Graduation or Display of Wealth?

For nearly three decades in education, I have witnessed how graduation traditions in schools have evolved rapidly. Today, across many educational levels—from Kindergarten to Senior High School—graduations are celebrated in almost the same way: wearing caps and gowns reminiscent of college ceremonies. Not only do students wear these gowns, but often principals and teachers do as well. Even without the gowns, there is an emphasis on formal attire. The gowns, paired with luxurious outfits such as modern kebayas or other national attire, along with various event accessories, have become part of the norm. What was initially meant to create a moment of pride for students and parents has now often turned into a competition of extravagance, placing both financial and emotional burdens on parents.

Behind these gowns lies another expectation: wearing traditional attire, sometimes national outfits, or even suits and formal evening gowns. These outfits, which are often an integral part of formal events, can be quite expensive, compounded by additional costs for professional photos, decorations, and other event-related accessories. Ironically, these events are frequently made mandatory by schools without considering the financial capabilities of all parents. Not all families share the same financial capacity. In international schools or those with above-average tuition fees (often referred to as “elite”), such traditions might be considered normal because students typically come from well-off families. However, when this tradition is imposed on schools with a more socioeconomically diverse student body, its impact becomes inequitable.

Almost twenty years ago, I attempted to change this tradition at a school where I worked. I proposed that before Senior High School, graduations should not be celebrated as formal ceremonies. Instead, they could be simple events to express gratitude for the students’ achievements. This idea was well-received because it did not impose unreasonable additional costs on parents. Unfortunately, not all schools are willing to adopt such an approach. Many prioritize using these grand events as promotional tools, showcasing the “magnificence” of their ceremonies on social media to attract prospective students.

What needs to be questioned is whether all parents truly agree with this tradition, or are they simply forced to participate due to social pressure? What about parents who must sacrifice other essential needs to pay for an event they did not even want? While these traditions might appear glamorous, they often fail to consider their benefits for all stakeholders. If graduation brings more burden than joy, should it still be upheld? Conversely, if all parties agree and no one faces financial difficulty in organizing such a graduation event, I have no objections and leave the decision to those who are willing. The point is not to force this into a uniform tradition. This is why I enjoy seeing and reading various stories about graduation events that come in diverse forms, not just as extravagant graduation parties.

Graduation should be a moment to celebrate students’ academic and non-academic achievements, not an occasion of wastefulness that highlights social inequality. It’s time to return to the essence of education, where happiness and gratitude form the core of every celebration.

Karakteristik Siswa “Gen Z”

Sebuah opini pribadi

Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2012. Berarti dari 27 tahun pengalaman mengajar, sudah 13 tahun berkecimpung bersama mereka. Ya, usia siswa SMP dan SMA antara 12 sampai 18 tahun. Hampir separuh usia pengalaman mengajar. Wow.

Apakah ada perbedaan mencolok antara mengajar generasi milenial dengan generasi Z ini? Tentu tidak bisa dijawab langsung dengan sekedar ya atau tidak. Harus diamati dari berbagai segi dan situasi.

Menurut pengamatan saya, setiap tahun akan ada perbedaan dan perubahan, yang berawal sedikit demi sedikit lalu setelah lewat beberapa tahun kita kan merasa wah berubah ya, kok dulu anak-anak tidak begini begitu mengapa sekarang jadi begini begitu? Nah seringkali kan rekan-rekan guru yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun merasakannya? Dan perubahan itu bukan hanya perpindahan generasi bahkan di antara rentang waktu gen Z pun kita bisa merasakan perbedaan.

Perubahan karakteristik siswa bisa diakibatkan faktor lingkungan. Di tahun-tahun pasca 1998, mulai menjamur sekolah berkiblat internasional. Namun di era itu bahkan buku-buku pelajaran masih menggunakan buku-buku pelajaran terbitan dalam negeri. Menyampaikan pelajaran masih bebas berbahasa Indonesia. Namun uang sekolah beberapa kali lipat dari sekolah normal, sekolah nasional. Kok bisa ya? Iya bisa, karena logikanya walaupun menggunakan buku pelajaran yang sama namun fasilitas dan sistem pembelajaran ada perbedaan termasuk uang sekolah, semisal satu kelas hanya berjumlah antara 10 – 20 siswa maksimal, ada kegiatan extra kurikuler yang beragam oleh profesional, komunikasi di kelas campur bahasa asing (Inggris). 

Penggunaan bahasa asing ini dimulai dengan dibiasakan untuk komunikasi saja dan bukan yang utama (setidaknya saya mengalami hal ini). Banyak siswa yang datang ke sekolah dengan kemampuan bahasa Inggris yang minim dan mereka justru belajar dimulai dari komunikasi ringan, dibangun kepercayaan dirinya berbahasa asing, belajar di kelas bahasa Inggris dengan “native speaker”. 

Beberapa tahun berlalu, kemampuan bahasa Inggris sudah dimulai dari anak-anak berusia lebih muda lagi alias mulai dari taman kanak-kanak ataupun sekolah dasar, sehingga begitu memasuki usia SMP mereka lebih fasih dari awal-awal yang disebut di atas. Kemampuan berbahasa yang lebih fasih tentu otomatis membuat guru-guru yang kebanyakan saat itu berlatar generasi boomers akhir dan gen X sedikit kewalahan dan mau tidak mau dipaksa belajar memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih baik. Gap yang semakin besar tersebut sudah pasti membawa kesimpulan adanya perubahan siswa. Setelah guru-guru makin bertambah dari generasi milenial, tentu berubah pula kondisinya.

Hal itu pulalah yang menyebabkan semakin maraknya sekolah yang menawarkan kurikulum asing dan penyampaian dalam bahasa asing (Inggris) pula, yang lambat laun menawarkan bahasa asing lain (contohnya Mandarin).

Bahkan sekolah nasional pun semakin banyak menawarkan persaingan ini, nasional plus. Demi apa? Demi tidak tertinggal, demi mengikuti perkembangan jaman. Jika semakin banyak lingkungan anak-anak dari sekolah yang mampu menawarkan gaya international tadi maka semakin beragam perilaku siswa di kelas. Siswa merasa kemampuan guru tidak sebanding, mulai berkomentar dengan menyisipi kata-kata yang dianggap kurang sopan, berasumsi gurunya tidak akan paham. Sebaliknya si guru jadi penuh rasa curiga akan setiap komentar siswanya. Jadilah “misunderstanding” dan mulai terjadi sebuah perbandingan “wah siswa sekarang kurang sopan”.

Perubahan lain disebabkan oleh perubahan pola asuh dalam keluarga. Orang tua para gen Z mayoritas rasanya berasal dari para gen X. Di mana gen X ini berasal dari orang tua generasi silent akhir atau boomers. Pola asuh boomers kepada gen X mengakibatkan gen X merasa tidak boleh mengulang pola asuh yang sama kepada anak-anaknya. Dulu dikontrol, tidak boleh bergaul apalagi pacaran, padahal tidak semua pergaulan maupun pacaran anak remaja adalah salah. Sehingga gen X merasa harus memberi peluang anak-anaknya si gen Z lebih bebas bergaul.

Contoh lain, pola asuh boomers menekankan struktur, disiplin, dan tanggung jawab, yang dapat menanamkan ketahanan dan etos kerja yang kuat pada anak. Namun, hal ini mungkin juga dikritik karena terlalu kaku atau membatasi, sehingga berpotensi menghambat ekspresi diri dan otonomi anak. Akibatnya, para orang tua yaitu para gen X ini, melakukan hal sebaliknya kepada anak-anaknya si gen Z. Alhasil, ada yang kebablasan, berdampak anak tidak paham disiplin merasa selalu ada pemakluman, tanggung jawab belum terbentuk, etos kerja minimal karena selalu dibantu dll. Beberapa anak dengan tipe serupa berkumpul dalam suatu kelas di usia remaja, mudah bagi kami para guru berkata “anak sekarang berbeda ya sama jaman kita dulu”.

Perubahan lain bisa jadi disebabkan oleh perubahan kurikulum. Mulai dari era kurikulum 1994 yang sarat dengan muatan lokal menjelma menjadi super padat, dan berujung dikritik.

Ganti kurikulum 2004 KBK, berbasis kompetensi. Dengan ciri-ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Kegiatan belajar menggunakan pendekatan dan metode bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, saya pribadi menganggap ini kurikulum yang baik.

Lalu berganti lagi menjadi KTSP tahun 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menekankan pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan KTSP itu sendiri. Pernah terlibat akreditasi sekolah di era ini, namun berujung pada copy paste dokumen saja. Intinya dikembalikan pada satuan pendidikan sesuai kompetensi yang ditetapkan dari pusat. Ini cukup baik menurut saya, hanya pelaksanaan tidak sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan tapi tetap mengikuti panduan dinas pendidikan dan kekakuan ujian nasional yang tetap menguji semua daerah sama dan masih dipakai sebagai standar kelulusan. Tidak sejalan dengan namanya “tingkat satuan pendidikan” karena kenyataannya disamakan lagi satu Indonesia. 

Dilanjutkan dengan kurikulum 2013. Ini kurikulum yang bagi saya memiliki KI KD dalam balutan kalimat yang kurang masuk akal, memaksakan penggabungan antara akademis dan sosial. KI berupa pengulangan kalimat yang sama di semua topik pelajaran pada KD nya. Mengapa tidak dijadikan satu list saja semua KI seperti SK (standar kompetensi di 2006)? Saya pribadi sebagai guru saat membaca KI kadang merasa kalimatnya terlalu puitis sampai saya sendiri bingung. Logikanya, guru yang bingung, imbas ke siswanya. Siswa bingung dengan perubahannya. Banyak gen Z mengalami di era kurikulum ini.

Setelah melewati kurikulum 2013 yang disisipi dengan “kurikulum 2013 yang disempurnakan” maupun “gabungan dengan KTSP”, penamaan kurikulum diakhiri dengan Kurikulum Merdeka. Penamaan terakhir ini juga sarat makna. Merdeka dalam arti menyelenggarakan pendidikan di Satuan Pendidikan tetapi tetap dibatasi oleh lembaga di atas satuan pendidikan (yakni dinas pendidikan). Kemerdekaan guru yang ingin membangun sistem pengajarannya menjadi kurang disetujui karena dianggap bisa membawa tidak ada pemerataan sistem baik di internal sekolah, maupun dalam satu zona dinas pendidikan. 

Fenomena merdeka dan dihapusnya Ujian Nasional saat pandemi tahun 2020 lalu satu sisi membawa pengaruh kepada daya pikir siswa gen Z ini yakni merasa tidak perlu lagi belajar. Saya tidak bermaksud mengatakan UN itu lebih baik, tetapi tanpa penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik maka mudah sekali siswa merasa “ah mudah sekarang belajar asal saja kan tidak ada ujian nasional dan kita merdeka”, “belajar sesuai minat bakat jadi yang kita tidak suka ya tidak perlu belajar”. Belum lagi fenomena penilaian sekolah yang berimbas pemberian nilai kepada siswa banyak disulap demi memenuhi kriteria “sekolah lulus akreditasi”. Salah kaprah kata merdeka. Pembenahan fenomena merdeka ini yang belum kelihatan sampai saat ini.

Di akhiri dengan penerimaan siswa SMA di universitas-universitas swasta yang sudah terjadi bahkan saat siswa tersebut masih duduk di kelas 11. Jadi sebagian siswa tersebut merasa benar-benar merdeka karena telah diterima di universitas jadi untuk apa melanjutkan belajar lagi, maka bisa menimbulkan suasana kurang fokus saat sedang belajar di kelas. Bukankah suatu keanehan kalau universitas sudah menerapkan hal ini? Apakah ada dampak yang mereka pikirkan? Apakah meraup siswa dari kelas 11 untuk memasukkan pendapatan sedini mungkin? Entahlah.

Lalu sebagai guru? Saya harus belajar untuk menjadi lebih bijak menghadapi perubahan-perubahan ini. Karena perubahan karakteristik siswa itu banyak faktornya dan kompleks. Satu sisi, sekolah jaman sekarang bukanlah menjadi satu-satunya kebutuhan dasar di masa pertumbuhannya. Banyak cara anak belajar. Bayangkan, kalau kita berdakik-dakik berslogan siswa diajari dengan akhlak dan karakter, akhlak dan karakter apa yang ingin kita ajarkan? Yang diteskan sekedar teori dalam selembar kertas lalu dinilai angka 0 – 10? Yang ketat dengan unsur agama tertentu, misal ibadah doa pagi, doa pulang, ibadah mingguan, dan harus mencatat kotbah yang didengar? Apa batas antara membentuk karakter dengan capaian akademik yang ingin dicapai? Apa yang mau diajarkan ke siswa jika siswa mencapai akademis 40 lalu di rapor laporan menjadi 70 atau 80 bahkan 90 dengan kondisi tidak boleh ada siswa tinggal kelas? Apa yang mau diajarkan ke siswa tentang tanggung jawab dan tepat waktu jika gurunya di tengah-tengah minggu pembelajaran harus menghadiri segala macam bentuk pelatihan yang diadakan oleh suatu lembaga pendidikan demi mengejar syarat mengikuti pelatihan? Karakter apa yang mau dibangun dalam hubungan antara guru dan siswa jika si guru lebih disibukkan urusan administrasi kelas dan administrasi pembelajaran yang terus menerus mengulang-ulang?

Banyak yang masih perlu dibenahi. Siapkah kita selain berkutat pada “gen Z memang berbeda”. Padahal dalam beberapa tahun ke depan guru level SMP – SMA akan menghadapi generasi baru lagi, generasi Alpha. 

 

 

Satu Tahun Berlalu – 2023

Cerita kecil…..

Apa yang terjadi dalam satu tahun terakhir hidupmu? Berubah sedikit? Berubah banyak? Tidak ada perubahan apa-apa? 

Menuju tahun politik 2024, perubahan-perubahan yang terjadi malah kurang dari kurun waktu setahun, bahkan beberapa tampak hanya dalam hitungan hari. Luar biasa. Namun, saya tidak sedang dalam posisi membahas politik. Bukan ranahku ^_^.

Kehidupanku setahun terakhir seperti biasa tidak banyak berubah. Ada satu hal keinginan berat badan turun setelah 3 tahun “stuck” di angka ** , dan akhirnya sekarang digit angka puluhannya berangsur menurun, yeaay hore. Tapi masih harus dipertahankan nih biar konsisten menurun. Selain itu, hal-hal lainku nampak biasa.

Perubahan terjadi pada anakku. Di akhir tahun lalu, November dan Desember, bulan-bulan tersibuk menyelesaikan skripsi dan persiapan sidangnya. Sambil mempersiapkan masuk kerja pertama resmi sebagai budak korporat 😉 .

Pertengahan Januari tahun ini, masuklah dia sebagai budak. Pengalaman resmi bekerja yang pertama. Menyenangkan sudah pasti. Dan tentu saja bangga sebagai orang tua. Seminggu kerja, harus ijin untuk sidang skripsi. Dapat A dong. Bangga sekali mamanya. 7 semester, selesai.

Dimulailah hari-hari yang ditinggal anak dari pagi sampai sore. Kadang sampai malam, kadang sampai paginya lagi, alias lembur. Dunia kerjanya memang bukan seperti pekerja yang waktunya normal sebagaimana biasanya, apalagi dibandingkan dengan mamanya yang mulai jam 7 sampai jam 4 teng. Sekolah bubar. Haha jauh sekali bedanya.

Sebagai pekerja baru, mulailah petualangan lain seperti mencari batik sebagai pakaian kerja. Senang sekali dia memakai batik, setiap hari. Anak senang, mama senang.

Tibalah di bulan April, tepatnya tanggal 27, wisuda sarjana S1. Sebuah momen membanggakan kembali datang. Setiap orang tua menyaksikan anaknya di akhir masa pendidikan, pasti berharap suatu ketika naik lagi, naik lagi dan naik lagi. Iya kan? Haha. Namun saat ini, biarkan saja dia menimba pengalaman lain dari bekerja. Ingin mendapatkan uang sendiri, ingin belanja memakai uang sendiri. 

Setiap hari kerja, kerja, kerja. Setiap akhir minggu, main, jalan, senang-senang. Dinamika berulang setiap minggu. 

Sebulan menjelang akhir tahun 2023, tibalah kali pertama tugas luar kota. Semoga nanti luar negeri ya, Nak 😉 . Dan ditinggal setidaknya dua minggu (bisa lebih) adalah pengalaman pertama sebagai orang tua. Ya walaupun dulu pernah kos 6 bulan tetapi tiap akhir minggu selalu pulang. Lalu kos batal karena dunia sedang direset semua oleh pandemi. Kembali ke rumah untuk sekolah online. Jadi rasanya menunggu dua minggu ini kok lama sekali 😀

"Sudah makan?'

"Sudah balik dari kantor?"

"Sudah tidur?"

"Sudah mandi?"

"Sudah ke kantor lagi?"

Dan sudah-sudah yang lain meluncur dari bibir seorang ibu yang bawel ini. Maaf ya Nak…..♥

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake