10 Hal Yang (mungkin) Anda Alami Sebagai Guru

photo (2)

Anda ingin membuat management kelas yang rapi.

Semua sudah tercatatkan dengan baik, sudah dijelaskan kepada siswa anda sendiri. Konsekuensi sudah ditetapkan antara anda dan siswa anda. Anda sudah merasa menjadi manajer yang baik di kelas anda. Tetapi dalam proses pembelajaran berlangsung, ternyata anda harus kejar-kejaran dengan waktu, mengajar banyak kelas, banyak siswa, banyak tingkat. Akibatnya sering merasa gagal sendiri, banyak hal menjadi tidak terpegang. Muncul perasaan bahwa orang lain dapat menganggap anda tidak konsisten.

Anda adalah seorang guru berarti anda harus siap dengan segala hal mendadak di luar rencana.

Tidak selalu “plan” anda dapat dilakukan. Tertunda jauh lebih baik daripada terpaksa harus batal. Tetapi jangan kecewa pula jika rencana anda memang harus batal dan digantikan oleh rencana yang lain. Memiliki lebih dari satu rencana adalah hal yang wajar. Jadi janganlah hanya sekedar memaksakan semuanya harus sesuai dengan satu rencana saja. Misalkan bila anda yang berhalangan hadir di kelas karena keperluan pribadi atau gangguan bencana seperti banjir dan hanya bersifat “temporer”, sebaiknya tidak menuntut guru pengganti anda melakukan serupa yang anda mau. Cukup “guideline” yang jelas dan pembelajaran terwakilkan.

Anda ingin melakukan modifikasi pada management kelas anda yang sudah disosialisasikan di awal tahun ajaran.

Ternyata, apa yang sudah anda tetapkan dan sosialisasikan memiliki kendala dalam pelaksanaannya karena rupanya siswa-siswa anda di tahun ini memiliki keunikan sendiri dan anda belum mengetahui dan menyadarinya sebelum bertemu langsung dengan mereka.

Bolehkah memodifikasi management kelas yang sudah anda tetapkan tadi? Tentu saja boleh. Buanglah kekuatiran akan pendapat rekan yang mungkin mengatakan anda tidak konsisten. Mengubah sesuatu bukan melulu sebagai tidak konsisten. Asalkan, anda benar bertanggung jawab akan apapun yang anda lakukan.

Ada contoh kasus seperti di bawah ini, yang nampaknya bisa membuat anda ragu untuk mengambil putusannya.

Tahun ini anda mulai mendapati jika siswa anda kebanyakan kurang memiliki kesadaran untuk belajar sendiri. Anda merasa memberikan tugas prasyarat kepada siswa sebelum mengikuti tes adalah suatu hal yang baik karena dapat memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Anda tetapkan bahwa jika mengerjakan tugas prasyarat maka siswa berhak mengikuti tes. Anda berikan “worksheet” berlembar-lembar dalam waktu 2-3 hari. Anda lupa jika siswa anda memiliki 12 mata pelajaran lain yang rata-rata menuntut perhatian yang sama. Di hari tes yang ditentukan ternyata mayoritas siswa menunjukkan “worksheet” yang masih 80% kosong dan bermacam alasanpun dilontarkan mereka, antara lain tidak ada waktu, tidak tahu bagaimana mengerjakannya, tidak bisa. Anda panik, diijinkan tes atau tidak? Jika diijinkan, anda kuatir siswa akan merasa anda guru yang “tidak galak” dan yang pasti tidak konsisten. “Sense” anda terhadap siswa tersebutpun menjadi sedikit kacau, tiba-tiba anda mengalami kesulitan mendeteksi siswa ini bicara yang sesungguhnya atau tidak. Sementara, jika tidak diijinkan, kemungkinan besar anda akan dikomplen oleh siswa, orang tua atau kepala sekolah anda sendiri.

Andai saja anda lebih bijaksana di awal, dalam hal memberikan waktu tenggat pengumpulan tugas, maka kekuatiran / kepanikan di atas mungkin dapat dihindari.

Anda tentunya ingin memiliki hubungan yang baik dengan siswa bukan?

Anda masih muda, anda suka nonton, suka makan, suka traveling. Siswa anda berusia 5 – 10 tahun lebih muda dari anda. Anda sering diajak nonton bareng atau bahkan anda yang memfasilitasi acara nonton bareng dengan siswa. Hampir pasti hubungan anda dengan siswa anda akan terjalin baik sekali. Gunakan hubungan anda dengan sangat baik dan bijaksana, peserta nonton bareng bisa saja meliputi siswa tertentu dengan karakteristik tertentu (dengan kata lain anda hanya pergi dengan grup siswa tertentu), di mata siswa lain bahkan orang tua siswa, anda dapat dianggap bias dalam menjalankan tugas sebagai guru.

Anda adalah guru yang cakap melakukan banyak hal.

Anda cekatan, tepat waktu, punya inovasi. Pemimpin anda melihat potensi itu di dalam diri anda. Anda menjadi “langganan” diangkat oleh pemimpin di sekolah anda untuk menjadi penyelenggara sebuah acara. Mulai dari acara “memperingati peringatan keagamaan”, memimpin “study tour” siswa, ketua panitia acara tahun ajaran baru, dan banyak lagi. Mula-mula anda menyenangi semua penunjukan tersebut. Lambat laun anda merasakan bahwa tangan terbuka anda menjadi sebuah bumerang bagi diri anda. Kadang anda merasa bahwa beban tersebut sudah terlalu banyak dan tidak ada lagi yang namanya tim, tetapi lebih kepada melemparkan wewenang. Amati perilaku pimpinan anda, jika pimpinan anda memang “stand up” untuk anda, rasanya beban anda dapat didiskusikan dan anda boleh berpikir bahwa melakukan ragam pekerjaan itu malah akan makin memperkaya ilmu anda. Tetapi apabila pimpinan anda lebih mengutamakan kalimat bahwa pekerjaan anda adalah pelayanan anda, disertai dengan menasehati anda untuk tidak menjadi manusia perhitungan dan jalani “passion” anda, maka sebaiknya anda lebih hati-hati dan bijaksana, sampaikan hal-hal yang menjadi kendala anda pada atasan dengan sopan, kemukakan dengan jujur segala kelebihan dan kekurangan anda. Jika alasan anda cenderung diabaikan tanpa alasan yang jelas, mungkin sudah waktunya bagi anda untuk berpikir ulang 😉

Anda selalu merasa waktu anda tidaklah cukup untuk mengambil bagian tugas terhadap siswa maupun sekolah.

Anda ingin sekali menghasilkan sebuah kinerja yang baik, anda ingin dihargai dengan “Performance Appraisal” yang baik, selaras antara tugas mendidik siswa, menjadi fasilitator siswa di kelas dan tugas-tugas tambahan dari sekolah. Anda ingin sehari anda lebih dari 24 jam. Tugas dari sekolah demikian membludak, anda diminta secara kontinu membuat “lesson plan”, membuat peta kurikulum (kadang meramu kurikulum nasional dengan kurikulum adaptasi dari luar negri), memberi konseling kepada siswa beserta membuat laporannya, mengikuti berbagai pelatihan sekolah, mengajar 24 jam pelajaran, menjadi wali kelas, meeting yang beraneka jenis. Waahh, anda betul-betul menjadi stres dan kepikiran bagaimana mengatasi itu semua. Percayalah, tanggung jawab terbesar anda adalah siswa anda dan kejujuran kepada diri anda sendiri. Jujur bahwa anda melakukan proses pembelajaran kepada siswa dengan benar dan jujur bahwa anda melakukan semua tugas tersebut dengan benar dan secara kualitas baik, bukan sekedar kuantitas selesai atau tidak. Jika anda jujur pada diri sendiri, appraisal tertinggi bukan datang dari institusi anda tetapi dari diri anda sendiri bahwa anda seorang guru yang sangat hebat. Klise memang, di saat banyak guru yang berlomba mengejar segala tunjangan dan kemudahan.

Anda seorang guru wali kelas.

Di samping tugas anda mengajar bidang studi, anda diberi tanggung jawab lebih sebagai wali kelas. Anda tahu dan sadar jika tanggung jawab sebagai wali kelas tentulah memang lebih besar daripada sebagai guru bidang studi saja. Mudah sekali membuat anda menjadi lebih dekat kepada mereka. Wajarkah? tentu sangat wajar. Namun, hindari terjebak dengan sikap dan ucapan-ucapan “ini anakku, dia anakmu, anak si ….”. Ucapan yang demikian biasanya hanya akan menyebarkan aroma persaingan negatif. Anak anda biasanya akan anda bela agar tidak dihukum, anak dia ya harus diberi pelajaran. Jika pimpinan anda menerapkan sistem pemberian “award” untuk siswa kelas yang paling sedikit menerima konsekuensi, maka bisa berimbas kepada perilaku curang anda (yang mungkin tidak anda sadari) agar siswa di kelas anda tidak mendapatkan hukuman. Namun sebaliknya, jika anda melihat ada rekan anda yang bersikap seperti itu, bolehlah sekali-sekali anda yang mengingatkan. Guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam banyak situasi, bukan hanya sekedar siswa yang diwalikan saja. Apalagi semua anak-anak itu adalah siswa anda juga.

Anda memutuskan ingin menjadi guru dan sudah menjalani profesi ini.

Anda yang memiliki latar belakang sekolah keguruan tentu merasa memang menjadi guru adalah panggilan hidup anda. Bagi anda yang berlatar belakang kejuruan lain, kemungkinan besar awalnya anda pasti tidak berminat menjadi seorang guru, namun keadaanlah yang membawa anda menjadi seorang guru. Anda dihadapkan pada pilihan apakah ini pilihan yang benar, apakah ini sudah merupakan panggilan hidup anda, apakah ini hanya sekedar pekerjaan saja supaya tetap mendapat penghasilan? Silahkan putuskan sendiri. Tetapi sebaiknya janganlah membuat keadaan itu menjadi keterpaksaan dengan menambah perilaku “saya ingin jadi guru karena gampang tapi saya tidak mau mengajar ah, sudah capek mengajar, aduuuhhh capek ketemu anak setiap hari, tidak ngerti-ngerti lagi pelajarannya” 😉 Semoga anda tidak yang model demikian. Jika anda ternyata menemukan diri anda yang seperti itu, mungkin anda lebih cocok menjadi staf sekolah yang mendukung pembelajaran saja.

Anda guru yang sudah sangat berpengalaman.

Sangat berpengalaman di sini bisa didefinisikan berbeda bagi tiap orang. Lama mengajar, jenjang mengajar dan lain lain. Anda hebat telah membuktikan bahwa anda konsisten mengajar lebih dari lima tahun, bahkan lebih dari sepuluh tahun dan wow, suatu prestasi tersendiri. Namun terkadang anda perlu menyadarkan diri anda bahwa yang berpengalaman adalah anda sendiri. Siswa anda adalah siswa yang baru pertama kali bertemu anda setiap dimulainya tahun ajaran baru (umumnya) dan “zero” pengalaman di kelas anda. Jangan sampai terjebak dengan mengungkapkan “masak gini saja kamu tidak bisa, Nak, ini kan gampang” yang tidak pada tempatnya kepada murid. Jadi bijaksanalah menyikapi arti pengalaman anda.

Anda ingin mendapat penghargaan sebagai guru.

Penghargaan tentu saja bukan berarti hanya hadiah. Anda ataupun saya tentu akan senang sekali jika pelajaran yang disampaikan mendapat penghargaan oleh siswa, dengan cara siswa yang senang belajar, memperhatikan pelajaran dengan baik.

Bentuk penghargaan yang anda inginkan sebagai guru tentu saja beragam. Apakah ada dari anda yang menginginkan salah satu penghargaan itu adalah berbentuk nilai ujian/evaluasi siswa yang bagus? Ini suatu motivasi yang sah-sah saja tentunya. Namun, janganlah demi mengejar nilai ujian yang tinggi membuat anda melakukan pembelajaran hanya demi ujian “teaching for the test only”. Cukup umum melihat guru yang terjebak pada pola seperti itu.

Guru ingin penghargaan berupa gaji yang baik. Tentu juga wajar sekali. Gaji yang baik adalah gaji yang benar-benar sesuai dengan standar kehidupan layak (tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan). Kalau anda ingin berlebihan, anda boleh memilih menjadi CEO perusahaan saja.

Untungnya kita adalah guru-guru di Indonesia yang di kebanyakan sekolah tidak dinilai berdasarkan nilai ujian standarisasi siswa saja seperti di Amerika, tetapi berdasarkan “merit demerit system” (Benarkah? Semoga….. 🙂 . Namun ada sisi menarik di sini, sebagian besar guru-guru kita sudah “dinilai” dari tunjangan sertifikasi… | Betul ini menarik? Apakah ada hubungannya? 😉 Silahkan dilanjutkan sendiri).

Why use LaTEX?

The tool has always been as important as the technique. Once it was the slide rule, then the calculator, and now, computer is at the center stage.

LaTEX, a computer mark up language, is one of the tool that is still being used in scientific and academic community due to its precision, ease and portability. Unlike other commercial (although very popular solution), LaTEX is free and providing a simple introduction to the separation of content over style/formatting.

LaTEX might require some learning curve but the result is worth it. As an introduction, students might learn about LaTEX through editors like Codecogs before they can type it on their own.

My students use LaTEX to express trigonometry equations on their online assessment, below is the screen capture of one of my students’ work:

image

image

UN oh UN

*Picture from 9GAG.com/GAG/5275652

UN berganti peran. Dari penentu kelulusan menjadi alat pemetaan kemampuan siswa. Sesuai putusan pemerintah melalui Mendikbud tanggal 29/12/14. Menteri mengatakan bahwa penentu kelulusan adalah kebijakan sekolah yang bersangkutan.

Selama ini, di Indonesia, memang selalu berlaku standar evaluasi saja (melalui UN) sebagai standar kelulusan siswa (lingkup kecil) dan indikator keberhasilan pendidikan (lingkup besar). Sementara masih ada tujuh standar keberhasilan pendidikan yang lain, meliputi:
1. Kompetensi lulusan
2. Standar isi
3. Standar proses belajar
4. Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
5. Standar sarana dan prasarana pendidikan
6. Standar pengelolaan
7. Standar pembiayaan pendidikan.

Jadi idealnya, memang dalam mengevaluasi siswa itu bukan hanya mengandalkan dari evaluasi di ujungnya saja, tetapi juga banyak faktor lain. Akibat jika hanya mementingkan di ujungnya saja, maka banyak sekali model dan metoda belajar di sekolah yang tak beda dengan hanya sebuah “bimbingan belajar”.

Lalu jadinya apakah maksud dari UN tidak lagi sebagai standar kelulusan?

UN (ataupun UAN, ataupun Ebtanas) di mata saya.

Anak-anak dari kota besar (Jakarta contohnya), mungkin harusnya menyikapi UN bukan sebagai masalah, meskipun sebagai standar kelulusan. Jika dibandingkan dengan anak-anak dari daerah terpencil yang mau pergi sekolah saja harus menempuh jarak yang sulit, tenaga pendidik dan pengajar yang kurang, media belajar yang kurang, maka kinerja anak-anak tersebut dalam sebuah ujian berada jauh di bawah dari perkotaan. Di sinilah, saya merasa UN tidak dapat dijadikan sebagai standar kelulusan semata, tidak adil.

Jika siswa dari Jakarta tidak lulus, bisa jadi karena memang si siswa tidak belajar, malas belajar dalam kelasnya sehari-hari. Jangan semua disamakan dengan siswa yang “sial” tidak lulus karena nilai UN nya di bawah standar padahal kinerja hariannya siswa predikat juara. Yang kasus kedua inilah, justru yang harus makin membuat kita menyetujui bahwa janganlah menjadikan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan siswa.

Namun sebaliknya, jika siswa dari daerah pedalaman, dengan segala kekurangan kelengkapan belajar tadi, dinyatakan tidak lulus karena gagal UN, maka kita bisa sekali dengan mudah menjatuhkan mental anak-anak tersebut (bahkan mungkin orang tuanya) yang akhirnya tidak mempercayai sekolah. Dalam benak mereka, untuk apa capai-capai menempuh perjalanan setiap hari ke sekolah, untuk apa iming-iming program “Ayo Sekolah” yang diharapkan mampu memperbaiki taraf hidup mereka kelak, jika akhirnya tidak lulus oleh sekali ujian, lalu tidak punya ijasah.

Namun di sisi lain, entah dimulai dari kapan, banyak sekali masyarakat di perkotaan, mencakup dinas pendidikan, sekolah, bahkan guru sekalipun menyiapkan mental para siswa bahwa ujian ini super sulit dan menentukan sekali kelulusan siswa dari suatu jenjang, tentu saja jenjang SMA paling “mengerikan” plus tahun kemaren dipakai sebagai syarat masuk PTN.

Bentuk “ketakutan” tersebut menjadi beragam. Ada yang wajib ikut bimbel (baik di dalam maupun luar gedung sekolah), katanya belajar trik, trik menjawab soal UN, belajar “past paper” sampai hapal. Selama soalnya ditetapkan hanya pilihan ganda, bagaimana bisa yakin membuat siswa belajar “content”, memahami soal terlebih dahulu, lalu berpikir kritis bagaimana menjawab soal tersebut. Ekstrimnya, dengan pilihan ganda, siswa cukup menebak pilihan a sampai d (atau kalau di SMA sampai pilihan e). Di beberapa daerah selain Jakarta, saya banyak membaca melalui media tentang adanya ritual doa-doa agar siswa dimudahkan jalannya dan tentu saja agar lulus. Ada lagi pendistribusian soal dari pusat ke daerah-daerah yang didampingi aparat keamanan negara (wow banget kan?).

Ada satu contoh pengalaman pribadi, sewaktu mengikuti PLPG. Beberapa guru saling sharing tentang UN. Ada seorang yang jujur mengatakan bahwa dia “berjuang” mendapatkan kunci jawaban jam 4 subuh “demi” para siswanya. Inipun atas “instruksi” kepala sekolah. Saya ingat kata-katanya ” ya, bagaimana ya, tugas kita bantuin anak, itu anak kita, kalau kita tidak usahain, lalu tidak lulus, kita juga kena dari atasan, bikin malu sekolah ada siswa tidak lulus. Ibu-ibu pasti ngerti kan gitu, Ibu Hedy sih enak ngajarnya di sekolah anak pintar dan kaya (sambil menunjuk saya), kalau kami, sekolah kecil, anaknya bandel-bandel (seperti minta pembenaran)”.

Tidak perlu dibahas kan? Silahkan pembaca menerjemahkan sendiri 🙂 Yang lebih miris adalah, saya dengar itu di acara pelatihan sertifikasi guru, dan hanya bisa menarik napas dan berguman “yaaa kenapa saya di sini ya?”

Berbagai Harapan Serta Masih Banyaknya Pertanyaan untuk UN 2015.

Setelah pak Anies Baswedan resmi memutuskan UN sebagai pemetaan pendidikan bukan sebagai standar kelulusan apalagi standar masuk PT, banyak pro dan kontra yang mengikutinya.

Tidak perlu membahas bagian yang pro, terutama bagian yang sebagai standar kelulusan, karena saya merupakan salah satu nya 🙂

Yang kontra, antara lain membahas tidak adanya standar secara nasional, bagaimana pendidikan di daerah pedalaman bisa maju jika tidak ditarik standar ke pusat/nasional. Agak terbalik logikanya menurut saya, justru itulah maka dibuat menjadi pemetaan.

Untuk apa mempertahankan UN yang bahkan makin tahun makin menunjukan kemustahilan juga kebohongan. Nilai sekolah di tahun 2014 lalu harus 70%, nilai UN asli harus 30%. Tapi nilai sekolah harus disetorkan ke dinas setempat, entah dari dinas kemana lagi, saya tidak begitu tahu prosedurnya. Berlomba-lomba sekolah “mempercantik” nilai sekolah para siswanya (bahkan cerita seorang rekan kepala sekolah bilang pada saat melapor nilai siswanya 50, “diminta dengan hormat” oleh dinas setempat untuk diubah menjadi 60, atau tergantung kkm terendah saat itu). Pendidikan sudah masuk ranah politik. Makin tinggi nilai siswa, makin tinggi kelulusan, makin besar peluang dinas pendidikan daerah mempertahankan posisinya bahkan naik tingkat.

Jika UN dijadikan sebagai sarana pemetaan pendidikan di Indonesia, sementara lulus tidaknya para siswa ditentukan oleh sekolah masing-masing, apakah perlu setiap tahun dilakukan UN dan diambil oleh seluruh siswa kelas 6, 9 dan 12?

Apakah sekolah-sekolah akan lebih percaya diri untuk menyelenggarakan ujian sekolahnya sendiri, tidak perlu kuatir “dikejar-kejar” aturan dari dinas. Karena kalau sudah menyangkut dinas, sekolah bisa tidak enak hati kalau tidak mengikuti kemauan mereka (sering dengar alasan ini 🙂 ). Atau saya bisa ikut bantu memberi semangat sekolah untuk “ayo para pengelola sekolah, kalian bisa melakukan ujian kalian sendiri, kalian punya standar sendiri asal benar dan jujur serta bertanggung jawab”. Atau memang sudah tidak ada lagi “jujur” tadi? Entahlah…..

Jika BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) katanya telah merangkum aturan UN yang baru, apakah akan sama saja perlakuannya seperti yang lalu? Misalkan, tetap ada ujian sekolah yang diseragamkan dalam hal kisi-kisi? Sehingga sekolah yang mengadaptasi tambahan kurikulum dari negara lain ujungnya pun melakukan sekolah kilat di jenjang kelas 9 maupun 12 untuk materi mata pelajaran yang ada di Indonesia sesuai kurikulum nasional? Karena jika benar bernama Ujian Sekolah, maka adalah sah harus topik yang sekolah tersebut tawarkan kepada para siswanya.

Tahun 2014 lalu, UN juga sebagai penentu masuk PTN, SNMPTN digantikan dengan hasil UN, sebagian ditentang, sebagian tetap ada yang pro. Alasan kontra rasanya lebih kepada logika bagaimana menilai performance seorang siswa jika hanya ditestkan secara pilihan ganda, siswa tidak diminta berpikir “higher order thinking” tadi.

Kalau hanya sebagai SNMPTN, siswa yang tidak ingin masuk PTN, logikanya tidak perlu mengambil UN bukan? Atau mungkin memang semua siswa diharapkan bersaing dulu di jenjang PTN baru dialihkan ke swasta 🙂

Sekedar pengalaman pribadi dulu sewaktu saya masuk ke Universitas swasta, bahkan sebelum Ebtanas, saya dan ratusan teman dari berbagai sekolah telah diterima dan resmi telah membayar sebagai calon mahasiswa dari Universitas tersebut. Hasil NEM hanya disisipkan sebagai dokumen pelengkap saja.

Jadi, tidak heran banyak siswa dan orang tua makin bingung, jadi ambil UN untuk apa? Apakah sampai sekarang jika ingin masuk PT swasta tetap harus menyisipkan hasil UN nya? Dengan alasan mengacu kepada UU yang mewajibkan semua siswa WNI wajib mengambil UN untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya seperti ke PT?

Habis di Indonesia ini agak aneh, siswa yang SD nya tidak memiliki ijasah dari mengikuti UASBN (atau apapun sebutannya setara Ebtanas jaman dulu atau UN kini), dia tidak dapat mengikuti UN di SMP, dan lanjut tidak dapat mengikuti UN di SMA, sehingga tidak memiliki ijasah nasional, maka siswa bersangkutan konon tidak dapat kuliah PT terutama di dalam negeri. Padahal jika siswa ini sekolah formal terus, berpindah dari luar negeri, usianya cocok di tempatkan di SMP, harusnya dia tetap berhak mengikuti UN SMP ataupun SMA, dan berhak melanjutkan ke PT di Indonesia. Rumit 🙁

Andai UN adalah sebuah ujian standar skala nasional yang hasilnya benar dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diambil oleh siapapun siswanya yang berkepentingan dan telah memenuhi persyaratan jenjang pendidikan tertentu.

Andai UN adalah ujian yang ditekankan sebagai salah satu syarat untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya namun bukan digeneralisasi harus semua siswa ambil, tetapi diambil karena siswa sadar dan tahu fokus belajarnya ke arah mana. Konsekuensinya jenjang pendidikan di atasnya benar harus transparant akan menyeleksi siswa dari hasil UN, bukan sekedar atas faktor kejar-kejaran cari murid, penerimaan siswa telah berlangsung, administrasi pembayaran telah berlangsung namun si siswa yang bersangkutan ujian saja belum.

Andai UN adalah ujian berstandar nasional yang tidak perlu diperlakukan seperti selama ini. UN sama seperti ujian yang dilakukan oleh sekolah. Jangan jadikan hasil UN untuk kepentingan sekolah dan dinas semata tetapi pakai UN untuk mengevaluasi siswa apa adanya. Tidak perlu menekan siswa dengan mengatakan UN adalah satu-satunya ujian terpenting dalam hidup mereka. Menekan lalu menakuti. Lebih berharga jika bukan menakuti melainkan menyemangati siswa bahwa tes ini sebagai proses dalam hidup mereka, terlebih tes ini berdasar sebuah standar, malah siswa dapat mengukur kemampuan mereka terhadap tes yang distandarkan berdasarkan jenjang pendidikan yang telah mereka tempuh.

Dan andai-andai yang lainnya……

Jadi akan bagaimanakah UN mulai tahun 2015 ini? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya 🙂

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake