Zaman Now

Sudah sejak beberapa saat lalu, pemakaian kata jaman “now” menjadi fenomenal. (Dan seperti biasa, saya agak telat 😉 ). Lalu mudah sekali kita jumpai di banyak tulisan, komentar secara lisan di medsos maupun diucapkan dalam sebuah percakapan.

Setelah itu, seperti biasa, banyak deh semua kejadian dihubungkan dengan istilah “jaman now”, seperti “kids jaman now’, “emak-emak jaman now”, “guru jaman now” dan lain-lain.

Saya mau berpendapat soal jaman now ini. Sebenarnya sih menurut saya, setiap masa, setiap generasi, setiap periode tertentu, pasti ada perbandingan antara yang lalu dengan yang sekarang. Biasa saja. (Kurang seru nih, saya tidak kekinian, jaman now itu “happening” lho, masak saya anggap biasa-biasa saja….hehe).

Membandingkan untuk mencari kelebihan, itu wajar kok. Pastilah terucap, semodel “lho kok sekarang lebih enak ya”, “dulu itu ya bersih deh sungainya”, “sekarang enak lho ada rumah lapis, eh kue lapis lezat”. Wajar kan?

Nah, yang kadang berlebihan pada saat membandingkan adalah penggunaan ungkapan “jaman now” yang kesannya mewakili dulu baik dan sekarang buruk. Bukankah kita semua akan mengalami fase perubahan dulu dan sekarang? Manusia sering lupa bahwa fase sekarangnya adalah kelanjutan dari dulunya. Dulu dia tidak mengalami lalu sekarang melihat kok ada yang mengalami dan itu harus dihindari, maka muncullah “anak jaman now kok suka clubbing, dulu mah kita main volley”. Ya kamu main volley, yang clubbing dulu juga banyak, kalau nggak, mana ada dulu Lipstick (ups, ketauan umur).

Anak remaja usia 16 tahun. “wah itu anak SD sekarang gayanya sok tua amat ya, berani lawan anak SMA, dasar anak jaman now”. Nah dulu kalian SD, merasa sudah besar belum? Lalu kalau anak SMA nya nakal, kalian sebagai anak SD tidak boleh melawan untuk kebenaran?

Ibu-ibu yang memiliki anak remaja. “Aduh Nak, kamu kok malas ya tidak mau belajar, main hape melulu. Dulu mama ini, belajar terus, kamu tuh ya anak jaman now, maunya enak saja…..” Mama, dulu mama kecil tidak ada hape soalnya, lalu sekarang mama punya hape yang diberikan secara sadar kepada anaknya (kecuali anaknya mencuri atau beli sendiri), mama suka belajar karena mama memiliki sifat itu, anak mama sekarang belajar juga(kadang baca dari hape sambil chat say hello dengan gebetan), anak mama memilih belajar yang dia sukai. Mama kesal? Iya wajar, sayapun maklum sekali. Tetapi yuk coba rasa kesal kita, kita bawa ke hal lain agar si anak remaja ini lebih menghargai waktunya.

Media gosip memberitakan artis yang diduga menjadi perusak rumah tangga orang lain. “Itu artis J, gak tahu malu ya, artis jaman now…….”. Ada yang dulu masih bayi berarti tidak dengar gosip mobil menabrak tembok rumah mewah 🙂

Bapak ibu Guru pusing melihat siswanya tidak belajar. “Aduh, anak jaman now, tidak bertanggung jawab dengan sekolah. Besok ujian, malah jalan-jalan ke mall dan di kelas tidak gigih berpikir untuk menjawab soal malah bobo”. Iya betul, ada yang begitu. Introspeksi kita apa? Hanya menyalahkan karena mereka anak jaman now, hidupnya keenakan dari lahir? Sementara kita melihat bahwa sistem pendidikan sekolah kita juga ada beberapa makin ngawur? KKM dibuat setinggi mungkin demi nama keren sekolah. KKM sekolah banyak yang 75 lho. Hebat kan. Lalu guru membuat soal ujian yang hebat sampai satu angkatan kelas harus mengulang karena terlalu banyak yang gagal? Sekolah yang efektif katakanlah 5 bulan, ada segala rupa ujian wajib bernama UTS, UAS/PAS. Ujian masih bersifat tertulis. Pelajaran tidak relevan bagi anak-anak. Banyak pelajaran harus dihapal mati. Dan jika siswa menjawab tidak sesuai kunci jawaban langsung salah pula.

