Satu Tahun Berlalu – 2023

Cerita kecil…..

Apa yang terjadi dalam satu tahun terakhir hidupmu? Berubah sedikit? Berubah banyak? Tidak ada perubahan apa-apa? 

Menuju tahun politik 2024, perubahan-perubahan yang terjadi malah kurang dari kurun waktu setahun, bahkan beberapa tampak hanya dalam hitungan hari. Luar biasa. Namun, saya tidak sedang dalam posisi membahas politik. Bukan ranahku ^_^.

Kehidupanku setahun terakhir seperti biasa tidak banyak berubah. Ada satu hal keinginan berat badan turun setelah 3 tahun “stuck” di angka ** , dan akhirnya sekarang digit angka puluhannya berangsur menurun, yeaay hore. Tapi masih harus dipertahankan nih biar konsisten menurun. Selain itu, hal-hal lainku nampak biasa.

Perubahan terjadi pada anakku. Di akhir tahun lalu, November dan Desember, bulan-bulan tersibuk menyelesaikan skripsi dan persiapan sidangnya. Sambil mempersiapkan masuk kerja pertama resmi sebagai budak korporat 😉 .

Pertengahan Januari tahun ini, masuklah dia sebagai budak. Pengalaman resmi bekerja yang pertama. Menyenangkan sudah pasti. Dan tentu saja bangga sebagai orang tua. Seminggu kerja, harus ijin untuk sidang skripsi. Dapat A dong. Bangga sekali mamanya. 7 semester, selesai.

Dimulailah hari-hari yang ditinggal anak dari pagi sampai sore. Kadang sampai malam, kadang sampai paginya lagi, alias lembur. Dunia kerjanya memang bukan seperti pekerja yang waktunya normal sebagaimana biasanya, apalagi dibandingkan dengan mamanya yang mulai jam 7 sampai jam 4 teng. Sekolah bubar. Haha jauh sekali bedanya.

Sebagai pekerja baru, mulailah petualangan lain seperti mencari batik sebagai pakaian kerja. Senang sekali dia memakai batik, setiap hari. Anak senang, mama senang.

Tibalah di bulan April, tepatnya tanggal 27, wisuda sarjana S1. Sebuah momen membanggakan kembali datang. Setiap orang tua menyaksikan anaknya di akhir masa pendidikan, pasti berharap suatu ketika naik lagi, naik lagi dan naik lagi. Iya kan? Haha. Namun saat ini, biarkan saja dia menimba pengalaman lain dari bekerja. Ingin mendapatkan uang sendiri, ingin belanja memakai uang sendiri. 

Setiap hari kerja, kerja, kerja. Setiap akhir minggu, main, jalan, senang-senang. Dinamika berulang setiap minggu. 

Sebulan menjelang akhir tahun 2023, tibalah kali pertama tugas luar kota. Semoga nanti luar negeri ya, Nak 😉 . Dan ditinggal setidaknya dua minggu (bisa lebih) adalah pengalaman pertama sebagai orang tua. Ya walaupun dulu pernah kos 6 bulan tetapi tiap akhir minggu selalu pulang. Lalu kos batal karena dunia sedang direset semua oleh pandemi. Kembali ke rumah untuk sekolah online. Jadi rasanya menunggu dua minggu ini kok lama sekali 😀

"Sudah makan?'

"Sudah balik dari kantor?"

"Sudah tidur?"

"Sudah mandi?"

"Sudah ke kantor lagi?"

Dan sudah-sudah yang lain meluncur dari bibir seorang ibu yang bawel ini. Maaf ya Nak…..♥

Belajar Bersama AI

Seberapa penting mengenal kemampuan AI? Apakah dengan AI semua peran kita di lingkungan hidup kita, pekerjaan kita, sekolah kita, dan lain sebagainya akan langsung tergantikan? Kok seperti menyeramkan? 

Kehadiran teknologi berbasis AI, membawa dampak bagi kita untuk berubah lagi. Seperti apa? Banyak segi. Namun yang pasti, kita tidak bisa hanya bersikap apatis, pokoknya menolak, menyalahkan orang-orang yang mengembangkan teknologinya ataupun melakukan pemblokiran. Tidak berguna dan tidak menyelesaikan  permasalahan.

Jadi harus bagaimana? Berlawanan dengan yang disebut di atas, yang sebaik-baiknya kita lakukan adalah belajar. Belajar menerima faktanya, belajar menghargai si pengembang atau si pemakai, dan belajar mengenalnya. Kalau beberapa waktu lalu kita dibuat kagum dengan “hey google” atau “siri”, yang sekarang sudah berkembang ke era yang lebih maju lagi. Teknologi, tak pernah ada batas.

Manfaatkan untuk kebutuhan pekerjaan kita. Di balik ada kengerian bahwa kita yang bisa tergantikan oleh AI, bagaimana jika mencoba bersama AI menyempurnakan pekerjaan kita.

Khan Academy sudah memulai menyediakan AI pada video-video pembelajarannya, untuk membantu siswa belajar. Bayangkan jika suatu saat desmos, geogebra melakukan hal yang sama. 

Cuplikan pernyataan dari IB “Latest developments in artificial intelligence (AI) software, such as ChatGPT, that can write sophisticated essay responses have generated a great deal of interest and discussion. The IB will not ban the use of AI software. The simplest reason is that it is an ineffective way to deal with innovation. However, the use of AI tools should be in line with the IB’s academic integrity policy.….”.

Lalu bagaimanakah dengan kita?

Memang tantangan terbesar dunia pendidikan adalah bagaimana mengelola perkembangan AI yang sangat dasyat ini. Masih relevankah sekolah-sekolah yang terlalu bertahan pada standar era lama, hanya pada ujian-ujian tertulis dan penugasan-penugasan yang dengan mudah dapat dilacak siswa dan dikerjakan secara cepat oleh bantuan AI? Nah mungkin yang seperti itu yang akan mudah tergantikan. 

Saat gpt3 lalu booming sekitar 4 bulan lalu, pengamatan saya adalah chatgpt masih banyak terbata-bata dalam menjawab soal matematika. Banyak yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Dan dengan tanya jawab ataupun argumen, AI belum tepat memberikan jawaban. 4 bulan berlalu, muncullah gpt4, dan dengan memberikan soal matematika, dia dapat merespon, menjawab, dan berakhir dengan memperbaiki sesuai saran kita. Luar biasa kita dibuat kagum dengan performanya.

Berikut beberapa cuplikan percakapan saya dengan chat bingAI dalam mencari solusi soal matematika tingkat sekolah menengah.

Gambar 1 pertanyaan menemukan luas bangun datar dengan diketahui titik koordinat pada masihg-masing titik sudut bangun tersebut.

Gambar 2 dan 3 mencari solusi nilai x dari suatu persamaan trigonometri.

 


Gambar 4 mencari fungsi turunan pertama menggunakan hukum perkalian dan pembagian pada turunan.

Luar biasa, bukan? Tidak habis pikir bagaimana sebuah mesin AI bisa menjawab seperti itu. Ada bagian percakapan lain tidak direkam dalam foto, isinya bercakap-cakap seperti layaknya kepada orang lain, responnya juga seperti orang yang merespon. Dia seperti menjadi teman diskusi yang responsif. Bayangkan kalau siswa yang memulai bertanya dan terjadi argumen serta tanya jawab, maka siswa sedang belajar benar-benar aktif juga efektif karena respon yang luar biasa cepat. Mungkin akan ada keraguan tahu dari mana jika jawaban atau respon si AI benar atau salah? Nah mungkin di situlah letak bahwa posisi manusia (dalam hal ini, guru) tidak akan tergantikan dengan mudah (berpikir positif dong 🙂 ).

Ide bercakap-cakap dengan chatgpt4 ini membuka ide lain salah satunya yaitu menambah media belajar bagi siswa. Dengan waktu yang terbatas di sekolah, beragamnya kemampuan siswa, guru dapat membantu urutan pertanyaan ide yang bisa diajukan sendiri kepada AI, membantu siswa menentukan “prompt” agar AI bisa memberikan respon yang lebih akurat.

Sudahkah bapak/ibu guru mencobanya? Selamat mengeksplorasi chatgpt4 menurut bidang studi masing-masing.

Gagal adalah Hak

Setujukah dengan pernyataan di atas? Dengan asumsi tanpa penjelasan atau embel-embel yang lain, saya pribadi langsung setuju. Karena jika manusia tidak mengenal gagal maka dunia kita pasti bukan seperti ini.

Permasalahan di sini adalah jika pernyataan di atas mewakili suatu pernyataan lain atau kasus lain, maka ya harus dicermati lebih dalam lagi. Tidak akan langsung setuju begitu saja.

Seorang yang sedang mencari pekerjaan dan mencoba berkali-kali melamar pekerjaan ke beberapa kantor tetapi masih belum berhasil, mungkin karena kalah dalam hal pengalaman, dalam hal keluwesan saat berwawancara, dalam hal keberuntungan, wajar sekali gagal. Kita akan masih mempercayai bahwa suatu hari pasti akan lebih baik dengan cara berbeda, mungkin bukan dengan melamar pekerjaan namun dengan memulai usaha sendiri. 

Seorang siswa yang gagal dalam satu tahun ajaran, belajarnya selama ini agak asal-asalan cenderung kurang baik, ujian kenaikan kelas tidak berhasil, maka dia dikatakan gagal dan harus mengulang pembelajarannya setahun lagi. Di kasus ini, gagal bukanlah hak tapi akibat dari kelengahan siswa dalam belajar.

Seorang yang ingin mendirikan startup, memiliki modal yang besar, memiliki latar belakang keuangan keluarga yang kuat dan solid, memiliki latar belakang pendidikan yang baik dari kecil. Saat memulai usaha startupnya tidak mulus, ada gagal dan mengalami kerugian. Namun tidak mudah menyerah, tetap tegar dan usaha lagi. Bisa jadi karena bagian kehilangan modal bukan menjadi masalah terbesarnya, kerugian usahanya bukan menjadi masalahnya juga, utang pinjaman tidak terlalu dipikirkan, yang menjadi fokus utamanya adalah bagaimana berusaha lagi agar suatu saat  pasti berhasil.. 

Seorang yang lain, bermodal pas-pasan, semua dipertaruhkan untuk memulai usaha. Tapi lalu gagal. Apa yang kemungkinan besar terjadi? Boro-boro bisa kembali fokus secepat orang yang disebut pertama tadi. Orang yang ini bisa jadi masih berkutat pada sumber yang telah habis. Depresi dan menderita karena kegagalan bisa saja terjadi pada dirinya.

Kedua gagal di atas adalah tidak salah jika disebut sebagai hak. Namun gagal yang pertama memiliki hak lain yang disebut “privilege”, terutama dalam hal keuangan. Memulai kembali usahanya dengan kebebasan memakai sumber keuangan lain yang tidak terganggu dari kegagalan pertama adalah privilege tadi. Bandingkan dengan yang kehilangan semua sumber keuangan. Bahkan untuk membandingkan saja kita tidak bisa kan, rasanya memang tidak adil karena berbeda situasi dan kondisinya.

Dalam pembahasan dunia pendidikan, dunia sekolah, gagal dan berhasil dilihat dari banyak segi. Mari kita lihat dalam kreatifitas dan inovasi. Sekolah yang berinovasi dengan mengembangkan pendidikan non akademis sejalan dengan akademis, sekolah yang berinovasi dengan mendukung guru-gurunya melakukan inovasi sendiri-sendiri sesuai bidang studi yang diajarkannya, sekolah yang berinovasi dengan menyiapkan program-program pembelajaran yang sesuai perkembangan jaman, dan lain-lain.

Bisakah semua sekolah melakukan kreatifitas dan inovasi seperti itu? Bisa saja tetapi tentu harus dengan melihat kapasitas masing-masing. Tidak adil membandingkan sekolah yang uang sekolah pertahunnya mencapai dua sampai tiga ratus juta rupiah dengan yang maksimal dua juta rupiah perbulan. Inovasi sekolah pertama semisal membangun proyek “makerspace” (ruang/bengkel kerja) guru dan siswa untuk bebas berkarya. Bahan-bahan selalu tersedia, peralatan lengkap, pendamping siap sedia. 

Sementara sekolah yang satunya lagi, semua sumber dibatasi, jam kerja guru dibuat penuh hanya untuk mengajar sambil berharap menjadi “EO” sekaligus demi pengiritan. Ruangan untuk berkerja dengan peralatan lengkap tidak perlu karena semua ruangan telah habis tidak bersisa untuk menampung siswa yang diterima bersekolah di sana. Jauh sekali dengan memiliki harapan prestasi sekolah dari inovasi dan kreatifitas, kadang untuk prestasi akademis saja sulit. Sekolah model begini lebih banyak berharap jumlah siswa yang tetap ada, uang sekolah dipertahankan sebesar tertentu untuk menarik minat orang tua dapat menyekolahkan di situ, sekolah mengambil jalan aman untuk mengikuti semua kemauan dinas dengan segala kelngkapan administrasinya. Inovasi? Ah buang waktu, tenaga, pikiran dan uang. Kalau coba-coba inovasi berhasil, syukurlah, kalau tidak? Siswa berkurang, operasional makin terganggu.

Apakah berarti sekolah yang belum dapat berinovasi dan kreatif dianggap sebagai sekolah yang takut gagal? Sekolah yang tidak memanfaatkankan haknya untuk gagal? Kalau dia benar gagal dan tutup sekolahnya, siapa yang disalahkan?

Ide tulisan di atas, sebagai reaksi mendengar talk show mendikbudristek di podcast pak Gita yang bersemangat mengatakan jangan takut gagal, gagal adalah hak. Pak menteri pendidikan bisa memberi solusi? Yang bukan sekedar bernuansa motivator dan jargon bertransformasi? Kalau hanya bersemangat di wawancara saja, pastilah pelaksana di lapangan akan bingung, apa maksud takut gagal itu.

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake