Kegembiraan Mengamati Siswa Pembelajar

Menyaksikan antusiasme para siswa untuk mencari bahan belajar merupakan kegembiraan tersendiri buat saya. Bahwa mereka menikmati fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara pendidikan dengan semaksimal mungkin, salah satunya yaitu menggunakan elearning yang merupakan akses termudah bagi mereka menemukan bahan belajar yang mungkin tertinggal sewaktu pelajaran berlangsung di kelas.

Dengan persentase siswa yang login dan berusaha mencari materi untuk persiapan mid test mereka, “wowww” saya bisa ungkapkan 🙂

Saya tidak menyatakan jika mau berhasil dalam test hanya melalui elearning, tetapi sebagai alat bantu dan disukai siswa, itulah makna dari berbagai media yang dapat diakses siswa. Ruang virtual bisa beragam, dan inilah salah satu kenyataan pembelajaran abad 21.

Thanks guys (my students, of course), your effort are appreciated by me. Motivasi kalian (most of you) membuat saya semakin ingin belajar dan belajar bersama kalian. Sesuatu yang menjadi mudah bagi mereka adalah motivasi saya untuk belajar 🙂

                       

Inventive teachers can create life long learners, but a love for learning can not be tested

~ Robert John Meehan ~

I’ve just found it written down on the test paper 🙂

Seven Habits camp, Batch 2, 10 – 12 Sept 2012

Hari ke-1:

Setelah berdoa dari sekolah jam 7.30, saya bersama 6 rekan guru lain yang bertugas mendampingi siswa kelas 7B dan 7F, pergi menuju wisma Santa Monica 1 dengan mengendarai dua buah bus.

Seperti biasa, setiap anak yang pergi bersama-sama dengan teman-teman pasti akan menyambut dengan sangat antusias. Saya berada di bus 7B bersama dengan dua rekan guru lain. Ada anak-anak yang nyanyi-nyanyi, baca buku cerita anak-anak, ngobrol dan masih boleh main handphone yang mereka bawa 🙂

Tiba di wisma Santa Monika 1, sekitar jam 10 pagi, kami disambut oleh rekan-rekan dari Dunamis. Siswa akan didampingi oleh dua orang fasilitator (Kak Teddi dan kak Vonny) dan dua orang asistennya.

Kami berfoto-foto sebentar dengan memegang spanduk kegiatan Seven Habits ini. Lalu seluruh handphone dan gadget yang dibawa siswa harus dititipkan kepada wali kelas.

Setelah itu seluruh hari ini dihabiskan dengan ice breaking, membentuk grup dan mempersiapkan yel-yel group serta sesi training habit ke-1 dan pengantar habit ke-2 yaitu membuat personal mission statement. Sesi training dilewatkan dengan metode ceramah dan interaktif serta games seputar habit 1.

Hari ke-2:

Karena dengan padatnya jadwal di hari kedua ini maka sesi ceramah agaknya seperti dikurangi waktunya dan anak-anak menjalani sesi habit ke-2 sampai dengan ke-7 di sepanjang pagi sampai sore. Tentu saja ada bagian games pendukung semua habit yang diberikan.

Satu yang paling berkesan untuk saya adalah penjelasan mengenai big rocks di habit ke-3. Bagaimana anak-anak diminta untuk mulai mengenal hal apa atau pekerjaan mana yang harus ditempatkan sebagai big rocks dan mana yang small rocks. Foto berikut menunjukkan ilustrasi yang dibuat oleh kak Teddi bahwa orang normal memiliki 1 – 3 big rocks dan idealnya adalah semua big rocks itu dapat diselesaikan. Tetapi jika ditambah 4 – 10, bisa saja selesai tetapi tanpa hasil yang maksimal atau hanya selesai 1 – 2 pekerjaan, dan jika “dipaksakan sampai 11 buah maka yang terjadi malah bisa sebuah kegagalan (satupun tidak ada yang berhasil).

Sore hari diakhiri dengan championship games, terdiri dari tiga permainan air yaitu perang balon air, berjalan di atas bambu yang diletakkan di atas kolam renang dan menangkap ikan. Bisa dibayangkan jika kolam renang yang berukuran sekitar 3 x 5 meter dipenuhi oleh hampir 50 anak 🙂 di akhir acara games.

Malam pun tiba, dan acara api unggun berlangsung cukup baik. Kembali ice breaking dilakukan, kali ini oleh rekan rangers yang akan mendampingi siswa saat kegiatan games luar ruang. Dilanjutkan dengan penampilan dari ke-6 kelompok, ada yang drama dan ada yang bernyanyi. Jam 10 malam acara berakhir, ditemani susu coklat hangat dan jagung bakar.

Hari ke-3:

Jam 7.30 pagi, semua siswa sudah bersiap di lapangan besar untuk mengikuti games luar ruang. Acara kembali dimulai dengan ice breaking dan games bersama. Setelah itu, untuk mengikuti ke-7 games luar ruang, ada peraturan yang harus ditaati peserta dan cara pengumpulan point. Sesuai dengan jenis permainan team building ini, maka seluruh permainan merupakan bentuk kekompakan dan kerjasama solid dalam satu tim. Ke-7 games tersebut adalah:

  1. Mengumpulkan balon air dengan dilemparkan secara estafet dari titik start ke titik akhir.
  2. Mengisi air dalam ember sebanyak-banyaknya dengan memindahkan air dari kolam dengan busa yang diperas airnya dengan cara diduduki.
  3. Memindahkan sebatang bambu tipis dimana seluruh siswa dalam grup hanya boleh menyentuh bambu menggunakan kedua jari telunjuk.
  4. Memindahkan 3 bola pingpong ke dalam tabung bambu dengan cara estafet menggelindingkan bola pada belahan pipa.
  5. Mengarahkan teman yang berjalan dengan mata tertutup melewati rintangan yang terhubung dengan perangkap air otomatis. Jika yang diperintahkan gagal melewati rintangan maka rekan yang memerintahkan akan ketumpahan perangkap air.
  6. Mencari bendera kuning di sepanjang jalan setapak hutan.
  7. Flying fox.

Akhir dari acara ini adalah evaluasi sekitar setengah jam dan setelah penutupan oleh guru pendamping maka berakhirlah acara camp selama 3 hari tersebut. Camp yang rasanya tidak akan dilupakan oleh setiap anak yang menjalaninya. Pasti ada kesan positif selama kegiatan berlangsung.

Kebetulan saya menemani siswa grup 3 dari kelas 7B, mereka adalah Timmy, Nico, Bryant, Maria Sasa, Cindy, Daryn, Pandu, Priscilla, Erina, Jolly, Aditya, Jason. Dan selamat untuk grup 3 yang menjadi juara umum sepanjang kegiatan Seven Habits camp di batch ini.

Berikut cuplikan video yang saya rangkum selama kegiatan keberangkatan, games luar ruang dan beberapa foto sesi games penunjang training.

Video ini sudah saya coba perkecil dari aslinya, tetapi mungkin tetap membutuhkan waktu beberapa saat sebelum tayang dengan lancar

 

My Personal Reflection

Menyisakan pertanyaan bagi saya yaitu trend pendidikan karakter yang ideal itu seperti apa? Apakah keikutsertaan partner yang ditunjuk yang berperan mensuply kurikulum berbasis karakter dan pengejawantahannya sesuai dengan masing-masing sekolah? Apakah definisi mentor sesuai dengan kultur sekolah yang memiliki wali kelas? Bukankah semua guru adalah mentor bagi siswanya? Apakah mendidik karakter seseorang itu harus melalui sebuah administrasi kurikulum yang njelimet? Apakah Seven Habits identik dengan games luar ruang yang pada umumnya selalu dilakukan jika ada kegiatan luar ruangan? Bentuk karakter apakah yang ingin dibangun dari jiwa seorang anak?

Saya akan mencari jawabannya secepat angin berlalu setelah yang satu ini….. 😉

Jalinan orang tua – anak – guru

Diceritakan bahwa Alexander yang Agung, ketika memasuki kota Phyrigia, ia dihadapkan pada sebuah simpul buatan Gordias. Simpul yang sebegitu rumitnya, sampai-sampai dihikayatkan bahwa barang siapa dapat membuka simpul tersebut, akan menguasai Asia.

Kerumitan legendaris simpul ini, membuat saya berpikir mungkin demikian juga dengan berbagai kehidupan seorang anak yang dapat dilihat dengan berbagai cara
Ilustrasi tentang simpul itu kadang mengingatkan saya tentang lingkaran kehidupan orangtua – anak – guru .
Ketika orang tua dianugerahi seorang bayi lucu, serasa semua asa diarahkan ke bayi itu…

…Nak, jadilah kau spt yang kami mau, atau nak, jadilah suatu hari menjadi orang sukses, kami akan bantu mendukungnya, lalu dipersiapkanlah bekal utk anak-anak itu, semua hal yg dibutuhkan di “masa depannya”…..

Usia 1 tahun dimasukkan ke “toddler”, usia 2-3 tahun ke “nursery ” plus sudah mulai harus les bicara / dengar musik,  usia 4-5 tahun ke TK dan les membaca, menulis, menggambar dll, usia 6-11 tahun ke SD plus les les les les les les,  usia SMP orang tua bilang “Ayo sana tambah les mu dari kecil dikasih les kok tidak maju-maju nih” usia SMA jumlah lesnya berpangkat 10 ;)”

Si anak menjadi dewasa…..”Aku bingung mau jadi apa…. ” Lalu menikah, kehidupan berulang, punya anak, “Aku ga sanggup jalanin semua, semoga anakku bisa “meneruskan” semua kekuranganku di masa lalu”……

Setiap orangtua diberikan kepercayaan oleh Tuhan utk melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak titipan tersebut….. Wajarlah kaum orang tua dalam memikul tanggung jawab “titipan” tadi berusaha sebaik-baiknya untuk memberikan yang terbaik kepada mereka.

Orang tua akan berpikir:

“Kami berusaha menggali apa yang menjadi bakat / talenta dari anak-anak kami. Wah, bayiku nangisnya saja lembut dan merdu, dia akan les vokal saat besar nanti. Kalau bayiku setiap dengar musik pasti dia tenang, dia pasti suka musik, akan ku-leskan piano. Hmm kalau bayiku belum setahun tapi sudah mau lari terus, wah berarti dia suka olah raga, dia harus masuk klub sepakbola anak-anak nanti. Bayiku dong, gak bisa lihat tembok kosong, langsung pegang pensil dan buat coretan, aduuhhh dinding rumahku….tapi gak apa apa deh untuk calon pelukis. Anakku apa ya? Dia sukanya pegang kalkulator dan pencet-pencet tombol angka2 di sana, wah dia suka matematika, akar segala ilmu, masuk kumon ah usia 3 tahun, biar dasar aljabarnya kuat”.

Ketika mulai bisa menentukan pilihannya sendiri, alangkah bahagianya orang tua yang melihat anak-anaknya sesuai dengan “yang diimpikan dan diangankan”. “Ternyata pengorbananku tidak sia-sia, untung dari kecil semua jenis les sudah kuperkenalkan kepadanya sehingga setelah sebesar ini anakku bisa menentukan arah hidupnya sesuai potensi dia yang paling menonjol dan yang paling disukai…..”

Tetapi…..bagaimana yang memiliki anak yang sulit diatur, tidak mau belajar, malas disuruh les. “Mau jadi apa nak jika besar nanti, ayo belajar dong, les ini les itu, supir sudah disediakan, semua fasilitas sudah disiapkan untuk kamu nak…. Tinggal belajar saja tanpa perlu memikirkan apa-apa, gitu aja kok susah sih kamu….”

Sekolah, tugas sekolah, les, menjadi rangkaian yang sulit dipisahkan. “Kami sudah bayar mahal untuk kamu bersekolah di sana, masak sekolahnya tidak memberikan tugas apa-apa untuk kamu, harusnya anak / siswa dikasih tugas yang kreatif dong, bikin agar anaknya tidak sempat lagi buang waktu untuk bermain tapi terus belajar….”

Sebaliknya jika kebetulan bertemu dengan sekolah yang mengharuskan siswa sampai sore hari di sekolah, tetapi masih banyak tugas lain, PR, Project, report, research……wuah banyak deh pokoknya….. “Aduhhh, sekolahmu kasih tugas banyak amat sih, kami kehilangan kamu nih, tiap hari harus kejar tugas lalu harus langsung les matematika, fisika, kimia, english, mandarin, kapan kami bisa ajak kamu makan malam. Kami sekolahkan kamu di sana itu biar belajar kamu cukup di sekolah kan sudah dari pagi sampai sore, masak sore sampai malam masih dikasih tugas lagi? Keterlaluan….. Tempat les akan makin banyak aja, buat apa ada sekolah?”……

Alangkah sulitnya menjadi orang tua….. Anda tipe orang tua yang bagaimana? Kasihan kan anak-anak yang harus menyesuaikan dirinya sebagai mahluk pribadi dengan keunikan sendiri, sebagai anak dari orang tuanya, sebagai siswa dari sekolahnya……..

Kembali pada kisah Alexander yang Agung, ia tentu dapat “mengurai” simpul ini. Ada hikayat yang mengatakan bahwa ia mengambil pedang dan menebas simpul ini. Sementara ada hikayat lain, ia mencabut tiang pancang tempat simpul tersebut terkait, dan karenanya bisa mengurai simpul tersebut tanpa berfokus pada simpulnya. Menurut anda bagaimana?

* Seperti telah dipostkan di http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/19/jalinan-orang-tua-anak-guru/ *

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake