Ini Daerahku, Carilah Daerahmu

Curahan hati pagi hari menjelang upacara memperingati Proklamasi RI ke 70. *ID* #RI70

Alkisah di suatu kota besar nan megah sebagai salah satu kota terbesar di dunia (metropolitan, katanya), ada suatu daerah perumahan megah nan permai, indah merona, aman sentosa, memiliki peraturan hidup yang maha dahsyat.

Di sudut-sudut perumahan ini banyak tertulis spanduk-spanduk peringatan bagi para warganya dan para pelintas yang menggunakan (katanya fasilitas) jalanan warganya.

“Bagi para pengendara, dilarang melawan arus”

“Mobil/motor dilarang ngebut-ngebutan”

“Ini bukan jalan umum untuk dilalui menuju sekolah’

Bagus bukan? Untuk mengingatkan kesadaran semua orang yang melalui jalan tersebut, jelas hal itu bagus dan bermakna. Manusia kalau tidak diingatkan, mudah sekali lupa.

Namun, sayangnya, begitu melewati jalanan utama perumahan yang lebarnya mencapai 10 meter (minimal), mudah sekali menjumpai para pejalan kaki pagi hari, menggunakan jalanan tidak sesuai aturan. Jalan / lari pagi di sisi kanan jalan, di tengah jalan, dengan wajah pongah menunjukkan “Ini punya kami, fasilitas ini kami yang bayar, jadi kami boleh begini. Peraturan itu untuk kalian yang tidak memiliki ini semua”. Mudah sekali membaca pikiran seperti itu dari wajah-wajah yang nampak.

Jadi ceritanya ada sekolah yang dibangun di ujung perumahan yang masih merupakan tanah fasum.

Jika jalanan itu merupakan akses menuju suatu bangunan di tanah fasum (fasilitas umum), maka fasum yang harus tahu diri. Demikian kira-kira jika setiap hari selalu dengan alasan baru menutup akses dengan mengunci pintu-pintu gerbang perumahan untuk mencapai lokasi sekolah yang berdiri di atas tanah fasum tadi.

“Kenapa dong, tidak permisi dulu kepada kita untuk bangun sekolahan di sini, sopan-sopannya situ tahu aturan dong bagaimana musti permisi dulu, kita jadi terganggu kan, masak kita jadi tidak bisa olahraga pagi, polusi, berisik, lalu lalang mobil kalau kalian lewat jalan ini.” Jadi kira-kira begini “Kalau kalian permisi kan kalian tahu tidak bisa bangun sekolah di sini karena kami tidak ijinkan” (oh begitukah?).

“Siapa Pemda yang memberikan ijin mendirikan bangunan sekolah di atas tanah fasum? Eks Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok? Ah mana cukup hanya mereka. Pemda tahu apa sih? Memang Pemda yang kasih makan kita? Memang Pemda yang kasih rejeki sama kita? Enak aja, kita beli kavling sendiri nih, kita kasih makan keamanan di sini buat jagain kita, situ jangan enak aja bilang dapat ijin Pemda……” (tarik napas dulu) Bagaimana tidak hal itu terus yang terngiang di benak saya setiap menyaksikan kejadian pemblokiran jalan yang sudah berlangsung tiga minggu belakangan ini.

Waktu saya tanyakan kepada pak Satpam dan meminta untuk dibukakan celah saja supaya jalan kaki bisa lewat, pak Satpam hanya bilang “kami hanya diperintah bu, kami saja tidak pegang kunci”…. dan seperti lingkaran setan yang butuh ditebas pedang mengkilat tajam, warga kecil dibayar warga ber-uang banyak, lalu harus patuh, melayani, mengikuti, supaya tetap dapat makan, rakyat kecil di bawah, rakyat besar (?) di atas, rakyat bawah sepatutnya ikuti rakyat atas….. Apapun itu, ada sistem yang memang jelas salah di Indonesia. Salah gak salah deh, kan isi Proklamasinya saja ada hal-hal yang mengenai pelaksanaan sebuah negara merdeka masih bagian dari “dan lain-lain” dan bebas saja mendefinisikan “dalam tempo sesingkat-singkatnya”, singkat menurut saya? menurut anda? menurut negara? menurut pendiri sekolah? menurut Pemda pemilik fasum? menurut warga setempat? 🙂

70 tahun sudah kemerdekaan, tetapi mau lewat jalanan umum (umum menurut saya dan pribadi menurut warga setempat) harus distop dan bahkan dilarang karena kunci dipegang penguasa setempat. Kunci “dan lain-lain” perijinan akan diberikan jika pihak sekolah dan Pemda mau bernegosiasi lagi “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Waktu bergulir hampir jam 7.15 dan siswa semakin banyak berdatangan dengan berjalan kaki melewati gerbang yang dipermasalahkan tersebut…… Semoga esok hari lebih baik dan sekarang saya harus bersiap-siap karena upacara akan segera dimulai jam 7.30 nanti.

Apapun itu, Dirgahayu Republikku! Makin maju dan jaya Indonesia!

 

Peran Guru atau Orang Tua (?)

image
Gambar diambil dari http://schools.dekalb.k12.ga.us/salem/parentresources/images/80F0BDFA2FEF4C08AE4DFB384073BC4B.gif

Dua minggu yang lalu, saya berkesempatan mengambil rapor Matthew. Dia sudah menyelesaikan kelas 8 dan akan menempuh kelas 9 semester depan. Sebagai orang tua tentu saja saya merasa “dag dig dug” menghadapi hasil evaluasinya nanti. Saya rasa kebanyakan orang tua mungkin mengalami perasaan yang sama, dengan kadar yang tentu saja berbeda-beda.

Orang tua mana yang tidak bangga mendapati anaknya yang memiliki nilai akademis terbaik atau ada dalam kelompok terbaik.

Atau orang tua mana yang tidak menjadi sedikitpun kuatir mendapati anaknya yang kurang secara akademis ataupun secara pergaulan. Memang betul, banyak sekali pelajaran berharga bagi kita para orang tua tentang kenyataan bahwa bagus tidaknya anak dalam prestasi akademis di sekolah tidak menunjukkan bukti konkret akan keberhasilannya di masa depan. Sayapun melihat, makin banyak orang tua yang makin menyadari bahwa prestasi itu beragam dan prestasi sekolah bukan kunci satu-satunya.

Saya pribadi, sebagai guru, memahami bahwa prestasi siswa atau anak bukan hanya melulu diukur melalui tingkatan peringkat di kelas saja, saya termasuk yang setuju bahwa sekolah yang masih mengedepankan ranking untuk siswanya adalah sekolah yang kurang menghargai proses belajar si siswa itu sendiri.

Kondisi ini berlanjut menjadi kultur di banyak sekolah (atau kalau boleh saya sebut sebut kultur pendidikan di negara kita). Seorang siswa saya dua tahun lalu, anggota penyanyi “Di atas rata-rata” pimpinan Gita Gutawa, anak cerdas, pintar, namun kesibukan dia dan seiring bertumbuhnya dia menjadi remaja, mendapati dirinya ternyata tidak lagi secemerlang waktu SD dalam hal prestasi akademis. Anak ini pernah mengungkapkan bahwa sebenarnya di rumahpun dia sering terkena marah, karena nilai akademis dari sekolah terlalu banyak angka 6. Sebagai gurunya, kita butuh menggali kreatifitas dalam mengajar, anaknya sulit diam, dia pasti banyak bergerak, bergumam lagu, dan pokoknya selalu bergerak, kepalanya, kakinya, tangannya. Coba bayangkan bagaimana dia harus bertahan 8 jam sehari di sekolah untuk duduk manis dan mendengarkan semua pelajaran. Hampir mustahil, bukan? Saya katakan padanya bahwa yang dia butuhkan adalah keseimbangan, seimbang antara kariernya, sekolahnya, dan cara belajarnya, dan berusaha memberi masukan bahwa nilai akademis jangan dijadikan patokan keberhasilannya semata, karena justru di usianya saat ini dia sedang belajar sekaligus dua hal, sebagai pelajar dan penyanyi. Tanggapan anak ini malah berbalik bertanya pada saya apakah saya bisa menjamin bahwa ada sekolah yang tidak menuntut nilai? Yang tidak melulu ribut nilai siswanya di bawah kkm? Yang tidak ributin harus lulus nilai UN?

Kembali pada saya. Sejujurnya, saya paling malas menjawab pertanyaan orang tua yang bertanya “anak saya ranking berapa ya? Kalau tahu rankingnya maka saya bisa mendorong anak saya lebih keras”. Dan banyak lagi pertanyaan seputar ranking tadi. Walaupun malas, ya tetap saja saya jawab pertanyaan-pertanyaan seputar hal itu, karena mungkin memang si orang tua ini ingin memiliki kebanggaan yang nampak saat ini, ya tidak apa-apa juga asal dalam porsi yang masih masuk akal. Tetapi saya pernah mendapati pernyataan yang lebih mengesalkan yaitu pernyataan bahwa si anak akan dapat sangsi jika tidak meraih peringkat satu….ah segitunya. 😊

Tiba waktunya bagi saya untuk mengalami peran sebagai orang tua siswa kelas 8. Di mana siswa ini, anak saya, si Matthew, anak aktif, berusaha kenal dengan semua siswa, sering diajak main gitar, tim futsal, ikutan basket pula, jadi ketua kelas dua semester, tetapi tidak mau bergabung dengan OSIS, sedikit “tipikal” anak abege yang makin cuek akan berasa makin “kewl”.

Tanpa perlu bertanya panjang lebar kepada guru wali kelasnya perihal ranking, yang mana saya juga tidak pernah bertanya duluan tetapi gurunya setiap semester pasti memberitahu perihal ranking (katanya rata-rata orang tua murid pasti bertanya), daftar nama 10 besar peringkat kelas terpampang di papan tulis. Reflek saya menegur Matthew, “wah, kamu merosot nih peringkatnya, kabur dari 10 besar”. Aduh, saya bicara demikian? Senyum sendiri sih tetapi tetap saja saya ambil kesempatan sebagai orang tua dan memberikan nasehat pada Matthew tentang belajar yang lebih tekun.

Matthew bilang ada rasa malu karena prestasinya menurun, otomatis dia menggunakan skala ranking tadi untuk mengukur dirinya. Wah dilema nih, bagaimana mengatakan yang cukup tepat kepadanya bahwa benar bukan ranking sebagai tujuan akhir tetapi ranking adalah imbas dari belajar serius. Di sisi lain, mau tidak mau saya membenarkan, bahwa Matthew harus menyadari kekurangannya. Ketidakseriusannya dalam belajar pelajaran sekolah setidaknya membuatnya berpikir lebih dewasa. Saat ini, di usianya sekarang ini, tugas utamanya berdasarkan status pelajarnya adalah belajar.

Tiba giliran saya berhadapan dengan guru wali kelasnya. Obrolan berlangsung cukup singkat, sang wali kelas mengatakan bahwa Matthew tidak ada masalah, pintar, mau membantu guru dengan tidak pernah mengeluh menjadi ketua kelas dua semester, siswa yang diandalkan bisa menggerakan motivasi kelas, jago futsal dan masuk tim, jago main gitar. Berbunga-bunga lah hati saya sebagai orang tua. Lalu saya mencoba menyeimbangkan pernyataan ibu wali kelas ini dengan menyinggung pelajarannya yang kurang memuaskan sambil melirik Matthew yang juga terlihat lega “tidak dimarahi” gurunya. Tetapi lagi-lagi ibu guru mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah, Matthew butuh sedikit lebih rajin membaca untuk beberapa pelajaran yang memang harus menghapal. “Ah, ibu, tidak apa-apa, itu mah bagus kok, tinggal ditingkatin lebih rajin saja, anak ibu sama sekali tidak ada masalah, pintar kok” demikian tepatnya kata-kata sang wali kelas.

Saya tersenyum sih dalam hati, sebagai guru (dengan idealisme yang saya sebutkan di atas), sadar betul bahwa Matthew meraih prestasi sekolahnya cukup baik, cukup imbang antara akademis dan sosialnya. Tetapi sebagai orang tua, jujur saja, masih gereget dengat kata-kata gurunya, berharap gurunya “menegur” Matthew dan mengatakan “kenapa fokusmu hanya futsal terus dan tidak belajar?” (Hahaha, ya benar sekali, saya seperti sedang mencari pembenaran melalui gurunya 😛).

Matthew pernah menuliskan sebuah catatan tentang pelajaran sejarahnya sewaktu dia kelas 5 SD, dan catatan itu menjadi sebuah artikel yang paling berperan memberikan “hit” terbanyak pada website saya.

Intinya, inilah yang saya katakan kepadanya, bahwa belajar untuk senang dulu pada pelajaran, maka kesenangan belajar akan muncul dengan sendirinya. Benar ada faktor luar yaitu sang pengajar alias guru, tetapi faktor terpenting tetaplah diri kita sendiri.
Jika kita mengabaikan belajar, maka kita yang akan ketinggalan, banyak tidak tahu dan menjadi tidak mau tahu bahwa berkembangnya ilmu di luar sana sudah sangat pesat. Ini bagian susahnya, dan terhadap anak sendiri, nampak lebih susah.

Kenyataan bahwa dunia pendidikan di Indonesia, melihat banyak faktor nilai dan peringkat, saya katakan sebagai bonus dan imbas apabila kita rajin belajar dan selalu siap menghadapi tes apapun, maka keuntungan ganda akan didapat, makin kaya ilmu sekaligus mempermudah kita melenggang ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Transform What’s Possible

Schoology

For me, Schoology is one of the best Learning Management System that I have used so far. Of course, the best one still hold by Moodle. I started use Schoology Basic since July 2014 regularly everyday in my classes.

I was very excited when my school planned to develop Schoology from Basic version into Enterprise. But then, not long from that, with some reasons, they decided not to apply Enterprise version for the next academic year. I am not sure why they postponed, but seems like I must wait for the next great opportunity 🙁 .  As a teacher in class, Schoology Basic is good enough. However, if we want to see the bigger picture as a school, Schoology Basic can not be controlled by school admin. When school enforce teachers and students to use this, it would be better if there is Admin who can control and check everything that has been done in Schoology.

I want to share my experience with Schoology Basic. Together, me and students, we build up a new environment about learning experience.

Things that I like from Schoology and the benefits for me and my students in learning are:

I can write mathematics equation very easy in Assignment, Tests / Quizzes, use equation or even LaTex, in “Insert Content”. When I use LaTex in my post, I open website equation editor like codecogs, then I can just do copy and paste into my LaTex post. Yes, I did Copy and Paste, but I also can learn how to write mathematical notation and mathematical expressions using LaTex. I also encourage my students to do this when submit assignment. It takes time to type mathematical expression, of course, but look at the good side, we save papers and apply “go green” in our daily activities.

When I installed Schoology apps in my Iphone, and turned on the notification, I can be easily contacted by my students anytime, anywhere. Once I sent the message or uploaded news, some of them send me back their responses. Same in opposite way, when they need to ask questions for homework or tasks, they send me an email, I receive it and even respons with answers to them in the same time. Our students live in social media era. I try to bring their school life too through Schoology as one of their medias.

SCH 1

Schoology is a friendly apps. I use my “Penultimate” as my white board in class, and the white board can be easily sent to Schoology as a picture in png format, or of course as a link from Evernote. I also arrange my flip classroom video in “Explain Everything” , and once exported to camera roll, I can upload the video in Media Album in my Schoology. And students can study individually based on their own pace at home.

I can have my own report card to all students and it does not need to be printed. It is updated anytime when we finish one assessment. They really can see their progress.

SCH 4 SCH 3

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake