The Modern-Primitive Learning (?!)

Twitter can be a great educational tool for fostering precision and conciseness in communication – skills today’s kids all need ~ Marc Prensky

How serious is the statement for you? Are you one that think “yeaa, I knew that, I used it, too…..”, or, the opposite “I won’t do that. Because that means we let students to be lazy and do not respect adults, they will play instead of study…”

Ten to five years ago, as the world moving inevitably into 21st century, some people focused and preoccupied by the thought on how to control and regulate the world to their preferences. Some other group decided to ride the change while at the same time trying to learn and use it to their benefit.
After a decade into 21st century, the first group still goin nowhere, while the second grows with the power that 21st century have brought upon us all.

There are a new generation born into this century, a generation born into technology and grows with it, and they are now in their school age. It is inevitable to be surrounded by them, to be among them, and grow with them. This is how I see where i am standing and living now.

In this environment, 21st Century Skills includes variety of skills, with the main components are learning and thinking skills (higher thinking, planning, management, co-operation), technological literacy (using technology in learning), and the skills to be a leader (creativity, ethics and creating a product). The common thread of all the skills are technology, and even if you discuss or think about ethical issues and cultural, you cannot avoid linking it to technology.

Social media offers great opportunities for learning inside and outside the classroom, bringing together the ability to collaborate, worldwide access to resources, and finding new and interesting way to communicate in one easily accessible place. Teachers around the world have found innovative ways to use twitter as a teaching tools.

I had been using Twitter to extend the learning with my students, to enjoy lesson in classroom without walls.

#mie8midtest, is one of my  topic in my timeline.

image

Even though students live in this era and familiar with twitter but it doesn’t means that they familiar with #hashtag for studying. Some tried to keep learning strictly one to one, while other even face anxiety to share, or corrected in public. Many even yet to learn how to use it as well.
The technology is with them, and they know it well, but there is always room to understand it better.

Twitter makes staying in touch and sharing announcements super simple and even fun. And as the Instant feedback, twitter makes it easy to get instant approval and disapproval of discussions, allowing the class to be growing while traceable.

Twitter is the next natural step from texting, BBM-ing and personal messaging, and student can learn to reach bigger audience. In the ‘tweet-iest’ city in the world, this medium is too big to ignore. We can certainly learn how to bridle the power and learn to use it for a better cause than just chit-chatting aimlessly.

Why “Modern and Primitive Learning”. We can say, a primitive way to learn, is to just do it, just like when mankind still learn how to create tools. Then came an era where they can teach each other, most of the time, one by one, or at least in smaller groups.
Today, a decade into 21st century, we can reach students personally, at the same time we can also reach a bigger and even bigger group. It is not limited to one on one or face to face anymore.
The Social Media can be used not just for personal media, but also for groups and mass media, acting as a hyper personal media.

Enjoy Learning!!!

Belajar Sambil Bermain

Dunia anak adalah dunia bermain sambil belajar. Suatu ungkapan yang hampir pasti diketahui oleh para orang tua yang memiliki anak-anak balita, TK, SD kelas 1-3. Begitu menariknya dunia anak-anak ini sebagai awal pembentukan karakter mereka, dimana anak hendaknya diajak untuk memulai mengenal sebuah “pengetahuan” melalui kegiatan bermain. Tapi sayangnya, walaupun kita mengetahui hal ini, masih juga kadang terjadi “pemaksaan” belajar untuk anak usia tersebut, les kesana kemari (anak kecil sudah les?). Hal ini bisa berdampak si anak menjadi cepat jenuh dan mogok di waktu besarnya, atau justru si anak menjadi lebih terpacu untuk mendalami semua hal. Menurut saya, misterinya adalah sejauh mana kita mengarahkan anak dan anak mendapat “talentanya”.

Di samping itu, banyak pula ungkapan “Belajar Sambil Bermain” berlaku bagi kita semua, mulai pelajar SD, SMP, SMA. Tetapi, bagaimana belajarnya? Jangan-jangan malah jadinya main-main, materi tidak habis, anak tidak menghargai pelajaran dan lain sebagainya.
Sebagai pendidik / guru, kita bisa kurang menyadari kalau belajar sambil
bermain adalah sebuah metode pembelajaran walupun jelas ada di salah satu teori metode pembelajaran yang diketahui para guru profesional.

Kalau kita mencari dengan kata kunci belajar sambil bermain, begitu banyak resources yang akan kita dapatkan, begitu banyak tips dan jenis permainan yang dapat kita lakukan di kelas, apalagi matematika. Banyak teka teki, bujur sangkar ajaib, tangram, sudoku dan banyak lagi, yang dengan mudah dapat kita unduh dari internet.

Permasalahannya adalah guru sering terjebak dengan segala rutinitas dan tuntutan untuk membuat siswa dapat nilai bagus saat tes / ujian saja.
Perbincangan dengan beberapa rekan yang saya alami dan termasuk yang pernah saya alami sendiri adalah:
“wah susah lah bikin-bikin games, persiapannya berapa banyak”
“kalau games terus nanti kapan belajarnya, nanti kita suruh les aja deh, kita juga yang disalahin”
“materi kita kan banyak, nanti anak tidak ngerti bagaimana lalu nilainya jelek tidak sampai kkm, kan yang repot kita gurunya”
“bosen ah, kalau cuman main cerdas cermat, kasih teka teki, yang bisa kerjain tugas itu anaknya ya itu lagi, itu lagi”……..

Hmmm nah lho, jadinya bagaimana dong ya? Saya rasa semua pendapat di atas bisa jadi ada benarnya. Seorang guru dituntut untuk sedemikian kreatif dan berdaya guna untuk siswanya. Belum lagi, kalau kreatif sudah ada tapi terbentur kendala si guru yang kurang memiliki karakter kuat sebagai pembawa suasana bermain games (bukan seperti para penyaji acara games di televisi), yang ada nanti siswa akan bilang lagi “waduh ini ngapain ya main-main games, tapi garing” 😀

Pak Nabu Mj melalui artikelnya di Kompasiana, Januari 2012, mengatakan bahwa metode pembelajaran belajar sambil bermain dapat mengusung kepada aktivitas dan kreatifitas anak didik. Untuk mengetahui kondisi itu maka harus mengetahui latar belakang pendidikannya dan apa tujuan dari itu semua.

Jadi, walaupun pelaksanaannya susah, marilah tetap semangat menciptakan dunia belajar sambil bermain kepada siswa-siswa kita. Temukan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Mengikuti sharing di forum guru, banyak sekali yang bisa kita dapatkan, dan seperti saya katakan tadi bahwa semua info itu tentulah mengalami modifikasi sehingga menjadi sesuai situasi dan kondisi lapangan di lingkungan kita masing-masing.

Setelah mencoba beberapa bentuk games / permainan (salah satunya adalah teka teki lewat “kentang panas“), saya mencoba cara berikut, membawa “a true game in the classroom”. Setelah melewati proses pengecekan, tanya jawab dan survey kepemilikan laptop kepada siswa  serta kemungkinan dapat membawa laptop tersebut ke kelas (bagian cukup sulitnya), sampailah pada sebuah Lesson Plan “Introduction to 3D perspective” lewat main Tetris di kelas dan menggunakan software bebas Google Sketchup (sekarang dimiliki Trimble).

Untuk bermain tetris 3D (tiga dimensi), dibutuhkan kecerdasaran visual-spasial untuk memahami perspektif dan posisi dari bangunnya. Sebagai pemicu otak mereka bekerja pada saat masuk ke materi utama bangun tiga dimensi, cara ini saya temukan cukup efektif membuat mereka “menghayalkan” bangun-bangun tersebut dalam berbagai perspektif.

“Tetris was the perfect game, it was simple to learn, you had to practise to get good and there was a good learning curve. Tetris is an excellent tool for neuroscience.” ~ Dr Richard Haier

Demikian pula dengan prinsip dasar bangun tiga dimensi di mana volume benda bergantung pada luasan alasnya dan tingginya, Sketchup cukup menarik dipakai siswa untuk benar-benar mengerti konsep tersebut.

Siswa diminta untuk membuka link permainan tetris 3D sebelumnya di rumah dan dengan posisi laptop yang “hibernate”, permainan dapat dilakukan di kelas kembali tanpa butuh jaringan internet. Sementara software Sketchup merupakan sebuah software yang hanya perlu diunduh dan diinstall sekali sebelum bisa dipakai dan menyimpan hasilnya dalam sebuah file yang dapat dibuka kembali kapan saja setelah berhasil diunduh sebelumnya.

Berikut beberapa gambar yang terekam selama “bermain” 🙂
dari michelle chenney1    dari greg jany1

IMG00826-20130206-1524    Grisel's cartoon

Sehabis bermain, tentu saja sesi belajar berlanjut dan siswa diminta untuk membuat laporan bermain tetris 3D dan menggambar ulang beberapa bangun 3D yang diberikan (Artikel selanjutnya akan membahas tentang google sketchup kegiatan di kelas).

Suatu pembelajaran yang sangat menyenangkan, belajar sambil sungguhan bermain. Komentar mereka pun beragam:
“Ini main beneran?”
“susahhhhh, tetris 2D aja, jangan 3D”
“asiiikkkk seumur-umur tidak pernah main nih di sekolah”
“seruuuuu pakai sketchup, saya jadi ngerti kenapa bisa jadi 3D”

Pasti masih banyak cara untuk menjalankan metode pembelajaran bermain ini, yang dapat dicoba ke berbagai mata pelajaran yang lain pula.

Yang Belajar Senang, Yang Mengajar Lebih Senang!
Enjoy Learning

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake