Indonesia. Siapa yang tidak tahu? Atau siapa yang tahu? Atau siapa yang peduli? Cerita lama sebenarnya, yang ingin saya tinjau kembali.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa kurikulum pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara nasional seperti pada periode sebelumnya. Satuan pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik, masyarakat, dan lingkungannya.

Stop sampai di sini dulu….. “…..sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik…..” Tapi UN standar nasional kelulusan….fiuuhh membingungkan. Tapi (lagi), UN sekarang kan sudah mempertimbangkan nilai sekolah dengan persentase 60 : 40, lalu? “Nilai sekolah tolong dibaguskan dulu ya, biar bisa bantu nilai UN nya. Ini belum 60 nilainya, bapak ibu tega men-tak luluskan siswa bapak/ibu?” Sounds familiar?

Nilai sekolah tolong dibaguskan. Dibaguskan sampai mencapai target kkm. Kkm nya berapa? Tergantung sekolah masing-masing dong. Ditentukannya bagaimana? Ya itu, yang ideal berdasarkan link ini, silahkan ditinjau kembali.

Saya hanya ingin meninjau kembali permasalahan yang sudah dipersempit kepada sekolah-sekolah yang menetapkan kkm dalam operasional akademis sekolahnya. Bagaimana sebuah sekolah menetapkan kkm per bidang studinya? Apakah sudah mengikuti ketentuan yang disebutkan dalam petunjuk yang benar.

Mengapa sekolah-sekolah tertentu segitu mengejar kkm? Jawaban yang pernah saya dengar berkisar seperti berikut:
* Kkm menunjukkan kualitas sekolah yang baik. Makin tinggi kkm suatu mata pelajaran maka makin kelihatan sebagai sekolah yang kuat dan mumpuni di bidang akademis.
* Pengawas sekolah / dinas pendidikan tertentu ingin sekolah-sekolah binaannya memiliki standar kkm baik.
* Orang tua lebih senang jika kkm mata pelajaran tinggi sehingga anaknya pun kelihatan seolah- olah mendapatkan nilai yang bagus dan tinggi. Sebaliknya orang tua dapat berasumsi dengan mengatakan mutu suatu sekolah berkurang karena kkm nya rendah, “….eh tahu gak, pelajaran *beep* soalnya gampang-gampang banget, mutu sekolah itu jelek, habis kkm nya rendah….”

Kalau jawaban dan respon dan pengertian berkisar di hal-hal seperti tersebut di atas saja, ya tidak heranlah, kkm menjadi begitu “powerful”. Karena itu menjadi sebuah ‘roda berputar’, kkm yang penting tinggi, sekolah menjadi lebih ‘dipandang’, orang tua ‘puas’ karena nilai anaknya baik setingkat kkm semua.

Dinas pendidikan pun melalui sekolah-sekolah, menyatakan bahwa siswa dinyatakan naik kelas jika sudah memenuhi kriteria kkm per bidang studi, jika masih ada yang belum tercapai, ada “terms and conditions” yang diperlakukan di tiap-tiap sekolah bersangkutan. Sekolah yang “notabene baik” ingin mencapai suatu dokumentasi siswanya lulus / naik kelas setingkat atau di atas kkm. Caranya? ya banyak lah, kata mujarabnya “remedial”. Nilai rapot saja bisa diremedial.

Sekedar sharing tentang hal di atas. Keponakan saya sewaktu kenaikan kelas dari kelas 8 ke 9. Saya tanyakan “Bagaimana nih, sudah mau kelas 3 SMP, berapa nilai matematikamu?” Dia menjawab “ah, cuman 71”. Saya respon lagi “71 kok cuman, itu ya baik, kamu masih bisa ikuti pelajaran lah”. Direspon balik “ah, kata siapa? saya kan masuk kategori “probation” untuk matematika, karena belom sampe kkm 75″. Dan kembali saya respon “apaaaa???? 75??? tinggi sekali???? yakin teman-temanmu mampu mengatasi semua?” “Ah tak tahulah, sekolah sombong tinggi-tinggi amat bikin kkm”. Sekarang anak ini sudah duduk di bangku kelas 10 🙂

Beberapa waktu yang lalu, di FB seorang rekan, saya membaca statusnya yang kuatir melihat kemungkinan pengawas ujian yang sedikit lengah sehingga siswa mampu menjawab secara seragam jawaban isian yang notabene harusnya lebih susah “contekannya” dibanding soal pilihan berganda.Bukan kuatir pada lengahnya saja tetapi pada “sengaja lengah” supaya memberikan kesempatan siswa untuk mendapat nilai baik setingkat kkmnya. Karena ulangan umum tidak bisa ada ujian perbaikan?Jadi serba salah, ulangan umum ada remedial nanti dikatakan kurang punya kebanggaan ah sebagai ulangan umum. Sebaliknya jika tidak ada remedial, nanti dengan persentase final yang cukup besar, nilainya kurang, nilai akhir kurang juga dari kkm, ujungnya ya seperti remedial nilai rapor…… Susah juga…. Jadi, harus bagaimana?

Masihkah saya bisa meyakinkan diri sendiri jika sebenarnya tujuan awal, pemikiran awal dari kkm itu bisa jadi benar, disesuaikan dengan lingkungan sekolah dan masyarakat suatu daerah? Sulit sekali, mengingat yang dihadapi seringnya adalah beberapa contoh di atas? Sementara PP nya menyatakan seperti tercantum di atas sesuai satuan pendidikan bukan bersifat nasional tetapi lalu pemerintahnya sendiri secara nasional ingin mencapai target 75? 75 di Jakarta dan Jayawijaya, hampir pasti berbeda kan? (tolong jika ada yang tahu tentang standar nasional 75 ini, salah atau benar, saya ingin mendapat klarifikasi).

Jika kkm seperti idealnya ditentukan berdasarkan pengalaman belajar dan oleh guru bidang studi yang paham kondisi kelasnya, apakah semuanya harus disamaratakan dengan 70 atau 75 tadi?

Bisakah menciptakan susana belajar yang berbeda? Sudah yakinkah guru bisa melakukan dan menciptakan komponen penilaian yang beragam daripada sekedar tes tertulis? Atau setelah berbagai jenis penilaian dikembangkan, eh tapi ujung-ujungnya kan harus lapor kepada pengawas bahwa soalnya harus berjumlah sekian butir tipe PG, sekian butir isian, sekian butir essay atau apapun itu, jadi nilai siswa ya ditentukan di ujung penilaian formatifnya.

Siapkah dan sudah yakinkah bahwa guru mampu menjembatani proses harian siswa belajar di pelajaran tertentu. Bila seorang anak yang selalu gagal dalam setiap evaluasi, selalu pula si guru harus sigap membantu mengatasinya, remedial salah satu contohnya, kelas tambahan contoh berikutnya, berikan evaluasi dengan metoda lain, bukan sama seperti teman sekelas yang ikut tes tertulis saja. Contoh yang terakhir, paling sulit dibuat guru, karena harus kerja dobel, tidak sesuai rencana mengajar si guru, nanti disalahin sekolah lagi. Atau malah jalan pintas sekolah “….maaf nak, kamu tidak cocok di tempat kami, tidak mampu mengikuti pelajaran kami”.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake