Belajar Nyata / Nyata Belajar (?)

Screen Shot 2015-09-28 at 3.38.22 PM

“Learning become relevant when we connect it with reality”
~ Robert John Meehan ~

Kemarin, saya dibuat cukup tertawa geli dengan komentar seorang siswi kelas 3 SMP yang sedang belajar matematika menjelang ulangan mid semester nya. Ada soal seperti ini “Jika paman memberikan uang dua juta rupiah kepada bibi maka uang mereka menjadi sama besar. Jika paman memberikan satu juta rupiah tetapi bibi kemudian mengembalikan 500.000 rupiah maka uang paman menjadi 2/3 dari uang bibi. Berapakah uang mereka masing-masing?”. Lalu yang kedua “Dua tahun yang lalu, usia adik 13 tahun lebih muda dari kakak. 11 tahun yang akan datang usia kakak akan menjadi dua kali usia adiknya. Berapa usia mereka dua tahun yang lalu?” (*angka persisnya saya lupa, namun jalan cerita soalnya seperti itu).

Komentar pertama si siswi tersebut adalah “astagahhhh, paman dan bibi kurang kerjaan ya, kasih-kasih uang lalu kembaliin, bikin pusing, ribet amat, kasih saya saja lah uangnya, aneh banget sih, mana mungkin sih benerannya mereka ributin uang kayak begitu?”

Bagi saya, komentar demikian sangat lucu dan spontan. Belum lagi mendengar komentar kedua, makin tersenyumlah saya, rasanya tidak perlu ditulis di sini kan? Sudah terbayangkah bapak-ibu apa komentarnya? Iya betul sekali, si anak berkomentar lihat saja akte kelahirannya 🙂

Kadang sebagai guru (matematika), kita sering terjebak dengan anggapan, mengajari anak matematika harus relevan dong dengan kehidupan sehari-hari, Uang adalah persoalaan sehari-hari, maka jadilah mengarang sebuah soal cerita berhubungan dengan kehidupan sehari-hari adalah ide cemerlang si guru untuk mempersiapkan masa depan mereka. Siswa menghubungkan masalah tadi dengan menerjemahkannya ke dalam kalimat matematika. Sempurna.

Adakah yang salah dalam hal ini? Rasanya bukan persoalan salah atau benar sih menurut saya. Secara “keilmuan”, sah saja ada soal cerita seperti itu. Lalu kalau sebenarnya sah-sah saja, apakah menjadi salah si siswa yang kurang ber-empati pada guru sang pembuat soal sehingga berkomentar yang seperti di atas? Ya tidak juga kan?

Ada beberapa hal yang bisa disimak dalam hal ini:

1. Jadilah guru yang “gaul”, siswa dibuat tertawa dan gembira dulu dengan soal-soal cerita yang akan bisa jadi “lucu-lucu”. Atau malah melakukan modifikasi pada soal yang menanyakan usia, karena yang ditanyakan adalah sebenarnya anak yang baru lahir (usia nol), jadi daripada diberikan pertanyaan “berapa usia mereka dua tahun lalu?” mungkin justru malah sebaiknya ditantang dengan pertanyaan “apakah anak tersebut sudah lahir dua tahun lalu?”

2. Tetap berkaitan dengan logika yang segar dan benar. Agak gimana juga memang tiba-tiba sang siswa diberi soal tentang paman bibi saling memberi uang seperti contoh di atas, sementara sehari-hari di kelas nampak terlalu “serius”. Lebih baik jika soalnya menceritakan menabung dan mengambil uang, misalnya.

3. Hal ini cukup berkaitan erat dengan faktor sosial ekonomi siswa, lingkungan tempat kita mengajar. Mengapa susah-susah memikirkan diberi uang (paman memberikan kepada bibi), mengembalikan uang (bibi mengembalikan uangnya), kalau mereka terbiasa dapat uang jajan berkala. Lebih bijak jika soalnya mengarah kepada “membeli dan membandingkan beberapa produk”, misalnya.

Begitulah memang sulitnya menerapkan pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Banyak cara, saya yakin, sudah beragam cara pula dari yang diterapkan bapak-ibu (yang sudah dan pernah menjadi) guru sekalian.

Namun satu hal kita memang perlu saling mengingatkan bahwa, soal yang “relevant” adalah sederhana bukan mencari relevant dengan kehidupan berarti membuat soal nampak susah karena anggapan kita belajar susah berarti belajar kehidupan.

Why use LaTEX?

The tool has always been as important as the technique. Once it was the slide rule, then the calculator, and now, computer is at the center stage.

LaTEX, a computer mark up language, is one of the tool that is still being used in scientific and academic community due to its precision, ease and portability. Unlike other commercial (although very popular solution), LaTEX is free and providing a simple introduction to the separation of content over style/formatting.

LaTEX might require some learning curve but the result is worth it. As an introduction, students might learn about LaTEX through editors like Codecogs before they can type it on their own.

My students use LaTEX to express trigonometry equations on their online assessment, below is the screen capture of one of my students’ work:

image

image

Additional Mathematics – Pilihan Kelas Siswa Pintar (kah?)

imageHampir 18 tahun menjadi guru matematika sekolah menengah pertama dan atas, ini menjadi tahun pertama saya menjalani tugas mengajar di kelas “Additional Mathematics”, sebuah kelas dari program Cambridge Curriculum. Dengan silabus yang telah disiapkan secara detil oleh mereka, kami para guru seperti biasa menjadi lebih mudah dengan mengikuti silabus dan skema kerja yang sudah rapi, dan kami hanya melakukan penjadwalan pembelajaran ulang mengikuti jadwal sekolah, yang dikenal dengan “lesson plan”.

Cambridge International Exam, menyediakan exam di kelas 10 (upper Secondary), dengan pilihan banyak mata pelajaran, salah satunya adalah Additional Mathematics (A-Math), yang konon diminati karena menunjukkan “kebanggaan” sekaligus “kemudahan”. Additional berarti tambahan, maka banyak materi yang ditambahkan dan lebih mendalam dibanding kelas matematika normal. Kebanggaan, karena dengan mengambil kelas ini, sudah menunjukkan punya dasar hitung matematika yang baik, konon pintar matematika cenderung pintar akan hal-hal yang lain. Kemudahan, karena konon jika ingin melanjutkan pendidikan di universitas unggulan yang berhubungan dengan jurusan teknik maka makin dipermudah dan memiliki peluang lebih besar.

Apakah benar? Menurut saya? Bisa jadi benar, tapi sangat tidak mutlak 100 persen.

Jika seorang siswa memiliki pengetahuan dasar hitung matematika yang baik, plus dia tetap rajin belajar dan mempertahankan ketekunannya tersebut, sudah pasti tidak akan mengalami kesulitan yang berarti pada saat mengambil kelas ini.

Sebaliknya, jika siswa masuk dalam kategori pengetahuan dasar hitung matematika yang  biasa-biasa saja tetapi punya niat dan semangat yang kuat dalam belajarnya, dia juga memiliki peluang berhasil lulus di mata pelajaran ini yang hampir sama dengan yang disebut duluan  di atas.

Namun yang perlu diingat, siswa tidak perlu berkecil hati jika tidak memiliki kemampuan luar biasa di dalam problem matematika. Ingatlah bahwa problem dalam kehidupan nyata memiliki banyak jenis dan variabel. Kecerdasan bernalar siswa bukan hanya dinilai dari kemampuan berhitungnya saja.

Terlepas dari masalah penalaran tadi, dengan keragaman variasi berhitung yang jauh lebih banyak, siswa yang masuk kategori tidak cerdas secara matematis tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti pembelajaran dan ujian di kelas ini. Ada kelas matematika dasar untuk level usia kelas 10 normal, yang juga sudah menyesuaikan tingkat kemampuan siswa, dengan dibagi lagi sebagai “core” (basic) dan “extended” (advance).

Permasalahan selalu terjadi pada pola pikir. Pola pikir orang tua yang ingin anaknya diterima di universitas ternama yang memberikan standar harus memiliki nilai dari A-Math. Lingkungan anak sendiri yang sesama teman saling gengsi, anak pintar matematika lebih favorit dan banyak teman. Dan yang paling menyedihkan mungkin datang dari sekolah sendiri yang  memiliki program jika siswa mengambil kelas pelajaran fisika dan kimia berarti sudah harus sepaket dengan A-Math. Kelas nomor satu 🙂

Sayapun mengamati,  banyak rekan guru yang mengajar matematika sering terpaku pada pola “soal susah harus membuat anak menjadi susah”. Dalam definisi saya, soal susah bukan berharap siswa akan kesusahan dan tidak dapat menjawab, tetapi berapapun susahnya soal itu justru memacu siswa untuk mencari solusinya dan mereka tetap bisa jawab.  Justru dengan soal susah itulah, siswa belajar mencari solusi dan tugas kitalah yang membantu membukakan solusinya, memberikan konsepnya, sehingga mereka dapat merekam pola jawabannya, mencampurnya dan menuangkan kembali jika dihadapkan pada soal lain.

Di perjalanan semester pertama ini, saya menerima satu siswa pindahan dari kelas mata pelajaran lain. Dia memiliki alasan bahwa dia menyukai tantangan dan senang berhadapan dengan angka dan walaupun telat akhirnya memutuskan bahwa mata pelajaran A-Math ini lebih cocok baginya dibanding bidang bisnis. Singkat cerita bergabunglah siswa ini di kelas saya dan saya setuju, siswa ini memiliki kecocokan bergabung di A-Math. Siswa yang cerdas, cerdas memilih yang tepat bagi dirinya dan yang terpenting anak ini bahagia dengan pilihannya.

Sementara di sisi sebaliknya, dua siswa di kelas saya, mengundurkan diri, dengan alasan yang kurang lebih sama, tidak mampu terus menerus berhadapan dengan angka, hitungan, rumus, aplikasi, dan semua kombinasinya. Satu dari dua siswa itu harus berhadapan dengan orang tuanya yang masih menaruh harapan agar tetap mengambil A-Math demi kemudahan memasuki universitas yang akan dituju nanti. Lambat laun, orang tua pun mengerti dan sangat mendukung sang anak. Sayapun bangga dengan anak ini, dia bisa menceritakan kesusahannya bergelut dalam belajar, berusaha mencari solusi, tiap hari sampai rumah jam 7 malam untuk pelajaran tambahan, tetapi yang terjadi, otaknya tidak sanggup menerima sebanyak itu, A-Math tetap “struggle”, pelajaran lain keteteran, merasa tertekan. Usia 14 tahun harus hidup setertekan itu? Tidak ada kegembiraan belajar lagi. Jadi saya sangat mendukung keputusannya dan percaya bahwa anak ini akan berhasil suatu hari nanti.

Sebagai siswa, jangan jadikan belajar sebagai beban apalagi jika siswa berada pada posisi diuntungkan dalam arti siswa mendapat kesempatan memilih mata pelajaran yang ingin diambilnya. Ambillah yang cocok dan memberikan lebih banyak peluang untuk bisa dikembangkan di kemudian hari.

Lebih ideal lagi, jika sebagai siswa bisa memahami apapun mata pelajarannya, kalau dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka kemungkinan merasa terbeban bisa dihindari. Keuntungan bukan hanya diraih saat ini, tetapi bisa di kemudian hari. Belajar dan bahagia, dua kata bertolak belakang bagi siswa, benar bukan? 🙂

Percayakah sebagai siswa bahwa jika bahagia dengan apa yang kita pelajari maka apapun pelajarannya akan lebih mudah dipahami dan hasilnyapun (semoga) akan lebih baik. Seperti dalam hidup, kurang lebih sama, kita menjalani dan bersyukur, hidup kita senantiasa lebih bahagia.

Siswa juga kadang dihadapkan pada dua sisi, jika percaya diri mengatakan dirinya pintar, kesan pertama adalah sombong, lalu bagi orang tua atau teman beranggapan hal itu bukan disebut pintar tapi curang atau biasa saja. Tetapi jika selalu mengatakan dirinya tidak pintar, secara psikologis makin menghambat dirinya untuk percaya diri bahwa dirinya sanggup.

Karena pintar itu beragam dan setiap orang berhak mendefinisikan kepintarannya jika dibarengi dengan tindakan nyata dan hasil. Pintar berbahasa, pintar mengeluarkan pendapat, pintar mengatur keuangan, pintar menganalisa fakta sejarah, pintar mendisain / menggambar, pintar mengelola tangga nada, pintar dalam berolahraga, pintar  dalam kemampuan interpersonal, pintar memasak, dan segala pintar-pintar positif yang lain.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake