X

Menyoal Sekolah di Bulan Januari

Artikel Pilihan di Kompasiana

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Pengumuman Keputusan Bersama 4 Mentri dan 1 Kepala BNPB hari Jumat lalu adalah yang disampaikan oleh pak Nadiem selaku Mendikbud. Sudah menduga sebelumnya, namun ya tetap ditunggu.

Singkat cerita (sebagai praktisi pendidikan sih kita semua sudah tahu kan), pak Nadiem menyampaikan bahwa sekolah-sekolah boleh dibuka kembali di semester 2 bulan Januari mendatang. Bukan lagi berdasarkan SKB 4 Mentri terdahulu yang berdasarkan zona, namun sudah dilimpahkan kepada Pemda / Dinas / Kemenag, untuk mengevaluasi situasi kesanggupan daerahnya masing-masing. Dengan urutan perijinan yang ditegaskan kembali di akhir pengumuman yaitu dari Pemda, Sekolah yang bersangkutan, dan diakhiri komite sekolah / orang tua. Baru dilanjutkan dengan daftar periksa untuk mengikuti protokol kesehatan.

Satu sisi, bagi saya, ini bagus, karena memang beragam sekali daerah di Indonesia. bahkan satu kotamadya / kabupaten saja, daerah-daerah yang lebih kecilnya memiliki masalah yang berbeda. Jadi jika semua selalu hanya dari pusat, maka akan makin banyak orang yang merasa Kemendikbud tidak sanggup mengatasi persoalan pendidikan hehe.

Juga berdasarkan Permendikbud 47 / 2016, bahwa Pemda Provinsi yang mengatur penerbitan izin pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat, maka sangat masuk akal, urusan berkaitan dengan kembali masuk sekolah di masa pandemi ini juga Pemda Provinsi harus terlibat.

Pak Nadiem memulai dengan sebuah quote bahwa “Semakin lama pembelajaran tatap muka tidak terjadi, semakin besar dampak negatif yang terjadi pada anak“. Dari kalimat di atas, bagi saya, tetap saja ini bukan generalisasi. Di beberapa tempat yang memang tidak memiliki akses pembelajaran jarak jauh (pjj) yang memadai, kalimat tersebut sangat relevan. Namun di daerah yang bagus sarana prasarana dan didukung oleh komunitas sekolah yang sanggup melakukan pjj, maka pjj menjadi alternatif terbaik dan bahkan bisa menghasilkan hasil yang lebih baik (tentu saja belum ada riset mengenai hal ini atau sudah? Saya tidak tahu). 

Memang dampak yang dijelaskan pak Nadiem dari berbagai faktor, dan iya, itu benar bisa terjadi, untuk di daerah-daerah tertentu yang saya sebut sebagai tidak dapat ber-pjj dengan baik.

Nah, ada satu hal yang berbeda dengan pendapat saya bahwa jika masuk sekolah dengan model hibrid, maka anak – anak datang untuk bersosialisasi semacam melakukan aktifitas luar ruangan (berolah raga), aktifitas seni, bahasa dan beberapa lain seperti dalam artikel Pembelajaran Hibrida. Namun, pak Nadiem menegaskan bahwa anak-anak yang datang ke sekolah, tentu saja setelah melewati tahap penyaringan tadi, hanya untuk datang-belajar-pulang

Tanpa berkumpul, tanpa olah raga, tanpa kantin, bisakah anak-anak melewati tantangan sedemikian jauh dari dunianya mereka?

Akan menjadi bagian yang sulit juga untuk anak-anak memutuskan kembali ke sekolah hanya untuk datang-belajar-pulang, sebab berkaca pada diri sendiri seumpama masih anak-anak dan siswa mungkin saya lebih senang belajar di rumah saja hehe…

Tetapi keadaan ini memang dilema. Di dunia pendidikan abad 21 (yang masih didengungkan sampai tahun ke 21 sekarang 😀 ), di mana sekolah seharusnya menerjemahkan diri menjadi tempat yang menyenangkan untuk melakukan banyak hal di luar sekedar akademis, sekarang harus kembali sebagai tempat untuk hanya datang-belajar-pulang. Ini berat, tapi harus dilakukan. Keadaan khusus karena pandemi.

Jadi, sesiap apa sekolah menjalankan kegiatan belajar mengajarnya di bulan Januari nanti? Sudah pasti harus hibrid kan, karena jumlah siswa maksimum satu kelas hanya boleh 18 siswa. Siswa bergantian. Hibridnya bagaimana? Nah, inilah saatnya sekolah memikirkan untuk ber-hibrid yang baik dan relevan. Yang jelas, semua komunitas sekolah punya kewajiban mendukung program ini.

Selamat kembali bersekolah! 

hedy:
Related Post