X

Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama

Artikel Pilihan Kompasiana

Kilas balik ke tahun 2000 an, sekolah – sekolah internasional di Indonesia mulai menjamur, menandakan geliat pendidikan melalui sekolah semakin berkembang untuk menggunakan sistem kurikulum dari luar negeri dan juga sistem operasional sekolah yang berbeda dengan sekolah nasional pada umumnya.

Hampir di tiap pelosok (Jakarta, karena tempat tinggal saya di kota ini) terdapat sekolah yang memberi label dirinya sebagai sekolah internasional. Apakah sekolah – sekolah tersebut adalah benar sekolah internasional? Benar, dilihat dari kurikulumnya yang dipakai, dari luar negeri. Guru-gurunya beberapa dikontrak dari luar negeri. Namun kebanyakan siswa-siswanya adalah lokal. Segelintir sekolah saja yang banyak dengan siswa anak-anak expat.

Banyak orang tua bangga dengan dapat menyekolahkan anaknya di sekolah model jenis begini, mungkin menganggap lebih kerenlah minimal dari kebanyakan siswa sekolah nasional. “Over heard” sampai kemarinpun sekelompok orang tua berkumpul di kedai kopi dan salah satu topik pembicaraannya adalah betapa anak-anak mereka lebih terasah kemampuannya di sekolah dengan kurikulum dari luar negeri 😊.

Sejalan dengan semakin banyaknya kata “International” dipakai, mungkin membuat petinggi di bidang pendidikan gerah. Bertahun-tahun kemudian, kata tersebut kembali dicabut. Status sekolah internasional hanya diperuntukkan bagi anak-anak korps diplomatik asing atau sekolah untuk satu kewarganegaraan tertentu. Bahkan sebagai hasil akhir, sekolah-sekolah yang dulunya menyandang nama (status) internasional pun harus menggantinya semisal dengan “intercultural”, “independent”, “global”, atau dipadu dengan kata “Jakarta” dan lain sebagainya.

Dilengkapi dengan aturan baru, siapapun siswa yang bersekolah di sekolah “ex international” dan seorang warga negara Indonesia maka dia wajib mengambil ujian nasional yang “high stake test” di kelas 12 asalkan telah lulus ujian di kelas 9. Yang wajib diambil di kelas 9 asalkan telah lulus ujian di kelas 6. Kalau tidak diambil di kelas 6, maka harus mengurus penyetaraan atau paket A  supaya dapat ikut ujian di kelas 9 atau paket B supaya dapat ikut di kelas 12. Jadi kesimpulannya, boleh disimpulkan sendirilah 😊 , dan sepertinya untuk alasan kemudahan, ambilah semua jenjang ujian nasional, terlebih semenjak tahun 2015, bukan lagi sebagai penentu kelulusan.

Di bagian ini saja ceritanya sudah berbeda dengan ujian standar dari kurikulum Cambridge contohnya. Siswa tidak wajib mengambil ujian “checkpoint” sebelum ujian IGCSE, tidak wajib lulus IGCSE untuk ujian AS/A level.

Lalu kemana perginya sekolah-sekolah ex nama internasional tadi? Selain secara nama juga berganti, sekolah-sekolah itupun membentuk suatu komunitas baru di bawah payung Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). SPK merupakan satuan pendidikan yang mengolaborasikan antara kurikulum internasional dengan kurikulum nasional. Sekolah SPK berada di bawah naungan langsung kemendikbud namun tetap tunduk kepada dinas pendidikan daerah di mana sekolah SPK itu berada. Nah di bagian ini saya masih bingung, di satu sisi di bawah kewenangan langsung kemendikbud namun basa basi tetap dipertahankan kepada dinas setempat. Yang konon istilahnya, menghormatilah di mana SPK tersebut berada.

Itukah sebabnya jadi seperti yang terjadi sehari-hari sekarang ini? Misal Dinas Pendidikan melalui pengawas sekolah, datang ke suatu SPK demi mengawasi apakah jalannya sesuai aturan atau tidak. (Nah, aturannya kan boleh mengembangkan kurikulum sendiri atau adaptasi dari luar negeri dengan tetap menyertakan mata pelajaran wajib Pkn, Bahasa Indonesia dan Agama). Pengawasan ketat seperti sosialisasi ujian nasional (baca: simulasi), pemeriksaan RPP utk mata pelajaran wajib BI, PKn dan Agama. Mungkin masih ada agenda lain, entah.

Sehingga di pihak SPK pun, tetap mengupayakan ujian nasional yang akan menghasilkan nilai-nilai ujian fantastis untuk mempertahankan peringkat, dengan cara tetap belajar materi UNBK di slot jam pelajaran sekolah atau di luar jam pelajaran sekolah (sehingga siswa pulang makin sore), mengikuti rangkaian ujian uji coba (trial UNBK) yang jumlahnya berkali-kali, ujian praktek yang tidak pernah ada prosesnya langsung praktek.

Kira-kira begini, kurikulum inti adalah kurikulum dari luar negeri, dengan tetap menjalankan tiga yang wajib tadi. Mata pelajaran yang di-UNBK-kan diajari di jenjang terakhir suatu level (seperti di kelas 6 saja, 9 saja, 12 saja), atau dilakukan di luar jam sekolah yang notabene sudah 7-8 jam sehari. Alhasil, sekolah yang mulai jam 7:45 misalnya, menjadi mulai jam 7:15, yang berakhir 15:10 menjadi 16:00. Semua demi menambah kapasitas otak si anak dengan materi UN. Atau bahkan yang lebih dasyat adalah membagi dua mata pelajaran yang sama akarnya (sebut saja mata pelajaran mathematics dan matematika) sebagai dua mata pelajaran berbeda (baik materi maupun guru), beda pula biology dan biologi, beda pula physics dan fisika, economics dan ekonomi, pokoknya satu kata bahasa Inggris, satu kata bahasa Indonesia hehe…. Guru terpenuhi tugasnya, siswa ya begitulah….. Pokoknya jejali saja deh kepalanya dengan semua pelajaran, “mosok gitu aja ndak bisa sih” hehe…..

Jika SPK di bawah kemendikbud, apa perlu ini semua yang (disarankan) dari dinas pendidikan? Apakah budaya “ewuh pakewuh” menjadi faktor terbesarnya? Pernah terpikirkah kalau yang paling korban adalah siswanya? Anak-anak? Peserta didik? Apakah tanpa mengikuti ini sebuah sekolah (SPK) menjadi bermasalah? Saya tidak tahu. Tapi saya rasa tidak. 

Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi 😁), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari “kasta” mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk “mengakali” saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang. Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya “tidak mau belajar”, pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata “jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.

Jadi….. rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional ”xyz” kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan “Project based” kah?  Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak “apakah” yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK? 

Harapan kita bersama, kedepannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat. Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.

Demikianlah….

"Featured Image" adalah foto kegiatan siswa di kelas pada pelajaran UN matematika. Melalui manfaat LMS, siswa belajar sendiri setelah diberikan pengenalan dan penjelasan akan suatu topik. Belajar sendiri yang dimaksud bisa berupa mengerjakan paket soal-soal ataupun membaca kesimpulan catatan atau video pembelajaran. Dan yang pasti, siswa boleh bertanya kapan saja di saat kesulitan.
hedy:
Related Post