MOS atau yang saat ini di beberapa sekolah lebih dikenal dengan MOPD (seperti sekolah anak saya di SMP NotreDame), merupakan masa orientasi siswa / peserta didik yang ditujukan bagi siswa baru di level / jenjang SMP atau SMA.
Orientasi atau perkenalan, sehakekat dengan namanya, ya harusnya menjadi hanya sebuah perkenalan dong ya, tidak berlebihan. Nah, di sini yang bikin takjub, mengapa seringkali dipelesetkan makna perkenalan tadi dengan berbagai kegiatan “lebay” yang tidak masuk akal saya? (Akal saya saja sih, akal orang lain mungkin beda akal, dua dunia akal yang berbeda 🙂 hehe).
Dari jaman dulu, apapun namanya, Mapras, Maper, Ospek, yang notabene bercirikan perkenalan, seringkali menjadi arena “bullying” dan menunjukkan “power” senioritas. Beruntung saya mengalami jenis yang tidak neko-neko dan lumayanlah dapat dijalani dengan manusiawi. Tapi itupun sudah kurang relevan dengan tujuan perkenalan.
Beberapa kali saya membaca atau melihat berita di media jika di beberapa sekolah, MOS menjadi ajang perlakuan “bullying” tadi. Bully berarti menggertak atau mengganggu orang yang lebih lemah (lemah fisik atau lemah berdasarkan jenjang jabatan tertentu). Bullying diistilahkan untuk menunjuk perilaku agresif untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental. Tapi masak iya sih, ada sekolah yang di dalamnya terjadi tindakan tersebut? Yah saya tidak memiliki bukti nyata, seperti saya katakan hanya dari bacaan dan tontonan. Bisa saja sebagai kakak kelas, di dalam MOS dirinya bertindak ingin lebih merasa dihormati, dengan cara membentak dan membuat dirinya selalu benar di mata adik kelas. Menyuruh-nyuruh melakukan hal yang aneh dan berlebihan.
Mengapa siswa di suatu sekolah bisa secara turun temurun melakukan hal tersebut? Entahlah, merasa pernah duluan diperlakukan seperti itu? nah itu sudah suatu indikasi turun temurun kan? 🙂
Atau si siswa belajar pernyataan berikut yang sering terlontar dari mulut seorang pemimpin termasuk guru “aturan kesatu: pemimpin tidak pernah salah, aturan nomer dua, jika pemimpin melakukan kesalahan kembali lihat nomer satu”. Setiap kali ada yang bicara seperti itu, kita pasti tertawa bukan mendengarnya, seperti lucu-lucuan saja, tetapi sedihnya, itulah yang difotocopy oleh semua angkatan di bawahnya, lalu di bawahnya lagi dan terus ke bawah lagi (turun temurun itu).
Saya sering mendengar percakapan rekan guru yang seperti ini “eh nanti jika siswa sedang MOS dan minta tanda tangan, jangan terlalu mudah memberikan tanda tangan ya, suruh siswa melakukan hal apa dulu lah, biar si siswa belajar berani, suruh nyanyi, suruh nyapu, suruh apa aja deh” …. Si guru juga produk (baca: korban) MOS nih *pikir saya* …. 🙂 Tujuan siswa diminta mencari tanda tangan para seniornya atau gurunya untuk apa sih? Untuk berkenalan kan? Lha mengapa malah disuruh melakukan segala rupa? Lakukanlah segala rupa kalau guru ingin berekplorasi mengajar di dalam kelas dan buat anak terlibat.
Jadi, masa perkenalan yang sehat bagaimana dong? Nonton bareng, seminar, beraktivitas dengan berolahraga, menari, menyanyi, kerja kelompok, mengunjungi panti-panti sosial…..dan banyak lagi. Kalau MOS dibantu oleh “outsource” dan dilakukan di luar sekolah? Bagaimana komentarnya ya? Karena satu sisi ya boleh saja, mengingat keterbatasan sumber daya sekolah, misalnya. Tapi sisi lain, kalau masih untuk perkenalan, ya masak dikenalkannya oleh warga luar sekolah?
Sudah bukan jamannya lagi ada sekolah yang MOS dengan membiarkan panitia MOS membuat aturan peserta MOS anak laki-laki mengenakan baju perempuan dan berdandan. Atau, peserta MOS harus berpakaian nenek sihir, tokoh kartun. Untuk apa? Lucu-lucuan? Terpikir tidak, dari sekian siswa laki-laki tersebut bisa saja satu mengalami trauma seumur hidup akibat diminta berpakaian wanita? Satu siswa, tidak kelihatan sekarang, tetapi baru saja hidup masa depannya dirusak. (Semoga sekolah yang melakukan ini membaca ini dan mengubah bentuk MOS nya lebih “elegant”).
Baru merangkum apa itu tentang MOS, eh sudah beredar di media per tanggal 21 Juli kemaren, ada satu siswi korban kegiatan MOS. Salah satu beritanya dapat dibaca di sini http://www.tempo.co/read/news/2013/07/21/079498359/Aktivis-Pendidikan-MOS-Harus-Dihapus
Begitulah, jika budaya MOS ini yang sudah tidak relevan lagi karena menganggap masa perkenalan adalah masa melatih mental menuju (katanya) kekuatan, kuat secara fisik dan disiplin (latih berbaris contohnya), kuat secara mental (anak laki berpakaian gaun contohnya) dll.
Jikalau tidak mampu membuat kegiatan MOS menjadi kegiatan perkenalan yang benar, saya sepakat dengan pak Jimmy Paat bahwa hapuskan semua bentuk MOS, cukup guru saja yang bisa mengenalkan saat pertemuan pertama dengan siswa di kelas, paling-paling 30 menit cukup. Jangan pula berganti nama tapi lalu muatannya tetap sama saja. Hapus dan tidak perlu lagi kegiatan perploncoan itu jika tidak ada esensinya.
*tarik napas panjang*
Sudahlah, saya ingin mengomentari kegiatan anak saya sendiri selama MOS kemaren saja. Saya mau mengambil sisi positifnya yaitu anak-anak OSIS tidak sungkan memberitahukan “trik” untuk tukeran kaos kaki dilakukan di sekolah saja, asal sudah janjian antar mereka mau pakai warna apa. Misal si anak A pakai kaos kaki biru, si anak B kaos kaki hijau. Setiba di sekolah, boleh saling tukeran untuk memenuhi kewajiban memakai kaos kaki beda warna 🙂
Matthew pun harus membuat buku catatan sendiri yang sudah diberitahu isinya terlebih dahulu. Menggambar logo sekolah. Hitung-hitung dia belajar menggambar segi lima menggunakan jangka dan busur matematika, serta dengan proporsional menggambar isi dari logo tersebut. Membuat papan nama dari karton berbentuk benda dan ia memilih buah jeruk 🙂 (atau apel ya? hmm). Membuat tas dari kantong kresek warna merah bertalikan tali rafia tiga warna dirangkai kepang. Dan mulailah Matthew belajar mengepang dan dengan bercanda ia mensyukuri dirinya adalah anak laki-laki jadi tidak perlu repot membuat tali kepang hahaha…. Menarik bukan 🙂
“Aku harus beli coklat anak kucing, biskuit 3D dan air minum bermerek jkt48” …. Wah, apaan tuh ya? Bocorin satu di sini ah. Sempat bingung juga saya mendefinisikan biskuit 3D. Lalu, dengan menyandang predikat guru matematika dan cukup pede (baca: percaya diri), saya mengatakan bahwa kamu harus membawa biskuit 3 Dimensi, dan mudah mencarinya karena semua biskuit adalah bentuk 3D, bisa balok (biskuit wafer), bisa silinder (biskuit marie)…… Ternyata jauuuhhhh dari matematika, karena yang benar adalah Diputar, Dijilat, Dicelupin….. hahaha 😀
Semoga tiga hari kemaren membuat kegembiraan untuk anak-anak SMP ND ya. Kalian belajar mengenal kakak-kakak kelas yang diwakili oleh OSIS, belajar beradaptasi dengan waktu, belajar menyapa orang lain melalui permintaan tanda tangan kakak OSIS dan Guru-guru, belajar menjadi anak yang lebih dewasa 🙂
Kalau boleh ada koreksi, makin diperbanyaklah kegiatan yang mendidik, bukan sekedar atribut “lucu dan aneh” yang harus disandang siswa baru. Justru mereka patut diberikan kepercayaan dengan menunjukkan identitas diri yang mereka miliki dan akan mereka bawa ke jenjang yang baru mereka masuki.
Jadi, walaupun dengan perbedaan persepsi tentang MOS, apa yang dialami oleh Matthew dan teman-temannya di SMP Notre Dame mematahkan opini MOS sebagai sekedar ajang bullying saja. Selamat untuk Matthew dan teman-teman, para anggota OSIS yang sudah menerapkan pengetahuan LDK seperti yang dijelaskan Sr. Efra sebagai kepala sekolah saat pertemuan dengan orang tua murid, serta kepada guru-guru yang sudah membantu seluruh siswa sehingga acara MOS berlangsung baik dan berkesan bagi siswa kelas 7. MOS harus dipakai dan dilaksanakan untuk mendidik para siswanya. Semoga makin banyak sekolah yang mau memanfaatkan MOS mereka pada kegiatan yang benar-benar positif saja.