Fenomena Sekolah Baru

Artikel Pilihan Kompasiana

Sekolah baru bermunculan? Iya, tapi bukan sekedar sekolah yang baru dibentuk, bukan pula dari berdirinya gedung baru. Namun, lebih kepada pengelolaan baru. Mencakup sekolah negeri maupun swasta. Nasional maupun Satuan Pendidikan Kerjasama.

Dengan dua tahun pandemi, tidak adanya ujian nasional lagi dan perubahan kurikulum pendidikan, mau tidak mau menciptakan fenomena sekolah baru. Sebut saja sekolah penggerak. Sekolah yang bersedia dan terpilih ataupun didorong menjadi penggerak maka hampir pasti sekolah berubah. Tentu saja idealnya ke arah yang lebih baik.

Kurikulum merdeka yang digadang – gadang mampu menghadapi tantangan zaman banyak mengangkat pembelajaran melalui proyek. Anak belajar bukan lagi hanya satu arah dari guru, namun dari teman, dari membuat pekerjaan / proyek, dari meneliti dan sebagainya.

Tidak adanya ujian nasional yang walau bukan lagi standar kelulusan tetapi faktanya masih menjadi acuan sekolah – sekolah sebagai ujian akhir suatu jenjang, membuat sekolah berpikir dan mengembangkan ide untuk mencari bentuk ujian lain sebagai standarnya. 

Berbagai pihak menilai ujian standar banyak kekurangan, namun berbagai pihak pula merasakan tanpa sebuah ujian akhir yang memiliki standar maka hasil belajar siswa masih belum sah teruji. Terlebih belakangan, UNBK boleh tak ada, tetapi persiapan UTBK menjadi pelajaran wajib bagi siswa SMA kelas 12. Training dimasukan dari awal tahun ajaran demi meluluskan siswanya nanti ke PTN.

Di saat masih banyak pihak menempatkan peringkat sekolah berdasarkan hasil sebuah ujian, menilai siswa belajar maksimal atau tidak juga didasarkan atas hasil ujiannya, maka bisa jadi membuat banyak sekolah berpikir ulang, apakah akan mengikuti kurikulum merdeka (yang masih menjadi pilihan di tahun ajaran 2022 – 2024 dan mungkin akan diwajibkan di tahun 2024 setelah evaluasi masa pemulihan pendidikan paska pandemi nanti)? Atau apakah mulai mempersiapkan diri dengan adaptasi kurikulum luar yang masih lengkap menawarkan ujian standarisasinya plus mengedepankan pembelajaran berbasis proyek?

Kurikulum merdeka konon memberikan keleluasaan setara kurikulum dari luar negeri, di mana memotong sejumlah materi pelajaran (yang sudah beririsan) dan memperbesar porsi bagi siswa untuk menguasai lebih fokus dengan melakukan pembelajaran proyek. Ini sudah berjalan di sekolah – sekolah penggerak dan nanti akan berjalan di sekolah calon penggerak maupun sekolah biasa yang ingin implementasi di tahun ajaran 2022. Namun kita tidak bisa menutup mata pada sekolah – sekolah lain (terutama swasta) yang mencoba mencari bentuk merdeka belajarnya dengan mengacu pada standar luar negeri yang dianggap telah lebih dulu berkiprah. Hasil pengamatan sekilas, semakin banyak sekolah yang beralih ke jalur kurikulum dari luar negeri tersebut. Di samping juga kebutuhan akan sebuah pengakuan dari asesmen secara akademis yang masuk akal untuk bersaing dalam peringkat sekolah maupun memasukkan siswa ke perguruan tinggi, khususnya di luar negeri. 

Jadi, kita akan makin melihat bertumbuhnya sekolah – sekolah (terutama swasta tadi) yang memakai kurikulum dari luar negeri untuk menarik minat orang tua dan siswa dengan embel – embel mengikuti perkembangan jaman. Bersamaan dengan perubahan itu maka akan semakin banyak sekolah yang berbenah agar mendapat standar SPK dan sah mengadopsi kurikulum luar. Apapun namanya, Sekolah Nasional Plus, Sekolah Bilingual, Sekolah SPK, Sekolah Integrasi Kurikulum, Sekolah Multiple Kurikulum, Sekolah Merdeka (tiga terakhir hanya rekayasa penamaan sendiri 🙂 ), sejauh menjalankan kewajiban menyelenggarakan mata pelajaran Pancasila, Bahasa Indonesia dan Agama, maka eksistensinya tetap bisa bersaing secara resmi di kancah persekolahan demi kemajuan pendidikan Indonesia. 

PR (Pekerjaan Rumah) untuk sekolah – sekolah yang sudah SPK dengan kurikulum mandiri maupun adaptasi luar negeri, dengan semakin banyak persaingan sekolah sejenis, bagaimana mempertahankan kualitas sebagai yang baik (jika bukan terbaik) agar tetap menjadi pilihan orang tua dan siswa? Jika mayoritas sudah berkiblat ke pendidikan abad 21 (di mana sangat masuk akal karena kita sudah hampir di posisi tahun ke-23), faktor apa yang harus lebih ditonjolkan, sebaliknya kebiasaan apa yang harus diganti, diperbaiki atau bahkan ditinggalkan.

 

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2022.

 

(Katanya) Refleksi Untuk Guru

Artikel Pilihan Kompasiana

Semoga bukan hanya semboyan, bergerak bersama, memulihkan pendidikan.

Bahwa guru berubah, diharap berubah, dipaksa berubah, bukan sekedar demi si guru saja tetapi bertujuan utama juga ke arah siswa dalam menempuh pendidikannya sebagai masa depan bagi bangsa ini.

Sekedar refleksi untuk diri sendiri:

Sudahkah menghargai prestasi siswa di luar akademik sekolah tetapi mejangkau prestasi nasional atau internasional? Guru bersedia mengintegrasikannya kepada mata pelajaran yang diampunya?

Sudahkah menilai prestasi siswa di luar bidang ajar guru tetapi berimbas pada pengetahuan si siswa? Guru bersedia mengintegrasikannya kepada mata pelajaran yang diampunya?

Sudahkah melihat proses belajar sebagai kesatuan utuh menilai siswa?

Sudahkah selesai dengan menakut-nakuti siswa seputar ujian? Atau seputar menganggap mapelnya paling harus dipentingkan?

Sudahkah berani keluar dari zona nyaman seputar memanfaatkan posisi guru berarti bebas menyuruh-nyuruh siswanya atau memberikan kegiatan yang kurang dipertimbangkan masak-masak demi yang penting ada kegiatan?

Sudahkah paham bahwa mengejar setifikat saja dengan meninggalkan tugas mengajar terus menerus adalah tidak mencontohkan proses belajar yang sesungguhnya?

Sudahkah mengerjakan rencana pembelajaran sendiri sesuai dengan perkembangan kelasnya daripada sekedar mengcopy dari sumber-sumber buatan guru lain yang disebarluaskan?

Sudahkah tidak menganggap diri sendiri sebagai pusat pengetahuan karena berstatus guru?

Sebaliknya, guru jangan dijadikan bemper. Dipuji-puji jika dibutuhkan, namun jika ditemukan kekurangan langsung menjadi yang paling disalahkan. Jangan pula disalahgunakan posisi guru untuk mengambil keuntungan dari bisnis pendidikan. Semua satu lingkaran besar jika membicarakan pendidikan.

Semboyan pulihkan pendidikan, semoga menjadi kenyataan.

Selamat Hari Guru, diriku, dan semua rekan Guru Indonesia.

Flipgrid di Kelas Matematika

Kok Bisa?

Memanfaatkan flipgrid di kelas matematika sangat menyenangkan. Siswa tidak perlu repot-repot mencari platform untuk merekam dirinya, karena semua tersedia di sini. 

Kembali lagi ke pertanyaan kok merekam dirinya atau suaranya? 

Iya. Flipgrid dapat membantu siswa berlatih mendeskripsikan apa yang mereka pelajari, menjelaskan bagaimana yang mereka pelajari berhubungan dengan pengalaman mereka sendiri, dan menunjukkan area di mana mereka membutuhkan klarifikasi atau sumber daya tambahan. Ini adalah waktu yang tepat bagi siswa untuk menggunakan suara mereka untuk menghubungkan ide dengan pengalaman mereka sendiri.

Flipgrid dapat digunakan sebagai tempat untuk berdiskusi antar siswa di bawah supervisi gurunya ataupun digunakan sebagai sarana untuk mengevaluasi siswa oleh guru.

Jika salah satu lompatan paradigma kita sudah sampai di level meyakini bahwa mengevaluasi siswa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan metode selain menjawab pertanyaan di atas selembar kertas, maka Flipgrid merupakan suatu platform yang sangat ideal untuk melakukan “sejenis” wawancara atau tanya jawab. Saya katakan sejenis karena tentu saja ada perbedaan dengan wawancara atau tanya jawab langsung. Namun dengan flipgrid, sudah membantu saya mengatasi masalah keterbatasan waktu untuk melakukan wawancara atau tanya jawab kepada 50 siswa sekaligus di satu waktu tertentu.

Di masa pembelajaran jarak jauh dan campuran “hybrid” ini, campur aduk perasaan guru memastikan apakah siswanya mengerti atau tidak. Bagaimana membuktikannya? Memberikan tes saja terus menerus dengan asumsi nilai bagus artinya sukses belajarnya dan nilai jelek artinya gagal si siswa tidak belajar? Lalu jika nilainya bagus terus apakah siswa sungguh mengerjakan sendiri semuanya? Bagaimana mengetahuinya? Pada saat tes harus menyiapkan kamera kedua? Ketiga? Keempat? Apa solusi guru-guru? Hampir pasti semua memiliki pandangan sendiri-sendiri dan silahkan saja.

Nah, kalau saya, maka saya akan bertanya langsung ke siswa yang bersangkutan. Tapi bukan bertanya “Nak, kamu sudah mengerti?” Siswa ada kemungkinan (daripada repot nanti ditanya-tanya lebih lanjut) akan menjawab “Ngerti, Pak / Bu” 😀

Bertanya tadi itulah, yang saya yakini sebagai wawancara / tanya jawab pelajaran, akan lebih memberikan informasi kepada saya tentang seberapa mengertinya siswa-siswa saya terhadap pelajaran yang disampaikan.

Di kelas matematika saat ini, kita membutuhkan siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang matematika yang mereka pelajari. Ini bukan lagi tentang menyelesaikan langkah-langkah komputasi dengan benar. Matematika hari ini harus melibatkan lebih banyak penalaran, penjelasan, dan siswa mengkomunikasikan pemahaman mereka tentang konsep yang dipelajari.

Flipgrid untuk penugasan juga bagus, di mana siswa cukup merekam suaranya saja atau memberikan interaksi melalui mimik wajah juga dengan merekam video penjelasan. Bebas, silahkan guru tentukan sendiri jenis tugasnya sesuai kebutuhan. 

Jika untuk diskusi antar siswa berarti semua siswa saling bisa memberikan jawaban dan berinteraksi, maka untuk penugasan individu kita dapat mengaktifkan mode moderasi video dan komentar, dan hasilnya hanya kita gurunya yang dapat melihat / mendengar videonya.

Berikut contoh dari siswa saya yang menjawab tugas dengan video dan suara saja:

Selamat mencoba dan bersenang-senang dengan Flipgrid!

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake