Comic feat. Algebra

My grade 7 students had just finished the academic prompt and they tried to retell their knowledge in comic form.

The request was simple, they have to explain what they know and think about algebra through comics. They can either create all by themselves or looking for some inspirations from other comics.

Many of the works show extraordinary effort or ideas but some show both.

Here are some pictures that I’ve happened to shot in class during the process.

Belajar ++

Apa yang paling menyenangkan bagi seorang guru yang siap masuk ke dalam kelas dengan bekal persiapan yang benar?

Salah satunya adalah, siswa yang siap menantikan pelajaran yang akan mereka terima. Siap tentu saja bukan siap duduk yang manis (seperti jaman TK “tangan ke atas, tangan ke samping, tangan ke depan dilipat yang maniz” 🙂 karena mereka sudah anak-anak kelas 9). Tapi sesuai dengan plan dan topik yang akan disajikan, mereka membawa peralatan menggambar yang dibutuhkan.

Terlepas dari hal tersebut merupakan kewajiban dari siswa yang ditugaskan gurunya, ada hal menarik yang terjadi beberapa hari lalu dalam pengamatan saya. Siswa-siswa rupanya memiliki kesepakatan mereka sendiri dan terciptalah model pembelajaran kehidupan untuk bekal mereka di masa depan.
Ada permintaan dan penawaran, dan terjadilah “transaksi jual beli” untuk melengkapi kebutuhan siswa yang belum memiliki peralatan.  Satu siswa muncul  di sisi penawaran dan menjadi pedagang, menunjukkan ada “kelebihan / ketrampilan / bakat / kejelian melihat peluang” untuk membantu teman-temannya dalam hal menyediakan waktu dan usaha menyuplai barang. Siswa yang bertindak sebagai konsumen juga sedang dalam belajar bahwa untuk memenuhi kebutuhannya, dia akan bergantung dengan orang lain yang dapat membantunya.

Bahkan, kalau boleh lebih jauh lagi saya bisa melihat bahwa siswa yang sedang menjadi pedagang, sadar bahwa dengan sejumlah usaha tertentu, ia bisa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. Sementara siswa yang di sisi permintaan, sadar bahwa ia lebih baik menggunakan waktunya untuk mengerjakan proyek atau pe er daripada keluar dan mencari peralatan, dan waktu orang lain bisa dihargai salah satunya dengan uang.

Pelajaran matematika pun berlangsung lancar dan seluruh siswa terlibat aktif menggambar menggunakan semua peralatan yang dibutuhkan. Pelajaran ekonomi jual beli pun sudah secara tidak sengaja terjadi dalam kehidupan mereka sebagai remaja.

Kejadian di atas menguatkan argumen bahwa pelajaran bisa datang sewaktu – waktu tanpa direncanakan dan tanpa perencanaan, dengan atau tanpa gurunya 🙂

Education is not preparation for life, education is life itself ~ John Dewey

Happy Belated Birthday, Google :)

Kamis, 25 September 2012,  Google berulang tahun, dan banyak sekali siswa yang saling retweet dan me-retweet “Selamat ulang tahun Google, terimakasih telah menjadi lebih pintar dari guru kami di sekolah dan membantu kami selama ini”.

Sementara pada hari yang sama,  saya membaca salah satu twit siswa saya kelas 8 berbunyi “If teachers can’t be good in every subject, why are the teachers expecting us to be good in all the subjects?”

Bagaimana perasaan bapak/ibu guru jika dianggap “kalah pintar” dibanding google? Sebaiknya jangan tersinggung, karena kenyataannya google memang “pintar”, demikian pula Wikipedia dan berbagai situs yang berhubungan dengan pengetahuan. Jika sudah demikian, lalu apa tugas guru, semua materi dapat diunduh sendiri via situs.

Miris, sedih sekaligus senang? atau senang sekaligus sedih? Atau bukan kedua-duanya? 😉

Siswa yang saya maksud dalam twit di atas adalah siswa yang berprestasi, memiliki bakat dan talenta yang baik. Saya sering mengatakan “bersyukurlah kalau kamu memiliki talenta yang diberikan Tuhan itu”.
Tapi kok dia masih bisa berucap seperti itu ya?

Kalau siswa demikian saja mengungkapkan “galau” hatinya sedemikian rupa, bagaimana dengan siswa yang tidak pandai secara akademis tetapi memiliki talenta yang bukan bidang akademis? Kepada siswa yang seperti itu saya sering mengatakan “carilah, galilah terus apa talentamu sampai suatu hari kamu akan menemukan dan dapat melipatgandakannya kelak sehingga kamu menjadi sukses”.

Saya sering mendengar percakapan di antara rekan yang mengatakan bahwa siswa harus mendapat “push” yang besar agar dia tergali kreatifitasnya. Katanya, siswa harus diberikan tugas sebanyak mungkin agar dia menjadi pintar. Siswa harus diberikan standar maksimal bukan minimal agar si siswa tahu apa yang jadi talentanya dan dapat dia kembangkan sejak dini, di mana semuanya itu cukup benar dan masuk akal, sepanjang bukan menjadi suatu ajang adu “kreatifitas” si guru dalam penilaian skala “terampil menciptakan tugas untuk siswa yang beragam”.

Seperti dituliskan oleh Robert John Meehan “The best teaching always takes place in the frame work of high expectation”. Guru sangat bisa dan boleh meletakkan skala ekspektasi yang tinggi kepada para siswanya. Ragam tugas, bobot dan jumlah tugas bisa saja menjadi dasar seorang guru membuat kerangka kerja maksimal untuk siswanya.

Tetapi pemikiran selanjutnya adalah apakah skala tingginya ekspektasi itu menjadi sama untuk semua siswa? Sementara siswa diminta untuk menunjukkan “multiple intelegence” nya, di saat yang sama pula, semua tugas diletakkan dalam kerangka kerja “high expectation” tadi? Jadi siapa yang berhak menentukan seberapa “high” dasar pencapaian hasil siswa? Sekolahkah? Gurukah? Atau siswa sendirikah?

Introspeksi seorang guru yang cukup sulit adalah menyadari jika seorang anak juga memiliki “kehidupannya” sendiri. “me time”.
Saya merasa kebanyakan dari kita malah akan berasumsi justru siswa tidak boleh menghabiskan waktu terlalu lama menggunakan imaginasinya dalam “waktu bengongnya” (imaginasi yang saya maksud bisa berupa “baca-baca” quote twit yang aneh-aneh, nonton berbagai gaya “gangnam” :), celoteh berkepanjangan di twitter, dan masih banyak lain).

Seperti pernah saya tulis, salah satu unsur penting dalam pendidikan abad-21 adalah “menciptakan kreatifitas siswa”, “mempersiapkan siswa dengan berbagai ketrampilan”, maka menjadi sering terpikirkan di kepala saya, apakah memang benar ya? Apakah memang begitu ya? Bahwa siswa itu harus diberikan porsi maksimal sehingga kreatifitas dan ketrampilan-ketrampilan dalam dirinya yang masih “belum muncul” menjadi mulai nampak dan terasah?

Saya tidak akan men-“judge” mana benar dan mana tidak benar 🙂 . Ini adalah sebuah pemikiran yang harus ditelaah dengan bijaksana, disikapi dengan bijaksana, ditolelir juga secara bijaksana (pokoknya yang bijak-bijak ada di sana #abaikan).

Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah harus mampu menjembatani antara kebutuhan siswa dan tanggung jawab mendidik siswa. Kurikulum menjadi tolak ukur yang penting, siswa dan guru di dalamnya juga unsur penting. Ada berbagai pendapat memunculkan ide bahwa kurikulum yang berat isinya mampu menciptakan siswa yang kreatif. Ada juga yang menyebut siswa yang memang memiliki bakat dan potensi yang sudah baik saling berkumpul di sebuah sekolah yang sama, maka posisi sekolah otomatis akan turut terangkat. Memiliki prestasi secara akademis dan secara karakter.

Berikut ini tipe tugas yang mungkin sering diberikan oleh guru kepada siswa :

  1. Tugas yang sehari-hari alias pekerjaan rumah.
  2. Tugas yang mampu membuat siswa menghubungkan pelajarannya dengan kehidupan sehari-hari.
  3. Tugas yang harus dipenuhi dalam kuantitas jam tertentu, contoh: kerja lapangan.
  4. Tugas yang berbasis IT, yang bisa menjadi ‘yang penting canggih’.
    Pernah saya lihat rekan saya menugaskan siswanya  membuat laporan dalam bentuk video setelah siswa menjalankan studi lapangan. Setelah batas waktu pengumpulan tiba, entah bagaimana si guru rupanya mampu memeriksa belasan video tersebut dalam waktu “satu jam” 😉 sementara siswa yang mengerjakannya diminta berhari-hari fokus di situ. x_x.
    Sayangnya memang terjadi dimana yang penting kasih tugas keren tapi diri sendiri belum belajar.
  5. Tugas yang berkolaborasi antar subject. Makin banyak subject maka makin luas daya kreasi siswa.
  6. Tugas yang menampilkan sisi-sisi kemanusiaan siswa.
  7. Tugas yang melibatkan reportase yang canggih seperti laporan sebuah karya tulis.

Dan lain-lain tentunya…..

Jika setiap mata pelajaran memberikan sebuah tugas kepada siswa, dan ada kurang lebih 11 mata pelajaran per minggu, sementara siswa bangun jam 5-an dan tiba dirumah setengah 5-an lalu mereka harus tidur jam sepuluh malam, berapa jam yang tersisa untuk mereka? Lalu semuanya harus untuk PR dan tugas-tugas?

Hmm, ya tidak heran jika siswa sering menjadi “galau”. Atau mungkin dalam ungkapan anak sekarang “banyak pe er dan tugas dan bikin saya gak bisa ngapa-ngapain? jadi saya harus bilang wow gitu?”

Gak heran ya kalau akhirnya mereka jadinya memandang Google menjadi gurunya, yang selalu membantu dalam sempitnya waktu yang mereka miliki.

Happy Teachers Day to all my relative teachers. May our calling be blessed wherever we are <3

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake