Manakah lebih dulu, Telur atau Ayam?
Kurang lebih serupa (bingungnya?) jika bertanya mana sebaiknya yang duluan? Ganti Menteri? Atau ganti sistem?
Sewaktu Menteri terbaru ini naik, membawahi kemendikbud dan kemenristekdikti, sepertinya banyak yang “tersinggung” (dugaan saya, kalau tidak seperti itu, ya tidak perlu baper ya 🙂 ).
“Saya jadi guru besar sudah 20 tahun, ini anak kemaren sore, CEO gojek jadi Menteri atur-atur saya?”
“Saya ini sudah menjadi guru selama 30 tahun, dengan 5 orang Menteri dari orang pendidikan semua, kok tiba-tiba CEO start up ini mau mengajari saya soal pedagogi. Saya mengajar sambil tutup mata saja bisa” 😉
“Saya ini sudah berbicara di banyak forum, melatih guru dari Sabang sampai Merauke, bekerjasama dengan kementerian Pendidikan sudah beberapa periode, tapi mana disain besar menyeluruh yang mensinergikan seluruh elemen dan komponen bangsa termasuk juga melibatkan dan mengikut sertakan semua Kementerian dalam perumusannya? Tidak pernah muncul. Mana bisa unggul bangsa ini tanpa cetak biru itu.”
Lewat beberapa saat, sang Menteripun memiliki hestek Merdeka Belajar.
“Wah, hestek ini kan sama seperti yang didengungkan si ………….., wah satu barisan nih.”
“Merdeka Belajar di Kampus kok enak saja memotong SKS di ruang kelas, diganti dengan kuliah praktek, mau jadi apa ini para mahasiswa, belajarnya kurang dong.” (Dalam hal ini, saya lebih mengkuatirkan tidak sinkronnya antara jumlah lapangan kerja yang bersedia dijadikan tempat praktek dengan jumlah mahasiswanya).
“Masak bikin cetak biru selesai dalam waktu 7 bulan menjabat? Pasti gak tepat tuh. Buru-buru amat?” Bikin salah, tidak bikin juga salah. Saya sih sepakat dengan Menteri yang pernah mengemukakan seperti berikut “Tapi tentunya tak bisa hal-hal seperti ini (kebijakan) hanya statik saja. Bahkan kita berbicara satu roadmap atau blue print itu harus ada fleksibility di dalamnya”.
Sementara itu, tidak adil dong, saya cuplik-cuplik komentar dari media-media sosial, terus saya sendiri tidak mengomentari Menteri ini?
Kaget, iya begitu mendapati nama beliau sebagai Mendikbud dan sekaligus Menristekdikti. Tapi sesaat saja, karena langsung berpikir bahwa Nadiem merupakan orang pintar, ilmu, strategi dan bisnis. Ini mungkin yang dibutuhkan oleh negara saat ini dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Lho kok bisa begitu? Tanpa ada latar belakang ilmu kependidikan lalu membawahi sekian juta pendidik dan siswa, belum lagi memasuki organisasi kependidikan besar, memang bisa? Yah…. bisalah. Bagi saya jika segala keruwetan masalah pendidikan ini perlu ditebas karena sudah terlalu menyimpang dari nuansa pendidikan itu sendiri, kenapa tidak? *peace* 🙂
Lalu jadi apa yang sudah dipersembahkan Menteri selama 8 bulan menjabat? Saya pikir ini akan beragam jawaban tergantung siapa yang ditanya dan dalam kepentingan apa. Saya tidak terlalu mengikuti apakah yang sudah dilakukan itu benar membawa angin segar dunia pendidikan ataukah sekedar perubahan yang biasa saja.
Penghapusan UN yang digaungkan sejak lama, terbukti di era Menteri sekarang diputuskan untuk dihapus per tahun 2021. Namun dengan adanya pandemi, menyebabkan penghapusan terjadi setahun di muka. Walau keadaan ini luar biasa, namun kenyataannya, selesai sudah ujian standarisasi “high stake exam” yang dulunya penentu kelulusan lalu bukan namun tetap dibuat bagai “super penting”. Ternyata bisa kan? Mudah dan cepat.
Kembali ke pertanyaan di atas, mana yang lebih dulu harus dilakukan? Mengganti Menteri? Atau mengganti sistem?
Menurut pandangan saya, siapapun yang dipilih sebagai Menteri tanpa tebasan tadi, ya akan begini-begini saja Pendidikan negeri ini, paling ada lah perubahan atau tambahan UU, perubahan atau pembaruan kurikulum yang sudah ada. Setiap berganti pun kita menyaksikan itu, bukan?
Namun, sebagai Guru yang tidak terlalu berkecimpung dalam dunia administrasi tenaga kependidikan aturan dari kedinasan, saya bingung dan tidak habis pikir dengan keruwetan birokrasi dari sistem Pendidikan di sini.
Nadiem tidak (atau belum) berdiskusi antar kementeriannya dengan organisasi lain semisal PGRI. Namun PGRI sudah menyatakan melalui ketuanya bahwa Kemendikbud hingga kini tidak meminta masukan dari PGRI sebagai perwakilan guru, ataupun ahli pendidikan, dan daerah. PGRI belum mendapatkan arahan kapan tahun ajaran baru ini akan berlangsung. Baca artikel di sini. Memang PGRI sudah mewakili seluruh kalangan guru-guru? Yang tertentu saja, kali. Saya sih merasa Nadiem sah saja bicara demikian, minta masukan banyak-banyak? Nanti malah dianggap “bisanya apa sih nih Menteri, semua ditanya.” Minta masukan ahli Pendidikan? Siapa sih yang ahli? Maksudnya yang selalu banyak cakap, di media-media sebagai pakar?
Kembali bicara sistem, apa yang masuk ke dalam sistem? Besar dan luas sekali. Dari kemendikbud dengan struktur organisasi seperti berikut, lalu bagian terpisah ada struktur dinas pendidikan propinsi, turun ke kabupaten / kotamadya, lalu kecamatan. Banyak sekali alurnya. Bayangkan sekolah-sekolah negeri yang harus melewati begitu banyak jenjang untuk menerjemahkan sebuah kurikulum dari kemendikbud misalnya. Belum lagi sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama SPK, kan sebenarnya berada langsung di bawah kemendikbud, tetapi pelaksanaannya “terlihat / nampak” harus mengikuti dinas pendidikan di daerah SPK itu berada ya. Nah itu sudah dibahas di artikel sebelumnya.
Sekolah-sekolah (yang saya garisbawahi di sini adalah swasta) perlu dipantau dalam mengoperasikan agenda sekolahnya, karena nasib anak-anak penerus bangsa juga sebagian ada pada tanggung jawab moral mereka yang telah menerima anak-anak ini berguru di sekolahnya. Kalau ada ketimpangan, kekacauan dan tidak benar, layak dievaluasi ulang ijin operasionalnya. Begitu idealnya. Oleh siapa? Ya silahkan oleh lembaga yang memiliki dasar hukum berdasar Undang-Undang untuk melakukan itu.
Kalau sekolah negeri? Samakah sistem administrasinya? Di bawah langsung dinas pendidikan Atau kemendikbud? Setahu saya wajib melapor pada dinas. Tapi seperti apa jelasnya? Wah saya tidak bisa terlalu banyak berkomentar deh karena kurang pengetahuan tentang hal ini. Yang umum saja. Untuk mengajar di sekolah negeri, kita butuh ikut ujian CPNS bukan? Lalu setelah lulus dan berpredikat PNS, baru kita dapat ditempatkan di sekolah-sekolah negeri. Tapi kok bisa kurang tenaga guru? Apakah dari situ memunculkan tenaga guru honorer? Entahlah, kembali bingung, kan sudah pernah ditegaskan oleh Menteri era Pak Muhajir untuk tidak merekrut guru-guru honorer, bisa dibaca di sini. Sekedar “flashback”, di tahun 1997, di sekolah saya ada satu tenaga guru yang “ditugaskan” dari status PNS nya untuk membantu di sekolah swasta. Terima gaji dua jalur dari PNS dan sekolah swasta. Ya, jaman itu mungkin gaji PNS jauh kecil dibanding beberapa tahun terakhir ini, semua ingin jadi guru PNS karena (uhum) terjamin dari tunjangannya 😀 .
Kembali menyoal sistem di sekolah tadi. Sementara itu, hal-hal remeh temeh yang melegenda semacam pemeriksaan RPP (padahal kebanyakan saling meng-copy) formalitas dalam laporan bulanan, pemenuhan jumlah jam mengajar sebanyak 24 jam pelajaran. Alih-alih dicabut tunjangan sertifikasi, mending belain tercatat 24, pelaksanaan “bisa diatur”. Sebaliknya memang pola pikir hanya mengajar saja itu yang kurang benar. Perencanaan guru, pemeriksaan evaluasi, dipertimbangkan sebagai di luar jam mengajar. Kebijakan yang aneh.
Pada saat UN menjadi UNBK dan bukan lagi sebagai penentu kelulusan, tetapi tetap saja ada “dikte” dari (dinas?), sampai mengeluarkan spanduk pun harus bersama antara nama sekolah dengan BSNP (sekolah wajib membeli spanduk tepatnya) dengan isi seragam “Prestasi Penting Jujur Yang Utama”, dapat sertifikat “sekolah berintegritas dalam melaksanakan UNBK” bertanda tangan Gubernur, pemerintahan yang membawahi dinas pendidikan propinsi, “dihimbau” tetap ada mengikuti simulasi UNBK dan gladi bersih dengan alasan server setiap tahun ada pembaharuan. Aneh, lucu dan ada-ada saja. Lalu setelah UNBK berakhir, keluar peringkat nilai siswa dan sekolah dan saling berlomba memberitakan peringkat masing-masing, seperti kunci pas untuk mendongkrak pernyataan “mutu sekolah” bagus karena prestasi siswa yang bagus pula di UNBK.
Jadi di mana letak kebebasan bersekolah dan menerima pendidikan untuk anak-anak ini? Semua WNI diwajibkan menerima pelajaran Bahasa Indonesia, PKn dan Agama. Itu saja yang diatur. Sudah cukup. Tapi sepertinya pada pelaksanaannya banyak sekali aturan-aturan yang nampak saling tumpang tindih, antara sekolah negeri, sekolah swasta dan sekolah berijin SPK. Semua jadi seperti sama, sama berada di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah.
Jadi sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, ganti Menteri (lagi) atau sistem seperti contoh-contoh tadi yang harus duluan? 😉
Masih ada harapan, masih kurang lebih ada 4 tahun untuk Menteri sekarang membenahi sistem, apapun sebutannya, membenahi atau merubah semua. Digebrakpun bolehlah, Mas Menteri, sekali-sekali 😀 .