Guru Favorit

Tanyakan kepada anak didik kita, bagaimana sih kriteria guru favorit untuk kamu? 🙂
“Tidak suka marah-marah, pokoknya baiiiikk banget”
“Tidak suka kasih PR”
“Ulangannya jarang-jarang kalau perlu nggak usah ada ulangan”
“Free…..time……”
“Cara mengajarnya enak”

Dari lima pilihan siswa di atas, yang mana yang paling relevan? apakah argumen si guru akan “Tergantung kita bertanyanya kepada siswa yang tipe bagaimana? Semua siswa sih kalo bisa tidak ingin belajar” 🙂

Pernahkah terlintas di dalam pikiran rekan pendidik bahwa sebenarnya siswa kita itu tahu persis bagaimana “memfavoritkan” gurunya? Kadang kita yang bisa saja kurang menyadari hal tersebut. Apalagi jika ditambah dengan asumsi bahwa pendidik “lebih berkuasa” daripada “anak didiknya” dan apapun yang siswa katakan belumlah dapat dikategorikan akurat kalau belum kita yang menyetujui. Ironis? Yahh itu kan pendapat saya.

Bagaimana menjadi guru yang favorit di mata siswa?
Menurut saya: Menjadi diri sendiri …dan bukan berpura-pura menjadi orang lain.

Tetapi, apakah penting label favorit untuk rekan-rekan seprofesi saya?
Pasti ratusan pendapat akan terlontar jika hal ini ditanyakan kepada rekan-rekan sekalian.

Salahkah menjadi seorang guru yang difavoritkan?
Tentu saja tidak ada yang salah sepanjang kita menjadi seorang pendidik yang menjalankan tugas keprofesionalannya dalam track / jalur yang benar.

Apakah wali kelas hampir pasti menjadi guru favorit siswa di kelasnya?
Atau malah sulit menjadi favorit karena wali kelas cenderung yang paling memperhatikan kerapian, kerajinan, keberhasilan kelasnya?

Bagaimana dengan guru yang berlindung di balik status “saya bukan wali kelas anak itu” (baca: sehingga saya tidak perlu terlalu memperhatikan siswa tersebut?) Opini – opini seperti itu tanpa disadari sering muncul di kalangan guru disertai dengan “anak si bapak A / anak si Ibu B”, “itu lho anakmu…” dalam merefer ke siswa yang punya “masalah”, “siapa dulu bapaknya / ibunya” jika merefer ke siswa yang “berpotensi baik secara akademis” 😉

Siswa adalah anak – anak. Mereka berada di usia yang pasti di bawah kita yang sudah menjadi pendidik, namun mereka sudah mulai belajar memandang dan menilai orang lain.
Sehingga, apabila siswa melihat gurunya sebagai orang yang baik, tegas, berwibawa, konsisten, memiliki konten dan dikunci oleh sosok yang sepadan dengan “panggilannya sebagai guru” maka hampir pasti diri si guru menjadi sosok yang dikagumi dan difavoritkan.

Tetapi seorang guru tidak perlu menjadi pribadi yang dikategorikan selalu ideal dalam menghadapi siswanya. Menjadi diri sendiri adalah kunci utama.
Lho, jadi ada guru yang bersaing untuk memperebutkan posisi terfavorit? *just kidding*

Salah satu yang saya sebut di atas adalah memiliki konten. Konten yang tentu saja disertai dengan kemampuan untuk bisa berkomunikasi dengan siswa. Komunikasi sangat penting dimiliki oleh rekan-rekan yang mendedikasikan hidupnya dan menjalani panggilannya sebagai pendidik. Bukan pula berarti seorang pendidik yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertingginya (S2 atau S3) lalu jadi otomatis mampu berkomunikasi dengan baik terhadap siswanya. Seorang yang memiliki kemampuan di level komunikasi dengan siswa di jenjang SMA belum tentu bisa disamakan (dan tidak bisa diperbandingkan) dengan seorang yang memiliki kemampuan komunikasi terhadap siswa TK.

Lalu siapa lagi yang menilai kemampuan si guru dalam menjalankan tugas dan panggilannya tersebut? Jelas, institusi atau sekolah juga memegang peranan penting. Sekolah seringkali mendapat benturan dari pihak pengelola sekolah atau yayasan yang mewajibkan gurunya untuk memenuhi kriteria tertentu.
Sayangnya pemenuhan kriteria tertentu tersebut seringkali mengabaikan bakat lain yang dimiliki oleh si guru. Guru yang memiliki konten dan kemampuan komunikasi yang baik dengan siswa tetapi tidak mampu memenuhi tuntutan pengelola sekolah, dia menjadi guru yang tidak memenuhi standar.

Sebaliknya, mungkin juga ada institusi / sekolah yang karena kurang memiliki standar penilaian yang baik akan kemampuan dan kinerja gurunya, maka bisa saja si guru melakukan proses pembelajaran kepada siswanya tidak sebagaimana mestinya. Penyampaian materi yang bolong-bolong, evaluasi terhadap siswa yang “yang penting siswa senang”, dan yang terutama mungkin pembinaan karakter yang salah penyampaian karena si guru hanya demi “terlihat bagus dan benar menjalankan peraturan sekolah”.
Ada kalanya mungkin institusi sudah berusaha konsisten dengan segala kebijakannya, tetapi guru atas nama “demi siswa” tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Bisa “menjadi sebuah pokok bahasan besar” untuk hal tersebut.
Ironisnya, kembali ke judul awal saya guru favorit, guru yang di posisi itu malah mudah mendapatkan julukan tersebut.

Ada lagi karena demi menjalankan misi institusi sebagai sekolah berkualitas dalam mencetak prestasi akademis, seorang guru jadi ikutan hanya memandang kepada siswa yang memiliki bakat dan kemampuan akademis yang tinggi, lupa bahwa ada bagian siswa yang menjalankan kehidupan akademisnya dengan susah payah dan membutuhkan “bantuan seorang pendidik” yang mampu membuka dirinya “belajar untuk mau belajar pada subject yang sudah menjadi momok kesusahan bagi dirinya”, bukan melulu dijejal “ayo belajar supaya kamu bisa, kan kamu tahu kamu tidak mampu”. Manakah yang jadi favorit? Guru pintar yang mencetak siswa berprestasi akademis atau guru pintar yang mampu membuat siswanya mau belajar? 😉 Silahkan juga dinilai sendiri.

Jadi, guru menjadi favorit itu dari kacamata siapa ya? Murid? Yayasan? Kita sendiri?

Bagaimana dengan diri kita masing-masing? Marilah menjadi diri kita sendiri dan menjalankan tugas kita sesuai dengan panggilan hati dan jiwa kita untuk melayani dan mendidik siswa kita menjadi siswa yang berkarakter, berbudi pekerti, dan memiliki kemampuan akademis yang baik 🙂

Menjadi Pendidik – Antara Angan dan Kenyataan

Sekilas kembali ke masa lalu…… agak aneh membayangkan diri sendiri dulu kok ingin menjadi guru. Cita-citamu apa nak? Menjadi guru, menjadi dokteranda (beberapa guru SD saya dulu bertitel Dra :)), dan itu terus berlanjut sampai remaja. Lalu vakum mencari identitas mau apa sebenarnya, sampai tentu akhirnya benar-benar menjalani dan hidup dari profesi guru.

Beberapa tahun terakhir, saya memang lebih suka menyebut profesi guru sebagai pendidik, seperti kebanyakan rekan-rekan guru lain.

Saat ini, sering sekali terlintas di kepala, andai saya memiliki kesempatan memiliki sebuah wadah untuk mendidik anak-anak yang mau belajar dan berkembang dan mengenal talentanya. Wadah yang biasa disebut sekolah. Bayangkan, anak-anak yang belajar dalam situasi menyenangkan. Mungkin seperti sekolah alam milik bapak Suyudi.

Tempat yang dimana diferensiasi kelas benar-benar berjalan, dan beragam gaya belajar siswa mampu berkembang, dan kecerdasan siswa dapat terlihat dengan kombinasi beragam.
Tempat dimana di kelas-kelasnya, para guru bisa memberikan beragam soal sesuai dengan kemampuan siswa dan tidak ada guru yang ‘saling menyalahkan’, seperti biasa yang sering terdengar dari guru yang biasanya mengajar di level yang lebih tinggi kepada guru yang mengajar di level bawahnya.
“dulu ini anak belajar apa sih?’, “bapak/ibu dulu ajarkan materi itu tidak ya?”, “anak-anak tuh dulu tidak paham apa-apa”, “salah konsep nih dulu waktu diajar sama bapak/ibu” dan tentunya, jangan sampai ada “aduuuhh anak itu memang lemah deh, sudah susah mau diapain juga sudah tidak bisa”.

Bayangkan, lingkungan dimana siswa bisa belajar dengan bebas, dibimbing oleh guru, bukan dimarahi dan “dibuat” takut oleh sang guru, dan tidak ada guru yang berbangga dengan “keberhasilan”nya membuat siswanya “waahhh pelajaran bapak / ibu itu susahhhh, aku dapat 60 aja sudah untung deh” 🙂

Tempat dimana belajar menjadi kegiatan yang membebaskan, dimana benar-benar banyak jalan menuju Roma, sebagai contoh menyelesaikan sebuah soal dengan pendekatan matematis bukanlah melulu harus dengan sebuah cara solusi perhitungan seperti kemauan gurunya saja, tetapi lebih baik jika guru menawarkan beberapa cara dan siswa memutuskan solusi apa yang harusnya dia gunakan sesuai dengan kemampuannya.

Tempat dimana guru bangun pagi dengan bertanya bagaimana cara membimbing karakter siswa agar mereka sadar tentang “keberadaan” diri mereka. Mereka menyadari kehadirannya di dunia ini adalah berkat, anugerah dan rahmat Tuhan. Mereka diarahkan dan dibimbing untuk menyadari talenta mereka dan berbuat lebih untuk talenta tersebut. Mereka menyadari bahwa mereka adalah seorang pemimpin untuk diri mereka sendiri, melakukan hal-hal yang benar tanpa perlu dilihat oleh orang lain.

Sayangnya, antara angan tersebut malah bertabrakan dengan apa yang banyak terjadi saat ini.

Saya jadi teringat dulu saya pernah memiliki seorang guru yang menjadikan saya sebagai bahan olok-olok teman sekelas karena memiliki buku catatan dari kertas-kertas bekas yang saya ciptakan menjadi sebuah buku coretan / catatan coret-coretan. Saya cuman berpikir saat itu, kok beliau begitu ya? Apa gunanya sih beliau bicara itu? Lagipula saya punya buku coretan untuk mencatat cepat sebelum saya pindahkan ke catatan rapi (yang menurut saya, justru kreatif)
Tentu ini hanya contoh bahwa seorang anak bisa terkesan seumur hidupnya kepada orang lain yang berperan dalam hidupnya, positif maupun negatif.

Pengalaman dengan guru tersebut membuat saya bertekad untuk berkomunikasi yang lebih baik dengan teman-teman kaum muda saya yang biasa disebut siswa tadi 🙂
Semoga bisa tetap berkomunikasi lebih baik dengan teman-teman muda tanpa harus menjadi “ih amit amit jangan sampai jadi seperti Ibu/Bapak itu deh”

Yuk berperan positif! Ingat bahwa di balik kesuksesan seseorang ada orang lain yang sukses membantunya. Semua bisa dimulai dengan membayangkan keberadaan diri kita di tengah-tengan siswa dan menjadi fondasi positif yang ada di balik kesuksesan mereka di masa depan.

Sekolah dan Technoculture

Kutipan dari artikel harian Seputar Indonesia tanggal 29 Juni 2012 dan juga melalui sitenya di http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/507087/38/ dengan judul Kembangkan Sekolah Berbasis Technoculture paragraf ketiga dan keempat seperti berikut ini:

Dalam hal ini, Star Energy akan mengembangkan kompetensi sekolah (guru dan siswa) di bidang IT, Bahasa Inggris dan Lingkungan Hidup dengan melibatkan tenaga terampil Star Energy. Pada tahap selanjutnya akan dilibatkan instansi/personil dan praktisi yang berminat terlibat pada pengembangan pendidikan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Di bidang IT akan dikembangkan lab multimedia terpadu membuka akses internet, sehingga daerah Siantan Timur meskipun letaknya cukup terisolir akan memiliki akses terhadap dunia global.

Melalui lab multimedia ini diharapkan siswa akan dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan global, membuat situs sekolah dan wilayah Siantan Timur, serta membuka akses wilayah ke tingkat nasional, regional atau internasional. Program ini juga diikuti oleh pengembangan kompetensi berbahasa Inggris yang menjadi bagian penting penunjang keberhasilan pengembangan pendidikan dalam interaksi yang lebih luas. Pengembangan pendidikan lingkungan hidup turut menjadi bagian penting program ini.

Saya mencoba melihat dari perspektif teknologinya terlebih dahulu.

Kagum dengan perusahaan Star Energy yang salah satunya membantu mengembangkan kompetensi sekolah di bidang IT, ingin menjangkau Siantan Timur agar memiliki akses dunia global.

Saya merenung dan berpikir, mengapa jauh-jauh sampai ke daerah itu dan salah satu idenya mengembangkan IT? Sebegitu pentingnyakah IT menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan dunia pendidikan? Rasanya memang saya tidak perlu berpikir lama untuk menyetujui dan menjawab “yes” bahwa teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan, masa depan sudah hadir di tengah-tengah kita hanya belum merata dirasakan oleh semua orang.

Ibu Salamah dari Guraru adalah seorang guru SD daerah pedesaan yang siswanya 100% anak desa, mencoba menggunakan teknologi video call dengan rekannya dari Jepang dalam salah satu sesi belajarnya sehingga siswanya mampu belajar sesuatu yang beda, langsung berkomunikasi dengan native speaker, mengajar siswanya “berani” untuk mengungkapkan diri, sekaligus mengenalkan teknologi kepada mereka yang secara umum masih asing terhadap teknologi, tetapi lihatlah antusiasme para siswanya.

Saya pernah berada di lingkungan sekolah yang 100% siswanya melek teknologi, siswa yang bahkan hidupnya sudah ada di dalam anggapan beberapa orang masih “masa depan” tadi….. Sekolah yang semua siswanya dapat dimanfaatkan secara positif dan berkesempatan bersama-sama dengan mereka melangkah di era teknologi modern ini.

Tetapi sekolah bukan hanya muridnya. Untuk melangkah sama cepat, ada institusi sekolah dan guru. Pertanyaannya adalah apakah guru juga siap bergerak dari jamannya sendiri untuk menuju ke jaman sekarang?
Saya setuju sekali bahwa kemampuan seperti storytelling tidak akan pudar, tetapi apakah tepat hanya mengandalkan kemampuan storytelling pada generasi yang sudah sangat dekat dengan teknologi multimedia? Generasi yang bahkan mendapatkan story mereka melalui beragam perangkat komunikasi.

Dari yang saya alami, seringkali memang murid berada pada posisi lebih siap untuk belajar. Mereka tahu kalau mereka di sekolah untuk mendapatkan sesuatu yang baru, sementara sekolah dan guru, berada pada posisi “tangan diatas” alias memandang dirinya sebagai pemberi.

Akhirnya yang saya lihat mental block memang bukan hanya terjadi pada siswa yang “takut” pada pelajaran tertentu, tetapi malah guru dan sekolah yang bisa mengalami mental block lebih kuat pada perkembangan jaman terutama teknologi.

Salah satunya dapat kita refleksikan pada copy paste. Murid mencari jawabannya dan menemukannya dengan pertolongan Google dan meng copy dan paste kan jawaban tersebut. Apakah guru lebih sibuk berseru-seru tentang plagiarisme daripada mengajari murid untuk mengutip dan cara “mengcopy” dan menuliskan kembali dengan benar?

Bukankah isu sebenarnya adalah kenapa jawaban copy paste dengan mudah diterima guru? Apakah alasannya karena guru yang tidak mau cross check isi jawaban dengan sumber-sumber lainnya, termasuk di internet? Tugas seperti apakah yang jawabannya mudah didapat dengan copy and paste?
Apakah guru masih akan berpendapat sama tentang “copy paste” jika dilakukan dengan cara menulis ulang dengan ballpoint dari buku tetapi tetap dengan kalimat yang sama? 🙂
Sepertinya memang tugas yang jawabannya dapat di copy paste via pencariaan Google berarti gurunya belum memberi tugas apa-apa.

Seringkali saya lihat bahwa guru sering lupa mempercayai siswa kalau mereka mampu membagi waktu belajar mereka sendiri. Atas nama “dignity of homework”, siswa dipaksa menggunakan metode yang sama dengan metode gurunya belajar puluhan tahun lalu dan sang guru lupa bahwa pekerjaan rumah dapat dipakai sebagai bahan latihan materi siswa.

Saya yakin apa yang sudah saya mulai dengan memiliki class online dan blog dalam satu website saya, jika diiringi dukungan oleh pihak sekolah, harusnya sudah berkembang dari jauh hari dan membawa perubahan pola pikir banyak rekan guru dalam memenuhi berbagai gaya belajar siswa, sebagai jembatan antara siswa terhadap pendidikan itu sendiri.

Jangan menganggap diri guru profesional jika guru belum mendedikasikan diri pada profesinya sekaligus berusaha untuk meningkatkan kemampuan.

The future is here, it is just not evenly distributed
~ William Gibson ~

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake