Otak-atik Pendidikan Indonesia, salah siapa?

Artikel Utama Kompasiana

Pendidikan, sebuah topik yang sangat besar, yang mau diamati dari segi manapun tetap luas. Saya mau refleksi saja dari posisi saya sebagai seorang guru sekolah selama 28 tahun.

Sampai tahun 1998, saya masih dapat jatah menjadi pemeriksa Ebtanas bidang studi matematika SMP, bentuk soal esai berstruktur. Beberapa hal yang saya ingat, pertama, selesai mengoreksi saya langsung diarahkan ke loket untuk mengambil upahnya. Kedua, dari setumpuk jatah lembar jawaban yang harus dikoreksi kebanyakan mendapati lembar jawaban yang kosong-kosong, ada jawaban tapi tidak lengkap, sampai saya berpikir aduh ini parah sekali. Apakah karena kebetulan saya dapat sekolah non favorit?

Saya menduga inilah salah satu faktor yang menyebabkan dihapusnya esai karena upah pengoreksi jalan terus namun yang dikoreksi kebanyakan lembaran kosong 😁.

Lalu tahun berganti, Ebtanaspun menjadi ujian akhir nasional, yang berganti lagi menjadi ujian nasional, yang dipatok sebagai standar kelulusan. Ujian standarisasi. High stakes test. Dengan semua bentuk soal pilihan ganda. Nah di masa-masa ini, saya ingat betul, lambat laun ujian penentu kelulusan ini menjadi terlalu diglorifikasi. Sekolah maupun siswa seperti dibuat agar gentar sebelum ujian.

Tidak pandang bulu, sekolah di kota besar, sekolah di kabupaten, sampai di desa maupun pelosok, harus bersikap sama terhadap ujian nasional. Padahal persiapan sehari-hari tiap sekolah saja berbeda, mana bisa menyamakan sekolah di kota besar yang lengkap fasilitasnya dan kualitas latar belakang siswa dengan sekolah di daerah terpencil dengan segala keterbatasannya. Namun nampaknya ujung-ujungnya adalah penilaian. Siswa lulus 100%, sekolah bernilai baik. Sekolah bernilai baik, dinas pendidikan yang menaungi juga dinilai baik. Akhirnya cuma demi ego, harga diri, ranking, akreditasi, administrasi, maka harus didengungkan “ini ujian penentu kelulusan” terus menerus makanya bahasa saya ditakut-takuti. Padahal harusnya sistem yang baik dan benar adalah mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang di daerah dan masih tertinggal menjadi berkembang menuju setara, bukannya menyamaratakan semuanya.

Sadarkah bahwa metode ditakut-takuti itu tidak bisa diterapkan kepada semua anak? Ada memang anak yang terpacu justru oleh ancaman kelulusan namun kita tidak bisa tutup mata dengan kemungkinan ada anak yang akan stres, tidak peduli, mencari cara curang demi memenuhi kepuasan sekolah dan atasannya tadi pokoknya lulus 100%?

Belum lagi megamati sikap dan tindakan sekolah-sekolah di kota besar, dengan siswa-siswa yang mayoritas memiliki latar akademis yang baik, plus sekolah tersebut bergaya “international” dalam hal jualan kurikulumnya maupun fasilitasnya, tapi begitu mau ujian nasional harus ikutan gentar dan bahkan menakuti siswanya soal kelulusan tadi.

Kebijakan ujian nasional dan ujian sekolah ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan. Setiap kurikulum ganti, pasti ada hebohnya tersendiri. Bukan berarti ganti kurikulum merdeka yang kacau artinya kurtilas bagus. Mungkin dulu waktu ramai kurtilas belum lahir sebagai guru. Setiap kurikulum berganti, pasti berganti pula sistem ujian akhir. Referensi lengkap soal ujian akhir dan kurikulum salah satunya pernah dituliskan di harian kompas.

Sebagai contoh, Kurikulum 2013 dengan KI KD nya yang kalimatnya baku dan super panjang serta diulang-ulang. Kurikulum merdeka dengan elemen dan CP yang tidak jauh berbeda. Capaian pembelajaran per fase di saat sistem sekolah adalah per kelas. Logikanya siswa di kelas bisa di fase yang berbeda. Lalu pembuat dan penentu kurikulum berpikir bahwa hal ini akan bisa berhasil, di kelas harus bisa membagi siswa berdasarkan fase pencapaiannya. Omong kosong sekali.

Semua kurikulum ada plus dan minusnya, wajar. Namun kurikulum merdeka yang terakhir ini, mengapa menjadi menonjol semrawutnya? Karena pembuat kebijakan kurikulum terlalu “over confident” dan juga “over claimed”. Saya akui di awal saya merasa pak Menteri muda dengan background pendidikan dan pengalamannya cukup mumpuni memimpin departemen ini, membuat gebrakan, membenahi pola pikir lama, mendobrak sistem ke arah lebih baik, dan lain sebagainya.

Benarkah ada gebrakan? Oh iya ada. Mengubah nama kurikulum, dari kurikulum darurat (akibat ada kasus covid 19), kurikulum prototype (mulai lebay pakai prototype segala) sampai berakhir kurikulum merdeka (yang dari penetapan sudah kurang sreg karena kata merdeka sudah memiliki makna lain yang menonjol yaitu bebas).

Dengan bergaya kurikulum IB, inquiry based learning, dirancanglah CP (capaian pembelajaran) tadi dengan berbagai fase, siswa belajar sesuai dengan minat dan kemampuan (aduh ini paling mengesalkan, mikir tidak ya pak Menteri dan tim bagaimana ini bisa berjalan di sekolah-sekolah?). Siswa berbeda fase kemampuan di dalam satu kelas yang sama, sudah dipersiapkan belum gurunya? Jika sekelas katakanlah 30 siswa, beragam kemampuan, bagaimana mengelola kelasnya? Siswa belajar sesuai minat, tetapi sekolah membuka kelas minat terbatas, musti dikemanakan siswa yang tidak memilih minat seperti yang sekolah sediakan? Siswa dipindahkan atau sekolah yang penting asal buka kelas minat itu? Urusan sepele tapi pembuat kebijakan pahamkah?

Kita lihat tentang dengung RPP satu lembar. Kabar bahagia di awal, namun di ujung hari, tak ada itu satu lembar, kalau gurunya tetap diminta buat segala macam laporan yang wajib diunggah di pmm. Bahas pmm panjang lagi, aplikasi yang digadang-gadang  sebagai superapp edukasi rancangan kementerian untuk meningkatkan kualitas pendidik di Indonesia. Antara mimpi dan angan-angan, memajukan kualitas pendidik melalui aplikasi.

Inquiry based learning, dengan mewajibkan siswa membuat proyek dalam pembelajarannya. Tidak ada masalah dengan proyek, tetapi jika yang penting harus ada proyek dengan tag proyek p5, sudah seperti tempelan saja harus ada proyek disambung-sambungin. Saya yakin sekolah tertentu banyak yang berhasil dan sukses dengan model proyek yang digadang seperti model kurikulum IB, namun bicara skala satu negara dengan beragam sumber daya, latar belakang sosial ekonomi, kultur, tidak bisa semua disamakan begitu saja bukan.

Jadinya saya melihat kurikulum merdeka ini seperti kurikulum yang cuma kemasan saja, diberondong oleh jargon bombastis, branding kesana kemari. Belum solid, belum terbukti tetapi seperti saya sebut di atas, over claimed.

Dengan dimulainya kurikulum merdeka ini, maka ujian nasional sebagai syarat kelulusan dihapuskan. Satu sisi, iya setuju, syarat kelulusan yang semakin tidak jelas. Tetapi lalu diganti dengan asesmen nasional di kelas 8 dan 11 yang digunakan untuk menunjukkan tujuan utama satuan pendidikan, pengembangan kompetensi dan karakter murid. Agar diharapkan dapat mendorong satuan pendidikan dan dinas pendidikan untuk memfokuskan sumber daya pada perbaikan mutu pembelajaran. Kenyataannya? Sekolah macam apa yang butuh? Apa semua butuh hal yang sama? Contoh saja di sekolah SPK, siswa yang penting jawab, guru yang mengisi survey lingkungan belajar yang penting isi. Dan apa gunanya? Zero, nothing. Jadi tidak tepat sasaran kan.

Jadi 5 tahun terakhir, bukan sistem, fondasi yang krusial mendapat perhatian, tetapi telinga saya terjejal dengan yel-yel, jargon, teknologi, aplikasi, target melangit, glorifikasi pejabat maupun keluarga yang pernah sekolah dan tinggal di luar negri. Yakin tahu dengan kondisi sekolah di negara ini menyeluruh? Saya setuju jika guru diberikan keleluasaan untuk berinovasi sesuai di lingkungan mana guru di sekolah itu berada. Bagus penyataannya, namun, pada kenyataannya, benar begitu? Kebablasankah inovasinya? Atau pak menteri yang sedang berinovasi yang jika gagal maka akan diganti ke inovasi lain (hello Pak, ini perkara satu negara dimainkan sistem inovasi coba-coba jika gagal lalu ganti?). Atau tersendatkah si guru dalam berinovasi karena ujungnya tidak mengikuti apa yang diminta sekolah karena sekolahnya wajib menuruti perintah pengawas dari dinas pendidikan? Seperti sebuah roda, berputar terus tak berujung.

Keinginan pak Menteri bahwa siswa belajar sesuai minat dan kemampuan, tanpa ada pengawasan yang benar-benar jelas (saya tidak sebut aturan atau UU ya karena itu sih pasti ada) berujung diterjemahkan di lapangan sebagai semua siswa wajib naik kelas karena siswa memilih belajarnya sendiri, jadi tidak ada kata gagal. Absen ke sekolah berkali-kali dimaklumkan sebagai oh siswa belajar sendiri di rumah, siswa tidak ambil ujian di sekolahnya, oh ya tidak apa-apa karena ujiannya bukan standar kelulusan seperti UN lagi. Alhasil, itulah yang terjadi, sudah SMP masih keteteran membaca, masih belum bisa perkalian pembagian sederhana. Lulus SMK belum mengerti konsep copy-paste, boro-boro pakai excel mengolah data. Saya yakin, pak Menteri tidak bermaksud sengaja menjadikan merdeka belajar seperti itu kan. Lalu jadinya apa pengawasannya?

Persoalan pendidikan nampaknya bukan untuk dikejar sudah berhasil atau belum, namun setidaknya semakin hari semakin baik saja, itu sudah cukup. Sulit mengatur dan memenuhi keinginan seluruh rakyat negeri ini, tapi setidaknya, ada sistem yang lebih solid dan dengan pengawasan yang baik juga. Misalnya dimulai dengan jangan mengganti nama kurikulum melulu, karena pasti isi ada perubahan juga lalu kalau berubah mulai lagi dari awal sosialisasi lagi. Ujian standar perlu ada namun bukan untuk semata kelulusan macam UN atau demi dicatat sebagai prestasi / ranking sekolah dan akreditasi saja. Sistem dasarnya harus dibenahi dan dikuatkan.

Salah siapa pendidikan kita jadi begini?

Karakteristik Siswa “Gen Z”

Sebuah opini pribadi

Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2012. Berarti dari 27 tahun pengalaman mengajar, sudah 13 tahun berkecimpung bersama mereka. Ya, usia siswa SMP dan SMA antara 12 sampai 18 tahun. Hampir separuh usia pengalaman mengajar. Wow.

Apakah ada perbedaan mencolok antara mengajar generasi milenial dengan generasi Z ini? Tentu tidak bisa dijawab langsung dengan sekedar ya atau tidak. Harus diamati dari berbagai segi dan situasi.

Menurut pengamatan saya, setiap tahun akan ada perbedaan dan perubahan, yang berawal sedikit demi sedikit lalu setelah lewat beberapa tahun kita kan merasa wah berubah ya, kok dulu anak-anak tidak begini begitu mengapa sekarang jadi begini begitu? Nah seringkali kan rekan-rekan guru yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun merasakannya? Dan perubahan itu bukan hanya perpindahan generasi bahkan di antara rentang waktu gen Z pun kita bisa merasakan perbedaan.

Perubahan karakteristik siswa bisa diakibatkan faktor lingkungan. Di tahun-tahun pasca 1998, mulai menjamur sekolah berkiblat internasional. Namun di era itu bahkan buku-buku pelajaran masih menggunakan buku-buku pelajaran terbitan dalam negeri. Menyampaikan pelajaran masih bebas berbahasa Indonesia. Namun uang sekolah beberapa kali lipat dari sekolah normal, sekolah nasional. Kok bisa ya? Iya bisa, karena logikanya walaupun menggunakan buku pelajaran yang sama namun fasilitas dan sistem pembelajaran ada perbedaan termasuk uang sekolah, semisal satu kelas hanya berjumlah antara 10 – 20 siswa maksimal, ada kegiatan extra kurikuler yang beragam oleh profesional, komunikasi di kelas campur bahasa asing (Inggris). 

Penggunaan bahasa asing ini dimulai dengan dibiasakan untuk komunikasi saja dan bukan yang utama (setidaknya saya mengalami hal ini). Banyak siswa yang datang ke sekolah dengan kemampuan bahasa Inggris yang minim dan mereka justru belajar dimulai dari komunikasi ringan, dibangun kepercayaan dirinya berbahasa asing, belajar di kelas bahasa Inggris dengan “native speaker”. 

Beberapa tahun berlalu, kemampuan bahasa Inggris sudah dimulai dari anak-anak berusia lebih muda lagi alias mulai dari taman kanak-kanak ataupun sekolah dasar, sehingga begitu memasuki usia SMP mereka lebih fasih dari awal-awal yang disebut di atas. Kemampuan berbahasa yang lebih fasih tentu otomatis membuat guru-guru yang kebanyakan saat itu berlatar generasi boomers akhir dan gen X sedikit kewalahan dan mau tidak mau dipaksa belajar memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih baik. Gap yang semakin besar tersebut sudah pasti membawa kesimpulan adanya perubahan siswa. Setelah guru-guru makin bertambah dari generasi milenial, tentu berubah pula kondisinya.

Hal itu pulalah yang menyebabkan semakin maraknya sekolah yang menawarkan kurikulum asing dan penyampaian dalam bahasa asing (Inggris) pula, yang lambat laun menawarkan bahasa asing lain (contohnya Mandarin).

Bahkan sekolah nasional pun semakin banyak menawarkan persaingan ini, nasional plus. Demi apa? Demi tidak tertinggal, demi mengikuti perkembangan jaman. Jika semakin banyak lingkungan anak-anak dari sekolah yang mampu menawarkan gaya international tadi maka semakin beragam perilaku siswa di kelas. Siswa merasa kemampuan guru tidak sebanding, mulai berkomentar dengan menyisipi kata-kata yang dianggap kurang sopan, berasumsi gurunya tidak akan paham. Sebaliknya si guru jadi penuh rasa curiga akan setiap komentar siswanya. Jadilah “misunderstanding” dan mulai terjadi sebuah perbandingan “wah siswa sekarang kurang sopan”.

Perubahan lain disebabkan oleh perubahan pola asuh dalam keluarga. Orang tua para gen Z mayoritas rasanya berasal dari para gen X. Di mana gen X ini berasal dari orang tua generasi silent akhir atau boomers. Pola asuh boomers kepada gen X mengakibatkan gen X merasa tidak boleh mengulang pola asuh yang sama kepada anak-anaknya. Dulu dikontrol, tidak boleh bergaul apalagi pacaran, padahal tidak semua pergaulan maupun pacaran anak remaja adalah salah. Sehingga gen X merasa harus memberi peluang anak-anaknya si gen Z lebih bebas bergaul.

Contoh lain, pola asuh boomers menekankan struktur, disiplin, dan tanggung jawab, yang dapat menanamkan ketahanan dan etos kerja yang kuat pada anak. Namun, hal ini mungkin juga dikritik karena terlalu kaku atau membatasi, sehingga berpotensi menghambat ekspresi diri dan otonomi anak. Akibatnya, para orang tua yaitu para gen X ini, melakukan hal sebaliknya kepada anak-anaknya si gen Z. Alhasil, ada yang kebablasan, berdampak anak tidak paham disiplin merasa selalu ada pemakluman, tanggung jawab belum terbentuk, etos kerja minimal karena selalu dibantu dll. Beberapa anak dengan tipe serupa berkumpul dalam suatu kelas di usia remaja, mudah bagi kami para guru berkata “anak sekarang berbeda ya sama jaman kita dulu”.

Perubahan lain bisa jadi disebabkan oleh perubahan kurikulum. Mulai dari era kurikulum 1994 yang sarat dengan muatan lokal menjelma menjadi super padat, dan berujung dikritik.

Ganti kurikulum 2004 KBK, berbasis kompetensi. Dengan ciri-ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Kegiatan belajar menggunakan pendekatan dan metode bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, saya pribadi menganggap ini kurikulum yang baik.

Lalu berganti lagi menjadi KTSP tahun 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menekankan pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan KTSP itu sendiri. Pernah terlibat akreditasi sekolah di era ini, namun berujung pada copy paste dokumen saja. Intinya dikembalikan pada satuan pendidikan sesuai kompetensi yang ditetapkan dari pusat. Ini cukup baik menurut saya, hanya pelaksanaan tidak sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan tapi tetap mengikuti panduan dinas pendidikan dan kekakuan ujian nasional yang tetap menguji semua daerah sama dan masih dipakai sebagai standar kelulusan. Tidak sejalan dengan namanya “tingkat satuan pendidikan” karena kenyataannya disamakan lagi satu Indonesia. 

Dilanjutkan dengan kurikulum 2013. Ini kurikulum yang bagi saya memiliki KI KD dalam balutan kalimat yang kurang masuk akal, memaksakan penggabungan antara akademis dan sosial. KI berupa pengulangan kalimat yang sama di semua topik pelajaran pada KD nya. Mengapa tidak dijadikan satu list saja semua KI seperti SK (standar kompetensi di 2006)? Saya pribadi sebagai guru saat membaca KI kadang merasa kalimatnya terlalu puitis sampai saya sendiri bingung. Logikanya, guru yang bingung, imbas ke siswanya. Siswa bingung dengan perubahannya. Banyak gen Z mengalami di era kurikulum ini.

Setelah melewati kurikulum 2013 yang disisipi dengan “kurikulum 2013 yang disempurnakan” maupun “gabungan dengan KTSP”, penamaan kurikulum diakhiri dengan Kurikulum Merdeka. Penamaan terakhir ini juga sarat makna. Merdeka dalam arti menyelenggarakan pendidikan di Satuan Pendidikan tetapi tetap dibatasi oleh lembaga di atas satuan pendidikan (yakni dinas pendidikan). Kemerdekaan guru yang ingin membangun sistem pengajarannya menjadi kurang disetujui karena dianggap bisa membawa tidak ada pemerataan sistem baik di internal sekolah, maupun dalam satu zona dinas pendidikan. 

Fenomena merdeka dan dihapusnya Ujian Nasional saat pandemi tahun 2020 lalu satu sisi membawa pengaruh kepada daya pikir siswa gen Z ini yakni merasa tidak perlu lagi belajar. Saya tidak bermaksud mengatakan UN itu lebih baik, tetapi tanpa penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik maka mudah sekali siswa merasa “ah mudah sekarang belajar asal saja kan tidak ada ujian nasional dan kita merdeka”, “belajar sesuai minat bakat jadi yang kita tidak suka ya tidak perlu belajar”. Belum lagi fenomena penilaian sekolah yang berimbas pemberian nilai kepada siswa banyak disulap demi memenuhi kriteria “sekolah lulus akreditasi”. Salah kaprah kata merdeka. Pembenahan fenomena merdeka ini yang belum kelihatan sampai saat ini.

Di akhiri dengan penerimaan siswa SMA di universitas-universitas swasta yang sudah terjadi bahkan saat siswa tersebut masih duduk di kelas 11. Jadi sebagian siswa tersebut merasa benar-benar merdeka karena telah diterima di universitas jadi untuk apa melanjutkan belajar lagi, maka bisa menimbulkan suasana kurang fokus saat sedang belajar di kelas. Bukankah suatu keanehan kalau universitas sudah menerapkan hal ini? Apakah ada dampak yang mereka pikirkan? Apakah meraup siswa dari kelas 11 untuk memasukkan pendapatan sedini mungkin? Entahlah.

Lalu sebagai guru? Saya harus belajar untuk menjadi lebih bijak menghadapi perubahan-perubahan ini. Karena perubahan karakteristik siswa itu banyak faktornya dan kompleks. Satu sisi, sekolah jaman sekarang bukanlah menjadi satu-satunya kebutuhan dasar di masa pertumbuhannya. Banyak cara anak belajar. Bayangkan, kalau kita berdakik-dakik berslogan siswa diajari dengan akhlak dan karakter, akhlak dan karakter apa yang ingin kita ajarkan? Yang diteskan sekedar teori dalam selembar kertas lalu dinilai angka 0 – 10? Yang ketat dengan unsur agama tertentu, misal ibadah doa pagi, doa pulang, ibadah mingguan, dan harus mencatat kotbah yang didengar? Apa batas antara membentuk karakter dengan capaian akademik yang ingin dicapai? Apa yang mau diajarkan ke siswa jika siswa mencapai akademis 40 lalu di rapor laporan menjadi 70 atau 80 bahkan 90 dengan kondisi tidak boleh ada siswa tinggal kelas? Apa yang mau diajarkan ke siswa tentang tanggung jawab dan tepat waktu jika gurunya di tengah-tengah minggu pembelajaran harus menghadiri segala macam bentuk pelatihan yang diadakan oleh suatu lembaga pendidikan demi mengejar syarat mengikuti pelatihan? Karakter apa yang mau dibangun dalam hubungan antara guru dan siswa jika si guru lebih disibukkan urusan administrasi kelas dan administrasi pembelajaran yang terus menerus mengulang-ulang?

Banyak yang masih perlu dibenahi. Siapkah kita selain berkutat pada “gen Z memang berbeda”. Padahal dalam beberapa tahun ke depan guru level SMP – SMA akan menghadapi generasi baru lagi, generasi Alpha. 

 

 

Belajar Bersama AI

Seberapa penting mengenal kemampuan AI? Apakah dengan AI semua peran kita di lingkungan hidup kita, pekerjaan kita, sekolah kita, dan lain sebagainya akan langsung tergantikan? Kok seperti menyeramkan? 

Kehadiran teknologi berbasis AI, membawa dampak bagi kita untuk berubah lagi. Seperti apa? Banyak segi. Namun yang pasti, kita tidak bisa hanya bersikap apatis, pokoknya menolak, menyalahkan orang-orang yang mengembangkan teknologinya ataupun melakukan pemblokiran. Tidak berguna dan tidak menyelesaikan  permasalahan.

Jadi harus bagaimana? Berlawanan dengan yang disebut di atas, yang sebaik-baiknya kita lakukan adalah belajar. Belajar menerima faktanya, belajar menghargai si pengembang atau si pemakai, dan belajar mengenalnya. Kalau beberapa waktu lalu kita dibuat kagum dengan “hey google” atau “siri”, yang sekarang sudah berkembang ke era yang lebih maju lagi. Teknologi, tak pernah ada batas.

Manfaatkan untuk kebutuhan pekerjaan kita. Di balik ada kengerian bahwa kita yang bisa tergantikan oleh AI, bagaimana jika mencoba bersama AI menyempurnakan pekerjaan kita.

Khan Academy sudah memulai menyediakan AI pada video-video pembelajarannya, untuk membantu siswa belajar. Bayangkan jika suatu saat desmos, geogebra melakukan hal yang sama. 

Cuplikan pernyataan dari IB “Latest developments in artificial intelligence (AI) software, such as ChatGPT, that can write sophisticated essay responses have generated a great deal of interest and discussion. The IB will not ban the use of AI software. The simplest reason is that it is an ineffective way to deal with innovation. However, the use of AI tools should be in line with the IB’s academic integrity policy.….”.

Lalu bagaimanakah dengan kita?

Memang tantangan terbesar dunia pendidikan adalah bagaimana mengelola perkembangan AI yang sangat dasyat ini. Masih relevankah sekolah-sekolah yang terlalu bertahan pada standar era lama, hanya pada ujian-ujian tertulis dan penugasan-penugasan yang dengan mudah dapat dilacak siswa dan dikerjakan secara cepat oleh bantuan AI? Nah mungkin yang seperti itu yang akan mudah tergantikan. 

Saat gpt3 lalu booming sekitar 4 bulan lalu, pengamatan saya adalah chatgpt masih banyak terbata-bata dalam menjawab soal matematika. Banyak yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Dan dengan tanya jawab ataupun argumen, AI belum tepat memberikan jawaban. 4 bulan berlalu, muncullah gpt4, dan dengan memberikan soal matematika, dia dapat merespon, menjawab, dan berakhir dengan memperbaiki sesuai saran kita. Luar biasa kita dibuat kagum dengan performanya.

Berikut beberapa cuplikan percakapan saya dengan chat bingAI dalam mencari solusi soal matematika tingkat sekolah menengah.

Gambar 1 pertanyaan menemukan luas bangun datar dengan diketahui titik koordinat pada masihg-masing titik sudut bangun tersebut.

Gambar 2 dan 3 mencari solusi nilai x dari suatu persamaan trigonometri.

 


Gambar 4 mencari fungsi turunan pertama menggunakan hukum perkalian dan pembagian pada turunan.

Luar biasa, bukan? Tidak habis pikir bagaimana sebuah mesin AI bisa menjawab seperti itu. Ada bagian percakapan lain tidak direkam dalam foto, isinya bercakap-cakap seperti layaknya kepada orang lain, responnya juga seperti orang yang merespon. Dia seperti menjadi teman diskusi yang responsif. Bayangkan kalau siswa yang memulai bertanya dan terjadi argumen serta tanya jawab, maka siswa sedang belajar benar-benar aktif juga efektif karena respon yang luar biasa cepat. Mungkin akan ada keraguan tahu dari mana jika jawaban atau respon si AI benar atau salah? Nah mungkin di situlah letak bahwa posisi manusia (dalam hal ini, guru) tidak akan tergantikan dengan mudah (berpikir positif dong 🙂 ).

Ide bercakap-cakap dengan chatgpt4 ini membuka ide lain salah satunya yaitu menambah media belajar bagi siswa. Dengan waktu yang terbatas di sekolah, beragamnya kemampuan siswa, guru dapat membantu urutan pertanyaan ide yang bisa diajukan sendiri kepada AI, membantu siswa menentukan “prompt” agar AI bisa memberikan respon yang lebih akurat.

Sudahkah bapak/ibu guru mencobanya? Selamat mengeksplorasi chatgpt4 menurut bidang studi masing-masing.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake