Sekilas kembali ke masa lalu…… agak aneh membayangkan diri sendiri dulu kok ingin menjadi guru. Cita-citamu apa nak? Menjadi guru, menjadi dokteranda (beberapa guru SD saya dulu bertitel Dra :)), dan itu terus berlanjut sampai remaja. Lalu vakum mencari identitas mau apa sebenarnya, sampai tentu akhirnya benar-benar menjalani dan hidup dari profesi guru.
Beberapa tahun terakhir, saya memang lebih suka menyebut profesi guru sebagai pendidik, seperti kebanyakan rekan-rekan guru lain.
Saat ini, sering sekali terlintas di kepala, andai saya memiliki kesempatan memiliki sebuah wadah untuk mendidik anak-anak yang mau belajar dan berkembang dan mengenal talentanya. Wadah yang biasa disebut sekolah. Bayangkan, anak-anak yang belajar dalam situasi menyenangkan. Mungkin seperti sekolah alam milik bapak Suyudi.
Tempat yang dimana diferensiasi kelas benar-benar berjalan, dan beragam gaya belajar siswa mampu berkembang, dan kecerdasan siswa dapat terlihat dengan kombinasi beragam.
Tempat dimana di kelas-kelasnya, para guru bisa memberikan beragam soal sesuai dengan kemampuan siswa dan tidak ada guru yang ‘saling menyalahkan’, seperti biasa yang sering terdengar dari guru yang biasanya mengajar di level yang lebih tinggi kepada guru yang mengajar di level bawahnya.
“dulu ini anak belajar apa sih?’, “bapak/ibu dulu ajarkan materi itu tidak ya?”, “anak-anak tuh dulu tidak paham apa-apa”, “salah konsep nih dulu waktu diajar sama bapak/ibu” dan tentunya, jangan sampai ada “aduuuhh anak itu memang lemah deh, sudah susah mau diapain juga sudah tidak bisa”.
Bayangkan, lingkungan dimana siswa bisa belajar dengan bebas, dibimbing oleh guru, bukan dimarahi dan “dibuat” takut oleh sang guru, dan tidak ada guru yang berbangga dengan “keberhasilan”nya membuat siswanya “waahhh pelajaran bapak / ibu itu susahhhh, aku dapat 60 aja sudah untung deh” 🙂
Tempat dimana belajar menjadi kegiatan yang membebaskan, dimana benar-benar banyak jalan menuju Roma, sebagai contoh menyelesaikan sebuah soal dengan pendekatan matematis bukanlah melulu harus dengan sebuah cara solusi perhitungan seperti kemauan gurunya saja, tetapi lebih baik jika guru menawarkan beberapa cara dan siswa memutuskan solusi apa yang harusnya dia gunakan sesuai dengan kemampuannya.
Tempat dimana guru bangun pagi dengan bertanya bagaimana cara membimbing karakter siswa agar mereka sadar tentang “keberadaan” diri mereka. Mereka menyadari kehadirannya di dunia ini adalah berkat, anugerah dan rahmat Tuhan. Mereka diarahkan dan dibimbing untuk menyadari talenta mereka dan berbuat lebih untuk talenta tersebut. Mereka menyadari bahwa mereka adalah seorang pemimpin untuk diri mereka sendiri, melakukan hal-hal yang benar tanpa perlu dilihat oleh orang lain.
Sayangnya, antara angan tersebut malah bertabrakan dengan apa yang banyak terjadi saat ini.
Saya jadi teringat dulu saya pernah memiliki seorang guru yang menjadikan saya sebagai bahan olok-olok teman sekelas karena memiliki buku catatan dari kertas-kertas bekas yang saya ciptakan menjadi sebuah buku coretan / catatan coret-coretan. Saya cuman berpikir saat itu, kok beliau begitu ya? Apa gunanya sih beliau bicara itu? Lagipula saya punya buku coretan untuk mencatat cepat sebelum saya pindahkan ke catatan rapi (yang menurut saya, justru kreatif)
Tentu ini hanya contoh bahwa seorang anak bisa terkesan seumur hidupnya kepada orang lain yang berperan dalam hidupnya, positif maupun negatif.
Pengalaman dengan guru tersebut membuat saya bertekad untuk berkomunikasi yang lebih baik dengan teman-teman kaum muda saya yang biasa disebut siswa tadi 🙂
Semoga bisa tetap berkomunikasi lebih baik dengan teman-teman muda tanpa harus menjadi “ih amit amit jangan sampai jadi seperti Ibu/Bapak itu deh”
Yuk berperan positif! Ingat bahwa di balik kesuksesan seseorang ada orang lain yang sukses membantunya. Semua bisa dimulai dengan membayangkan keberadaan diri kita di tengah-tengan siswa dan menjadi fondasi positif yang ada di balik kesuksesan mereka di masa depan.