“Murid jaman now, nyonteknya canggih”. Maksudnya mungkin bapak-ibu guru dulu kebetulan tidak suka mencontek dengan canggih tetapi hanya salin PR 🙂 hehe…. Bapak ibu tidak pernah mendengar cerita mencontek massal satu angkatan demi menghapal butir-butir Pancasila kan? Dulu belum lahir atau masih balita mungkin 😉

“Anak jaman now kurang tanggung jawab, terlalu dimanja dari lahir, semua-semua dipenuhi, hidup ini keras, kapan mau belajar?”. Pak, Bu, waktu lahir, bayi, anak kecil, bapak ibu tidak dimanja orang tuanya? Jika orang tua bapak ibu sanggup dengan finansialnya, bapak ibu pun bahagia dengan dipenuhi berbagai kebutuhan dan sedikit kemewahan kan? Bapak Ibu kecil dulu tahu kalau hidup bakalan keras? dulu makan kue batu? Periode per periode usia kita lah yang membawa kita lebih dewasa (semoga), lebih tahu, lebih bijak karena kita lebih dahulu mengalami berbagai persoalan dalam hidup. Kan kita lahir duluan. Dan lagi, bapak ibu guru bicara ini seperti menyalahkan orang tua, bapak ibu sudahkah jadi orang tua? Sudah sempurnakah gaya mendidik kita yang kebetulan menjadi guru ini terhadap anak-anak kita sendiri? Nanti guru-guru anak kita menyatakan hal yang sama, siapkah kita bapak ibu? Jadi tenanglah, manusia selalu memiliki masa / periode nya masing-masing 🙂

Jadi karena kita ada di periode sekarang, melihat yang terjadi sekarang, jika bukan bercanda, kurangilah membandingkan anak-anak sekarang dengan yang dulu kita alami. Beda. Dan tidak selalu relevan.

Contoh alat bantu mengajar saya jaman old dan jaman now 😉
                               

Mengapa OHP? Dulu tersedia di kelas.

Mengapa Apple TV? Tersedia Projector HDMI di kelas dan jaringan wifi.

Dua era yang berbeda bukan?

Sekolah Idaman

Definisi Idaman menurut kamus Bahasa Indonesia online adalah sesuatu yang dicita-citakan.
Jadi kalau sesuatu hal yang menjadi cita-cita kita, tentulah sah saja jika diidamkan sesuai yang diinginkan.

Kadang saya merenung memikirkan apa yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara. Ya memang, sudah terlalu banyak yang mengklaim menjadi sejarah tentang cita-cita beliau terhadap pendidikan bangsa ini.
Tetapi apakah ada hal yang tak tersebutkan selain yang diutarakan oleh para pengarang buku sejarah tersebut?

Seiring dengan bertambahnya tahun, berkembangnya jaman, bertambahnya jumlah manusia, maka, persepsi, paradigma, pola pikir, mendefinisikan sesuatu, juga sudah tentu menjadi semakin beragam.

Contohnya mungkin datang dari diri saya sendiri. Saya ingin menuangkan paradigma sendiri akan semboyan Ki Hajar Dewantoro yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Di depan memberi teladan.  Teladan apa yang sudah kita berikan kepada siswa? Pernahkah sebagai guru ikutan mengerjakan project bersama mereka? Merasakan apa yang harus mereka lakukan dan kerjakan? Atau malah, lho, kita kan yang memberi project itu, mengapa kita yang harus pusing-pusing mengerjakan? Pernahkah sebagai guru menunjukkan diri sebagai guru yang terus menjadi seorang pembelajar? Atau malah berbangga hati telah menjadi seorang guru dan merasa sebagai pusat pembelajaran?

Di tengah memberi semangat. Pada saat siswa sedang berproses dalam belajarnya, apakah kepercayaan diri mereka terbangun oleh kata-kata kita, oleh gaya evaluasi kita terhadap mereka? Atau malah justru kita patahkan dengan memberikan soal-soal yang mereka tidak mampu kerjakan, kata-kata pedas / sindiran yang membuat mereka takut bertanya. Seberapa besar konsep kegagalan adalah jalan menuju keberhasilan bisa dipahami oleh sang guru jika si guru hanya menginginkan nilai tes siswanya memenuhi kkm saja?

Di belakang memberi dorongan. Mendorong siswa makin menyadari bahwa sebagai manusia, sepanjang hidupnya harus dipenuhi dengan ragam belajar. Belajar dengan gembira. Anak-anak perlu dibantu pemahaman bahwa belajar adalah sebuah proses. Ketika menghadapi sesuatu hal dan kita mengabaikan proses, maka dengan mudah kita cepat menyerah, dan mengabaikan kemampuan kita sendiri untuk berpikir lebih dalam dan menganalisa persoalan tersebut.

Pertanyaannya kemudian adalah, di mana anak-anak dapat menemukan tempat belajar yang dapat membuat mereka menyukai belajar tadi? Di rumah? Atau di sekolah? Sekolah selayaknya menjadi tempat yang menyenangkan bukan? Namun nampaknya sekolah lebih cenderung sebagai tempat pendidikan formal belaka. Formal untuk mendapatkan sertifikat menyelesaikan jenjang tertentu.

Sekolah sebagai Taman Siswa, nampaknya hanya terjadi di sekolahnya Ki Hajar Dewantara. Bagaimana dengan sekolah di sekitar kita sekarang? Taman yang sekarang lebih identik dengan Taman Kanak-Kanak. Jadi kalau sekolah berbasis taman, apakah hanya akan dianggap kekanak-kanakan? Mendidik anak menjelang remaja harus keras, disiplin, bukan seperti terhadap anak TK. Benarkah demikian? “Raising Teenagers: Protect when you must, but permit when you can” demikian satu artikel dari NYT yang menarik tentang mendampingi remaja.

Jika saya masuk ke dalam mesin waktu dan terjatuh di ruang usia 13-18 tahun, kira- kira akan seperti apakah sekolah idaman bagi saya?

Tempat yang nyaman untuk belajar. Sebagian waktu saya akan dihabiskan di sekolah. Saya ingin belajar segala macam hal, belajar bagaimana cara belajar, bukan belajar untuk tes saja. Belajar mengungkapkan pendapat sendiri, belajar mencari literatur yang benar, belajar menuangkan ide berdasarkan teori yang sudah ada bahkan kalau saya memiliki talenta kepintaran yang luar biasa mungkin saja saya belajar menemukan teori baru 🙂 .

Dari web www.futurefocusvet.blogspot.com
Dari web www.futurefocusvet.blogspot.com Gambar di atas menunjukkan sebuah lingkungan pembelajaran yang modern – sebuah contoh bahwa semua sekolah di NZ sedang dibangun seperti ini.

Tempat yang menyenangkan untuk bermain. Bermain berbagai permainan baik tradisional maupun modern. Menggabungkan berbagai cara bermain dengan belajar.

Tempat mengenal banyak teman sebaya dan dewasa (guru-gurunya, staf sekolah, para pekerja pendukung keberhasilan sekolah). 

Tempat yang bukan hanya akan menilai saya pada saat tes saja. Lalu mendudukan saya di peringkat-peringkat tertentu.

Tempat yang akan membantu saya bertumbuh dan berkembang.

Tempat yang tidak akan pernah menakut-nakuti saya tentang nilai evaluasi pencapaian saya. Karena pencapaian saya dan siswa yang lain adalah refleksi dari sekolah yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.

Tempat yang akan membantu dan mendampingi saya menjalani tes standarisasi atas apa yang sudah saya pelajari selama ini. Saya tidak menentang tes standarisasi karena saya menyadari bahwa ruang lingkup belajar kita berbeda, perlu ada setidaknya tes yang standar atas pengetahuan tertentu, apalagi bila selama tes tersebut cukup untuk merefleksikan apa yang sudah saya pelajari selama ini. Dan pihak penyelenggara tes tersebut tidak membuat berbagai peraturan yang tidak masuk akal dan mensosialisasikan sebagai sebuah tes yang super menyeramkan. Guru-guru yang akan membantu saya dan siswa lain belajar, bukan menakut-nakuti dengan anggapan jika ditakuti maka kami para siswa akan belajar.

suksesujiannasional1
Iklan 100% sebenarnya sangat menggambarkan bahwa ujian ini sarat dengan muatan politik. Untuk seorang anak bisa sangat menjatuhkan mental jika gagal lulus dan merupakan penyebab menjadi hanya 99,9% dalam suatu daerah tertentu.

Tempat yang antara siswa dengan guru saling menghormati. Guru tidak merasa sebagai pusat tempat bertanya siswa. Namun guru yang  tampil sebagai fasilitator dan teladan sebagai pembelajar.

image (1)

Tempat yang akan membangun karakter saya (siswa) secara natural. Tidak hanya mencekoki saya dengan ilmu keagamaan, tetapi memberikan contoh dan teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah daftar bagaimana sekolah idaman di mata saya, bagaimana dengan anda?

UN oh UN

*Picture from 9GAG.com/GAG/5275652

UN berganti peran. Dari penentu kelulusan menjadi alat pemetaan kemampuan siswa. Sesuai putusan pemerintah melalui Mendikbud tanggal 29/12/14. Menteri mengatakan bahwa penentu kelulusan adalah kebijakan sekolah yang bersangkutan.

Selama ini, di Indonesia, memang selalu berlaku standar evaluasi saja (melalui UN) sebagai standar kelulusan siswa (lingkup kecil) dan indikator keberhasilan pendidikan (lingkup besar). Sementara masih ada tujuh standar keberhasilan pendidikan yang lain, meliputi:
1. Kompetensi lulusan
2. Standar isi
3. Standar proses belajar
4. Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana pendidikan
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan pendidikan.

Jadi idealnya, memang dalam mengevaluasi siswa itu bukan hanya mengandalkan dari evaluasi di ujungnya saja, tetapi juga banyak faktor lain. Akibat jika hanya mementingkan di ujungnya saja, maka banyak sekali model dan metoda belajar di sekolah yang tak beda dengan hanya sebuah “bimbingan belajar”.

Lalu jadinya apakah maksud dari UN tidak lagi sebagai standar kelulusan?

UN (ataupun UAN, ataupun Ebtanas) di mata saya.

Anak-anak dari kota besar (Jakarta contohnya), mungkin harusnya menyikapi UN bukan sebagai masalah, meskipun sebagai standar kelulusan. Jika dibandingkan dengan anak-anak dari daerah terpencil yang mau pergi sekolah saja harus menempuh jarak yang sulit, tenaga pendidik dan pengajar yang kurang, media belajar yang kurang, maka kinerja anak-anak tersebut dalam sebuah ujian berada jauh di bawah dari perkotaan. Di sinilah, saya merasa UN tidak dapat dijadikan sebagai standar kelulusan semata, tidak adil.

Jika siswa dari Jakarta tidak lulus, bisa jadi karena memang si siswa tidak belajar, malas belajar dalam kelasnya sehari-hari. Jangan semua disamakan dengan siswa yang “sial” tidak lulus karena nilai UN nya di bawah standar padahal kinerja hariannya siswa predikat juara. Yang kasus kedua inilah, justru yang harus makin membuat kita menyetujui bahwa janganlah menjadikan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan siswa.

Namun sebaliknya, jika siswa dari daerah pedalaman, dengan segala kekurangan kelengkapan belajar tadi, dinyatakan tidak lulus karena gagal UN, maka kita bisa sekali dengan mudah menjatuhkan mental anak-anak tersebut (bahkan mungkin orang tuanya) yang akhirnya tidak mempercayai sekolah. Dalam benak mereka, untuk apa capai-capai menempuh perjalanan setiap hari ke sekolah, untuk apa iming-iming program “Ayo Sekolah” yang diharapkan mampu memperbaiki taraf hidup mereka kelak, jika akhirnya tidak lulus oleh sekali ujian, lalu tidak punya ijasah.

Namun di sisi lain, entah dimulai dari kapan, banyak sekali masyarakat di perkotaan, mencakup dinas pendidikan, sekolah, bahkan guru sekalipun menyiapkan mental para siswa bahwa ujian ini super sulit dan menentukan sekali kelulusan siswa dari suatu jenjang, tentu saja jenjang SMA paling “mengerikan” plus tahun kemaren dipakai sebagai syarat masuk PTN.

Bentuk “ketakutan” tersebut menjadi beragam. Ada yang wajib ikut bimbel (baik di dalam maupun luar gedung sekolah), katanya belajar trik, trik menjawab soal UN, belajar “past paper” sampai hapal. Selama soalnya ditetapkan hanya pilihan ganda, bagaimana bisa yakin membuat siswa belajar “content”, memahami soal terlebih dahulu, lalu berpikir kritis bagaimana menjawab soal tersebut. Ekstrimnya, dengan pilihan ganda, siswa cukup menebak pilihan a sampai d (atau kalau di SMA sampai pilihan e). Di beberapa daerah selain Jakarta, saya banyak membaca melalui media tentang adanya ritual doa-doa agar siswa dimudahkan jalannya dan tentu saja agar lulus. Ada lagi pendistribusian soal dari pusat ke daerah-daerah yang didampingi aparat keamanan negara (wow banget kan?).

Ada satu contoh pengalaman pribadi, sewaktu mengikuti PLPG. Beberapa guru saling sharing tentang UN. Ada seorang yang jujur mengatakan bahwa dia “berjuang” mendapatkan kunci jawaban jam 4 subuh “demi” para siswanya. Inipun atas “instruksi” kepala sekolah. Saya ingat kata-katanya ” ya, bagaimana ya, tugas kita bantuin anak, itu anak kita, kalau kita tidak usahain, lalu tidak lulus, kita juga kena dari atasan, bikin malu sekolah ada siswa tidak lulus. Ibu-ibu pasti ngerti kan gitu, Ibu Hedy sih enak ngajarnya di sekolah anak pintar dan kaya (sambil menunjuk saya), kalau kami, sekolah kecil, anaknya bandel-bandel (seperti minta pembenaran)”.

Tidak perlu dibahas kan? Silahkan pembaca menerjemahkan sendiri 🙂 Yang lebih miris adalah, saya dengar itu di acara pelatihan sertifikasi guru, dan hanya bisa menarik napas dan berguman “yaaa kenapa saya di sini ya?”

Berbagai Harapan Serta Masih Banyaknya Pertanyaan untuk UN 2015.

Setelah pak Anies Baswedan resmi memutuskan UN sebagai pemetaan pendidikan bukan sebagai standar kelulusan apalagi standar masuk PT, banyak pro dan kontra yang mengikutinya.

Tidak perlu membahas bagian yang pro, terutama bagian yang sebagai standar kelulusan, karena saya merupakan salah satu nya 🙂

Yang kontra, antara lain membahas tidak adanya standar secara nasional, bagaimana pendidikan di daerah pedalaman bisa maju jika tidak ditarik standar ke pusat/nasional. Agak terbalik logikanya menurut saya, justru itulah maka dibuat menjadi pemetaan.

Untuk apa mempertahankan UN yang bahkan makin tahun makin menunjukan kemustahilan juga kebohongan. Nilai sekolah di tahun 2014 lalu harus 70%, nilai UN asli harus 30%. Tapi nilai sekolah harus disetorkan ke dinas setempat, entah dari dinas kemana lagi, saya tidak begitu tahu prosedurnya. Berlomba-lomba sekolah “mempercantik” nilai sekolah para siswanya (bahkan cerita seorang rekan kepala sekolah bilang pada saat melapor nilai siswanya 50, “diminta dengan hormat” oleh dinas setempat untuk diubah menjadi 60, atau tergantung kkm terendah saat itu). Pendidikan sudah masuk ranah politik. Makin tinggi nilai siswa, makin tinggi kelulusan, makin besar peluang dinas pendidikan daerah mempertahankan posisinya bahkan naik tingkat.

Jika UN dijadikan sebagai sarana pemetaan pendidikan di Indonesia, sementara lulus tidaknya para siswa ditentukan oleh sekolah masing-masing, apakah perlu setiap tahun dilakukan UN dan diambil oleh seluruh siswa kelas 6, 9 dan 12?

Apakah sekolah-sekolah akan lebih percaya diri untuk menyelenggarakan ujian sekolahnya sendiri, tidak perlu kuatir “dikejar-kejar” aturan dari dinas. Karena kalau sudah menyangkut dinas, sekolah bisa tidak enak hati kalau tidak mengikuti kemauan mereka (sering dengar alasan ini 🙂 ). Atau saya bisa ikut bantu memberi semangat sekolah untuk “ayo para pengelola sekolah, kalian bisa melakukan ujian kalian sendiri, kalian punya standar sendiri asal benar dan jujur serta bertanggung jawab”. Atau memang sudah tidak ada lagi “jujur” tadi? Entahlah…..

Jika BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) katanya telah merangkum aturan UN yang baru, apakah akan sama saja perlakuannya seperti yang lalu? Misalkan, tetap ada ujian sekolah yang diseragamkan dalam hal kisi-kisi? Sehingga sekolah yang mengadaptasi tambahan kurikulum dari negara lain ujungnya pun melakukan sekolah kilat di jenjang kelas 9 maupun 12 untuk materi mata pelajaran yang ada di Indonesia sesuai kurikulum nasional? Karena jika benar bernama Ujian Sekolah, maka adalah sah harus topik yang sekolah tersebut tawarkan kepada para siswanya.

Tahun 2014 lalu, UN juga sebagai penentu masuk PTN, SNMPTN digantikan dengan hasil UN, sebagian ditentang, sebagian tetap ada yang pro. Alasan kontra rasanya lebih kepada logika bagaimana menilai performance seorang siswa jika hanya ditestkan secara pilihan ganda, siswa tidak diminta berpikir “higher order thinking” tadi.

Kalau hanya sebagai SNMPTN, siswa yang tidak ingin masuk PTN, logikanya tidak perlu mengambil UN bukan? Atau mungkin memang semua siswa diharapkan bersaing dulu di jenjang PTN baru dialihkan ke swasta 🙂

Sekedar pengalaman pribadi dulu sewaktu saya masuk ke Universitas swasta, bahkan sebelum Ebtanas, saya dan ratusan teman dari berbagai sekolah telah diterima dan resmi telah membayar sebagai calon mahasiswa dari Universitas tersebut. Hasil NEM hanya disisipkan sebagai dokumen pelengkap saja.

Jadi, tidak heran banyak siswa dan orang tua makin bingung, jadi ambil UN untuk apa? Apakah sampai sekarang jika ingin masuk PT swasta tetap harus menyisipkan hasil UN nya? Dengan alasan mengacu kepada UU yang mewajibkan semua siswa WNI wajib mengambil UN untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya seperti ke PT?

Habis di Indonesia ini agak aneh, siswa yang SD nya tidak memiliki ijasah dari mengikuti UASBN (atau apapun sebutannya setara Ebtanas jaman dulu atau UN kini), dia tidak dapat mengikuti UN di SMP, dan lanjut tidak dapat mengikuti UN di SMA, sehingga tidak memiliki ijasah nasional, maka siswa bersangkutan konon tidak dapat kuliah PT terutama di dalam negeri. Padahal jika siswa ini sekolah formal terus, berpindah dari luar negeri, usianya cocok di tempatkan di SMP, harusnya dia tetap berhak mengikuti UN SMP ataupun SMA, dan berhak melanjutkan ke PT di Indonesia. Rumit 🙁

Andai UN adalah sebuah ujian standar skala nasional yang hasilnya benar dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diambil oleh siapapun siswanya yang berkepentingan dan telah memenuhi persyaratan jenjang pendidikan tertentu.

Andai UN adalah ujian yang ditekankan sebagai salah satu syarat untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya namun bukan digeneralisasi harus semua siswa ambil, tetapi diambil karena siswa sadar dan tahu fokus belajarnya ke arah mana. Konsekuensinya jenjang pendidikan di atasnya benar harus transparant akan menyeleksi siswa dari hasil UN, bukan sekedar atas faktor kejar-kejaran cari murid, penerimaan siswa telah berlangsung, administrasi pembayaran telah berlangsung namun si siswa yang bersangkutan ujian saja belum.

Andai UN adalah ujian berstandar nasional yang tidak perlu diperlakukan seperti selama ini. UN sama seperti ujian yang dilakukan oleh sekolah. Jangan jadikan hasil UN untuk kepentingan sekolah dan dinas semata tetapi pakai UN untuk mengevaluasi siswa apa adanya. Tidak perlu menekan siswa dengan mengatakan UN adalah satu-satunya ujian terpenting dalam hidup mereka. Menekan lalu menakuti. Lebih berharga jika bukan menakuti melainkan menyemangati siswa bahwa tes ini sebagai proses dalam hidup mereka, terlebih tes ini berdasar sebuah standar, malah siswa dapat mengukur kemampuan mereka terhadap tes yang distandarkan berdasarkan jenjang pendidikan yang telah mereka tempuh.

Dan andai-andai yang lainnya……

Jadi akan bagaimanakah UN mulai tahun 2015 ini? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya 🙂

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake