Sebuah Refleksi terhadap tulisan Ian J McCoog
“Dulu, bisa 355 x 288 sudah bagus. Lalu 720 x 576. Sekarang 1280 x 720 dan 1920 x 1080. Eh, 4K sudah intip-intip saja……” ~ @c3ll ~
Kutipan di atas menunjukkan bahwa video yang semakin hari semakin tajam, dan setiap kali ia menjadi “paling tajam” ternyata mampu berkembang lebih tajam lagi. Betapa keinginan manusia berkembang pesat seperti ingin memiliki gambar super tajam sejalan dengan perkembangan teknologinya sendiri.
Hari ini, saat ini, dunia ini, sedang mengalami perkembangan pesat di dunia digital dan dengan mudah bersinar lebih terang daripada gaya belajar tradisional di dalam kelas. Semua serba cepat, serba instant. Betapa mudah rasanya sekarang melihat seorang anak kecil yang dengan cepat menguasai bagaimana dia menggunakan komputer, melakukan koneksi kepada internet dan mencari sesuatu melalui internet akan apa yang mau dia cari.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana bisa seorang anak usia 6 tahun mengajarkan sesuatu kepada yang lebih senior, bahkan mengajarkan gurunya? Ketrampilan apa yang anak-anak itu miliki dalam proses belajar mengajar yang melampaui kemampuan orang tua? Ketrampilan anak yang seperti itu dikatakan sebagai ketrampilan abad 21, yang membuat mereka seperti “diajarkan” oleh diri mereka sendiri bagaimana pola kerja network dan mencari solusi atas apa yang menjadi pertanyaan mereka sendiri.
Dalam 30 tahun terakhir, banyak yang setuju bahwa generasi terbagi menjadi 3 kelompok. Generasi X untuk mereka yang lahir di era 1970 dan awal 1980 (berarti eranya saya oooww nooo). Generasi Y untuk mereka yang lahir di era akhir 1980 dan 1990. Generasi Z untuk mereka yang lahir di akhir tahun 1990 sampai sekarang (yang sering juga disebut generasi milenium). Era generasi X masih bisa dikatakan “mulai diracuni” video games (Nintendo mulai hadir 🙂 ) dan sudah mendapat pengaruh dengan adanya MTV 🙂 (Teringat di tahun 1980-an saya bermain pac-man dari Nintendo dan rasanya woww lucu sekali, tapi sampai usia SMP belum mengetahui bagaimana mengoperasikan komputer, walau ada teman saya yang cukup mahir saat itu tetapi hanya dia dan segelintir saja yang tahu).
Era generasi Y sudah lebih canggih beradaptasi dengan komputer dan internet. Usia produktif sekarang ini untuk para eksekutif muda generasi Y. Sedangkan era generasi Z adalah usia siswa SD – SMP saat ini. Kita bisa melihat beberapa dari mereka yang begitu terbiasa dan menguasai dunia digital, internet, multimedia. Sekolah era ini pun harus mampu mengakomodasikan kebutuhan dan ketrampilan anak-anak tersebut.
Anak saya bisa dengan cekatan menjawab pertanyaan jika dia sedang memegang PSP atau mendengar music dari telepon genggamnya. Padahal kadang menurut saya “impossible” bisa mendengar pertanyaan sekaligus berkonsentrasi pada game bolanya sambil berceloteh seolah-olah dia menjadi reporter suatu siaran sepakbola. Contoh skill lain,kemaren dia mengulang pelajaran tentang “wilayah perairan Indonesia”, susah sekali untuk membuatnya menghapal, tetapi begitu saya mencoba dalam bentuk mind map, ini kepulauan Indonesia, ini laut teritorial, ini batas landas kontinen, ini zone economy exclusive….booomm seperti terasa mudah sekali.
Skill ini bukan hanya dimiliki anak saya. Saya perhatikan, anak-anak Generasi Z memang seperti terbiasa dengan gaya visual dan multi tasking seperti ini.
Proses belajar mengajar di abad 21 mengutamakan “skills” atau ketrampilan tadi. Ketrampilan yang sudah dengan sendirinya mereka dapatkan, cara belajar mereka, gaya belajar mereka. Sebagai pendidik, berprofesi sebagai guru, tugas mengajar kita harus dibarengi dengan mengajar, mendidik, sesuai dengan bagaimana mereka belajar. Pendidik janganlah sungkan untuk bertanya kepada mereka tentang bagaimana pendapat mereka, apa yang mereka bisa kontribusikan kepada kita.
Mulailah dengan tidak takut pada “komplen” atau “opini” anak-anak kepada kita. Dengarkan terlebih dahulu apa yang mereka rasakan, buat mereka nyaman untuk menyampaikan apa yang menjadi ide dan pemikiran mereka. Dalam pikiran mereka kita gurunya bisa sangat tidak cocok atau salah berkata-kata walau sementara dari segi kita sebagai guru “lho, kita tidak salah kan, kita berusaha memberikan nasehat, masukan, dibarengi tugas kepada anak-anak, apa salah kita?” 🙂 Jadilah pendidik abad 21 yang mampu mendidik dan mengajar mereka lewat cara yang mereka ketahui dan pelajari.
Ketrampilan abad 21 didefinisikan dalam bermacam cara, dengan komponen utamanya adalah ketrampilan belajar dan berpikir (pemikiran yang lebih tinggi, perencanaan, pengelolaan, kerjasama), melek teknologi (menggunakan teknologi dalam pembelajaran), dan ketrampilan menjadi seseorang pemimpin (kreatifitas, etika dan menciptakan produk). Benang merah dari semua ketrampilan itu adalah teknologi. Contoh isinya seperti: isu etika (kesadaran kultural) yang terkait erat dengan dunia internet.
Menurut Ian J McCoog, beberapa era lalu, ketika kita pergi ke sekolah, kita mengenal 3R sebagai “reading”, “riting” (writing) dan “rithmetic” (arithmetic). Di abad 21 sekarang ini, lebih dikenal 3R sebagai “rigor”, “relevance” dan “real world skills”.
Untuk mendapatkan ketrampilan abad 21, siswa perlu diberi semangat untuk menghasilkan ide-ide baru, mengevaluasi dan menganalisa material yang disampaikan, dan mampu mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Hal-hal tersebut dapat dicapai dengan merubah metode instruksi guru atau merubah paradigma lama. Di mana proses penyampaian ilmu hanya berdasarkan pada konten materi saja, sekarang sudah harus berdasar pada melibatkan siswa pada konten tersebut. Memberikan kesempatan pada siswa untuk terlibat lebih aktif dengan online kegiatan (seperti pembelajaran interaktive lewat moodle atau video step by step penjelasan materi yang merupakan rekaman peristiwa di kelas).
Sugata Mitra mengungkapkan pengalaman belajarnya dalam “mendidik” siswa, yaitu guru “mundur sejenak” untuk memberikan ruang buat siswa belajar sendiri dan mencari tahu jawabannya dalam kelompok mereka masing-masing (tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud semua gaya belajar yang harus siswa terima hanya bentuk demikian saja). Inisiatif belajar siswa dibangun dengan konsep ini.
Ada dua contoh beliau yaitu yang pertama tentang meletakkan perangkat komputer untuk anak-anak di pinggir-pinggir jalan kota di India (dipasang dalam tembok-tembok bangunan tertentu), di mana keadaan mula-mula adalah anak-anak ragu untuk mencoba “benda apakah itu”, setelah lewat beberapa bulan beliau kembali ke tempat yang sama terlihat antusias anak-anak mulai terbentuk bahkan mereka sudah mampu mencari segala rupa dari internet yang juga disediakan. Yang kedua adalah saat mengunjungi siswa SD di Italia dan hanya memberikan instruksi singkat menggunakan bahasa Inggris yang tidak dimengerti sama sekali oleh siswa tetapi begitu diterjemahkan perintah singkat itu ke dalam bahasa Italia, maka spontan siswa inisiatif mencari melalui google search.
Bunker Roy juga mengungkapkan bahwa definisi dari seorang profesional adalah kombinasi antara kompetensi, percaya diri dan keyakinan. Bahwa setiap orang mampu belajar dalam gayanya masing-masing, mampu menjadi pengajar profesional tanpa melalui pendidikan formal karena skill orang tersebut terbangun dari dirinya yang belajar.
Kedua pembicara itu memberikan inspirasi luar biasa bagi saya dalam mengartikan ketrampilan abad 21 (selain teknologi), yaitu semua orang memiliki gaya belajar sendiri dan setiap orang bisa meraih ketrampilan itu juga dengan belajar kembali, menjadi pembelajar seumur hidup (semoga menjadi pembelajar seumur hidup bukan cuma slogan).
Bagian lain dari bagaimana mencapai ketrampilan abad 21 adalah memiliki pelatih teknologi. Pelatih teknologi adalah pilihan yang baik untuk memudahkan transisi ke abad ke-21. Pendidik dan guru yang kadang sudah memiliki kewajiban keprofesionalannya yang sudah tetap, membutuhkan rekan yang mampu membimbing mereka dalam menghadapi perkembangan IT ini. Salah satunya adalah IT staff yang baik yang mampu membimbing guru berjalan bersama teknologi dan hal ini akan berimbas pada hasil jangka panjang yang lebih baik.
Untuk menerima kondisi tersebut, memang dibutuhkan pergeseran paradigma dari pemikiran bahwa pekerjaan guru hanya menyampaikan konten saja, menjadi bagaimana menciptakan siswa yang kreatif tadi, yang didukung dan diisi kemampuan guru dalam berkolaborasi, kreatifitas, mengarahkan diri dan e-communication sehingga para siswa pun dapat ditularkan dalam pola yang sama.
Marc Prensky mengatakan, teknologi membantu siswa abad 21 dalam proses belajar sebab mereka dapat membuat teknologi melakukan apa yang mereka butuhkan. Bayangkan jika siswa kita yang terpesona dengan teknologi sosial yang dapat digunakan untuk tujuan pembelajaran. Jika kita sebagai guru dapat memanfaatkan kegembiraan itu, para siswa akan belajar dengan terlibat dalam apa yang biasanya mereka lakukan. Mereka akan merasa bahwa mereka diminta untuk belajar lebih bermakna dari sebelumnya, karena mereka menyadari akan keterampilan yang membangun kapasitas mereka untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dan era pasar global.
Self Reflection
* Masih banyak institusi yang sepertinya masih anti dengan teknologi. Sayangnya, penyebabnya malah orang-orang pengelola yang ada di dalamnya.
* Guru dan pendidik yang masih bermental lama dalam arti belum memaksimalkan kemampuannya untuk belajar beradaptasi dan mengenal teknologi baru.
* Untuk guru di Indonesia, mengejar KKM masih menjadi yang utama sesuai dengan syarat kurikulum.
* Pendapat yang melatarbelakangi bahwa kemajuan teknologi dapat membuat manusia menjadi tumpul, salah satunya tumpul dalam karakter, sehingga muncullah pola “era pendidikan karakter” di mana semua pelajaran harus berbasis karakter. Saya super setuju dengan pendidikan karakter tetapi ada hal yang saling terpisah dan harus dipahami satu persatu.
* Begitu merebaknya era gaya belajar abad 21, tidak menutup kemungkinan siswa-siswa yang memang memiliki karakteristik gaya belajar “jaman dulu”, dan sebagai individu, hak siswa pula untuk dia tetap mempertahankan gayanya. Tetapi dengan lingkungannya yang lebih cepat menyerap teknologi seperti dipaparkan di atas maka tugas kitalah sebagai pendidik dan orang tua untuk mendampingi dan membuat mereka juga setidaknya mampu berjalan beriringan untuk hidup dalam era masa depannya nanti.
It is a thousands times better to have common sense without an education than to have an education without common sense ~ anonymus ~
View Comments (12)
Terarah tulisannya terima kasih ilmunya
Sama sama 😊
Senang sekali..bisa mjd acuan saya unt mmbuat media pembelajaran Bu
Wah, senang sekali dijadikan acuan. Selamat berkarya dengan media nya :)
salam...
mau tanya nih... landasan teori tentang konsep profesionalisme guru abad 21 itu apa aja dan boleh di jelaskan secara rinci dengan nara sumbernya?
makasih sebelumnya...
Whoops... Apakah saya sedang diwawancara? :)
Atau malah mau dijadikan nara sumber?
Salam kembali. Mbak Ryta ini calon guru ya? Dari mana?
intinya sebagai guru harus mau membuka pikiran dan menyesuaikan diri dengan karakter generasi anak didik ya.. tidak boleh menghakimi terus menerus tapi tidak ada solusi hehe
Betul sekali Mbak Adina :) mencari solusi, bukan menghakimi (y)
thanks atas informasinya, hal ini dapat menambah wawasan kami selaku guru di "daerah " yang masih mengajar dengan cara konvensional
Sama-sama pak Edi... :)
Thx ya sudah memberikan informasi yang berguna untuk kedepan ketika saya menjadi guru
Sama-sama :) senang bisa membantu dengan sharing ini.