Gong Xi Fa Cai

chinesenewyearSeperti biasa, menjelang tahun baru Imlek, Jakarta dibuat kuatir akan datangnya banjir. Sekarang malah bukan hanya Jakarta tetapi di banyak tempat di seluruh daerah Indonesia yang merasakan kebanjiran. Lalu apa hubungan banjir dengan Imlek? πŸ™‚ Yaaa tidak ada, itu hanya kejadian yang sering berlangsung bersamaan saja dari semenjak saya kecil.

Mengapa Imlek dirayakan? Mengapa tidak? Imlek seperti yang almarhum GusDur katakan adalah sebuah perayaan tani, adalah sebuah perayaan tradisi budaya bukan keagamaan.

Sebagai pertanda bulan pertama dari keseluruhan 12 bulan yang dimiliki kalender China, di mana tahun ini telah memasuki tahun ke 2565.

Salah satu yang menarik dari tradisi Imlek adalah bagi – bagi ang pao (setidaknya menarik untuk anak saya). Anak – anak senang sekali jika menyambut ang pao (Imlek, red πŸ™‚ ), dan semoga para orang tua pun sama (gembiranya karena ingin berbagi).

Rasanya sesuai dengan kata “tradisi budaya” ini, hendaknya tidak menjadikan suatu kebiasaan tertentu menjadi standar merayakan Imlek. Mungkin, tiap keluarga, tiap daerah, memiliki ciri sendiri, dan tidak perlu disama-samakan.

Ada yang tradisi makan malam keluarga besar, di rumah atau restoran. Ada yang masih menjalani prosesi sembahyang. Ada yang memiliki kepercayaan menghentikan bersih-bersih lantai sehari agar rejeki tidak terbuang. Ada yang merasa wajib memberikan angpao kepada barongsai. Ada yang mendekor rumahnya dengan pernak pernik Imlek seperti lampion, bunga, gantungan koko cici, hiasan dinding, pohon uang dan sebagainya.

Kalau tidak melakukan itu semua, apakah perayaan Imlek masih sah? πŸ™‚ Sah saja pastinya, yang menentukan sah atau tidak kan pribadi manusianya masing-masing.

Yang pasti bagi saya, pernah mengalami era “Imlek dirayakan lebih terbatas”, jaman sekolah dahulu di kelas murid tinggal sepertiga kelas karena “banyak yang ijin” tapi tetap ada ulangan dan yang absen dianggap nilai nol. Lalu tiba di tahun 1998 Gus Dur yang memperjuangkan etnis Tiong Hoa dan akhirnya dilanjutkan di jaman Megawati yang meresmikan Keppres No. 19 tahun 2002 tentang Imlek sebagai hari libur Nasional, dan berlaku hingga saat ini, maka perayaan tradisi tadi lebih terasa karena mendapat kesempatan sejajar dengan hari libur nasional lainnya.

———————–

Finally, 2015 Chinese New Year approaching, I want to share the wish of prosperity to you, all my students, friends and families:

 

Why use LaTEX?

The tool has always been as important as the technique. Once it was the slide rule, then the calculator, and now, computer is at the center stage.

LaTEX, a computer mark up language, is one of the tool that is still being used in scientific and academic community due to its precision, ease and portability. Unlike other commercial (although very popular solution), LaTEX is free and providing a simple introduction to the separation of content over style/formatting.

LaTEX might require some learning curve but the result is worth it. As an introduction, students might learn about LaTEX through editors like Codecogs before they can type it on their own.

My students use LaTEX to express trigonometry equations on their online assessment, below is the screen capture of one of my students’ work:

image

image

UN oh UN

*Picture from 9GAG.com/GAG/5275652

UN berganti peran. Dari penentu kelulusan menjadi alat pemetaan kemampuan siswa. Sesuai putusan pemerintah melalui Mendikbud tanggal 29/12/14. Menteri mengatakan bahwa penentu kelulusan adalah kebijakan sekolah yang bersangkutan.

Selama ini, di Indonesia, memang selalu berlaku standar evaluasi saja (melalui UN) sebagai standar kelulusan siswa (lingkup kecil) dan indikator keberhasilan pendidikan (lingkup besar). Sementara masih ada tujuh standar keberhasilan pendidikan yang lain, meliputi:
1. Kompetensi lulusan
2. Standar isi
3. Standar proses belajar
4. Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana pendidikan
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan pendidikan.

Jadi idealnya, memang dalam mengevaluasi siswa itu bukan hanya mengandalkan dari evaluasi di ujungnya saja, tetapi juga banyak faktor lain. Akibat jika hanya mementingkan di ujungnya saja, maka banyak sekali model dan metoda belajar di sekolah yang tak beda dengan hanya sebuah “bimbingan belajar”.

Lalu jadinya apakah maksud dari UN tidak lagi sebagai standar kelulusan?

UN (ataupun UAN, ataupun Ebtanas) di mata saya.

Anak-anak dari kota besar (Jakarta contohnya), mungkin harusnya menyikapi UN bukan sebagai masalah, meskipun sebagai standar kelulusan. Jika dibandingkan dengan anak-anak dari daerah terpencil yang mau pergi sekolah saja harus menempuh jarak yang sulit, tenaga pendidik dan pengajar yang kurang, media belajar yang kurang, maka kinerja anak-anak tersebut dalam sebuah ujian berada jauh di bawah dari perkotaan. Di sinilah, saya merasa UN tidak dapat dijadikan sebagai standar kelulusan semata, tidak adil.

Jika siswa dari Jakarta tidak lulus, bisa jadi karena memang si siswa tidak belajar, malas belajar dalam kelasnya sehari-hari. Jangan semua disamakan dengan siswa yang “sial” tidak lulus karena nilai UN nya di bawah standar padahal kinerja hariannya siswa predikat juara. Yang kasus kedua inilah, justru yang harus makin membuat kita menyetujui bahwa janganlah menjadikan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan siswa.

Namun sebaliknya, jika siswa dari daerah pedalaman, dengan segala kekurangan kelengkapan belajar tadi, dinyatakan tidak lulus karena gagal UN, maka kita bisa sekali dengan mudah menjatuhkan mental anak-anak tersebut (bahkan mungkin orang tuanya) yang akhirnya tidak mempercayai sekolah. Dalam benak mereka, untuk apa capai-capai menempuh perjalanan setiap hari ke sekolah, untuk apaΒ iming-iming program “Ayo Sekolah” yang diharapkan mampu memperbaiki taraf hidup mereka kelak, jika akhirnya tidak lulus oleh sekali ujian, lalu tidak punya ijasah.

Namun di sisi lain, entah dimulai dari kapan, banyak sekali masyarakat di perkotaan, mencakup dinas pendidikan, sekolah, bahkan guru sekalipun menyiapkan mental para siswa bahwa ujian ini super sulit dan menentukan sekali kelulusan siswa dari suatu jenjang, tentu saja jenjang SMA paling “mengerikan” plus tahun kemaren dipakai sebagai syarat masuk PTN.

Bentuk “ketakutan” tersebut menjadi beragam. Ada yang wajib ikut bimbel (baik di dalam maupun luar gedung sekolah), katanya belajar trik, trik menjawab soal UN, belajar “past paper” sampai hapal. Selama soalnya ditetapkan hanya pilihan ganda, bagaimana bisa yakin membuat siswa belajar “content”, memahami soal terlebih dahulu, lalu berpikir kritis bagaimana menjawab soal tersebut. Ekstrimnya, dengan pilihan ganda, siswa cukup menebak pilihan a sampai d (atau kalau di SMA sampai pilihan e). Di beberapa daerah selain Jakarta, saya banyak membaca melalui media tentang adanya ritual doa-doa agar siswa dimudahkan jalannya dan tentu saja agar lulus. Ada lagi pendistribusian soal dari pusat ke daerah-daerah yang didampingi aparat keamanan negara (wow banget kan?).

Ada satu contoh pengalaman pribadi, sewaktu mengikuti PLPG. Beberapa guru saling sharing tentang UN. Ada seorang yang jujur mengatakan bahwa dia “berjuang” mendapatkan kunci jawaban jam 4 subuh “demi” para siswanya. Inipun atas “instruksi” kepala sekolah. Saya ingat kata-katanya ” ya, bagaimana ya, tugas kita bantuin anak, itu anak kita, kalau kita tidak usahain, lalu tidak lulus, kita juga kena dari atasan, bikin malu sekolah ada siswa tidak lulus. Ibu-ibu pasti ngerti kan gitu, Ibu Hedy sih enak ngajarnya di sekolah anak pintar dan kaya (sambil menunjuk saya), kalau kami, sekolah kecil, anaknya bandel-bandel (seperti minta pembenaran)”.

Tidak perlu dibahas kan? Silahkan pembaca menerjemahkan sendiri πŸ™‚ Yang lebih miris adalah, saya dengar itu di acara pelatihan sertifikasi guru, dan hanya bisa menarik napas dan berguman “yaaa kenapa saya di sini ya?”

Berbagai Harapan Serta Masih Banyaknya Pertanyaan untuk UN 2015.

Setelah pak Anies Baswedan resmi memutuskan UN sebagai pemetaan pendidikan bukan sebagai standar kelulusan apalagi standar masuk PT, banyak pro dan kontra yang mengikutinya.

Tidak perlu membahas bagian yang pro, terutama bagian yang sebagai standar kelulusan, karena saya merupakan salah satu nya πŸ™‚

Yang kontra, antara lain membahas tidak adanya standar secara nasional, bagaimana pendidikan di daerah pedalaman bisa maju jika tidak ditarik standar ke pusat/nasional. Agak terbalik logikanya menurut saya, justru itulah maka dibuat menjadi pemetaan.

Untuk apa mempertahankan UN yang bahkan makin tahun makin menunjukan kemustahilan juga kebohongan. Nilai sekolah di tahun 2014 lalu harus 70%, nilai UN asli harus 30%. Tapi nilai sekolah harus disetorkan ke dinas setempat, entah dari dinas kemana lagi, saya tidak begitu tahu prosedurnya. Berlomba-lomba sekolah “mempercantik” nilai sekolah para siswanya (bahkan cerita seorang rekan kepala sekolah bilang pada saat melapor nilai siswanya 50, “diminta dengan hormat” oleh dinas setempat untuk diubah menjadi 60, atau tergantung kkm terendah saat itu). Pendidikan sudah masuk ranah politik. Makin tinggi nilai siswa, makin tinggi kelulusan, makin besar peluang dinas pendidikan daerah mempertahankan posisinya bahkan naik tingkat.

Jika UN dijadikan sebagai sarana pemetaan pendidikan di Indonesia, sementara lulus tidaknya para siswa ditentukan oleh sekolah masing-masing, apakah perlu setiap tahun dilakukan UN dan diambil oleh seluruh siswa kelas 6, 9 dan 12?

Apakah sekolah-sekolah akan lebih percaya diri untuk menyelenggarakan ujian sekolahnya sendiri, tidak perlu kuatir “dikejar-kejar” aturan dari dinas. Karena kalau sudah menyangkut dinas, sekolah bisa tidak enak hati kalau tidak mengikuti kemauan mereka (sering dengar alasan ini πŸ™‚ ). Atau saya bisa ikut bantu memberi semangat sekolah untuk “ayo para pengelola sekolah, kalian bisa melakukan ujian kalian sendiri, kalian punya standar sendiri asal benar dan jujur serta bertanggung jawab”. Atau memang sudah tidak ada lagi “jujur” tadi? Entahlah…..

Jika BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) katanya telah merangkum aturan UN yang baru, apakah akan sama saja perlakuannya seperti yang lalu? Misalkan, tetap ada ujian sekolah yang diseragamkan dalam hal kisi-kisi? Sehingga sekolah yang mengadaptasi tambahan kurikulum dari negara lain ujungnya pun melakukan sekolah kilat di jenjang kelas 9 maupun 12 untuk materi mata pelajaran yang ada di Indonesia sesuai kurikulum nasional? Karena jika benar bernama Ujian Sekolah, maka adalah sah harus topik yang sekolah tersebut tawarkan kepada para siswanya.

Tahun 2014 lalu, UN juga sebagai penentu masuk PTN, SNMPTN digantikan dengan hasil UN, sebagian ditentang, sebagian tetap ada yang pro. Alasan kontra rasanya lebih kepada logika bagaimana menilai performance seorang siswa jika hanya ditestkan secara pilihan ganda, siswa tidak diminta berpikir “higher order thinking” tadi.

Kalau hanya sebagai SNMPTN, siswa yang tidak ingin masuk PTN, logikanya tidak perlu mengambil UN bukan? Atau mungkin memang semua siswa diharapkan bersaing dulu di jenjang PTN baru dialihkan ke swasta πŸ™‚

Sekedar pengalaman pribadi dulu sewaktu saya masuk ke Universitas swasta, bahkan sebelum Ebtanas, saya dan ratusan teman dari berbagai sekolah telah diterima dan resmi telah membayar sebagai calon mahasiswa dari Universitas tersebut. Hasil NEM hanya disisipkan sebagai dokumen pelengkap saja.

Jadi, tidak heran banyak siswa dan orang tua makin bingung, jadi ambil UN untuk apa? Apakah sampai sekarang jika ingin masuk PT swasta tetap harus menyisipkan hasil UN nya? Dengan alasan mengacu kepada UU yang mewajibkan semua siswa WNI wajib mengambil UN untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya seperti ke PT?

Habis di Indonesia ini agak aneh, siswa yang SD nya tidak memiliki ijasah dari mengikuti UASBN (atau apapun sebutannya setara Ebtanas jaman dulu atau UN kini), dia tidak dapat mengikuti UN di SMP, dan lanjut tidak dapat mengikuti UN di SMA, sehingga tidak memiliki ijasah nasional, maka siswa bersangkutan konon tidak dapat kuliah PT terutama di dalam negeri. Padahal jika siswa ini sekolah formal terus, berpindah dari luar negeri, usianya cocok di tempatkan di SMP, harusnya dia tetap berhak mengikuti UN SMP ataupun SMA, dan berhak melanjutkan ke PT di Indonesia. Rumit πŸ™

Andai UN adalah sebuah ujian standar skala nasional yang hasilnya benar dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diambil oleh siapapun siswanya yang berkepentingan dan telah memenuhi persyaratan jenjang pendidikan tertentu.

Andai UN adalah ujian yang ditekankan sebagai salah satu syarat untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya namun bukan digeneralisasi harus semua siswa ambil, tetapi diambil karena siswa sadar dan tahu fokus belajarnya ke arah mana. Konsekuensinya jenjang pendidikan di atasnya benar harus transparant akan menyeleksi siswa dari hasil UN, bukan sekedar atas faktor kejar-kejaran cari murid, penerimaan siswa telah berlangsung, administrasi pembayaran telah berlangsung namun si siswa yang bersangkutan ujian saja belum.

Andai UN adalah ujian berstandar nasional yang tidak perlu diperlakukan seperti selama ini. UN sama seperti ujian yang dilakukan oleh sekolah. Jangan jadikan hasil UN untuk kepentingan sekolah dan dinas semata tetapi pakai UN untuk mengevaluasi siswa apa adanya. Tidak perlu menekan siswa dengan mengatakan UN adalah satu-satunya ujian terpenting dalam hidup mereka. Menekan lalu menakuti. Lebih berharga jika bukan menakuti melainkan menyemangati siswa bahwa tes ini sebagai proses dalam hidup mereka, terlebih tes ini berdasar sebuah standar, malah siswa dapat mengukur kemampuan mereka terhadap tes yang distandarkan berdasarkan jenjang pendidikan yang telah mereka tempuh.

Dan andai-andai yang lainnya……

Jadi akan bagaimanakah UN mulai tahun 2015 ini? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya πŸ™‚

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake