“Tirani” KKM

Kriteria Ketuntasan Minimal atau KKM di dunia pendidikan Indonesia. Siapa yang tidak tahu? Atau siapa yang tahu? Atau siapa yang peduli? Cerita lama sebenarnya, yang ingin saya tinjau kembali.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa kurikulum pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara nasional seperti pada periode sebelumnya. Satuan pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik, masyarakat, dan lingkungannya.

Stop sampai di sini dulu….. “…..sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik…..” Tapi UN standar nasional kelulusan….fiuuhh membingungkan. Tapi (lagi), UN sekarang kan sudah mempertimbangkan nilai sekolah dengan persentase 60 : 40, lalu? “Nilai sekolah tolong dibaguskan dulu ya, biar bisa bantu nilai UN nya. Ini belum 60 nilainya, bapak ibu tega men-tak luluskan siswa bapak/ibu?” Sounds familiar?

Nilai sekolah tolong dibaguskan. Dibaguskan sampai mencapai target kkm. Kkm nya berapa? Tergantung sekolah masing-masing dong. Ditentukannya bagaimana? Ya itu, yang ideal berdasarkan link ini, silahkan ditinjau kembali.

Saya hanya ingin meninjau kembali permasalahan yang sudah dipersempit kepada sekolah-sekolah yang menetapkan kkm dalam operasional akademis sekolahnya. Bagaimana sebuah sekolah menetapkan kkm per bidang studinya? Apakah sudah mengikuti ketentuan yang disebutkan dalam petunjuk yang benar.

Mengapa sekolah-sekolah tertentu segitu mengejar kkm? Jawaban yang pernah saya dengar berkisar seperti berikut:
* Kkm menunjukkan kualitas sekolah yang baik. Makin tinggi kkm suatu mata pelajaran maka makin kelihatan sebagai sekolah yang kuat dan mumpuni di bidang akademis.
* Pengawas sekolah / dinas pendidikan tertentu ingin sekolah-sekolah binaannya memiliki standar kkm baik.
* Orang tua lebih senang jika kkm mata pelajaran tinggi sehingga anaknya pun kelihatan seolah- olah mendapatkan nilai yang bagus dan tinggi. Sebaliknya orang tua dapat berasumsi dengan mengatakan mutu suatu sekolah berkurang karena kkm nya rendah, “….eh tahu gak, pelajaran *beep* soalnya gampang-gampang banget, mutu sekolah itu jelek, habis kkm nya rendah….”

Kalau jawaban dan respon dan pengertian berkisar di hal-hal seperti tersebut di atas saja, ya tidak heranlah, kkm menjadi begitu “powerful”. Karena itu menjadi sebuah ‘roda berputar’, kkm yang penting tinggi, sekolah menjadi lebih ‘dipandang’, orang tua ‘puas’ karena nilai anaknya baik setingkat kkm semua.

Dinas pendidikan pun melalui sekolah-sekolah, menyatakan bahwa siswa dinyatakan naik kelas jika sudah memenuhi kriteria kkm per bidang studi, jika masih ada yang belum tercapai, ada “terms and conditions” yang diperlakukan di tiap-tiap sekolah bersangkutan. Sekolah yang “notabene baik” ingin mencapai suatu dokumentasi siswanya lulus / naik kelas setingkat atau di atas kkm. Caranya? ya banyak lah, kata mujarabnya “remedial”. Nilai rapot saja bisa diremedial.

Sekedar sharing tentang hal di atas. Keponakan saya sewaktu kenaikan kelas dari kelas 8 ke 9. Saya tanyakan “Bagaimana nih, sudah mau kelas 3 SMP, berapa nilai matematikamu?” Dia menjawab “ah, cuman 71”. Saya respon lagi “71 kok cuman, itu ya baik, kamu masih bisa ikuti pelajaran lah”. Direspon balik “ah, kata siapa? saya kan masuk kategori “probation” untuk matematika, karena belom sampe kkm 75″. Dan kembali saya respon “apaaaa???? 75??? tinggi sekali???? yakin teman-temanmu mampu mengatasi semua?” “Ah tak tahulah, sekolah sombong tinggi-tinggi amat bikin kkm”. Sekarang anak ini sudah duduk di bangku kelas 10 🙂

Beberapa waktu yang lalu, di FB seorang rekan, saya membaca statusnya yang kuatir melihat kemungkinan pengawas ujian yang sedikit lengah sehingga siswa mampu menjawab secara seragam jawaban isian yang notabene harusnya lebih susah “contekannya” dibanding soal pilihan berganda.Bukan kuatir pada lengahnya saja tetapi pada “sengaja lengah” supaya memberikan kesempatan siswa untuk mendapat nilai baik setingkat kkmnya. Karena ulangan umum tidak bisa ada ujian perbaikan?Jadi serba salah, ulangan umum ada remedial nanti dikatakan kurang punya kebanggaan ah sebagai ulangan umum. Sebaliknya jika tidak ada remedial, nanti dengan persentase final yang cukup besar, nilainya kurang, nilai akhir kurang juga dari kkm, ujungnya ya seperti remedial nilai rapor…… Susah juga…. Jadi, harus bagaimana?

Masihkah saya bisa meyakinkan diri sendiri jika sebenarnya tujuan awal, pemikiran awal dari kkm itu bisa jadi benar, disesuaikan dengan lingkungan sekolah dan masyarakat suatu daerah? Sulit sekali, mengingat yang dihadapi seringnya adalah beberapa contoh di atas? Sementara PP nya menyatakan seperti tercantum di atas sesuai satuan pendidikan bukan bersifat nasional tetapi lalu pemerintahnya sendiri secara nasional ingin mencapai target 75? 75 di Jakarta dan Jayawijaya, hampir pasti berbeda kan? (tolong jika ada yang tahu tentang standar nasional 75 ini, salah atau benar, saya ingin mendapat klarifikasi).

Jika kkm seperti idealnya ditentukan berdasarkan pengalaman belajar dan oleh guru bidang studi yang paham kondisi kelasnya, apakah semuanya harus disamaratakan dengan 70 atau 75 tadi?

Bisakah menciptakan susana belajar yang berbeda? Sudah yakinkah guru bisa melakukan dan menciptakan komponen penilaian yang beragam daripada sekedar tes tertulis? Atau setelah berbagai jenis penilaian dikembangkan, eh tapi ujung-ujungnya kan harus lapor kepada pengawas bahwa soalnya harus berjumlah sekian butir tipe PG, sekian butir isian, sekian butir essay atau apapun itu, jadi nilai siswa ya ditentukan di ujung penilaian formatifnya.

Siapkah dan sudah yakinkah bahwa guru mampu menjembatani proses harian siswa belajar di pelajaran tertentu. Bila seorang anak yang selalu gagal dalam setiap evaluasi, selalu pula si guru harus sigap membantu mengatasinya, remedial salah satu contohnya, kelas tambahan contoh berikutnya, berikan evaluasi dengan metoda lain, bukan sama seperti teman sekelas yang ikut tes tertulis saja. Contoh yang terakhir, paling sulit dibuat guru, karena harus kerja dobel, tidak sesuai rencana mengajar si guru, nanti disalahin sekolah lagi. Atau malah jalan pintas sekolah “….maaf nak, kamu tidak cocok di tempat kami, tidak mampu mengikuti pelajaran kami”.

Belajar Kimia (di Fisika)

Menemukan anak saya yang kebingungan bercerita tentang betapa sulitnya pelajaran fisikanya saat ini, membuat saya mencari beberapa referensi tentang bagaimana menjelaskan materi tersebut kepada siswa kelas 7 yang baru tiga bulan lalu membuang label “anak SD” di statusnya.

Dalam kebingungannnya, diapun bercerita dengan runut apa yang terjadi di kelas. Bagaimana si guru berusaha menjelaskan dan membuat anak-anak mengerti, tetapi di sisi sebaliknya, anak-anak yang tidak mengerti maksud yang dikatakan si guru. Keluarlah kata-kata baru yang ditangkap anak saya saat penjelasan di kelas seperti sistem periodik, ion positif, asam, basa, garam, cl, so4, lakmus merah biru, wuuaahh banyak deh. Semuanya ditanya ini apa, itu apa (Jadi ingat dulu slogan sebuah iklan pengetahuan di televisi “mengapa begini, mengapa begitu”).

Saya kok rasanya bisa merasakan bahwa mayoritas anak-anak ini sepulang dari sekolah mengalami hal yang sama “kebingungan”…. ini belajar apa yakk? Yang berbeda ya hanya reaksi mereka saja karena tiap anak kan memang berbeda dan spesial. Anak saya mungkin reaksinya membela dirinya dengan mengatakan “semua teman-teman juga bingung ma, di kelas berisik karena pada gak ngerti”. Tidak menutup kemungkinan anak lain yang makin tambah cuek karena tidak mengerti apa yang dipelajari atau sebaliknya semakin tertantang membuat dirinya mencari, bertanya, belajar dan sedikit demi sedikit menemukan jawabannya sendiri.

Saya membuka buku catatannya, membuka buku panduannya, dan merasa hanya bisa tarik napas dan berkata “yuk kita belajar semampu kamu menangkapnya saja ya”… Mulai deh kami belajar. Larutan Kimia itu dibagi tiga skala besar, asam, basa dan garam. Untuk mengetahuinya perlu indikator, indikator itu ada pada kertas lakmus, indikator buatan dan indikator murni. Mengapa dia disebut asam karena terdiri dari gabungan ion positif hidrogen dan ion negatif dari non metal. Singkatnya depannya harus ada H….

Kelihatannya sejauh ini berhasil nih menjelaskannya 🙂 ternyataaaa…. bertabur pertanyaan ketidaktahuan sekaligus keingintahuan. “mengapa hanya ada asam, basa, garam?” , “asam untuk apa?” , “mengapa harus ada dua ion positif dan negatif?” , “kertas lakmus itu kayak apa?” , “mengapa menuliskan asam harus didahului oleh ion positif H?”……. dll

asam basa garam

Ampunnnnn nak, mama sudah banyak lupa, harus belajar lagi, apa mama daftar masuk smp lagi yuk, sekelasmu deh? 🙂

Pertanyaan runut yang menunjukkan, begitu luasnya ilmu dan ingin diketahuinya. Permasalahannya, di tempat yang namanya sekolah dan terbatas oleh kurikulum serta silabus, hal ini sering menjadikan ilmu itu terbatas, “sampai di sini dulu ya” (mungkin begitu kata para guru), “sudahlah hapalin aja ini bentuknya” (nanti testnya kan yang ini saja)…. entahlah.

Yang tidak terpungkiri adalah, dulu saat saya dikenalkan pelajaran kimia, rasanya malah lebih “nurut dan patuh” terima bahwa itulah unsur kimia, tidak “protes” dengan memberondong pertanyaan “itu apaan?”, “itu gunanya apa?”…. Tapi ya itu dia namanya perubahan, perubahan jaman, perubahan karakter seseorang akibat perubahan lingkungannya. Jadi kalau kurikulum 2013 masih mengangkat kompetensi dengan kata-kata “patuh”, tambah bingung saya menterjemahkannya.

Mungkin satu hal lagi adalah, dulu saya dikenalkan kimia saat kelas 10 sma, sekarang anak saya kelas 7 smp. Woww hebat, dalam benak orang-orang tertentu memang begitu lah “belajar duluan, supaya lebih cepat pintar” (seperti pernyataan beberapa orang tua yang diinterview acara Buah Hati di salah satu stasiun TV kemarin mengatakan anaknya memang dipaksa belajar membaca berhitung di usia 3 – 4 tahun supaya tidak ketinggalan saat masuk SD). #duh

Salahkah belajar kimia di kelas 7? Tidak sama sekali. Apa yang dipelajari? Yang cocok dengan pemula anak usia 12 tahun-an. Tapi pelajaran ini kan hanya sub topik belajar dari mata pelajaran fisika? Nah itu dia, mengapa berkesan “ditempel” saja di pelajaran fisika, belum lagi, pelajaran fisika saja merupakan turunan dari IPA (level SMP hanya mengenal IPA). Jadi kesan yang tertangkap (saya) adalah pelajaran sih IPA saja (sains / science) tapi demi membantu siswa dan penjual buku paket, dibagilah lagi IPA fisika dan IPA biologi, lalu niat membantu berlanjut dengan IPA kimia (kemarin saya menemukan satu buku soal-soal bertajuk IPA kimia ini). Tapi bagaimana dengan kondisi psikologis si anak yang harus terima sebegitu banyak materi pelajarannya? Si anak yang memikirkan mengapa menuliskan asam sulfat sebagai H2SO4 ? Apa bedanya dengan cara menulis HCl maupun Al(OH)3 ? Sementara jika memang bersifat “tempelan” yaa tidak apa-apa juga, anggaplah sebagai perkenalan untuk anak-anak kelas 7 ini 🙂 

Yakinkah mereka akan belajar reaksi kimia asam / basa di atas detil mengikuti aturannya (mengetahui jumlah ion positif dan negatif, misalnya)? Rasanya bapak ibu guru pengampu mata pelajaran inipun bisa setuju dengan saya yaitu jawabannya tidak kan?

Contoh lain, pada saat anak saya belajar topik suhu, diminta menentukan pada suhu berapakah skala celcius akan sama dengan skala fahrenheit? Ujungnya, anak saya dan semua temannya wajib melakukan langkah-langkah penyelesaian menggunakan sistem penyelesaian persamaan (Aljabar). Mirisnya, dalam penyelesaian aljabar persamaan linier, metode balancing (secara sistematis) belum diperkenalkan di jenjang SD bahkan baru akan mulai di kelas 7 ini, jadi bukannya anak-anak ini tidak bisa melainkan tidak selancar level anak yang sudah mendalami sistem persamaan linier.

Kembali ke persoalan kimia ini. Singkat cerita, dengan penjelasan yang relatif sederhana, kemarin anak saya baru sebatas mampu membedakan mana jenis asam dan basa, serta menggunakan indikator kertas lakmus (ooww yaa akhirnya dia terbayang apa itu kertas lakmus 🙂 ). Yah, tidak apa-apa, itu dulu, nanti lanjut ke bagian pertemuan ion positif dan ion negatif.

Lalu bagaimana ya sebagai guru menjadikan pembelajaran ini semenarik mungkin dan memancing siswa ingin belajar lebih jauh dan tertarik dengan hal baru ini. Di situlah tantangannya. Guru jangan terjebak ingin memberikan semuanya karena merasa dituntut kurikulum dan silabus dan harus menyelesaikan RPP saja, tetapi bagaimana membuat siswa merasa “wah, ini sulit ya pelajarannya, ingin tahu ah, ingin belajar lebih banyak”, jangan ragu, takut dan putus asa ketika si anak mengeluh dan mengatakan “susaaahhhh, saya gak bisa, gak mau belajar”, karena rasa putus asa guru bisa berakibat “pokoknya besok akan ada quiz ya, yang tidak perhatikan, tidak bisa”. Rasanya sih juga tidak perlu berangan bahwa anak menjadi tertarik dengan diberikan sebegitu banyak contoh reaksi menjadi asam seperti H+ + Cl -> HCl, tetapi lebih kepada memperkenalkan sistem periodik saja mungkin? Atau mengapa disebut asam terkait dengan nama kimianya diawali dengan H? Hmm, pasti banyaklah ide di luar sana.

PeriodicTable

Saya menemukan beberapa contoh RPP tentang pembelajaran ini, dan selalu hanya takjub dengan kelengkapan dan keindahan rangkaian sebuah pengantar pembelajaran 🙂 kondisinya nampak selalu ideal 🙂 aahh… andaikan…..

Want to know how well learners are learning or teachers are teaching? Visit the classroom. There’s no shortcut…..

Using Google SketchUp “3D for everyone”

Students in Primary and Junior high level, usually get introduced to 3D basic shapes through topics of finding the surface area and its volume. I’m not sure how deep they get into the idea and concept about it. Sometimes it can be so  hard for the children to see things in 3D or perspective.

Basic 3D shapes are prisms, cylinder, pyramid, cone and sphere. There are many prisms based on its bases. Rectangular prism means a prism with rectangle form base. Hexagonal prism means a prism with hexagon form base. Prisms and pyramid have flat faces, while cylinder, cone and sphere have curved surfaces.

They also focus on learning of rectangular prism or sometimes called cuboid (“balok” in Indonesian), there are some terms used to represent part of it.

1. Face Diagonal: is a diagonal on one of the faces. Since there are 6 faces in rectangular prism then the total is 12 face diagonals.

2. Body Diagonal / Space Diagonal: is a diagonal passing through the interior of the polyhedron, so there are 4 body / space diagonals.

3. Plane Diagonal: When two opposite face diagonals connected, a plane diagonal is formed. There are 6 plane diagonals.

Beside 3D basic shapes, there are composite 3D, such as capsules, combination between cube and pyramid, pendulum.

There are many 3D modeling softwares, and teachers can choose one that is more suitable for their students. For me, to help my students develop their three dimensional visualization ability, I found that Google SketchUp is a very useful software tools. A little bit of SketchUp, SketchUp is a 3D modelling program for a broad range of applications such as architectural, civil, mechanical, film as well as video game design — and available in free as well as ‘professional’ versions.

The concept of using Google SketchUp, is the basic knowledge of mathematics when students need to study how they find the volume. You just find the base area and measure how height it will be. That is volume. SketchUp tells you after drawing 2D shape as its base, “pull up” as height as you want then booommm 3D shape has been made. Easy to connect with Primary or Junior High level, isn’t it?

When I said about diagonals in a cube above, pictures below are the result when it’s drawn in Google SketchUp:

From left to right: cube 1, 2 and 3 describe plane diagonals (plane diagonal is in 2D shape), cube 4 describes face diagonals and cube 5 describes body / space diagonals.

diagonals' types

Below are some basic steps how to use Google SketchUp to create 3D shapes (my student Chika helped me with the tutorial)

How to make prism (4 sides)?

1.  First make a rectangle using this button tool rectangle

on layer rectangle

2. Press  pushpull tool  button then select the rectangle and pull the rectangle into a prism 4 sides.

rectangular prism

How to make pyramid (rectangle base)?

1.  First make a rectangle.

on layer rectangle

2.  Press line tool  button then make one line on the first diagonal of the rectangle.

face diagonal

3. Then take another line on the other diagonal.

two face diagonals

4. Then use button move tool , put on the intersection point of two face diagonals, move up, to make it into pyramid.

pyramid

How to make a cone?

1. Make a circle using this button circle tool

on layer circle

2. Then use line tool  button and put it on the center of the circle and drag it up, vertically on blue axis.

height of cone

3. Still use line tool button to draw a line from the top to one side of the circumference.

slant height

4. Still use line tool button and draw the third line connects the two end points, it becomes a right angle triangle.

before follow me

5. Press  tools  and press follow me lists in tools, then drag the triangle around the circle.

cone being followed

After creating 3D basic shapes, students explored and practiced themselves (under my supervision) to create many shapes and objects. Capsules and torus are combined as follow and students might end up with a very interesting cartoon character 🙂

Grisel's cartoon

This kind of active learning is one of the example of metacognition (The idea of controlling our thinking processes and becoming more conscious of our learning).  When higher-order thinking skills are what teachers are striving for in the classroom, then, teachers should make sure each student know their basic building blocks, and know how to combine it into more complex knowledge.

First, students installed the software. Second, they recognised and learned the tools. And finally, they created 3D shapes (started from the basic one – from simple composite 3D up to complex 3D object).

As their teacher, I also created one 3D object and use it to challenge them. This based on the metacognitive principles to include three essential skills:

  1. Planning: refers to the appropriate selection of strategies and the correct allocation of resources that affect task performance.
  2. Monitoring: refers to one’s awareness of comprehension and task performance.
  3. Evaluating: refers to appraising the final product of a task and the efficiency at which the task was performed. This can include re-evaluating strategies that were used.

Enjoy Learning! 🙂

After the lesson, then I received “A Gift” 🙂 love it…

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake