Junior High School 30th Reunion

Enjoy the slide show photos with the song that you prefer ๐Ÿ˜€

Selamanya Cinta – Yana Julio

Sinaran – Sheila Madjid

Memori – Ruth Sahanaya

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji – Paramitha Rusady

Zaman Now

Sudah sejak beberapa saat lalu, pemakaian kata jaman “now” menjadi fenomenal. (Dan seperti biasa, saya agak telat ๐Ÿ˜‰ ). Lalu mudah sekali kita jumpai di banyak tulisan, komentar secara lisan di medsos maupun diucapkan dalam sebuah percakapan.

Setelah itu, seperti biasa, banyak deh semua kejadian dihubungkan dengan istilah “jaman now”, seperti “kids jaman now’, “emak-emak jaman now”, “guru jaman now” dan lain-lain.

Saya mau berpendapat soal jaman now ini. Sebenarnya sih menurut saya, setiap masa, setiap generasi, setiap periode tertentu, pasti ada perbandingan antara yang lalu dengan yang sekarang. Biasa saja. (Kurang seru nih, saya tidak kekinian, jaman now itu “happening” lho, masak saya anggap biasa-biasa saja….hehe).

Membandingkan untuk mencari kelebihan, itu wajar kok. Pastilah terucap, semodel “lho kok sekarang lebih enak ya”, “dulu itu ya bersih deh sungainya”, “sekarang enak lho ada rumah lapis, eh kue lapis lezat”. Wajar kan?

Nah, yang kadang berlebihan pada saat membandingkan adalah penggunaan ungkapan “jaman now” yang kesannya mewakili dulu baik dan sekarang buruk. Bukankah kita semua akan mengalami fase perubahan dulu dan sekarang? Manusia sering lupa bahwa fase sekarangnya adalah kelanjutan dari dulunya. Dulu dia tidak mengalami lalu sekarang melihat kok ada yang mengalami dan itu harus dihindari, maka muncullah “anak jaman now kok suka clubbing, dulu mah kita main volley”. Ya kamu main volley, yang clubbing dulu juga banyak, kalau nggak, mana ada dulu Lipstick (ups, ketauan umur).

Anak remaja usia 16 tahun. “wah itu anak SD sekarang gayanya sok tua amat ya, berani lawan anak SMA, dasar anak jaman now”. Nah dulu kalian SD, merasa sudah besar belum? Lalu kalau anak SMA nya nakal, kalian sebagai anak SD tidak boleh melawan untuk kebenaran?

Ibu-ibu yang memiliki anak remaja. “Aduh Nak, kamu kok malas ya tidak mau belajar, main hape melulu. Dulu mama ini, belajar terus, kamu tuh ya anak jaman now, maunya enak saja…..” Mama, dulu mama kecil tidak ada hape soalnya, lalu sekarang mama punya hape yang diberikan secara sadar kepada anaknya (kecuali anaknya mencuri atau beli sendiri), mama suka belajar karena mama memiliki sifat itu, anak mama sekarang belajar juga(kadang baca dari hape sambil chat say hello dengan gebetan), anak mama memilih belajar yang dia sukai. Mama kesal? Iya wajar, sayapun maklum sekali. Tetapi yuk coba rasa kesal kita, kita bawa ke hal lain agar si anak remaja ini lebih menghargai waktunya.

Media gosip memberitakan artis yang diduga menjadi perusak rumah tangga orang lain. “Itu artis J, gak tahu malu ya, artis jaman now…….”. Ada yang dulu masih bayi berarti tidak dengar gosip mobil menabrak tembok rumah mewah ๐Ÿ™‚

Bapak ibu Guru pusing melihat siswanya tidak belajar. “Aduh, anak jaman now, tidak bertanggung jawab dengan sekolah. Besok ujian, malah jalan-jalan ke mall dan di kelas tidak gigih berpikir untuk menjawab soal malah bobo”. Iya betul, ada yang begitu. Introspeksi kita apa? Hanya menyalahkan karena mereka anak jaman now, hidupnya keenakan dari lahir? Sementara kita melihat bahwa sistem pendidikan sekolah kita juga ada beberapa makin ngawur? KKM dibuat setinggi mungkin demi nama keren sekolah. KKM sekolah banyak yang 75 lho. Hebat kan. Lalu guru membuat soal ujian yang hebat sampai satu angkatan kelas harus mengulang karena terlalu banyak yang gagal? Sekolah yang efektif katakanlah 5 bulan, ada segala rupa ujian wajib bernama UTS, UAS/PAS. Ujian masih bersifat tertulis. Pelajaran tidak relevan bagi anak-anak. Banyak pelajaran harus dihapal mati. Dan jika siswa menjawab tidak sesuai kunci jawaban langsung salah pula.

“Murid jaman now, nyonteknya canggih”. Maksudnya mungkin bapak-ibu guru dulu kebetulan tidak suka mencontek dengan canggih tetapi hanya salin PR ๐Ÿ™‚ hehe…. Bapak ibu tidak pernah mendengar cerita mencontek massal satu angkatan demi menghapal butir-butir Pancasila kan? Dulu belum lahir atau masih balita mungkin ๐Ÿ˜‰

“Anak jaman now kurang tanggung jawab, terlalu dimanja dari lahir, semua-semua dipenuhi, hidup ini keras, kapan mau belajar?”. Pak, Bu, waktu lahir, bayi, anak kecil, bapak ibu tidak dimanja orang tuanya? Jika orang tua bapak ibu sanggup dengan finansialnya, bapak ibu pun bahagia dengan dipenuhi berbagai kebutuhan dan sedikit kemewahan kan? Bapak Ibu kecil dulu tahu kalau hidup bakalan keras? dulu makan kue batu? Periode per periode usia kita lah yang membawa kita lebih dewasa (semoga), lebih tahu, lebih bijak karena kita lebih dahulu mengalami berbagai persoalan dalam hidup. Kan kita lahir duluan. Dan lagi, bapak ibu guru bicara ini seperti menyalahkan orang tua, bapak ibu sudahkah jadi orang tua? Sudah sempurnakah gaya mendidik kita yang kebetulan menjadi guru ini terhadap anak-anak kita sendiri? Nanti guru-guru anak kita menyatakan hal yang sama, siapkah kita bapak ibu? Jadi tenanglah, manusia selalu memiliki masa / periode nya masing-masing ๐Ÿ™‚

Jadi karena kita ada di periode sekarang, melihat yang terjadi sekarang, jika bukan bercanda, kurangilah membandingkan anak-anak sekarang dengan yang dulu kita alami. Beda. Dan tidak selalu relevan.

Contoh alat bantu mengajar saya jaman old dan jaman now ๐Ÿ˜‰
ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย 

Mengapa OHP? Dulu tersedia di kelas.

Mengapa Apple TV? Tersedia Projector HDMI di kelas dan jaringan wifi.

Dua era yang berbeda bukan?

Gubernur vs Gabener

Uhm… Sudah 6 bulan 14 hari, kalau tidak salah, pak Ahok di penjara. 6 bulan? Bagi saya yang jadi guru, berasa cepat, satu semester ajaran telah berakhir. Bagi pak Ahok? euuh entahlah, pasti lama. Bagi keluarganya? Jelas lama banget.

Pak Ahok ini masih menjadi “the one and only” Gubernur saya sih. Sekarang ini Jakarta kehilangan Gubernur sebenarnya. Yang ada hanya penguasa dan yang merasa berkuasa. Sok… monggo…

Kata kaum sana, jika masih membicarakan pak Ahok, artinya belum bisa “move on”. Emang siapa di sini yang 42% bisa move on dari Gubernur kita? Kayaknya gak ada kan? Ya kalau kaum sana yang 58% marah dan tersinggung dengan ketidak “move on” an kita, ya silahkan dong, kan yang punya kelompok JKT58 ya kalian, bukan kami. Hehe…

Kenapa sih memilih tidak mau move on? Sebenarnya saya pribadi sih bukan masalah bisa move on atau tidak. Saya hanya tidak menganggap ada Gubernur lain setelah pak Ahok dan pak Djarot. Gabener sih ada dong, Gubernur yang tidak ada.

Bagaimana mau bener, kalau nafsu menang mengalahkan segalanya, menjual kata-kata manis untuk kebanyakan penduduk yang (maaf) memang masih bodoh. Mengancam lewat agama. Sumpah, itu sudah bagian yang paling menunjukkan kualitas manusia paling rendah. Wait…. emang Gabener manusia? Ya kali.

Apa ya contoh-contoh yang membuat Anies itu semakin tak ada nilainya di mata saya? Pertama, raut mukanya itu lho, ya ampun…… Tapi ya gitu, raut wajahnya menunjukkan ada keberpihakan dari suatu kegelapan, kemunafikan, ketamakan, keegoisan, kebodohan dan lain lain….

Apakah dia politikus sejati? Jika politikus didefinisikan sebagai jilat sana jilat sini, bicara sebentar A, sebentar B, bisa jadi si Anies ini politikus handal.

Dahulu mengatakan visinya yang ingin menenun kebangsaan, tetapi sekarang mendukung NKRI bersyariah. Dahulu menyatakan ormas tertentu tidak sesuai dengan Pancasila, saat Pilkada malah memuja sang ketua ormas di hadapannya bahwa inilah sang pemersatu bangsa. Gilak apa ya. Dahulu menyatakan kita adalah bangsa Indonesia, sekarang rebut Indonesia karena kita pribumi harus kembali mengambil alih negara ini. Super gila.

Bagi saya, yang paling “memuakan” dari kelakuan Anies adalah menyalahkan pak Ahok terlebih dahulu untuk sebuah keputusan gila yang dia perbuat. Harus salah pak Ahok dulu, lalu seenaknya berkicau ke mana-mana di media. Dan tertangkap basah telah salah bicara, enak saja bilang (contohnya) “salah alamat pengiriman masih bisa ditolerir”. Mau menaikkan APBD sedemikian besar? Tanggung jawabkan sendiri, ini malah menutupi borok dengan menyalahkan orang lain. Pengecut dan main kasar. Pak Ahok sedang dipenjara, beliau tidak bisa membela dirinya, lalu dua sontoloyo ini selalu melempar kesalahan kepada beliau? Duh, rendahnya.

Sebegitu takutnyakah mereka yang 58% memilih pemimpinnya yang seperti ini? Bolehkah saya bertanya, apakah penyebab ketakutan kalian akan pemimpin benar dan adil namun berbeda keyakinan dengan kalian? Yakin sih, gak bakal ada yang mau jawab. Sudahlah, saya tidak mau bermain pula dengan keyakinan dan Agama itu.

Memecah belah masyarakat dengan perkataan “kaum pribumi harus merebut kembali….”, tak apa asalkan santun. APBD melonjak, tak apa asal santun. Memfitnah orang lain, tak apa asal santun. Mendukung perubahan falsafah negara, tak apa asal santun. Anies termakan oleh gayanya dan pencitraannya sendiri yaitu ingin santun. Maaf, santun adalah jauh dari Anies. Lihatkah kalian cuplikan-cuplikan video Anies saat menjadi jubir Jokowi di tahun 2014 lalu? Dan bandingkan dengan gaya Anies di Pilkada dan saat ini? Seperti melihat kepribadian ganda kah? Atau lihat orang mabok? Hilang ingatan? Anda paham kan maksud saya?

APBD Jakarta 2018 mencapai lebih dari 77 trilyun rupiah (dari tahun sebelumnya 71 trilyun), yang mana di dalamnya terdapat sejumlah 28,99 milyar rupiah untuk TGUPP), dan dana hibah di beberapa bidang. Salah satunya HIMPAUDI 40.2 milyar dan PGRI 367 milyar. Lalu terbitlah selebaran yang berseliweran di grup WA guru-guru swasta tentang “Persyaratan Pendataan Guru Swasta Untuk Mendapat Tunjangan dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Wow bukan? ๐Ÿ™‚ Lalu organisasi Guru yang lain seperti FSGI, IGI dan lain-lain merasa cemburu, mengapa dana hibah disalurkan hanya melalui PGRI…… jreng jreng jreng….. selamat lah kalian guru yang akan meminta dana hibah tersebut. Gaji guru swasta yang hanya 1 juta rupiah bersaing dengan yang sudah mencapai 10 juta rupiah, ditambah dengan tunjangan sertifikasi, sekarang berebut dana hibah. Saya hanya mampu berucap selamat mengejar hibahmu ๐Ÿ˜‰ย  ย *Cari makan gak gitu-gitu amatlah tapi Anies Sandi mengadu domba guru semua.

Kebetulan dan untungnya di sini adalah, saya tidak pernah merasa terjebak “menyukai” sosok Anies yang di awal kemunculannya dahulu menyulut orang banyak untuk kagum dan terpesona dengan kata-kata yang santun dan bahasa-bahasa nan indah yang sering dia ungkapkan. Sejak awal, saya kurang menyukainya.ย  Mungkin karena saya tidak sreg dengan orang yang suka berkata-kata terlalu muluk, jadi rasanya ada yang tidak berkenan melihat sosok ini. Ya tentu saja ditambah gaya Anies yang kalau bicara disertai dengan memelet lidah ke bibir, entah apa maksudnya, tidak suka saja. Titik!!

Ketidaksukaan ini pernah saya ungkapkan dalam pembicaraan di media pesan online dengan seorang rekan senior yang kebetulan pula merupakan tetangga Anies semasa di Jogya. Rekan ini mencoba menasehati saya dengan mengatakan susah mencari orang baik sebagai pemimpin, Anies orang baik. Baiklah. Saya mencoba menyikapi dengan kebetulan mendapat undangan berada di ruang yang sama dengan “mantan Menteri Pendidikan” ini di suatu acara di bulan Mei 2016. Di mana rekan-rekan guru lain berebut mengambil foto bersama Anies, dan saya ingat saat itu saya merasa baiklah saya mau satu ruangan dengannya, tetapi ambil foto? gak lah, mending saya berfoto bersama Denny Chandra, sang host ๐Ÿ™‚

27 Juli 2016, jabatan menteri pendidikan itupun dicopot oleh Presiden Jokowi. Pertanda apa? Hanya Presiden yang tahu persis dan Tuhan tentunya ๐Ÿ™‚

Dicopot, lalu berambisi menjadi DKI 1, lalu berhasil menjungkalkan pak Ahok, bahkan sampai ke penjara.ย  Ow, tentulah, ini akan disanggah toh sama Anies, ya pasti dan tak apa-apa. Tetapi rekam jejak, kelakuan Anies dan tim sukses yang membawa agama ke dalam perpolitikan, jubir Pandji, penasehat Eep, kenyataan Riziek bisa satu lokasi dengan Anies, pak Djarot yang notabene Islam namun diusir dari Mesjid, semuanya makin menunjukkan bahwa Anies adalah penjilat, kemaruk kekuasaan, menghalalkan segala cara dan mengemasnya dengan kata-kata buaian yang menyejukkan sebagian orang yang menurut saya itulah hipnotis kata-kata oleh Anies. Alhasil, yang terpengaruh 58%, yang menjadi korban adalah kita semua. Terngiang kata-kata “Anies orang baik”……. saya percaya pada dasarnya semua manusia adalah baik, tetapi jika di hati seseorang ditumbuhkan jiwa iri, dengki, jahat, hawa nafsu menguasai, membuka diri untuk pengaruh ketidakbaikan tadi, maka yang seharusnya manusia adalah baik, lambat laun akan berubah menjadi manusia tidak baik.

Sedih memikirkan Jakarta. Setelah puluhan tahun hidup di Jakarta, paling berkesan dengan jaman pak Ahok, perubahan itu nyata, kali bersampah menjadi kali bersih, jalanan berantakan, menjadi jalanan lebih mulus, banjir menjadi berkurang di beberapa titik utama banjir selama ini. Dan kebaikan itu diganti bagai hujan sehari, oleh orang semodel Anies. Jika memang diganti oleh orang yang bukan Anies, menang Pemilu secara wajar, saya rasa kita sedih kehilangan tetapi akan melanjutkan dengan Gubernur baru.

Sekarang? sudah mual dengan Gabener Anies dan Sandi (tolong jangan dilupakan ini paket bersama ๐Ÿ˜‰ ). Sulit untuk tidak sedih melihat kenyataan sehari-hari, ada saja berita-berita tentang mereka yang luar biasa tidak masuk akal.

Kangen pak Ahok, adalah ungkapan perasaan hati banyak rakyat Jakarta yang benar-benar memahami perubahan terbaik untuk Jakarta. Kangen ketegasan pak Ahok memelihara sejarah Jakarta, seperti Monas, dengan tidak mengijinkan dipakai sebagai sarana pesta keagamaan tertentu. Karena Monas adalah Monumen Nasional, bukan gedung / lapangan untuk tempat sembahyang. Yang oleh Anies kembali dipakai pertama kali untuk acara shalawat, lalu sebenarnya berlanjut untuk reuni (pasangannya reuda – red ๐Ÿ™‚ย  jayus) 212. Kelihatan kan polanya, memberi ijin di awal, untuk sesuatu yang lebih besar demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, ingin mengubah falsafah negara Pancasila menjadi NKRI bersyariah. Pejabat Pemerintah ikut di dalamnya? Aneh? iya, bagi saya sangat aneh semua ini.

Tetap sehat di Mako Brimob ya pak Ahok. Berkarya dari balik jeruji. Kuatkan hati, iman dan fisik. Tuhan berkati.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake