Diskriminasi Di depan Mata

Pagi ini, seorang rekan mengejutkan saya dengan sebuah cerita berbau diskriminasi. Lagi??? pernah dengar hal yang sama beberapa kali tetapi selalu mencoba berpikir positif bahwa akan lebih baik suatu hari.

Ternyata, rupanya, bahkan dalam kurun waktu lewat 10-20 tahunpun, masih sama saja, kok bisa ada masyarakat yang memiliki pola pikir seperti itu.

Rekan saya akan menikah dua bulan lagi, dan hal penting untuk memulai sebuah keluarga adalah memiliki tempat tinggal. Mereka memilih untuk menyewa suatu rumah yang terletak di daerah Tangerang. Singkat cerita, rumah idaman terpilih, pemilik telah menyetujui dan kemaren sepulang dari gereja, mereka berniat untuk memantapkan hati dengan pilihan rumah tersebut dan berencana untuk melihat-lihat kondisi dalam rumah dengan cara meminjam kuncinya.

Kunci rumah dititipkan oleh sang pemilik kepada orang kepercayaannya di daerah tersebut. Begitu rekan saya tiba di rumah sang kepercayaan, untuk membuat dirinya yakin dengan kedatangan rekan saya yang akan meminjam kunci, dipinjamnya KTP rekan saya, tentu saja wajar untuk melihat dari KTP seperti memang dilakukan kebanyakan orang terhadap warga asing yang datang.

Tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh sebuah diskriminatif. Sang kepercayaan menolak memberikan pinjaman kunci bahkan serta merta menolak kehadiran rekan saya untuk mengambil rumah sewaan di daerah tersebut karena alasan agama mayoritas di daerah tersebut berbeda dan sang kepercayaan hanya mengijinkan orang dengan agama mayoritas yang boleh tinggal di daerah tersebut.

Duh….sedih amat. Rekan saya kemudian menelpon si pemilik rumah dan menceritakan kejadian yang dialami sambil berharap mungkin ada putusan bijaksana dari pemilik. Namun, setali tiga uang, sang pemilik hanya menyatakan bahwa karena sang kepercayaan adalah warga (katanya) “terhormat” di daerah itu maka pemilik tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya mengatakan maaf tidak bisa menyewa rumahnya. Takut dengan mayoritas? mungkin demikian, supaya aman deh dirinya.

Hampir 20 tahun yang lalu, ada seorang rekan yang lain, ingin mengambil rumah di sebuah komplek perumahan bernuansa Islami. Sewaktu ditanya data dari KTP, pupus peluang membeli rumah, (secara halus – red. semoga) ditolak karena menganut agama yang berbeda dengan tema perumahan tersebut.

Kurang lebih mirip dengan sebuah tempat institusi bernama sekolah kristen (ingin internasional) yang menolak seseorang yang telah datang diwawancara kerja karena namanya berbau keturunan tetapi diakhiri dengan kepanikan bagaimana menolak orang ini karena ternyata beragama bukan kristen.

Agama, selalu agama, lagi-lagi agama. Mengapa pula KTP mencantumkan agama? Bangsa ini senang rupanya hitung-hitungan banyaknya peserta agama tertentu.

Manusia makin melupakan bahwa Tuhan tidak menciptakan agama. Tuhan adalah Allah yang satu. Yang dengan kasihNya mencintai kita sebagai mahluk ciptaanNya. Siapakah manusia merasa dirinya mampu melakukan “judgment” terhadap manusia lain untuk urusan sebuah kerpercayaan.

Saya menghormati Paus Fransiskus dengan quotenya “I believe in God – not in a Catholic God; there is no Catholic God. There is God, and I believe in Jesus Christ, his incarnation. Jesus is my teacher and my pastor, but God, the Father, Abba, is the light and the Creator. This is my Being.”

Bangsa mana yang bisa maju jika selalu diliputi dengan diskriminasi macam begini.

Entahlah….. selalu ujungnya tarik napas panjang….. Tuhan Kaulah penguasa alam semesta. Ampunilah kami semua yang terlalu memanusiakan diri, pikiran dan jiwa tetapi merasa mampu menghakimi sesama kami seperti layaknya Allah.

A year Later

I made my new house model again. Why always a house? I haven’t got any idea to make others šŸ™‚ The different is, this time, I try to use more functions. Look at the fog and shadow now. I learned it from my last year’s student #sssttt.

This year, I am hoping my students can perform nice 3D models again. They can learn many things through google SketchUp software, such as, drawing, dimensions in maths, perspective, translate their imaginations and cooperative learning because they must mix their ideas among them.

Let’s see in the next two weeks from now.

ICT or No “TIK”

Ā Daur Ulang

After sharing and posting My son’s project into his page in this blog, I feel that the following is a reflection of one situation that I have encountered in recently.

Matthew’s school is one of the example of schools that will adoptĀ  “Kurikulum 2013”.Ā  They decided not to start this year, but they will, soon. No choices? I don’t know. For me, no matter what the curriculum is, the most important thing is the actual process happening in classes. How to a student get interested in a lesson and try to dig deeper the knowledge as he wants, is the real job of teachers.

It is a complicated situation in Indonesia regarding the removal of ICT lesson in SMP based on “kurikulum 2013”. I wonder how the authoritiesĀ  in Department of Education (either the central or district) see this situation. Have they defined a strict boundary to what was written explicitly in the curriculum document itself? Or did theyĀ  give some freedom to interpret the meaning of it? No ICT means no ICT? If it is literally like that, for me, we are just following what Forrest Gump said that “stupid is as stupid does”

On the other side, schools and teachers, do they get trapped inside the curriculum? Or they purposely trap themselves into the curriculum? šŸ™‚ .

When the schools and teachers know exactly the importance of having ICT lesson especially in this era of technology, they get stuck with the law. Instead of combining ICT into all subjects by assigning some time slotĀ  for the ICT teachers to support other subjects, they worry too much of the administration that have to be reported to the government.

The report for the government indeed can be a snare by itself. Each teacher is required to teach 24 period per week by law. But, if they teach ICT, they can not be acknowledged as an ICT teacher (because there is no ICT subject anymore as per Kurikulum 2013) and their teaching periods will not be acknowledged.
When the number of periods do not comply with the law, or when they teach other subject but irrelevant to their formalĀ  educational background, their name also can’t be registered in DAPODIK (Ministry of Education’s Teachers Registry) . No record in DAPODIK means no money for theĀ  “professional teacher allowance” for those who had already certified by government through Department of Education . When school and teacher try to “just” fit the number of periods into 24 periods, sometimes “Dinas” found it as lie, then they can also cancel the data for the teacher allowance.

Until now, I’m not so sure what will be the next step from our government regarding the situation. Once, they said that the idea of “kurikulum 2013” with no ICT for SMP is to giveĀ  opportunity to have collaborative learning. All subjects must be supported by ICT. That means, subject teachers (including students) must also be supported by IT trainer, IT staff, people who are IT literate. When those kind of people (better known as Computer Teacher) do not feelĀ  satisfied by the law (read: do not receive the promised tidy sum of ‘professional allowance’),Ā  no wonder there are many petition letters shared and signed by teachers (or people) who against the law.

Confused? Or is it clear why Indonesia rank is so low in PISA?

It is a vicious circle, waiting for someone to cut it, rethink and decide on what’s right.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake