Digugu dan Ditiru 2.0

Sebagai seorang pendidik yang notabene adalah orang yang berperan penting dalam pembentukan karakter siswa, guru seringkali diidentikkan dengan orang yang harus baik, ramah, supel, menjadi pendengar, menjadi penasehat, menjadi tutor, menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi segalanya bagi si siswa. Banyak guru mampu berperan super ganda seperti itu karena memang dia bertalenta banyak, tetapi banyak guru juga yang tergopoh-gopoh untuk mampu seperti itu dan banyak berkesan dipaksakan.

Karakter guru saja beragam, bertemu dengan karakter siswa juga lebih beragam, jumlah siswa jelas jauh lebih banyak. Sering sekali perbedaan karakter guru dengan siswanya menjadi boomerang bagi si guru maupun si siswa sendiri. Di sinilah mungkin dibutuhkan guru yang lebih berpengalaman dalam hal uji kesabaran, mungkin dibutuhkan untuk mengatasi karakter siswa yang beragam itu.

Hubungan guru dan siswa pun banyak sekali persepsinya. Ada yang berpendapat, guru harus gaul agar mampu mendekatkan diri dengan siswa, bisa jalan bareng siswa, bisa nonton bareng siswa. Ada juga, guru harus punya wibawa, biar dihargai dan dihormati siswa, jangan bergaul terlalu dekat dengan siswa nanti kewibawaan kita hilang. Ada juga yang di antaranya, guru harus gaul tetapi tetap menjaga kewibawaannya. Nah, tentu saja pilihan jatuh di tangan rekan guru sendiri, memilih yang seperti apa, asal tidak ada yang dipaksakan dan dibuat-buat.

Logika saya selalu memunculkan pendapat “untuk membuat pengaruh kepada siswa adalah bukan pada  tindakan spektakuler apa yang harus dilakukan dan bukan pada kata-kata mutiara yang harus dikeluarkan”. Tetapi “ketulusan, niat, tindakan dan konsisten seorang guru” mungkin lebih membuat suatu perubahan kepada siswa.

Saya, merasa sebagai pribadi yang cukup terbuka, mau mendengar dan mau melihat latar belakang siswa, mau berkomunikasi dalam dunia / era mereka sekarang, “mau belajar” seperti mereka, tetapi mungkin bukan tipe yang bisa jalan-jalan, nonton bareng atau makan bareng dengan siswa (garing ah ngajak saya :p berasa beda umur #sadarusia).

Menengok ke tren pendidikan sekarang ini, salah satunya pendidikan berbasis IT sebagai salah satu skill abad 21, pendidik dan guru pun banyak yang sudah mengembangkan dan membekali dirinya dengan kemampuan IT dan memiliki banyak jejaring sosial serta blog pribadi.

IT is not out there, it is in here. Apakah guru ngeblog menjadi suatu tanda jika dia “up-to-date”? Mengerti teknologi dengan baik dan siap untuk hadir di pendidikan abad 21? Apakah guru yang nge-blog mempengaruhi gaya mengajarnya, media dan metode pengajarannya, interaksi dengan siswanya? Beberapa pertanyaan tersebut sering muncul di benak saya.

Hubungan “guru yang ng-blog” dengan “menjadi pendidik yang baik”, harus disepakati dan dipahami dulu sebagai dua hal yang berbeda (tetapi tetap berhubungan). Guru memiliki blog / situs yang dikelola dengan professional dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan siswa pembelajar adalah tujuan mulia. Guru yang hebat, terlahir dengan jiwa pelayanan yang luar biasa, tidak perlu mengidentifikasikan dirinya melalui sebuah blog tetapi dia sudah dicari dan dijadikan panduan bagi siswanya. Guru hebat bukan lagi digugu dan ditiru (saja) oleh muridnya (karena digugu dan ditiru masih edu 2.0 🙂 ). Guru hebat, membuat anak menjadi pembelajar bukan peniru. Guru yang nge-blog terus, lupa tugasnya bahwa ia menjadi seorang guru bagi ratusan siswanya dan membiarkan siswanya berkelana sendiri memasuki situs-situs yang diperkaya sang guru tanpa didampingi proses pengajarannya dan transfer knowledgenya, maka arti seorang blogger juga tidak ada gunanya. Jadi ? bagi kita pendidik yang kebetulan memiliki sebuah blog / situs pribadi, memanfaatkan kecanggihan komunikasi dan media yang baik untuk ilmu pengetahuan dan belajar.

Berada di lingkungan siswa yang kebetulan memiliki background cukup baik dan mengetahui dunia social media jauh lebih pandai daripada guru-gurunya tentunya banyak membuat gurunya minder, apalagi terus dibarengi dengan sikap guru yang malah memblok diri dengan mengatakan media dapat merusak siswa tanpa pernah mau memasuki dunia mereka adalah tindakan keliru dari seorang pendidik atau pengelola sekolah. Siswa memiliki blog? Hampir pasti iya karena tuntutan dari mata pelajaran bahasa (Inggris maupun Indonesia). Sebatas apakah mereka mengelola blog mereka? Rata – rata yang sebatas untuk membuat essay dan tugas pelajaran bahasa Inggris. Guru memiliki blog? “ah biasa, terus saya harus bilang  wow gitu?” (mengutip bahasa gaul sekarang), rasanya mungkin itu ada di benak siswa saya saat saya memutuskan aktif di dunia blog melalui web yang saya kelola sendiri (geer nih :p).

Belajar itu proses, sering tidak terlihat di depan mata saat ini juga. Siapa dapat tentukan berhasil sekarang, setahun kemudian, lima atau dua puluh tahun kemudian? Suatu hari, saya menerima sms dari seorang siswa, memberitahukan alamat blognya. Di lain hari didatangi siswi kelas 7 dengan cerita-cerita lucunya dan alamat blognya. Rasanya hati ini senang sekali dan “lega” bahwa pemikiran saya selama ini tentang “menjadi konsisten” dan “mau belajar” (belajar menulis, belajar mengenal dunia social media mereka, belajar menggunakan software pembelajaran kreatif) adalah pengaruh yang besar untuk usia remaja mereka (semoga “kejutan-kejutan” itu tidak akan pernah berhenti, perihal mereka ikutan punya blog, itu hanya salah satunya).

“Tirani” KKM

Kriteria Ketuntasan Minimal atau KKM di dunia pendidikan Indonesia. Siapa yang tidak tahu? Atau siapa yang tahu? Atau siapa yang peduli? Cerita lama sebenarnya, yang ingin saya tinjau kembali.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa kurikulum pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara nasional seperti pada periode sebelumnya. Satuan pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik, masyarakat, dan lingkungannya.

Stop sampai di sini dulu….. “…..sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan serta potensi peserta didik…..” Tapi UN standar nasional kelulusan….fiuuhh membingungkan. Tapi (lagi), UN sekarang kan sudah mempertimbangkan nilai sekolah dengan persentase 60 : 40, lalu? “Nilai sekolah tolong dibaguskan dulu ya, biar bisa bantu nilai UN nya. Ini belum 60 nilainya, bapak ibu tega men-tak luluskan siswa bapak/ibu?” Sounds familiar?

Nilai sekolah tolong dibaguskan. Dibaguskan sampai mencapai target kkm. Kkm nya berapa? Tergantung sekolah masing-masing dong. Ditentukannya bagaimana? Ya itu, yang ideal berdasarkan link ini, silahkan ditinjau kembali.

Saya hanya ingin meninjau kembali permasalahan yang sudah dipersempit kepada sekolah-sekolah yang menetapkan kkm dalam operasional akademis sekolahnya. Bagaimana sebuah sekolah menetapkan kkm per bidang studinya? Apakah sudah mengikuti ketentuan yang disebutkan dalam petunjuk yang benar.

Mengapa sekolah-sekolah tertentu segitu mengejar kkm? Jawaban yang pernah saya dengar berkisar seperti berikut:
* Kkm menunjukkan kualitas sekolah yang baik. Makin tinggi kkm suatu mata pelajaran maka makin kelihatan sebagai sekolah yang kuat dan mumpuni di bidang akademis.
* Pengawas sekolah / dinas pendidikan tertentu ingin sekolah-sekolah binaannya memiliki standar kkm baik.
* Orang tua lebih senang jika kkm mata pelajaran tinggi sehingga anaknya pun kelihatan seolah- olah mendapatkan nilai yang bagus dan tinggi. Sebaliknya orang tua dapat berasumsi dengan mengatakan mutu suatu sekolah berkurang karena kkm nya rendah, “….eh tahu gak, pelajaran *beep* soalnya gampang-gampang banget, mutu sekolah itu jelek, habis kkm nya rendah….”

Kalau jawaban dan respon dan pengertian berkisar di hal-hal seperti tersebut di atas saja, ya tidak heranlah, kkm menjadi begitu “powerful”. Karena itu menjadi sebuah ‘roda berputar’, kkm yang penting tinggi, sekolah menjadi lebih ‘dipandang’, orang tua ‘puas’ karena nilai anaknya baik setingkat kkm semua.

Dinas pendidikan pun melalui sekolah-sekolah, menyatakan bahwa siswa dinyatakan naik kelas jika sudah memenuhi kriteria kkm per bidang studi, jika masih ada yang belum tercapai, ada “terms and conditions” yang diperlakukan di tiap-tiap sekolah bersangkutan. Sekolah yang “notabene baik” ingin mencapai suatu dokumentasi siswanya lulus / naik kelas setingkat atau di atas kkm. Caranya? ya banyak lah, kata mujarabnya “remedial”. Nilai rapot saja bisa diremedial.

Sekedar sharing tentang hal di atas. Keponakan saya sewaktu kenaikan kelas dari kelas 8 ke 9. Saya tanyakan “Bagaimana nih, sudah mau kelas 3 SMP, berapa nilai matematikamu?” Dia menjawab “ah, cuman 71”. Saya respon lagi “71 kok cuman, itu ya baik, kamu masih bisa ikuti pelajaran lah”. Direspon balik “ah, kata siapa? saya kan masuk kategori “probation” untuk matematika, karena belom sampe kkm 75″. Dan kembali saya respon “apaaaa???? 75??? tinggi sekali???? yakin teman-temanmu mampu mengatasi semua?” “Ah tak tahulah, sekolah sombong tinggi-tinggi amat bikin kkm”. Sekarang anak ini sudah duduk di bangku kelas 10 🙂

Beberapa waktu yang lalu, di FB seorang rekan, saya membaca statusnya yang kuatir melihat kemungkinan pengawas ujian yang sedikit lengah sehingga siswa mampu menjawab secara seragam jawaban isian yang notabene harusnya lebih susah “contekannya” dibanding soal pilihan berganda.Bukan kuatir pada lengahnya saja tetapi pada “sengaja lengah” supaya memberikan kesempatan siswa untuk mendapat nilai baik setingkat kkmnya. Karena ulangan umum tidak bisa ada ujian perbaikan?Jadi serba salah, ulangan umum ada remedial nanti dikatakan kurang punya kebanggaan ah sebagai ulangan umum. Sebaliknya jika tidak ada remedial, nanti dengan persentase final yang cukup besar, nilainya kurang, nilai akhir kurang juga dari kkm, ujungnya ya seperti remedial nilai rapor…… Susah juga…. Jadi, harus bagaimana?

Masihkah saya bisa meyakinkan diri sendiri jika sebenarnya tujuan awal, pemikiran awal dari kkm itu bisa jadi benar, disesuaikan dengan lingkungan sekolah dan masyarakat suatu daerah? Sulit sekali, mengingat yang dihadapi seringnya adalah beberapa contoh di atas? Sementara PP nya menyatakan seperti tercantum di atas sesuai satuan pendidikan bukan bersifat nasional tetapi lalu pemerintahnya sendiri secara nasional ingin mencapai target 75? 75 di Jakarta dan Jayawijaya, hampir pasti berbeda kan? (tolong jika ada yang tahu tentang standar nasional 75 ini, salah atau benar, saya ingin mendapat klarifikasi).

Jika kkm seperti idealnya ditentukan berdasarkan pengalaman belajar dan oleh guru bidang studi yang paham kondisi kelasnya, apakah semuanya harus disamaratakan dengan 70 atau 75 tadi?

Bisakah menciptakan susana belajar yang berbeda? Sudah yakinkah guru bisa melakukan dan menciptakan komponen penilaian yang beragam daripada sekedar tes tertulis? Atau setelah berbagai jenis penilaian dikembangkan, eh tapi ujung-ujungnya kan harus lapor kepada pengawas bahwa soalnya harus berjumlah sekian butir tipe PG, sekian butir isian, sekian butir essay atau apapun itu, jadi nilai siswa ya ditentukan di ujung penilaian formatifnya.

Siapkah dan sudah yakinkah bahwa guru mampu menjembatani proses harian siswa belajar di pelajaran tertentu. Bila seorang anak yang selalu gagal dalam setiap evaluasi, selalu pula si guru harus sigap membantu mengatasinya, remedial salah satu contohnya, kelas tambahan contoh berikutnya, berikan evaluasi dengan metoda lain, bukan sama seperti teman sekelas yang ikut tes tertulis saja. Contoh yang terakhir, paling sulit dibuat guru, karena harus kerja dobel, tidak sesuai rencana mengajar si guru, nanti disalahin sekolah lagi. Atau malah jalan pintas sekolah “….maaf nak, kamu tidak cocok di tempat kami, tidak mampu mengikuti pelajaran kami”.

Sedih atau Senang (?)

Wahai rekan guru, sedih atau senangkah kalian jika tanpa rencana, jam mengajar kalian terambil oleh rekan guru yang lain karena materi pelajarannya yang belum selesai?

“Senang dong dapat freetime”

“Ah, sudah biasa, tidak apa-apa, saya juga sering begitu, simbiosis mutualisme lah”

“Yaaaa, saya juga punya materi yang harus diselesaikan dong, nanti bagaimana kalau tidak selesai?”

“Mau diterusin sampai 2 jam pelajaran? (harap-harap senang)”

Saatnya jujur dengan diri sendiri, bagaimana perasaanmu Hedy? Hmm…. well seriously…. I’m sad :'( Mengapa? karena kita kurang menunjukkan konsistensi peraturan yang telah kita sepakati bersama. Kita adalah personel yang dianggap sebagai pemberi contoh, tetapi kita lupa telah mengabaikan suatu konsistensi. Arti adanya sebuah penjadwalan dan plan sekiranya adalah untuk mengatur pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang sudah menjadi kesepakatan antara pihak sekolah, siswa dan orang tua.

Apakah sebegitu “strick” nya pada konsistensi sehingga kita tidak boleh memiliki negosiasi tertentu? Owww tentu saja, dalam hidup apapun, ada kalanya faktor negosiasi itu sah dan dapat dilaksanakan.

Jadi, apakah nego saya saat ini? Karena ada dua jurusan ilmu berada di kelas matematika yang sama , tetapi di saat ini 11 dari 25 siswa tersebut sedang melakukan perjalanan tur pendidikan ke luar sekolah, 14 sisanya menginginkan melanjutkan praktek IPAnya di lab, pilihan saya adalah antara memulai belajar pada 14 anak tersebut dan mengakibatkan 11 lainnya tertinggal materi, atau membiarkan 14 anak melanjutkan belajar IPA praktek yang mereka suka? Akhirnya pilihan saya jatuh pada……. tentu saja melanjutkan belajar praktek IPA karena kesempatan bagi mereka untuk belajar sesuatu yang lebih relevan (karena mereka berpraktek langsung) dengan apa yang akan mereka jumpai di kemudian hari.

Apapun yang siswa lakukan untuk belajar, dukungan akan saya berikan 100% cukup (tidak perlu sampai 2000% – mengutip matematika ala pak SBY 😉 )

~ Antara 12.00 – 12.45 ~

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake