(Seni)nya Belajar

“In teaching our pupil’s school subjects, we fail lamentably on the whole in teaching them how to think. They learn everything except the art of learning”

Membaca kutipan dari Dorothy Sayers di atas, membuat saya merasa tergelitik dan merefleksikan bahwa mungkin sekali sebagai guru lupa menekankan betapa belajar itu bukan hanya belajar sebagai bisa atau tidak, benar atau salah, tetapi lebih dalam lagi sebagai sebuah seni.

Dengan memberikan kerangka untuk kualitas bagi anak-anak pelajar itu, kita turut membantu mereka untuk mengembangkan kreatif, semangat tangguh untuk belajar dan peningkatan kinerja yang akan menjadi katalisator seumur hidupnya untuk sukses.

Tetapi pertanyaannya, apa saja yang masuk dalam kerangka kualitas tersebut? Setiap orang merasa akan memiliki kerangka sesuai pola pikir masing-masing. Mungkin tidak ada benar atau salah di sini, melainkan kombinasi ide dan situasi kondisi yang dihadapi di lingkungan kita sebagai pendidik dengan para siswa sebagai yang dididik.

Berikut ini mungkin contoh yang bisa atau pernah terjadi. Siswa mendapatkan nilai tes yang baik di mata pelajaran yang diampu seorang guru. Banggakah siswa dan guru? Jelas. Bagaimana respon guru menanggapi hasil memuaskan si siswa? “Wah nak, kamu pandai sekali ya”, atau bercanda sesama guru “siapa dulu dong gurunya”, atau “saya bangga lho dengan usaha dan kerja kerasmu”. Kualitas respon mana yang lebih baik menurut anda?

“Bangga dengan usaha dan kerja keras” menunjukkan jika si guru sangat menguasai proses belajar siswanya. Jauh lebih bangga bagi kita jika mendapati siswa yang menjadi lebih suka belajar atau lebih mau belajar dalam proses bersama gurunya. Banyak sekolah dan guru terjebak dengan keuntungan memiliki siswa sebagai sumber daya yang sudah memiliki kemampuan / bakat menonjol baik akademis maupun bukan. Bangga dengan berbagai kejuaraan yang disandang walau kadang miris juga melihat kebanggaan guru yang sebenarnya “wong anaknya sudah pintar dari sananya”. Atau guru yang sudah terlihat apriori bahkan membuat label jika anak yang bersangkutan sudah pasti nilainya kurang. “Pasti remedial”… hmm, sadar tidak ya guru dan sekolah, bagi sebagian siswa, mereka mampu memanfaatkan remedial sebagai jalan keluar. “Ulangan? Pasti gagallah, tunggu saja nanti juga remedial”. Katalisator guru seperti itu jelas-jelas beda dengan katalisator yang dimiliki sebagian siswa. Siswa dari berbagai kalangan seringkali bertanya untuk apa saya belajar pelajaran ini? Belajar topik ini? Kaitannya di masa depan saya apa?

Belajar adalah seni. Seni apa? Ya itu dia, salah satu seninya belajar adalah menghargai proses. Setiap kali di kelas waktunya belajar, itulah proses. Dalam proses belajarnya, siswa dibimbing, dibantu oleh gurunya. Tapi jangan lupakan dalam proses itu juga, siswa menunjukkan kinerjanya dan secara formatif hal tersebut dapat dites-kan. Yang sering saya amati sebagai “gap” nya adalah si guru merasa tes yang harus formal dong, guru kan dituntut professional, harus dalam format tes rapi, sekolah akan menentukan jumlah soal, soal-soal didokumentasikan dengan rapi, nanti diperiksa pengawas sekolah, nanti untuk diperiksa dinas, supaya akreditasi baik…..yaaaa panjang deh urusan pendidikan di negeri ini. Kalau saya berkomentar, memang dalam proses tadi tes tidak dapat diformalkan? Dengan rubric score yang baik, sangat bisa. Jangan-jangan si guru dan sekolah yang merasa “rugi” karena siswa lagi sedang paham-pahamnya terhadap pelajaran lalu diambil nilainya. Kalau lewat 1-2 minggu kan siswa belajar ulang, usaha dong supaya harus bisa…. (moga-moga bukan yang terakhir itu X_X).

Di samping menghargai proses, membimbing dengan contoh juga merupakan satu bentuk lain dari seni belajar. Membimbing dengan contoh saya yakini sebagai bagian dari “meta cognition” (berpikir untuk berpikir, belajar cara belajar).

Pada saat memberikan tugas kepada siswa, “memberikan contoh tugas” diyakini banyak pihak sebagai menutup peluang siswa berpikir dan berkembang atau dengan melontarkan pernyataan bahwa siswa harus kreatif dong. Itu dia, meminta siswa menjadi kreatif tetapi tidak dibimbing bagaimana mencari “kreatif” itu sendiri, tidak adil dong bagi siswanya. Kreatif kan bukan tujuan, bukan pula menunjukkan diri jadi guru yang kreatif, tetapi justru bagaimana si guru menciptakan peluang mencari cara menjangkau siswa dengan metode dan bahasa yang mereka mengerti, baru mudah-mudahan dari situlah metode kreatif akan muncul dengan sendirinya.

Percayalah, contoh yang kita berikan, tidak ada apa-apanya dibanding kemampuan mereka mengeksplor sendiri. Pancingan contoh kita membuat mereka berusaha menjangkau level kemampuan seperti itu bahkan tidak jarang bertekad mengalahkan level kemampuan itu (tergantung juga dengan kemampuan si siswa sendiri).

Contoh lain, guru tidak asing kan dengan kata kisi-kisi atau notifikasi untuk evaluasinya? Maukah guru memberikan kisi-kisi? Pasti beragam juga cara guru menjawab 🙂 “wahh muridnya nanti keenakan, mereka kan harus tahu belajar sendiri”, “sudah SMP, sudah SMA, sudah besar, bukan SD lagi, nanti keenakan”, “UN kan ada kisi-kisi, kita juga harus ada dong”, “tidak boleh sama sekolah, sekolah memiliki kebijakan tidak boleh kasih kisi-kisi”, “ah percuma, sudah capek-capek dibantu dengan kisi-kisi, belajar juga tidak, malah fotokopinya dibuang”… Atau sebaliknya justru ada sekolah yang mewajibkan buat kisi-kisi untuk formal tes nya, tetapi si guru yang sungkan memberikan lalu cukup dengan “outcomes” seperti “siswa dapat menyelesaikan soal aljabar” 😉 aljabar itu luassssss, yang mana? Berharap anak usia 12-16 tahun jadi jenius tahu aljabar semua?

Pernahkah guru mengajarkan pada siswanya bagaimana membaca kisi-kisi / notifikasi tadi? Bisa dicoba dengan mengajarkan kalimat-kalimat “outcomes” tersebut menjadi rangkaian kalimat soal dalam evaluasi yang akan dilakukan. Ajak mereka membuat soal-soal sendiri atau diawali dengan mencari kembali pada referensi buku teks atau catatan mereka soal-soal yang mencerminkan outcomes tersebut. Ajar mereka untuk melakukan prediksi, mencari alur dan koneksi dalam belajarnya akan kemungkinan soal-soal yang akan muncul dalam evaluasi nanti.

Untuk mengatasi ekspektasi yang tinggi dari anak-anak yang berkemampuan di atas rata-rata, guru juga dituntut sanggup memberikan materi lebih berarti juga perhatian lebih serta mengakomodasi sesuai dengan kebutuhan individual siswa. Jadi saat evaluasi berlangsung, siswa yang berkemampuan seperti ini juga layak mendapatkan ekstra bobot soal yang lebih mengundangnya untuk berpikir.

Jadi, belajar adalah sebuah seni yang akan terus menerus mengalir, tidak akan mati. Selamat belajar! Selamat mencoba berbagai metode / teknik pembelajaran baru / mengkombinasikannya! Semoga bermanfaat!

Dirgahayu Republikku

Pagi-pagi membangunkan Matthew untuk upacara di sekolahnya (ayoo, sudah gede kan, sudah SMP, sudah remaja, harus ikut upacara)….. “Ayo bangun, ingat gak siapa ulang tahun hari ini? Nanti kamu telat gak ikut upacara, poin berkurang 25 lho…” Lagu Ulang Tahun?? hmm yang terlintas tadi di kepala malah lagu ulang tahun dari Jamrud “Hari ini….hari yang kau tunggu….bertambah satu tahun usiamu…bahagia hatikuuuu….” 😀

Waduh, sudah beberapa hari ini Matthew tidak enak badan, beberapa kali ke UKS, semoga upacara pagi ini bisa dia ikuti dengan baik deh…

Satu tahun berlalu, sekarang tiba usia RI ke-68. RI ku yang bertambah tua. Tidak banyak sih ucapan yang ingin disampaikan. Hanya selalu dirgahayu (berumur panjang) karena merdeka itu luas dan dalam. Bertahan dalam kemerdekaan alias mempertahankannya, akan selalu nampak sulit. Semoga RI-ku terus bertahan dari segala “gempuran” yang terjadi di dalam negrinya sendiri, mulai dari tingkatan pejabatnya, aparatnya sampai rakyatnya.

Hampir semua sekolah merayakan perayaan kemerdekaan ini. Demikian pula di sekolah KGS, satu hari penuh kami merayakan hari kemerdekaan tanggal 15 Agustus lalu. Lautan merah dan putih memenuhi pemandangan di sekolah. Sangat menarik.

Mulailah membangun cinta diri terhadap tanah air, mulai dari rekan-rekan muda siswa sekolah, jadikan jiwa nasionalis kita sebagai seorang nasionalis murni dan sejati, bukan simbolik atau bukan pula melodramatik. 

Dirgahayu Indonesi

                                                   flag

KGS2-1    KGS3

                                  KGS1

MOS = Bullying Terorganisir?

MOS atau yang saat ini di beberapa sekolah lebih dikenal dengan MOPD (seperti sekolah anak saya di SMP NotreDame), merupakan masa orientasi siswa / peserta didik yang ditujukan bagi siswa baru di level / jenjang SMP atau SMA.

Orientasi atau perkenalan, sehakekat dengan namanya, ya harusnya menjadi hanya sebuah perkenalan dong ya, tidak berlebihan. Nah, di sini yang bikin takjub, mengapa seringkali dipelesetkan makna perkenalan tadi dengan berbagai kegiatan “lebay” yang tidak masuk akal saya? (Akal saya saja sih, akal orang lain mungkin beda akal, dua dunia akal yang berbeda 🙂 hehe).

Dari jaman dulu, apapun namanya, Mapras, Maper, Ospek, yang notabene bercirikan perkenalan, seringkali menjadi arena “bullying” dan menunjukkan “power” senioritas. Beruntung saya mengalami jenis yang tidak neko-neko dan lumayanlah dapat dijalani dengan manusiawi. Tapi itupun sudah kurang relevan dengan tujuan perkenalan.

Beberapa kali saya membaca atau melihat berita di media jika di beberapa sekolah, MOS menjadi ajang perlakuan “bullying” tadi. Bully berarti menggertak atau mengganggu orang yang lebih lemah (lemah fisik atau lemah berdasarkan jenjang jabatan tertentu). Bullying diistilahkan untuk menunjuk perilaku agresif untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental. Tapi masak iya sih, ada sekolah yang di dalamnya terjadi tindakan tersebut? Yah saya tidak memiliki bukti nyata, seperti saya katakan hanya dari bacaan dan tontonan. Bisa saja sebagai kakak kelas, di dalam MOS dirinya bertindak ingin lebih merasa dihormati, dengan cara membentak dan membuat dirinya selalu benar di mata adik kelas. Menyuruh-nyuruh melakukan hal yang aneh dan berlebihan.

Mengapa siswa di suatu sekolah bisa secara turun temurun melakukan hal tersebut? Entahlah, merasa pernah duluan diperlakukan seperti itu? nah itu sudah suatu indikasi turun temurun kan? 🙂

Atau si siswa belajar pernyataan berikut yang sering terlontar dari mulut seorang pemimpin termasuk guru “aturan kesatu: pemimpin tidak pernah salah, aturan nomer dua, jika pemimpin melakukan kesalahan kembali lihat nomer satu”. Setiap kali ada yang bicara seperti itu, kita pasti tertawa bukan mendengarnya, seperti lucu-lucuan saja, tetapi sedihnya, itulah yang difotocopy oleh semua angkatan di bawahnya, lalu di bawahnya lagi dan terus ke bawah lagi (turun temurun itu).

Saya sering mendengar percakapan rekan guru yang seperti ini “eh nanti jika siswa sedang MOS dan minta tanda tangan, jangan terlalu mudah memberikan tanda tangan ya, suruh siswa melakukan hal apa dulu lah, biar si siswa belajar berani, suruh nyanyi, suruh nyapu, suruh apa aja deh” …. Si guru juga produk (baca: korban) MOS nih *pikir saya* …. 🙂 Tujuan siswa diminta mencari tanda tangan para seniornya atau gurunya untuk apa sih? Untuk berkenalan kan? Lha mengapa malah disuruh melakukan segala rupa? Lakukanlah segala rupa kalau guru ingin berekplorasi mengajar di dalam kelas dan buat anak terlibat.

Jadi, masa perkenalan yang sehat bagaimana dong? Nonton bareng, seminar, beraktivitas dengan berolahraga, menari, menyanyi, kerja kelompok, mengunjungi panti-panti sosial…..dan banyak lagi. Kalau MOS dibantu oleh “outsource” dan dilakukan di luar sekolah? Bagaimana komentarnya ya? Karena satu sisi ya boleh saja, mengingat keterbatasan sumber daya sekolah, misalnya. Tapi sisi lain, kalau masih untuk perkenalan, ya masak dikenalkannya oleh warga luar sekolah?

Sudah bukan jamannya lagi ada sekolah yang MOS dengan membiarkan panitia MOS membuat aturan peserta MOS anak laki-laki mengenakan baju perempuan dan berdandan. Atau, peserta MOS harus berpakaian nenek sihir, tokoh kartun. Untuk apa? Lucu-lucuan? Terpikir tidak, dari sekian siswa laki-laki tersebut bisa saja satu mengalami trauma seumur hidup akibat diminta berpakaian wanita? Satu siswa, tidak kelihatan sekarang, tetapi baru saja hidup masa depannya dirusak. (Semoga sekolah yang melakukan ini membaca ini dan mengubah bentuk MOS nya lebih “elegant”).

Baru merangkum apa itu tentang MOS, eh sudah beredar di media per tanggal 21 Juli kemaren, ada satu siswi korban kegiatan MOS. Salah satu beritanya dapat dibaca di sini http://www.tempo.co/read/news/2013/07/21/079498359/Aktivis-Pendidikan-MOS-Harus-Dihapus

Begitulah, jika budaya MOS ini yang sudah tidak relevan lagi karena menganggap masa perkenalan adalah masa melatih mental menuju (katanya) kekuatan, kuat secara fisik dan disiplin (latih berbaris contohnya), kuat secara mental (anak laki berpakaian gaun contohnya) dll.

Jikalau tidak mampu membuat kegiatan MOS menjadi kegiatan perkenalan yang benar, saya sepakat dengan pak Jimmy Paat bahwa hapuskan semua bentuk MOS, cukup guru saja yang bisa mengenalkan saat pertemuan pertama dengan siswa di kelas, paling-paling 30 menit cukup. Jangan pula berganti nama tapi lalu muatannya tetap sama saja. Hapus dan tidak perlu lagi kegiatan perploncoan itu jika tidak ada esensinya.

*tarik napas panjang*

Sudahlah, saya ingin mengomentari kegiatan anak saya sendiri selama MOS kemaren saja. Saya mau mengambil sisi positifnya yaitu anak-anak OSIS tidak sungkan memberitahukan “trik” untuk tukeran kaos kaki dilakukan di sekolah saja, asal sudah janjian antar mereka mau pakai warna apa. Misal si anak A pakai kaos kaki biru, si anak B kaos kaki hijau. Setiba di sekolah, boleh saling tukeran untuk memenuhi kewajiban memakai kaos kaki beda warna 🙂

Matthew pun harus membuat buku catatan sendiri yang sudah diberitahu isinya terlebih dahulu. Menggambar logo sekolah. Hitung-hitung dia belajar menggambar segi lima menggunakan jangka dan busur matematika, serta dengan proporsional menggambar isi dari logo tersebut. Membuat papan nama dari karton berbentuk benda dan ia memilih buah jeruk 🙂 (atau apel ya? hmm). Membuat tas dari kantong kresek warna merah bertalikan tali rafia tiga warna dirangkai kepang. Dan mulailah Matthew belajar mengepang dan dengan bercanda ia mensyukuri dirinya adalah anak laki-laki jadi tidak perlu repot membuat tali kepang hahaha…. Menarik bukan 🙂

bag pack2      bag pack1name tag      Logo ND

“Aku harus beli coklat anak kucing, biskuit 3D dan air minum bermerek jkt48” …. Wah, apaan tuh ya? Bocorin satu di sini ah. Sempat bingung juga saya mendefinisikan biskuit 3D. Lalu, dengan menyandang predikat guru matematika dan cukup pede (baca: percaya diri), saya mengatakan bahwa kamu harus membawa biskuit 3 Dimensi, dan mudah mencarinya karena semua biskuit adalah bentuk 3D, bisa balok (biskuit wafer), bisa silinder (biskuit marie)…… Ternyata jauuuhhhh dari matematika, karena yang benar adalah Diputar, Dijilat, Dicelupin….. hahaha 😀

Semoga tiga hari kemaren membuat kegembiraan untuk anak-anak SMP ND ya. Kalian belajar mengenal kakak-kakak kelas yang diwakili oleh OSIS, belajar beradaptasi dengan waktu, belajar menyapa orang lain melalui permintaan tanda tangan kakak OSIS dan Guru-guru, belajar menjadi anak yang lebih dewasa 🙂

Kalau boleh ada koreksi, makin diperbanyaklah kegiatan yang mendidik, bukan sekedar atribut “lucu dan aneh” yang harus disandang siswa baru. Justru mereka patut diberikan kepercayaan dengan menunjukkan identitas diri yang mereka miliki dan akan mereka bawa ke jenjang yang baru mereka masuki.

Jadi, walaupun dengan perbedaan persepsi tentang MOS, apa yang dialami oleh Matthew dan teman-temannya di SMP Notre Dame mematahkan opini MOS sebagai sekedar ajang bullying saja. Selamat untuk Matthew dan teman-teman, para anggota OSIS yang sudah menerapkan pengetahuan LDK seperti yang dijelaskan Sr. Efra sebagai kepala sekolah saat pertemuan dengan orang tua murid, serta kepada guru-guru yang sudah membantu seluruh siswa sehingga acara MOS berlangsung baik dan berkesan bagi siswa kelas 7. MOS harus dipakai dan dilaksanakan untuk mendidik para siswanya. Semoga makin banyak sekolah yang mau memanfaatkan MOS mereka pada kegiatan yang benar-benar positif saja.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake