Gubernur vs Gabener

Uhm… Sudah 6 bulan 14 hari, kalau tidak salah, pak Ahok di penjara. 6 bulan? Bagi saya yang jadi guru, berasa cepat, satu semester ajaran telah berakhir. Bagi pak Ahok? euuh entahlah, pasti lama. Bagi keluarganya? Jelas lama banget.

Pak Ahok ini masih menjadi “the one and only” Gubernur saya sih. Sekarang ini Jakarta kehilangan Gubernur sebenarnya. Yang ada hanya penguasa dan yang merasa berkuasa. Sok… monggo…

Kata kaum sana, jika masih membicarakan pak Ahok, artinya belum bisa “move on”. Emang siapa di sini yang 42% bisa move on dari Gubernur kita? Kayaknya gak ada kan? Ya kalau kaum sana yang 58% marah dan tersinggung dengan ketidak “move on” an kita, ya silahkan dong, kan yang punya kelompok JKT58 ya kalian, bukan kami. Hehe…

Kenapa sih memilih tidak mau move on? Sebenarnya saya pribadi sih bukan masalah bisa move on atau tidak. Saya hanya tidak menganggap ada Gubernur lain setelah pak Ahok dan pak Djarot. Gabener sih ada dong, Gubernur yang tidak ada.

Bagaimana mau bener, kalau nafsu menang mengalahkan segalanya, menjual kata-kata manis untuk kebanyakan penduduk yang (maaf) memang masih bodoh. Mengancam lewat agama. Sumpah, itu sudah bagian yang paling menunjukkan kualitas manusia paling rendah. Wait…. emang Gabener manusia? Ya kali.

Apa ya contoh-contoh yang membuat Anies itu semakin tak ada nilainya di mata saya? Pertama, raut mukanya itu lho, ya ampun…… Tapi ya gitu, raut wajahnya menunjukkan ada keberpihakan dari suatu kegelapan, kemunafikan, ketamakan, keegoisan, kebodohan dan lain lain….

Apakah dia politikus sejati? Jika politikus didefinisikan sebagai jilat sana jilat sini, bicara sebentar A, sebentar B, bisa jadi si Anies ini politikus handal.

Dahulu mengatakan visinya yang ingin menenun kebangsaan, tetapi sekarang mendukung NKRI bersyariah. Dahulu menyatakan ormas tertentu tidak sesuai dengan Pancasila, saat Pilkada malah memuja sang ketua ormas di hadapannya bahwa inilah sang pemersatu bangsa. Gilak apa ya. Dahulu menyatakan kita adalah bangsa Indonesia, sekarang rebut Indonesia karena kita pribumi harus kembali mengambil alih negara ini. Super gila.

Bagi saya, yang paling “memuakan” dari kelakuan Anies adalah menyalahkan pak Ahok terlebih dahulu untuk sebuah keputusan gila yang dia perbuat. Harus salah pak Ahok dulu, lalu seenaknya berkicau ke mana-mana di media. Dan tertangkap basah telah salah bicara, enak saja bilang (contohnya) “salah alamat pengiriman masih bisa ditolerir”. Mau menaikkan APBD sedemikian besar? Tanggung jawabkan sendiri, ini malah menutupi borok dengan menyalahkan orang lain. Pengecut dan main kasar. Pak Ahok sedang dipenjara, beliau tidak bisa membela dirinya, lalu dua sontoloyo ini selalu melempar kesalahan kepada beliau? Duh, rendahnya.

Sebegitu takutnyakah mereka yang 58% memilih pemimpinnya yang seperti ini? Bolehkah saya bertanya, apakah penyebab ketakutan kalian akan pemimpin benar dan adil namun berbeda keyakinan dengan kalian? Yakin sih, gak bakal ada yang mau jawab. Sudahlah, saya tidak mau bermain pula dengan keyakinan dan Agama itu.

Memecah belah masyarakat dengan perkataan “kaum pribumi harus merebut kembali….”, tak apa asalkan santun. APBD melonjak, tak apa asal santun. Memfitnah orang lain, tak apa asal santun. Mendukung perubahan falsafah negara, tak apa asal santun. Anies termakan oleh gayanya dan pencitraannya sendiri yaitu ingin santun. Maaf, santun adalah jauh dari Anies. Lihatkah kalian cuplikan-cuplikan video Anies saat menjadi jubir Jokowi di tahun 2014 lalu? Dan bandingkan dengan gaya Anies di Pilkada dan saat ini? Seperti melihat kepribadian ganda kah? Atau lihat orang mabok? Hilang ingatan? Anda paham kan maksud saya?

APBD Jakarta 2018 mencapai lebih dari 77 trilyun rupiah (dari tahun sebelumnya 71 trilyun), yang mana di dalamnya terdapat sejumlah 28,99 milyar rupiah untuk TGUPP), dan dana hibah di beberapa bidang. Salah satunya HIMPAUDI 40.2 milyar dan PGRI 367 milyar. Lalu terbitlah selebaran yang berseliweran di grup WA guru-guru swasta tentang “Persyaratan Pendataan Guru Swasta Untuk Mendapat Tunjangan dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Wow bukan? 🙂 Lalu organisasi Guru yang lain seperti FSGI, IGI dan lain-lain merasa cemburu, mengapa dana hibah disalurkan hanya melalui PGRI…… jreng jreng jreng….. selamat lah kalian guru yang akan meminta dana hibah tersebut. Gaji guru swasta yang hanya 1 juta rupiah bersaing dengan yang sudah mencapai 10 juta rupiah, ditambah dengan tunjangan sertifikasi, sekarang berebut dana hibah. Saya hanya mampu berucap selamat mengejar hibahmu 😉   *Cari makan gak gitu-gitu amatlah tapi Anies Sandi mengadu domba guru semua.

Kebetulan dan untungnya di sini adalah, saya tidak pernah merasa terjebak “menyukai” sosok Anies yang di awal kemunculannya dahulu menyulut orang banyak untuk kagum dan terpesona dengan kata-kata yang santun dan bahasa-bahasa nan indah yang sering dia ungkapkan. Sejak awal, saya kurang menyukainya.  Mungkin karena saya tidak sreg dengan orang yang suka berkata-kata terlalu muluk, jadi rasanya ada yang tidak berkenan melihat sosok ini. Ya tentu saja ditambah gaya Anies yang kalau bicara disertai dengan memelet lidah ke bibir, entah apa maksudnya, tidak suka saja. Titik!!

Ketidaksukaan ini pernah saya ungkapkan dalam pembicaraan di media pesan online dengan seorang rekan senior yang kebetulan pula merupakan tetangga Anies semasa di Jogya. Rekan ini mencoba menasehati saya dengan mengatakan susah mencari orang baik sebagai pemimpin, Anies orang baik. Baiklah. Saya mencoba menyikapi dengan kebetulan mendapat undangan berada di ruang yang sama dengan “mantan Menteri Pendidikan” ini di suatu acara di bulan Mei 2016. Di mana rekan-rekan guru lain berebut mengambil foto bersama Anies, dan saya ingat saat itu saya merasa baiklah saya mau satu ruangan dengannya, tetapi ambil foto? gak lah, mending saya berfoto bersama Denny Chandra, sang host 🙂

27 Juli 2016, jabatan menteri pendidikan itupun dicopot oleh Presiden Jokowi. Pertanda apa? Hanya Presiden yang tahu persis dan Tuhan tentunya 🙂

Dicopot, lalu berambisi menjadi DKI 1, lalu berhasil menjungkalkan pak Ahok, bahkan sampai ke penjara.  Ow, tentulah, ini akan disanggah toh sama Anies, ya pasti dan tak apa-apa. Tetapi rekam jejak, kelakuan Anies dan tim sukses yang membawa agama ke dalam perpolitikan, jubir Pandji, penasehat Eep, kenyataan Riziek bisa satu lokasi dengan Anies, pak Djarot yang notabene Islam namun diusir dari Mesjid, semuanya makin menunjukkan bahwa Anies adalah penjilat, kemaruk kekuasaan, menghalalkan segala cara dan mengemasnya dengan kata-kata buaian yang menyejukkan sebagian orang yang menurut saya itulah hipnotis kata-kata oleh Anies. Alhasil, yang terpengaruh 58%, yang menjadi korban adalah kita semua. Terngiang kata-kata “Anies orang baik”……. saya percaya pada dasarnya semua manusia adalah baik, tetapi jika di hati seseorang ditumbuhkan jiwa iri, dengki, jahat, hawa nafsu menguasai, membuka diri untuk pengaruh ketidakbaikan tadi, maka yang seharusnya manusia adalah baik, lambat laun akan berubah menjadi manusia tidak baik.

Sedih memikirkan Jakarta. Setelah puluhan tahun hidup di Jakarta, paling berkesan dengan jaman pak Ahok, perubahan itu nyata, kali bersampah menjadi kali bersih, jalanan berantakan, menjadi jalanan lebih mulus, banjir menjadi berkurang di beberapa titik utama banjir selama ini. Dan kebaikan itu diganti bagai hujan sehari, oleh orang semodel Anies. Jika memang diganti oleh orang yang bukan Anies, menang Pemilu secara wajar, saya rasa kita sedih kehilangan tetapi akan melanjutkan dengan Gubernur baru.

Sekarang? sudah mual dengan Gabener Anies dan Sandi (tolong jangan dilupakan ini paket bersama 😉 ). Sulit untuk tidak sedih melihat kenyataan sehari-hari, ada saja berita-berita tentang mereka yang luar biasa tidak masuk akal.

Kangen pak Ahok, adalah ungkapan perasaan hati banyak rakyat Jakarta yang benar-benar memahami perubahan terbaik untuk Jakarta. Kangen ketegasan pak Ahok memelihara sejarah Jakarta, seperti Monas, dengan tidak mengijinkan dipakai sebagai sarana pesta keagamaan tertentu. Karena Monas adalah Monumen Nasional, bukan gedung / lapangan untuk tempat sembahyang. Yang oleh Anies kembali dipakai pertama kali untuk acara shalawat, lalu sebenarnya berlanjut untuk reuni (pasangannya reuda – red 🙂  jayus) 212. Kelihatan kan polanya, memberi ijin di awal, untuk sesuatu yang lebih besar demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, ingin mengubah falsafah negara Pancasila menjadi NKRI bersyariah. Pejabat Pemerintah ikut di dalamnya? Aneh? iya, bagi saya sangat aneh semua ini.

Tetap sehat di Mako Brimob ya pak Ahok. Berkarya dari balik jeruji. Kuatkan hati, iman dan fisik. Tuhan berkati.

GeoGebra @EduX – October 2017

On Saturday, 14 October 2017, I joined the event held by EduXpert, in Menara Kibar, Menteng. The event based on their motto, “with the aim of enhancing the integration of technology in the classroom, so that it directly impacts students’ learning attitude and the understanding of teaching materials”, fits for us, the educators.

I had opportunity to share my class with GeoGebra, a tool that exist from 2001. After 16 years, GeoGebra still commit to help students and teachers to discover Math deeper. Solve equations, graph functions, create constructions, analyze data, explore 3D math. Amazing!

Last month, in September 2017, they launched the shiny new GeoGebra Graphing Calculator and Geometry apps. The completely revised design and cool new features are available for all devices.

They also make “Turn your Phone into an Exam Calculator”. The exam mode has been developed to create an easy-to-use solution for paper based exams where phones or tablets with the GeoGebra Graphing Calculator app replace a traditional calculator. During exam mode, students are offline and can only use the GeoGebra app – nothing else.

I (and hopefully Math Teachers 🙂 )love GeoGebra because:

  • It allows me and teachers to continue teaching. GeoGebra doesn’t replace me. It helps me what I do best – teach.
  • It allows me and teachers to plan and deliver better lessons. GeoGebra gives me the freedom to create lessons that I know know my students will find interesting.
  • It allows me and teachers to connect to other teachers as a part of a global math community.

I really do hope for my students and all students who use GeoGebra, to love it, too, because:

  • It makes math tangible. GeoGebra makes visual way, students can finally see, touch and experience math.
  • It makes math dynamic, interactive and fun (fun?? 🙂 ), that goes beyond whiteboard and leverages new media.
  • It makes math accessible and available.
  • It makes easier to learn. The interactions created by GeoGebra fulfill the students’ need in order to absorb mathematical concepts.

So teachers, don’t just wait, please go and explore GeoGebra as much as you can to fulfill your mathematics class’ need and makes your students absorb more concepts 🙂

Below are photos and a video during my sharing session sparks:

 

GESS Indonesia 2017

 

This year, I had opportunity again to join GESS as one of the speaker in their Conference Section.

I shared twice. My personal sharing session on 28 September 2017, and as an Microsoft Innovative Educator Expert on 29 September 2017.

In my personal sharing, I shared about Desmos Classroom Activities, a collection of unique and engaging digital activities, which are free for you and your students.

You can choose bundles from other teachers sharing and use them in your class. Or even you can create your own activities that fit for your students and see how they will learn Math and love learning Math.

Here is my presentation:

In my second sharing, I shared OneNote Class Notebook in Classroom. OneNote is a member of the Microsoft Office family. With OneNote, I bring my students together in a collaborative space or give them individual support in private notebooks. And no more print handouts. I can also organize lessons and distribute assignments from a central content library.

Here is my presentation:

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake