Kamera Nyala VS Kamera Mati

Artikel Pilihan Kompasiana

Sejak Maret 2020, dengan terpaksa semua sekolah memulai era di mana pembelajaran harus dilakukan secara jarak jauh. Sudah tidak ada tawar menawar lagi.

Banyak opini bahwa sekolah harus tetap berjalan, karena pendidikan tidak boleh terputus begitu saja, bukan? Wah, saya selaku salah satu pendidik di sekolah, setuju pakai banget, bahwa pembelajaran tidak boleh terputus. Secara ini pendidikan dan ini profesi profesional saya. 🙂

Pada saat “terpaksa” harus tetap menjalankan sekolah tadi, maka banyak opini, banyak argumen, mengenai bagaimana cara paling efektifnya. Berlomba-lombalah, para “pakar pendidikan” membagikan tips dan trik untuk kami para guru. Tentu saja, terima kasih atas masukan-masukannya. Begitu banyak, maka kita harus pandai-pandai menyesuaikan mana yang pas, cocok dan terbaik bagi siswa kita.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah opini bahwa mengajar siswa (fokus saya adalah di jenjang SMP-SMA) itu adalah harus melihat siswanya, seperti keadaan normal, bertemu di ruang kelas, di area sekolah dan berkegiatan belajar ataupun penilaian semua diupayakan selaras dengan keadaan normal tadi.

Pertemuan tatap muka secara online. Teknologi telah mempermudah kehidupan manusia. Sudah bertebaran teknologi video call, antar dua individu atau dalam sebuah grup sekaligus. Jadi sebagian berpikir bahwa ini akan memudahkan “perpindahan / pergeseran” pembelajaran dari sekolah ke rumah, “remote learning”.

Maka dimulailah “sekolah online” dengan berusaha sebaik mungkin memindahkan kegiatan sehari-hari di kelas ke dalam ruang tangkapan layar komputer / laptop dengan video konferensi. Guru dan siswa kedua pihak menyalakan kamera agar tatap muka tadi tetap berlangsung sama seperti normal. 

Fokus kepada video konferensi dalam mengajar, mengakibatkan perdebatan antara kamera dinyalakan atau dimatikan.

Pembicaraan, diskusi dengan beberapa kalangan guru, rata-rata menginginkan kamera selalu dinyalakan selama mengajar.

“Bicara di depan layar komputer sendiri tanpa melihat wajah siswa, kok merasa seperti orang aneh, bicara sendiri”. Alasan ini paling banyak, apakah anda juga ada di sini? 😀

“Dengan melihat siswa maka saya dapat tahu, dia memperhatikan pelajaran atau tidak”. Ini pun alasan cukup banyak terungkap. Hati-hati di sini, tips untuk bapak/ibu guru, jangankan wajah di depan kamera, wajah di depan kita saja siswa duduk di dalam kelas, pikirannya bisa menerawang dan tangannya coret-coret di kertas (menulis / menggambar).

“Saya merasa siswa harus melihat mimik wajah saya pada saat menjelaskan pelajaran agar mereka mengerti lebih cepat.” Aha, ini guru yang punya bakat menjadi seorang “entertainer”. 

Masih ada beberapa alasan lain namun tiga di atas rasanya yang paling sering diungkapkan. Rekan-rekan guru sekalian, bagaimana dengan anda. Apakah ada di antara tiga di atas? Bebas saja kok.

Sekarang mari kita melihat sisi siswa. Siswa pun ada yang memiliki tipe “entertainer” tadi, dia suka sekali tampil dan berpose di depan kamera. Bakat, bagus sekali itu. Sementara ada siswa yang jengah menyalakan kamera karena berbagai hal. Latar belakang tempat siswa duduk di rumah agak berantakan, ada anggota keluarga lain yang lalu lalang, perasaan kurang nyaman memperlihatkan wajah ke kamera, dan hal – hal lain yang mereka sendiri susah untuk mengungkapkan.

Sebagai guru, apakah dengan “kekuasaan” yang kita miliki maka kita tinggal perintah “pokoknya harus nyala”?  Tidak menyalakan kamera maka akan ada pengurangan nilai partisipasi kegiatan di kelas, bahkan pengurangan nilai sebuah penilaian akademis. Wah, semoga jangan ya :). 

Prinsip memindahkan sekolah ke rumah maka harus ada pertemuan tatap muka, dan selanjutnya agar bisa menatap siswa maka kamera harus dinyalakan. Kamera yang dimatikan artinya tidak ada proses tatap muka, maka tidak ada persekolahan. Ini yang sebaiknya jangan sampai terjadi. Sukses tidaknya sebuah pembelajaran bukan ditentukan dengan kamera saling menyala baik guru dan siswa.

Namun saya menyadari, hasil dari pengamatan sekitar, pembicaraan dengan rekan-rekan, ungkapan guru-guru melalui media sosial, masih cukup sulit rupanya diterima oleh pemikiran guru dan sekolah bahwa tanpa kamera pun proses belajar masih bisa berlangsung.

Mengajak siswa terlibat saat pembelajaran berlangsung, banyak sekali alatnya, gratis maupun berbayar. Gratis misalnya dengan memanfaatkan papan tulis berbagi, dokumen berbagi, slide presentasi berbagi. Yang berbayar dan personal dengan siswa, misalnya ada pear deck, nearpod. Jadi keterlibatan itu bukan hanya harus melihat wajah saja, kan?

Edutopia mengeluarkan sebuah artikel berisikan strategi untuk membuat siswa yang sungkan menyalakan kamera menjadi berinisiatif menyalakan. Sisi menariknya, menambah informasi bagi kita untuk belajar strategi tersebut. Terutama jika sebagai guru, dirinya juga pandai sekali bercerita dan memecah belah suasana menjadi sebuah “entertainment” bagi siswanya. Namun, di sisi lain, bagi guru yang lebih pendiam, “straight forward”, akan kesulitan dan malah menjadi “garing” jika memaksakan melakukan “ice breaking” atau permainan di jam pelajarannya. Plus, strategi untuk menarik minat menyalakan kamera dengan permainan juga tidak dapat dikatakan sama dengan selama pembelajaran inti setelahnya, iya kan?

Hal yang menarik, sehari setelah ditayangkan artikel tersebut, Edutopia kembali menuliskan dalam lini masa twitternya bahwa jika ada guru-guru lain yang kesulitan dengan meminta siswa menyalakan kamera, silahkan saling berbagi cara lain (yang maksudnya bukan sekedar pemecah suasana dan permainan saja), dan mempersiapkan pengajaran tanpa kamera tadi. Di sini terlihat bahwa memang beberapa pihak mengajukan keberatan bahwa anggapan pembelajaran tanpa kamera menghasilkan hasil yang lebih rendah daripada dengan kamera menyala, sehingga seolah-olah perlu strategi membuat siswa menyalakan kamera. 

Karena semua itu sangat bergantung pada situasi dan kondisi kelas dan pelajarannya. Jika cukup dengan audio yang menyala dan media interaksi yang melibatkan siswa mampu membuat suasana kelas online kita menjadi hidup, maka mengapa harus menyalakan kamera? Saat anak-anak aktif bekerja di media seperti pear deck misalnya, mereka tidak butuh melihat wajah kita gurunya. Namun, guru dapat langsung menegur, menyela, memberi “feedback” pada saat kegiatan pembelajaran itu berlangsung. Lebih seru, bukan? Semoga.

Dua contoh video, pembelajaran menggunakan peardeck. Contoh pertama, setelah metode “synchronous” di kelas, dilanjutkan dengan “asynchronous” untuk siswa yang ingin mereview sendiri.

 

 

Telur atau Ayam?

Manakah lebih dulu, Telur atau Ayam?

Kurang lebih serupa (bingungnya?) jika bertanya mana sebaiknya yang duluan? Ganti Menteri? Atau ganti sistem?

Sewaktu Menteri terbaru ini naik, membawahi kemendikbud dan kemenristekdikti, sepertinya banyak yang “tersinggung” (dugaan saya, kalau tidak seperti itu, ya tidak perlu baper ya 🙂 ).

“Saya jadi guru besar sudah 20 tahun, ini anak kemaren sore, CEO gojek jadi Menteri atur-atur saya?”

“Saya ini sudah menjadi guru selama 30 tahun, dengan 5 orang Menteri dari orang pendidikan semua, kok tiba-tiba CEO start up ini mau mengajari saya soal pedagogi. Saya mengajar sambil tutup mata saja bisa” 😉

“Saya ini sudah berbicara di banyak forum, melatih guru dari Sabang sampai Merauke, bekerjasama dengan kementerian Pendidikan sudah beberapa periode, tapi mana disain besar menyeluruh yang mensinergikan seluruh elemen dan komponen bangsa termasuk juga melibatkan dan mengikut sertakan semua Kementerian dalam perumusannya? Tidak pernah muncul. Mana bisa unggul bangsa ini tanpa cetak biru itu.”

Lewat beberapa saat, sang Menteripun memiliki hestek Merdeka Belajar.

“Wah, hestek ini kan sama seperti yang didengungkan si ………….., wah satu barisan nih.”

“Merdeka Belajar di Kampus kok enak saja memotong SKS di ruang kelas, diganti dengan kuliah praktek, mau jadi apa ini para mahasiswa, belajarnya kurang dong.” (Dalam hal ini, saya lebih mengkuatirkan tidak sinkronnya antara jumlah lapangan kerja yang bersedia dijadikan tempat praktek dengan jumlah mahasiswanya).

“Masak bikin cetak biru selesai dalam waktu 7 bulan menjabat? Pasti gak tepat tuh. Buru-buru amat?” Bikin salah, tidak bikin juga salah. Saya sih sepakat dengan Menteri yang pernah mengemukakan seperti berikut “Tapi tentunya tak bisa hal-hal seperti ini (kebijakan) hanya statik saja. Bahkan kita berbicara satu roadmap atau blue print itu harus ada fleksibility di dalamnya”.

Sementara itu, tidak adil dong, saya cuplik-cuplik komentar dari media-media sosial, terus saya sendiri tidak mengomentari Menteri ini?

Kaget, iya begitu mendapati nama beliau sebagai Mendikbud  dan sekaligus Menristekdikti. Tapi sesaat saja, karena langsung berpikir bahwa Nadiem merupakan orang pintar, ilmu, strategi dan bisnis. Ini mungkin yang dibutuhkan oleh negara saat ini dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Lho kok bisa begitu? Tanpa ada latar belakang ilmu kependidikan lalu membawahi sekian juta pendidik dan siswa, belum lagi memasuki organisasi kependidikan besar, memang bisa? Yah…. bisalah. Bagi saya jika segala keruwetan masalah pendidikan ini perlu ditebas karena sudah terlalu menyimpang dari nuansa pendidikan itu sendiri, kenapa tidak? *peace* 🙂

Lalu jadi apa yang sudah dipersembahkan Menteri selama 8 bulan menjabat? Saya pikir ini akan beragam jawaban tergantung siapa yang ditanya dan dalam kepentingan apa. Saya tidak terlalu mengikuti apakah yang sudah dilakukan itu benar membawa angin segar dunia pendidikan ataukah sekedar perubahan yang biasa saja.

Penghapusan UN yang digaungkan sejak lama, terbukti di era Menteri sekarang diputuskan untuk dihapus per tahun 2021. Namun dengan adanya pandemi, menyebabkan penghapusan terjadi setahun di muka. Walau keadaan ini luar biasa, namun kenyataannya, selesai sudah ujian standarisasi “high stake exam” yang dulunya penentu kelulusan lalu bukan namun tetap dibuat bagai “super penting”. Ternyata bisa kan? Mudah dan cepat.

Kembali ke pertanyaan di atas, mana yang lebih dulu harus dilakukan? Mengganti Menteri? Atau mengganti sistem?

Menurut pandangan saya, siapapun yang dipilih sebagai Menteri tanpa tebasan tadi, ya akan begini-begini saja Pendidikan negeri ini, paling ada lah perubahan atau tambahan UU, perubahan atau pembaruan kurikulum yang sudah ada. Setiap berganti pun kita menyaksikan itu, bukan?

Namun, sebagai Guru yang tidak terlalu berkecimpung dalam dunia administrasi tenaga kependidikan aturan dari kedinasan, saya bingung dan tidak habis pikir dengan keruwetan birokrasi dari sistem Pendidikan di sini.

Nadiem tidak (atau belum) berdiskusi antar kementeriannya dengan organisasi lain semisal PGRI. Namun PGRI sudah menyatakan melalui ketuanya bahwa Kemendikbud hingga kini tidak meminta masukan dari PGRI sebagai perwakilan guru, ataupun ahli pendidikan, dan daerah. PGRI belum mendapatkan arahan kapan tahun ajaran baru ini akan berlangsung. Baca artikel di sini. Memang PGRI sudah mewakili seluruh kalangan guru-guru? Yang tertentu saja, kali. Saya sih merasa Nadiem sah saja bicara demikian, minta masukan banyak-banyak? Nanti malah dianggap “bisanya apa sih nih Menteri, semua ditanya.” Minta masukan ahli Pendidikan? Siapa sih yang ahli? Maksudnya yang selalu banyak cakap, di media-media sebagai pakar?

Kembali bicara sistem, apa yang masuk ke dalam sistem? Besar dan luas sekali. Dari kemendikbud dengan struktur organisasi seperti berikut, lalu bagian terpisah ada struktur dinas pendidikan propinsi, turun ke kabupaten / kotamadya, lalu kecamatan. Banyak sekali alurnya. Bayangkan sekolah-sekolah negeri yang harus melewati begitu banyak jenjang untuk menerjemahkan sebuah kurikulum dari kemendikbud misalnya. Belum lagi sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama SPK, kan sebenarnya berada langsung di bawah kemendikbud, tetapi pelaksanaannya “terlihat / nampak” harus mengikuti dinas pendidikan di daerah SPK itu berada ya. Nah itu sudah dibahas di artikel sebelumnya.

Sekolah-sekolah (yang saya garisbawahi di sini adalah swasta) perlu dipantau dalam mengoperasikan agenda sekolahnya, karena nasib anak-anak penerus bangsa juga sebagian ada pada tanggung jawab moral mereka yang telah menerima anak-anak ini berguru di sekolahnya. Kalau ada ketimpangan, kekacauan dan tidak benar, layak dievaluasi ulang ijin operasionalnya. Begitu idealnya. Oleh siapa? Ya silahkan oleh lembaga yang memiliki dasar hukum berdasar Undang-Undang untuk melakukan itu. 

Kalau sekolah negeri? Samakah sistem administrasinya? Di bawah langsung dinas pendidikan Atau kemendikbud? Setahu saya wajib melapor pada dinas. Tapi seperti apa jelasnya? Wah saya tidak bisa terlalu banyak berkomentar deh karena kurang pengetahuan tentang hal ini. Yang umum saja. Untuk mengajar di sekolah negeri, kita butuh ikut ujian CPNS bukan? Lalu setelah lulus dan berpredikat PNS, baru kita dapat ditempatkan di sekolah-sekolah negeri. Tapi kok bisa kurang tenaga guru? Apakah dari situ memunculkan tenaga guru honorer? Entahlah, kembali bingung, kan sudah pernah ditegaskan oleh Menteri era Pak Muhajir untuk tidak merekrut guru-guru honorer, bisa dibaca di sini. Sekedar “flashback”, di tahun 1997, di sekolah saya ada satu tenaga guru yang “ditugaskan” dari status PNS nya untuk membantu di sekolah swasta. Terima gaji dua jalur dari PNS dan sekolah swasta. Ya, jaman itu mungkin gaji PNS jauh kecil dibanding beberapa tahun terakhir ini, semua ingin jadi guru PNS karena (uhum) terjamin dari tunjangannya 😀 .

Kembali menyoal sistem di sekolah tadi. Sementara itu, hal-hal remeh temeh yang melegenda semacam pemeriksaan RPP (padahal kebanyakan saling meng-copy) formalitas dalam laporan bulanan, pemenuhan jumlah jam mengajar sebanyak 24 jam pelajaran. Alih-alih dicabut tunjangan sertifikasi, mending belain tercatat 24, pelaksanaan “bisa diatur”. Sebaliknya memang pola pikir hanya mengajar saja itu yang kurang benar. Perencanaan guru, pemeriksaan evaluasi, dipertimbangkan sebagai di luar jam mengajar. Kebijakan yang aneh.

Pada saat UN menjadi UNBK dan bukan lagi sebagai penentu kelulusan, tetapi tetap saja ada “dikte” dari (dinas?), sampai mengeluarkan spanduk pun harus bersama antara nama sekolah dengan BSNP (sekolah wajib membeli spanduk tepatnya) dengan isi seragam “Prestasi Penting Jujur Yang Utama”, dapat sertifikat “sekolah berintegritas dalam melaksanakan UNBK” bertanda tangan Gubernur, pemerintahan yang membawahi dinas pendidikan propinsi, “dihimbau” tetap ada mengikuti simulasi UNBK dan gladi bersih dengan alasan server setiap tahun ada pembaharuan. Aneh, lucu dan ada-ada saja. Lalu setelah UNBK berakhir, keluar peringkat nilai siswa dan sekolah dan saling berlomba memberitakan peringkat masing-masing, seperti kunci pas untuk mendongkrak pernyataan  “mutu sekolah” bagus karena prestasi siswa yang bagus pula di UNBK.

Jadi di mana letak kebebasan bersekolah dan menerima pendidikan untuk anak-anak ini? Semua WNI diwajibkan menerima pelajaran Bahasa Indonesia, PKn dan Agama. Itu saja yang diatur. Sudah cukup. Tapi sepertinya pada pelaksanaannya banyak sekali aturan-aturan yang nampak saling tumpang tindih, antara sekolah negeri, sekolah swasta dan sekolah berijin SPK. Semua jadi seperti sama, sama berada di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah.

Jadi sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, ganti Menteri (lagi) atau sistem seperti contoh-contoh tadi yang harus duluan? 😉 

Masih ada harapan, masih kurang lebih ada 4 tahun untuk Menteri sekarang membenahi sistem, apapun sebutannya, membenahi atau merubah semua. Digebrakpun bolehlah, Mas Menteri, sekali-sekali 😀

Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama

Artikel Pilihan Kompasiana

Kilas balik ke tahun 2000 an, sekolah – sekolah internasional di Indonesia mulai menjamur, menandakan geliat pendidikan melalui sekolah semakin berkembang untuk menggunakan sistem kurikulum dari luar negeri dan juga sistem operasional sekolah yang berbeda dengan sekolah nasional pada umumnya.

Hampir di tiap pelosok (Jakarta, karena tempat tinggal saya di kota ini) terdapat sekolah yang memberi label dirinya sebagai sekolah internasional. Apakah sekolah – sekolah tersebut adalah benar sekolah internasional? Benar, dilihat dari kurikulumnya yang dipakai, dari luar negeri. Guru-gurunya beberapa dikontrak dari luar negeri. Namun kebanyakan siswa-siswanya adalah lokal. Segelintir sekolah saja yang banyak dengan siswa anak-anak expat.

Banyak orang tua bangga dengan dapat menyekolahkan anaknya di sekolah model jenis begini, mungkin menganggap lebih kerenlah minimal dari kebanyakan siswa sekolah nasional. “Over heard” sampai kemarinpun sekelompok orang tua berkumpul di kedai kopi dan salah satu topik pembicaraannya adalah betapa anak-anak mereka lebih terasah kemampuannya di sekolah dengan kurikulum dari luar negeri 😊.

Sejalan dengan semakin banyaknya kata “International” dipakai, mungkin membuat petinggi di bidang pendidikan gerah. Bertahun-tahun kemudian, kata tersebut kembali dicabut. Status sekolah internasional hanya diperuntukkan bagi anak-anak korps diplomatik asing atau sekolah untuk satu kewarganegaraan tertentu. Bahkan sebagai hasil akhir, sekolah-sekolah yang dulunya menyandang nama (status) internasional pun harus menggantinya semisal dengan “intercultural”, “independent”, “global”, atau dipadu dengan kata “Jakarta” dan lain sebagainya.

Dilengkapi dengan aturan baru, siapapun siswa yang bersekolah di sekolah “ex international” dan seorang warga negara Indonesia maka dia wajib mengambil ujian nasional yang “high stake test” di kelas 12 asalkan telah lulus ujian di kelas 9. Yang wajib diambil di kelas 9 asalkan telah lulus ujian di kelas 6. Kalau tidak diambil di kelas 6, maka harus mengurus penyetaraan atau paket A  supaya dapat ikut ujian di kelas 9 atau paket B supaya dapat ikut di kelas 12. Jadi kesimpulannya, boleh disimpulkan sendirilah 😊 , dan sepertinya untuk alasan kemudahan, ambilah semua jenjang ujian nasional, terlebih semenjak tahun 2015, bukan lagi sebagai penentu kelulusan.

Di bagian ini saja ceritanya sudah berbeda dengan ujian standar dari kurikulum Cambridge contohnya. Siswa tidak wajib mengambil ujian “checkpoint” sebelum ujian IGCSE, tidak wajib lulus IGCSE untuk ujian AS/A level.

Lalu kemana perginya sekolah-sekolah ex nama internasional tadi? Selain secara nama juga berganti, sekolah-sekolah itupun membentuk suatu komunitas baru di bawah payung Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). SPK merupakan satuan pendidikan yang mengolaborasikan antara kurikulum internasional dengan kurikulum nasional. Sekolah SPK berada di bawah naungan langsung kemendikbud namun tetap tunduk kepada dinas pendidikan daerah di mana sekolah SPK itu berada. Nah di bagian ini saya masih bingung, di satu sisi di bawah kewenangan langsung kemendikbud namun basa basi tetap dipertahankan kepada dinas setempat. Yang konon istilahnya, menghormatilah di mana SPK tersebut berada.

Itukah sebabnya jadi seperti yang terjadi sehari-hari sekarang ini? Misal Dinas Pendidikan melalui pengawas sekolah, datang ke suatu SPK demi mengawasi apakah jalannya sesuai aturan atau tidak. (Nah, aturannya kan boleh mengembangkan kurikulum sendiri atau adaptasi dari luar negeri dengan tetap menyertakan mata pelajaran wajib Pkn, Bahasa Indonesia dan Agama). Pengawasan ketat seperti sosialisasi ujian nasional (baca: simulasi), pemeriksaan RPP utk mata pelajaran wajib BI, PKn dan Agama. Mungkin masih ada agenda lain, entah.

Sehingga di pihak SPK pun, tetap mengupayakan ujian nasional yang akan menghasilkan nilai-nilai ujian fantastis untuk mempertahankan peringkat, dengan cara tetap belajar materi UNBK di slot jam pelajaran sekolah atau di luar jam pelajaran sekolah (sehingga siswa pulang makin sore), mengikuti rangkaian ujian uji coba (trial UNBK) yang jumlahnya berkali-kali, ujian praktek yang tidak pernah ada prosesnya langsung praktek.

Kira-kira begini, kurikulum inti adalah kurikulum dari luar negeri, dengan tetap menjalankan tiga yang wajib tadi. Mata pelajaran yang di-UNBK-kan diajari di jenjang terakhir suatu level (seperti di kelas 6 saja, 9 saja, 12 saja), atau dilakukan di luar jam sekolah yang notabene sudah 7-8 jam sehari. Alhasil, sekolah yang mulai jam 7:45 misalnya, menjadi mulai jam 7:15, yang berakhir 15:10 menjadi 16:00. Semua demi menambah kapasitas otak si anak dengan materi UN. Atau bahkan yang lebih dasyat adalah membagi dua mata pelajaran yang sama akarnya (sebut saja mata pelajaran mathematics dan matematika) sebagai dua mata pelajaran berbeda (baik materi maupun guru), beda pula biology dan biologi, beda pula physics dan fisika, economics dan ekonomi, pokoknya satu kata bahasa Inggris, satu kata bahasa Indonesia hehe…. Guru terpenuhi tugasnya, siswa ya begitulah….. Pokoknya jejali saja deh kepalanya dengan semua pelajaran, “mosok gitu aja ndak bisa sih” hehe…..

Jika SPK di bawah kemendikbud, apa perlu ini semua yang (disarankan) dari dinas pendidikan? Apakah budaya “ewuh pakewuh” menjadi faktor terbesarnya? Pernah terpikirkah kalau yang paling korban adalah siswanya? Anak-anak? Peserta didik? Apakah tanpa mengikuti ini sebuah sekolah (SPK) menjadi bermasalah? Saya tidak tahu. Tapi saya rasa tidak. 

Yang saya tahu, saya mendapat curhatan dari seorang siswa kelas 12 (yang memiliki rekor akademis selalu baik) kurikulum luar negeri, yang di sekolahnya mewajibkan mengambil mata pelajaran dua versi kurikulum (jadi mata pelajarannya, yang satu memakai kata bahasa Inggris dan satu lagi memakai kata bahasa Indonesia, seperti saya sebut di atas tadi 😁), dengan konsekuensi berada di sekolah lebih lama dari waktu yang (awalnya) distandarkan sekolah, dan perlakuan semua mata pelajaran tersebut konon sama (untuk menghindari “kasta” mata pelajaran), jadi tugas tumpuk sana tumpuk sini, si siswa pun pandai untuk “mengakali” saja, sikap yang penting kumpul tugas menjadi prinsipnya sekarang. Guru konon hanya bisa kesal, mendapati siswanya “tidak mau belajar”, pokoknya guru kasih materi dua bab bahan UNBK belasan halaman, kasih tugas BI merangkum artikel, kasih daftar materi ulangan semester, kasih dan kasih. Siswanya? Entahlah mungkin sudah muntah, sudah bodo amat, bahkan ketika ada guru yang kesal siswa tidak memperhatikan, dan berkata “jika kamu tidak mau belajar, silahkan keluar, tersisa dua siswa saja di dalam kelasnya karena mereka kegirangan boleh keluar. Atau tetap di kelas mengerjakan tugasnya dan belajar karena suka. Bisa saja.

Jadi….. rekan-rekan yang masih aktif dengan profesinya ini, mengajar di manakah kalian? Di sekolah Internasional ”xyz” kah? Eh salah, di sekolah SPK kah? Bagaimana kurikulumnya? Menggunakan “Project based” kah?  Apakah siswa bebas memilih pelajarannya sendiri (di jenjang SMA)? Apakah masih menerapkan guru sebagai pusat pembelajaran? Apakah mengutamakan pendidikan karakter? Apakah pembinaan rohani dilakukan berkala? Apakah belajar di luar ruangan kelas / sekolah seimbang? Masih banyak “apakah” yang lain. Dengan tetap mengikuti UNBK, apakah tetap memberikan asupan pelajaran agar siswa siap duduk ujian? Dengan trial berkali-kali (atas nama pemantapan materi)? Apakah tetap simulasi UN beberapa kali walau tiap hari siswa menggunakan komputer dan bukan pertama kali UNBK? 

Harapan kita bersama, kedepannya, semoga makin menunjukkan transparansi hubungan antara UU ditetapkannya sekolah SPK dengan peraturan menterinya, dengan juklaknya, juknisnya, dan peraturan dinas pendidikan setempat. Apalagi berdasarkan Permendikbud No. 31 Tahun 2014, SPK harus senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan (kebijakan tersebut tidak mungkin membuat siswa secara umum kesusahan kan? *Idealnya) maupun kontribusi dalam masyarakat pada umumnya untuk menciptakan generasi yang dapat menginspirasi dunia.

Demikianlah….

"Featured Image" adalah foto kegiatan siswa di kelas pada pelajaran UN matematika. Melalui manfaat LMS, siswa belajar sendiri setelah diberikan pengenalan dan penjelasan akan suatu topik. Belajar sendiri yang dimaksud bisa berupa mengerjakan paket soal-soal ataupun membaca kesimpulan catatan atau video pembelajaran. Dan yang pasti, siswa boleh bertanya kapan saja di saat kesulitan.
snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake