Ricuh Pendidikan Di PPDB

Kali ini saya ingin berpendapat soal sistem ppdb zonasi. Sudah sejak  2017 sistem ini diberlakukan, begitu menurut berita dari kompas.com. Banyak tujuan positif dari sistem ini (menurut saya). Namun seperti tahun 2018 lalu, tahun inipun, ppdb zonasi masih ricuh. Banyak yang kurang suka. Zonasi memberlakukan penerimaan siswa berasal dari zona yang sama, dan sisanya berasal dari siswa pilihan atau orang tua pindah lokasi rumah/kerja. Besarnya persentase tersebut konon disesuaikan dengan daerah masing-masing. Bayangkan jika sistem zonasi ini dikejar oleh para orang tua demi anaknya bersekolah di sekolah favorit / unggulan maka bisnis properti makin semarak dan maju, perekonomian meningkat karena semakin banyak terjadi transaksi jual beli rumah agar dekat lokasi / satu zona. “Senin harga naik” akan kalah dengan “Juli harga naik” 😋

Kebetulan saya memang tidak pernah mengalami sistem ini mengingat anak sendiri selalu bersekolah di sekolah swasta dekat rumah. Jadi tidak bisa bercerita berdasarkan pengalaman. Pengalaman terbaru justru datang dari sbmptn melalui utbk. Tapi beda dengan ppdb, jadi akan dibahas nanti saja.

Kembali ke ppdb, mengapa orang-orang tidak suka sampai ada yang menyebut banyak mudharatnya?
Siswa kategori pandai tidak bisa memilih sekolah favorit di luar zonasinya.
Siswa kategori kurang pandai bisa masuk sekolah favorit karena dalam zonasinya.

Lalu apa masalahnya?

Ya bagi saya tidak ada masalah, hanya gambarannya mengapa dipermasalahkan adalah, siswa kategori pandai tidak masuk sekolah favorit nanti kurang kesempatan bersaing untuk prestasi akademik, akibatnya ikut osn dengan tanpa saingan dan ilmunya mundur. Sekolah favorit terbiasa dengan siswa – siswa kategori pandai, pembelajaran biasanya super lancar, guru mengajar dengan memancing siswa saja sisanya siswanya pintar sendiri karena mencari sendiri sebanyak-banyaknya.

Sementara sekolah favorit berisi siswa biasa cenderung kurang pandai, kok buang- buang energi guru ya, lama untuk mengerti pelajaran, capek dong guru musti buat “personalized learning”. Sekolah tak bisa kirim peserta osn banyak lagi, prestasi sekolah dianggap menurun, ujungnya peringkat sekolah turun deh karena nilai UN nanti juga ikut turun. Yaaa gimana dong?

Lalu mungkin guru-guru sedikit ketar ketir karena kemungkinan akan terkena imbas mutasi. Pemerataan siswa, otomatis diikuti dengan pemerataan guru, dan dilanjutkan dengan pemerataan sarana dan prasarana sekolah. Ya sebenarnya itulah yang benar, jika pendidikan Indonesia ingin dibuat merata.

Lelah sih mendapati jargon-jargon pemerataan pendidikan, dimulai dengan hasil UN bukan syarat kelulusan, tetapi untuk melihat pemerataan. Sudah berapa tahun dari disebutkan bukan syarat kelulusan tetapi selalu diakhiri tiap tahun ajaran dengan pemeringkatan sekolah-sekolah berdasarkan nilai UN. Nah bagaimana tidak membuat sekolah masih berlomba meraih peringkat lebih baik jika makin banyak siswa pintar, nilai rataan meningkat dan sekolahnya dipandang sebagai sekolah terbaik. Semua juga ingin. Belum lagi semakin banyak individu siswa hebat dengan nilai mata pelajaran ujian 100, sekolah mendapat bonus, hayo, siapa yang tidak mengejar mendapatkan siswa bibit unggul.

Nah, hal-hal seperti itulah yang membuat sistem zonasi sepertinya tidak disukai. Padahal sama rata, sama rasa ya .
Para orang tua yang mengeluhkan anaknya tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah favorit di luar zonasinya. Mematikan masa depan, katanya. Yah, padahal ya tidak begitu juga bapak/ibu, masa depan bukan hanya ditentukan dari sekolah favorit saja.

DPR komisi X pun akan turun tangan memanggil mendiknas Bapak Muhajir untuk mempertanyakan dan mempertegas persoalan ini, mengikuti sebegitu maraknya pemberitaan mengenai ppdb zonasi. Pak Mendiknas juga bagaimana gitu ya, masak meminta guru iklas jika dapat rotasi. Menurut saya bukan soal keiklasanlah di sini, menjadi seorang guru pns berarti harus siap dengan semua konsekuensi aturan pemerintah. Ya perintahkanlah, surat tugas. Kalau hanya diminta iklas sih agak susah ya 😁.

Seperti lingkaran setan. Orang tua resah jika anaknya hanya bersekolah di sekolah biasa-biasa saja dan mendapati nanti pembelajaran di sekolah tidak maksimal, kebanyakan “free time”, merasa potensi masa depannya dirampas oleh peraturan ini, padahal ya tidak begitu juga bapak/ibu, masa depan bukan hanya ditentukan dari sekolah favorit saja. Belum lagi walaupun sama-sama sekolah negeri, ada sistem yang saling berbeda di dalamnya akibat beberapa faktor. Misalnya soal seragam. Sayang memang sekarang seragam sekolah jauh dari kata ringkas, dengan rok panjang putih misalnya, lebih cepat kotor sementara siswi harus banyak aktif di kegiatan sekolahnya.

Lain lagi dari sisi Guru dan Sekolah. Guru-guru yang terbiasa menghadapi siswa unggulan akan merasa lebih capek baik fisik dan mental untuk menghadapi siswa non unggulan. Sebaliknya guru-guru yang motivasinya datang – absen – masuk kelas – pulang, akan kerepotan menghadapi siswa unggulan yang bisa meminta lebih untuk maju dan berkembang akibat kemampuan guru kurang terasah. Sekolah unggulan / favorit merasa akan turun peringkatnya akibat pengurangan rata-rata nilai akademis dari pertambahan jumlah siswa yang biasa-biasa saja. Sebaliknya sekolah non unggulan / non favorit bergembira atas bergabungnya siswa unggulan.

Banyak ya PR pemerintah. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake