TechDays 2015 – Sebuah Laporan Pandang Mata

TechDays 2015 yang diselenggarakan oleh Microsoft Indonesia ini rupanya berlangsung lumayan meriah selama beberapa hari. Tentu saja bagian yang paling menjadi sorotan saya adalah Microsoft dalam bidang pendidikan. Dan untuk itu, Microsoft mengadakan seminar singkat tentang peran teknologi Microsoft dalam pendidikan umumnya di Indonesia.

Saya berhasil “diterima” pendaftarannya setelah beberapa hari menunggu notifikasi karena “Due to the popularity of this event…..”. Jadi, jika saya berhasil datang  ke acara yang populer ini berarti wow dong ya? 😉

Acara dimulai cukup tepat waktu oleh para pembicara yang merupakan rekan-rekan dari Microsoft Indonesia khusus department edukasi nya. Visi mereka adalah mengembangkan pendidikan di Indonesia berbasis teknologi di era abad 21 ini.

Seminar disampaikan dalam bahasa Indonesia, sementara di ruangan Raffles 1 di Balai Kartini ada peserta berbahasa asing. Agak kurang sinkron jadinya.

Pembicara pertama, bapak Benny Kusuma, Education Lead, Microsoft Indonesia, memberikan pandangannya tentang pengaruh (positif tentunya) teknologi dalam dunia pembelajaran saat ini. Kadang sekolah ingin memanfaatkan teknologi tetapi pola pikir sekolah sendiri yang bisa  menghambat perkembangannya, seperti contoh, sekolah yang kuatir bila siswanya memiliki akses internet di sekolah maka siswa mengakses situs-situs tertentu yang dianggap sekolah berbahaya. Atau sekolah merasa kurangnya budget untuk urusan bandwith yang akan dipakai. (Saya  melirik ke arah tiga orang wakil dari sekolah yang sering mengadakan seminar orang tua tentang bahaya internet bagi usia remaja, berpikir mungkin mereka sudah mulai sadar, karena tentu saja kehadirannya di seminar ini, jika pola pikir selalu negatif maka akan terus negatif 😉 ).

Berturut-turut pembicara berikutnya, bapak Tony Seno, bapak Arthur Renaldy dan Mr. Lalit Mohan membahas sedikit tentang masa depan teknologi dalam dunia pendidikan, tentang apa itu ruang kelas modern dan ruang kelas virtual.

Perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan merubah cara belajar, mengajar dan bekerja.  Maka dari itulah Microsoft menyediakan dan menawarkan Office 365 for Education yang mampu menjembatani proses hadir di abad 21 ini.

Beberapa layanan Office 365 for education tersebut antara lain Email, Kalender, Kontak, Perlindungan dari spam, 50 GB mailbox per orang, Audio/Video Konperensi, Office Web Apps, Media Kolaborasi, OneDrive 1TB, App Katalog, e-Discovery, dan lain-lain.

Dengan membangun kompetensi yang dibutuhkan dunia saat ini, siswa diharapkan dapat berpikir kritis, mampu berkolaborasi dan berkomunikasi dengan temannya, serta berkreativitas / melakukan inovasi.

Increase Collaboration

Meningkatkan kolaborasi antara peserta didik dan pendidik dengan memberikan kemudahan akses berbagi file, dokumen dan informasi.

Asynchronous Learning

Mendukung kegiatan belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas dengan akses yang mudah, kapan saja dan di mana saja.

1 to 1 Tutoring

Menyediakan akses layanan komunikasi untuk berkonsultasi dengan pendidik. Selain itu dapat digunakan juga untuk layanan konsultasi dengan orang tua murid.

Virtual Classroom

Mendukung kelas pembelajaran jarak jauh yang dapat diakses oleh pendidik dan peserta didik dari tempat mereka masing-masing.

E-Learning

Mendukung peningkatan pengalaman mengajar baik di dalam maupun di luar kelas dengan akses yang mudah, kapan saja dan di mana saja.

Online Lab

Mendukung peningkatan pengalaman belajar dan berkolaborasi antar sesama siswa.

Seminar berakhir pukul 12:00, dan sharing mereka semakin meyakinkan saya bahwa memang masa depan itu telah hadir di sini, bahkan dari beberapa tahun yang lalu. Hanya kadang orang tak sadar, sudah seberapa besar pengaruhnya bagi kehidupan kita.

The future is already here — it’s just not very evenly distributed. (William Gibson).

Sharing yang cukup menarik, mengingat masih banyak sekolah dan para pelaku pendidikan saat ini yang sebenarnya masih menutup diri dengan teknologi.

Dengan berbekal alasan bahwa teknologi bukan satu-satunya alat untuk pembelajaran, dengan asumsi sekolah adalah tempat berinteraksi fisik bukan hanya terpaku pada gadget, maka seringkali saya jumpai pelaku pendidikan yang tidak mendukung pemakaian teknologi tadi di sekolah. “Ujian kita ujung-ujungnya pakai kertas dan tulis, anak tidak boleh dibiasakan enak tanpa menulis sehari-harinya”.

Sebaliknya, tidak sedikit pula yang merasa sudah berteknologi dengan menggunakan presentation (berbasis komputer) di kelas, meletakkan material / catatan di platform e-learning tertentu, tetapi pola pikir diakses kapanpun di manapun tidak berlaku karena nanti keenakan siswanya bisa dibantu kerjanya kalau di rumah.

Semoga perkembangan terus menghasilkan perubahan yang lebih baik, serta pola pikir yang semakin terbuka akan perubahan tersebut.

Berikut Materi dari Acara tersebut:

Edu TechDays 2015 Welcome Speech

Embracing Future Technology Trend in Education

TechDays Education

 

—————————————————————————————————-

 

Refleksi:

Beberapa artikel terkait dengan perkembangan teknologi dalam cara saya bersikap, merubah pola pikir, mengerti dan menjalankan hal-hal baru dengan bantuan teknologi, menjelang 20 tahun aktivitas belajar mengajar saya.

Pengajaran dan Pembelajaran Abad 21 – dari Perspektif Saya 21 , iPad for Lesson, Lembar Kerja Abad 21.

Belajar Nyata / Nyata Belajar (?)

Screen Shot 2015-09-28 at 3.38.22 PM

“Learning become relevant when we connect it with reality”
~ Robert John Meehan ~

Kemarin, saya dibuat cukup tertawa geli dengan komentar seorang siswi kelas 3 SMP yang sedang belajar matematika menjelang ulangan mid semester nya. Ada soal seperti ini “Jika paman memberikan uang dua juta rupiah kepada bibi maka uang mereka menjadi sama besar. Jika paman memberikan satu juta rupiah tetapi bibi kemudian mengembalikan 500.000 rupiah maka uang paman menjadi 2/3 dari uang bibi. Berapakah uang mereka masing-masing?”. Lalu yang kedua “Dua tahun yang lalu, usia adik 13 tahun lebih muda dari kakak. 11 tahun yang akan datang usia kakak akan menjadi dua kali usia adiknya. Berapa usia mereka dua tahun yang lalu?” (*angka persisnya saya lupa, namun jalan cerita soalnya seperti itu).

Komentar pertama si siswi tersebut adalah “astagahhhh, paman dan bibi kurang kerjaan ya, kasih-kasih uang lalu kembaliin, bikin pusing, ribet amat, kasih saya saja lah uangnya, aneh banget sih, mana mungkin sih benerannya mereka ributin uang kayak begitu?”

Bagi saya, komentar demikian sangat lucu dan spontan. Belum lagi mendengar komentar kedua, makin tersenyumlah saya, rasanya tidak perlu ditulis di sini kan? Sudah terbayangkah bapak-ibu apa komentarnya? Iya betul sekali, si anak berkomentar lihat saja akte kelahirannya 🙂

Kadang sebagai guru (matematika), kita sering terjebak dengan anggapan, mengajari anak matematika harus relevan dong dengan kehidupan sehari-hari, Uang adalah persoalaan sehari-hari, maka jadilah mengarang sebuah soal cerita berhubungan dengan kehidupan sehari-hari adalah ide cemerlang si guru untuk mempersiapkan masa depan mereka. Siswa menghubungkan masalah tadi dengan menerjemahkannya ke dalam kalimat matematika. Sempurna.

Adakah yang salah dalam hal ini? Rasanya bukan persoalan salah atau benar sih menurut saya. Secara “keilmuan”, sah saja ada soal cerita seperti itu. Lalu kalau sebenarnya sah-sah saja, apakah menjadi salah si siswa yang kurang ber-empati pada guru sang pembuat soal sehingga berkomentar yang seperti di atas? Ya tidak juga kan?

Ada beberapa hal yang bisa disimak dalam hal ini:

1. Jadilah guru yang “gaul”, siswa dibuat tertawa dan gembira dulu dengan soal-soal cerita yang akan bisa jadi “lucu-lucu”. Atau malah melakukan modifikasi pada soal yang menanyakan usia, karena yang ditanyakan adalah sebenarnya anak yang baru lahir (usia nol), jadi daripada diberikan pertanyaan “berapa usia mereka dua tahun lalu?” mungkin justru malah sebaiknya ditantang dengan pertanyaan “apakah anak tersebut sudah lahir dua tahun lalu?”

2. Tetap berkaitan dengan logika yang segar dan benar. Agak gimana juga memang tiba-tiba sang siswa diberi soal tentang paman bibi saling memberi uang seperti contoh di atas, sementara sehari-hari di kelas nampak terlalu “serius”. Lebih baik jika soalnya menceritakan menabung dan mengambil uang, misalnya.

3. Hal ini cukup berkaitan erat dengan faktor sosial ekonomi siswa, lingkungan tempat kita mengajar. Mengapa susah-susah memikirkan diberi uang (paman memberikan kepada bibi), mengembalikan uang (bibi mengembalikan uangnya), kalau mereka terbiasa dapat uang jajan berkala. Lebih bijak jika soalnya mengarah kepada “membeli dan membandingkan beberapa produk”, misalnya.

Begitulah memang sulitnya menerapkan pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Banyak cara, saya yakin, sudah beragam cara pula dari yang diterapkan bapak-ibu (yang sudah dan pernah menjadi) guru sekalian.

Namun satu hal kita memang perlu saling mengingatkan bahwa, soal yang “relevant” adalah sederhana bukan mencari relevant dengan kehidupan berarti membuat soal nampak susah karena anggapan kita belajar susah berarti belajar kehidupan.

How Technology help in my Class – an experience

I was invited to share my experience in GEGWJ +1 meet up, event to celebrate their first anniversary community in Google Educator Group West Jakarta, about “How technology help in my Class”.

Technology helps a lot, indeed.

So, I share one experience here, towards the event.

Screen Shot 2015-09-25 at 5.30.06 PM

Screen Shot 2015-09-25 at 5.30.35 PM

Screen Shot 2015-09-25 at 5.30.50 PM

Screen Shot 2015-09-25 at 5.31.08 PM

Screen Shot 2015-09-25 at 5.31.22 PM

Screen Shot 2015-09-25 at 5.31.36 PM

Writing on Penultimate during explanation in front of the class, compile into Evernote, share it through LMS Schoology.

And, when writing in class is not just enough like I said before, make video cast in Explain Everything, share it through LMS, as well.

LMS, another technology that helps me to assist online assessment, in class or at home.

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake