Artikel Utama di Kompasiana
Di usia 29 tahun saya melahirkan seorang bayi laki-laki super menggemaskan dengan panjang 52 cm dan berat 4.05 kg secara normal (heboh banget menjelang persalinannya hehe).
Beberapa saat kemudian, salah satu siswi saya, anak tunggal, kelas 3 SMP (sekarang menjadi pianis cukup handal) mengucapkan “ma’am, nanti harus ada anak satu lagi ya, kalau bisa perempuan aja, karena nanti ma’am tua gak ada yang urusin, anak laki kan udah gede tinggalin mamanya, punya pacar aja mamanya ya ditinggal…”. Untung belum sempat dijitak anaknya 😊.
Tahun berganti tahun, lucu menggemaskan berganti menjadi jengkel, berganti menjadi sangat protektif, berganti lagi, beberapa kali, ups and downs, sampai sekarang usianya menjelang 18 tahun.
Cerita-cerita selama 17 tahun, jika diulang kembali, ya tidak akan selesai dalam satu judul. Jadi biarlah menjadi kenangan di benak mamanya saja 😊.
Cerita langsung saja ke seputar pertemanan anak laki-laki ini dengan teman wanitanya, pacar lah begitu. Mamanya senang dong anaknya sudah besar, bisa mengayomi pacarnya. Tetapi sekaligus jreeennngg, ketakutan anaknya nanti menjadi jauh. Oh nooo, inikah yang ditakutkan semua ibu, semua mama terhadap anak laki-lakinya? Apalagi ini anak tunggal, tidaaakkkk….. 😱
Jujur, kadang timbul perasaan cemburu, saat si anak memilih pergi bersama pacar dan mamanya ditinggalkan seorang diri (kayak lagu aja). Auto nasehat, berbondong kata-kata keluar dari mulut ini tentang pergaulan yang benar, jangan terjebak kesalahan konyol, bla bla bla, sampai si anak “mama kenapa sih?” Huhuhu, mama cemburu, nak. Lalu berbunga-bunga lagi waktu dia lanjut “besok ya ma, waktunya pergi sama mama…” hahaha, sering lho terjadi seperti itu.
Mama butuh eksistensi dari si anak laki-laki ini. Halah… wong anaknya eksis banget kok, mama cari pembenaran. Biasalah mama….haha.
Para ibu musti sadar betul, sifat dan karakter anak laki-lakinya. Ada anak yang sangat dekat dengan ibunya sampai remaja dewasa dan tidak malu-malu menunjukkan kedekatan itu melalui foto-foto misalnya.
Namun ada juga anak yang tidak suka, bukan berarti tidak sayang, hanya dia tidak suka menonjolkan kedekatan dengan orang tua nya lalu dipamerkan di media melalui foto-foto. Jangan sakit hati bu, kalau kita tahu sifatnya, ya begitulah dia.
Anak laki-lakiku seperti nomer 2 . Haha, jadi alhasil, daripada menunggu dia yang memamerkan foto, sayalah tukang pamernya. Senang sekali bisa memamerkan beberapa foto dengannya apalagi dalam pose sedang dipeluk. Rasanya gak mau dilepas dan berharap begini terus dong.
Salah satu masa dari pacaran anak-anak ini yang paling membuat saya tertawa bahagia adalah saat mereka saling bantu belajar. Anakku biasanya berbagi dengan menjelaskan topik matematika atau ilmu IPA lainnya, sementara kolaborasinya adalah dapat catatan, sesuatu yang berhubungan dengan kerajinan menulis. Kalau sedang bertukar pelajaran, ada terdengar “aduuuhh kamu gimana sih, masak gini aja gak bisa, itu tuh pakai rumus…….” hahaha terngiang kembali, jadi senyum lagi. Begitulah nak, belajar saling mengasihi dan membantu.
Kuatirkah para ibu dengan gaya pacaran anak muda? Iya, pasti. Sama. Saya rasa bagi kita para ibu normal, ada sedikit rasa kuatir terhadap kemampuan mereka menjaga diri. Boleh diulang diingatkan kepada anak laki-laki kita untuk menjaga hubungan dengan baik. Tanggung jawab anak laki lebih besar karena memiliki dua tanggung jawab, pada dirinya dan pacarnya. Kekuatan iman menjadi dasar anak-anak melakukan tanggung jawabnya ini. Bersyukur mereka cukup rajin mengikuti ibadah. Sebagai mama, saya terus mendoakan yang terbaik.
Selepas SMA, mereka akan berjauhan karena beda kampus dan jarak. Akankah langgeng? Bukan kita, ibunya, yang menentukan. Harapan terbaik selalu disematkan kepada anak-anak, tetapi masa depan masih cukup panjang. Apapun ujung dari semua ini, merekalah yang menentukan. Sebijaksana inikah saya? Tidak, tapi saya ingin seperti itu dan belajar sehari demi sehari. Dan saya tersadar, anak laki-lakiku sudah menjelang dewasa.