Enjoy the slide show photos with the song that you prefer 😀
Selamanya Cinta – Yana Julio
Sinaran – Sheila Madjid
Memori – Ruth Sahanaya
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji – Paramitha Rusady
Enjoy the slide show photos with the song that you prefer 😀
Selamanya Cinta – Yana Julio
Sinaran – Sheila Madjid
Memori – Ruth Sahanaya
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji – Paramitha Rusady
Telepon seluler menjadi sebuah kalkulator ujian?
“Wah, kami tidak dapat melakukan hal tersebut. Siswa tidak dapat membawa telepon seluler mereka ke sekolah. Walaupun diijinkan, bukan untuk dibawa masuk ke dalam kelas. Aplikasi apa yang dapat dipakai sebagai kalkulator ujian? Dan bagaimana hal tersebut dilakukan?”
Banyak pertanyaan dan kekuatiran berkaitan dengan “diijinkan” kalkulator dipakai di dalam kelas tadi. Bagaimana jika kalkulator digunakan di kelas Matematika, bukan membuat siswa pandai matematika malah membuat “bodoh” dalam berhitung dan tidak cepat dalam berpikir taktis matematis untuk menjawab soal-soal. “Kekuatiran” banyak rekan guru Matematika sepertinya 🙂 . Sementara untuk guru-guru yang mengajar berdasarkan silabus Cambridge, mungkin tidak masalah dengan penggunaan kalkulator oleh siswa.
Kalkulator saja sudah berat permasalahan perijinannya, lalu ditambah pula dengan kalkulator di dalam telepon seluler. Kalkulator grafik pula. Bagaimana ceritanya ya?
Saya ingin membagikan cerita mengenai penggunaan kalkulator grafik pada saat tes harian di kelas saya minggu lalu.
Saat ini, semua siswa saya memiliki telepon seluler pribadi. Kebijakan sekolah kami mengijinkan telepon seluler boleh dibawa ke sekolah dan ditaruh dalam loker penitipan. Jika dibutuhkan dalam pembelajaran di dalam kelas maka telepon dapat diambil dan digunakan di bawah pengawasan guru bidang studinya.
GeoGebra (sebuah perangkat lunak matematika dinamis untuk segala level pendidikan yang membuat geometri, aljabar, “spreadsheets”, grafik, statistik dan kalkulus, menjadi suatu paket yang mudah digunakan), per 19 September 2017 (dari blognya Geogebra) lalu meluncurkan sebuah aplikasi kalkulator ujian. Di mana hal ini telah dikembangkan untuk menciptakan solusi yang mudah digunakan pada saat ujian tertulis (paper based exam). Telepon dengan aplikasi GeoGebra Grafik Kalkulator menggantikan grafik kalkulator tradisional. Selama ujian berlangsung, siswa akan offline dan hanya dapat menggunakan aplikasi GeoGebra – tidak ada yang lain. Semua ini tanpa perangkat lunak dari pihak ketiga atau setup yang rumit untuk para guru.
Di mode ujian ini, kita dapat terus-menerus memonitor bahwa telepon yang dipakai sedang dalam keadaan offline dan hanya aplikasi GeoGebra yang sedang berjalan. Ada garis (di bagian paling atas layar telepon) berwarna yang mudah terlihat (warna hijau = semua bagus, warna merah = peringatan telah terjadi indikasi kecurangan) menunjukkan kapan saja apakah siswa tersebut telah meninggalkan aplikasi GeoGebra atau tidak. Selain itu, ada pencatat waktu berjalan di latar belakang yang mencatat semua kejadian menjadi log ujian. Dengan demikian seorang siswa tidak dapat meninggalkan layar kalkulator atau memulai kembali mode ujian tanpa pemberitahuan dari guru. Log ujian mereka akan menunjukkan waktu berbeda (bisa lebih singkat) daripada siswa lainnya. Log ujian dapat diperiksa oleh guru setiap saat.
Begini cara kerja menggunakan grafik kalkulator di telepon seluler:
Siswa melakukan hal berikut:
Guru melakukan hal berikut:
Kembali ke polemik menggunakan kalkulator untuk ujian, apakah diperkenankan?
Saya pribadi menjawab, mengapa tidak?
Mari kita lihat definisi kalkulator. Kalkulator adalah sebuah alat bantu berhitung. Grafik Kalkulator adalah alat bantu menggambarkan grafik secara tepat. Jadi kalau dimanfaatkan sesuai fungsinya, tidak ada masalah bukan? Dan juga berada pada indikator penilaian yang akan diujikan.
Adapun yang terjadi di kelas saya minggu lalu adalah sebagai perwujudan pembelajaran berdasarkan kurikulum “Cambridge IGCSE”, dengan mengutip dua silabus yang terdapat di sana yaitu:
Maka berdasarkan silabus di atas, dan indikator pembelajaran adalah membuat siswa mampu menghitung luas bidang datar yang dibatasi dua atau lebih kurva fungsi, ide memanfaatkan penggunaan grafik kalkulator online dari GeoGebra muncul. Tentu saja hal ini tidak dilakukan jika indikator pembelajaran adalah siswa mampu menggambarkan grafik beberapa fungsi secara manual.
Siswa diuji ketrampilan menghitung luasan dengan menggunakan integral, bukan kepada menggambar grafik kurva fungsinya. Dalam waktu satu jam pelajaran (50 menit) di kelas, efektifitas pengujian tersebut menjadi meningkat, karena siswa mampu menggambarkan luasan yang dimaksud dengan lebih tepat dibantu oleh grafik kalkulator. Siswa saya tidak ada yang memiliki kalkulator dengan fungsi grafik. Karena kalkulator tersebut juga tidak diijinkan dipakai pada saat ujian Cambridge.
Namun masalah tidak memiliki grafik kalkulator menjadi mudah terselesaikan dengan kepemilikan telepon seluler oleh semua siswa. Dan gratis pula. Serta, fasilitas mode ujian, menambah nilai positif penggunaan “GeoGebra Graphing Calculator Exam Mode” ini di dalam kelas.
Berikut foto-foto dan video yang terekam selama ujian berlangsung di kelas.
If people are good only because they fear punishment, and hope for reward, then we are a sorry lot indeed. ~ Albert Einstein
Reward dan Punishment, masihkah relevan dengan pendidikan saat ini?
Kalau saya melihat masa hidup Einstein, yang lahir tahun 1879 dan wafat tahun 1955, dan memberikan quote seperti di atas, rasanya Einstein melihat betul bahwa era kelahirannya di akhir revolusi industri sudah berbeda dengan era beliau beranjak dewasa.
Jadi seperti menegaskan, hati-hati dengan ungkapan Reward dan Punishment ini. Digunakan saat kapan, dan kepada siapa. Itu menjadi faktor-faktor penting yang harus dipertimbangkan.
Jika kita menonton pertunjukan aksi hewan di sebuah sirkus katakanlah, kita menyaksikan secara langsung, sang pawang yang memberikan reward berupa ikan kecil kepada anjing laut apabila bisa melakukan atraksinya dengan benar. Lalu kita juga melihat ada semacam tali untuk dipecutkan, seolah-olah pelatih / pawang menegur hewan yang dilatih untuk tidak salah melakukan atraksinya seperti yang diajarkan, seperti memberi tanda “saya hukum kamu kalau tidak benar atraksinya”.
Lalu bagaimana menggunakan Reward dan Punishment di dalam pendidikan anak-anak? Menurut saya, definisi anak-anak pun harus terbagi dalam beberapa jenjang. Anak TK – SD kelas 2, kelas 3 – 5, kelas 6 – 8, kelas 9 – 10, dan kelas 11 – 12. Perlakuan kepada mereka harus dibedakan.
Saya bukan pakar dalam hal ini, namun pengalaman belajar dan mengajar, mendorong saya untuk menghindari Reward dan Punishment dalam manajemen kelas saya. Menghindar di sini bukan berarti tidak mendukung Tata Tertib Peraturan Sekolah. Peraturan tetap harus ada. Konsekuensi terhadap tidak berjalannya peraturan secara benar juga tetap ada.
Meyakini “Reward” adalah memberikan motivasi kepada siswa dengan metode “personalized learning” lebih bermakna bagi saya dibanding memberi reward dengan menambah point urusan akademik dan non akademik. Personalized learning membuat siswa tertentu merasa dihargai kemampuan akademiknya dan (semoga) lebih terpacu motivasi belajarnya. Berat melakukan personalized learning? Iya. Selalu melakukannya? Tidak.
Sama seperti meyakini “Punishment” adalah bukan sekedar menghukum siswa yang ketahuan tidur di kelas saya, yang datang terlambat, yang tidak mengerjakan tugas, yang tidak berseragam lengkap. Lebih bermakna dengan membangunkan siswa tersebut dan meminta cuci muka lalu membantu saya mengerjakan hal lain. Datang terlambat? Ayo duduk paling depan. Tidak mengerjakan tugas, mari kerjakan bersama saya di kelas, sekarang. Temanmu tugas B, kamu tetap A dan bersama saya.
Pasti seorang Guru bermimpi dan berangan untuk memiliki siswa ideal yang berkarakter baik, berdaya juang tinggi, rajin dan hormat kepada Guru maupun teman. Namanya saja ideal, semua ingin, tetapi hampir tidak mendapatkan kondisi ideal tersebut, bukan?
Membuat siswa muncul dengan karakter baik bukan hanya dengan diberi hukuman karena salah yang bisa ditolerir. Salah tidak buat tugas sekali dengan salah memukul teman, adalah dua hal berbeda. Salah karena telat masuk kelas juga berbeda dengan salah meninggalkan kelas karena pura-pura sakit. Atau sebaliknya dengan diberi penghargaan kalau melakukan hal yang benar, benar di mata siapa? Apakah penghargaan berhak didapat siswa jika dia “hanya” sekali dapat 60 dari sekian nilai 40 nya? Atau berhak untuk siswa yang ranking 1 di kelas saja? Atau siswa berpakaian paling sesuai aturan?
Guru dan sekolah masih sering terjebak pula dengan sistem ini. Satu sisi sekolah ingin mendisiplinkan siswanya. Sejarah menorehkan catatan sekolah yang terkenal dengan pendidikan disiplinnya dan nilai akademik akan selalu menjadi sekolah favorit dan diminati oleh calon siswa dan orang tuanya. Demikian pula sekolah yang lebih murah secara biaya tentu saja punya peminat tersendiri 🙂
Dibuatlah berbagai buku tiket (yang dirobek kalau mau dipakai), tiket keterlambatan, tiket kedisiplinan, tiket kelengkapan seragam, dan lain-lain sesuai nama dan fungsi buku tiket tersebut (mungkin). Atau semuanya dirangkum dalam satu tiket bernama tiket konsekuensi untuk apapun pelanggaran siswa. Dengan nama konsekuensi menjauhkan paradigma sebagai sebuah hukuman langsung.
Diberikanlah sangsi pengurangan nilai baik akademik maupun non akademik untuk mendapatkan penghargaan dari guru atau sekolah di akhir tahun akademik. Pengurangan nilai akademik digadang-gadang masih menjadi senjata ampuh untuk mengendalikan tindakan siswa. Pengurangan nilai non akademik yang dipakai sebagai alat ukur karakter siswa, secara individu atau grup. Penilaian grup dimaksud untuk mendidik kekompakan, kebersamaan dan toleransi di antara siswa dalam satu grup. Nilai yang tidak berkurang atau justru penambahan itulah akan menjadi Reward yang diberikan guru dan sekolah kepada siswanya.
Datang terlambat, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Tidak memakai sepatu seluruhnya hitam, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Seragam kemeja keluar dari celana atau rok, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Tidak pakai dasi, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Tidak memakai kaos kaki / kaos kaki hanya di bawah mata kaki, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Tidak membawa buku pelajaran, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Berbicara di dalam kelas dengan teman, dapat tiket. dan pengurangan nilai.
Tidak mengerjakan PR atau tugas atau proyek, dapat tiket.
Rambut siswa laki-laki menutup alis mata / siswa perempuan tidak diikat untuk panjang lebih dari sebahu, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Rambut dicat gelap natural orang Indonesia umumnya / pirang / warna warni, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Membalas kata-kata gurunya / berani berargumentasi dengan gurunya, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Tidur di dalam kelas saat pelajaran, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Berkelahi / bercanda kasar di lingkungan sekolah, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Mencuri uang atau barang bukan miliknya, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Mengucapkan sengaja atau tidak sengaja kata-kata tidak pantas, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Pelaku bullying / korban bullying yang membalas dengan tindakan yang menyebabkan perkelahian, dapat tiket dan pengurangan nilai.
Bapak Ibu ingin menambahkan daftar di atas? Silahkan 🙂 , dari saya sementara ini cukup dulu. Jenis pelanggarannya berbeda-beda bukan? Setujukah untuk tidak menghukum semuanya sama rata?
Kalau ingin siswa menghargai suatu pelajaran, mengapa dia diberikan tiket konsekuensi ngeyel / tidak sopan pada gurunya pada saat dia berargumen mencari kebenaran versinya sendiri akan pelajaran yang belum terlalu dimengerti olehnya.
Kalau ingin siswanya tidak tidur di dalam kelas saat guru menjelaskan atau saat diberikan evaluasi, mengapa tidak mencoba metoda pengajaran selain ceramah di kelas yang membosankan, mengapa tidak memberikan evaluasi / penilaian cara lain selain “pencil and paper based test”.
Kalau ingin siswanya mengerjakan semua tugas pelajaran dengan baik, mengapa guru-gurunya tidak memberikan berdasarkan jadwal yang baik, semua guru ingin nampak memberikan tugas yang “wah” (ingin menunjukan berada dalam kerangka SAMR di M-Modification, salah satunya meminta siswa dengan tugas melaporkan dalam bentuk video). Mengapa tidak menjalankan metode “Integrated Curriculum”. Satu tugas berintegrasi dengan beberapa mata pelajaran. Guru memberikan tugas kepada siswa membuat video selama 5 menit, pokoknya siswa harus kumpul video, tanpa pernah menjelaskan ataupun membantu “platform” video apa yang lebih mudah dan nyaman bagi siswa (jangan-jangan gurunya tidak mengerti, contohnya video laporan sampai 5 menit, sementara iklan di media saja cukup sekian detik sampai 1-2 menit. 5 menit? itu bukan laporan tapi membuat film pendek).
Jika sekolah mendukung penggunaan teknologi secara tepat guna dan benar, pakar teknologi integrasi amat dibutuhkan. Pakar ini bisa membantu guru mendisain tugasnya, serta membantu siswa dengan solusi-solusi alat bantu yang tepat. Bayangkan, guru Bahasa Indonesia meminta tugas video drama, guru biologi meminta tugas video peredaran darah, guru Sejarah meminta tugas video drama sejarah, guru Pkn meminta video kunjungan museum dan kantor pemerintahan di Jakarta misalnya…… Kebayangkah bagaimana nasib sang siswa yang harus mengerjakan itu semua? Dia bingung, ditumpuklah sampai hari pengumpulan tiba dan hanya bisa bilang “susah bu, susah pak, gak bisa, minta tugas tambahan deh pak yang lain, remedial bu…..”.
Kalau ingin siswanya disiplin terus, baju seragam harus selalu dimasukkan, selalu pakai dasi, menurut saya sudah bukan di jaman yang tepat. Modifikasilah baju seragam menjadi tidak perlu model yang dimasukkan ke dalam celana atau rok. Dasi tidak perlu diwajibkan lagi, kalaupun tetap mau wajib, didisain dalam bentuk yang lebih modern bagi siswa perempuan, sementara bagi siswa laki-laki ada rompi modern penutup keseluruhan dasi yang tampak agar lebih modis saja, dan lain-lain.
Kerapian berseragam diberi Reward, itu seperti menyetujui bahwa setiap karakter anak harus sama. Definisi tiap individu bahkan anak tentang kerapihan selalu berbeda-beda satu dengan lainnya.
Mengingatkan anak terus menerus dengan contoh Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates, bisa menciptakan kebosanan. 3 atau katakanlah 200 orang seperti mereka dibandingkan +/- 7,3 Milyar penduduk dunia, tidak adil menurut saya didengungkan terlalu sering kepada siswa.
Sepakat, mereka bertiga dan banyak lagi contoh orang berhasil dan sukses, menjadi motivasi untuk menggiring kesuksesan siswa atau orang lain. Tetapi jika terlalu sering, siswa merasa ini aku datang ke sekolah belajar dengan guru atau kalian guru sudah berubah semua menjadi Merry Riana, sang motivator? Mengingatkan, setuju. Terus menerus, bosan.
Sekolah membantu siswa mendapatkan pendidikan formal. Karena formal, sekolah terjebak berbagai rutinitas. Sekolah membutuhkan dana, ada para guru dan staf yang membantu operasional sekolah dan profesional secara pekerjaan. Dana, berarti uang sekolah adalah salah satunya. Uang sekolah mahal, orang tua berharap anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik. Sekolah melalui para pembuat keputusan berpedoman bahwa pendidikan yang baik adalah seiring sejalan antara pendidikan karakter dan akademik. Karakter dan akademik dituntut untuk ditingkatkan. Jalan termudah, Reward dan Punishment. Terdengar umum? Iya, sebuah lingkaran setan mungkin 🙂 Disiplin dapat dikuatkan tanpa hukuman. Keyakinan dan pola pikir akan hal ini yang perlu hadir dulu dalam kelompok guru dan sekolahnya.
Saya masih terus merindukan sekolah yang seperti didengungkan untuk berubah di era abad 21 ini. Sekarang sudah hampir 18 tahun lewat dari awal abad 21. Lalu, masih begini-begini saja? Balik lagi berharap pendidikan anak harus dari karakter yang mana karakternya tercipta melalui teori dari pelajaran pkn, cb, pramuka, agama, sejarah, bahasa dan alat pacunya adalah Reward dan Punishment? Oh come on……
~Desember 2017~