Bukan sebagai standar kelulusan tetapi sebagai alat pemetaan pendidikan di Indonesia….. Horeee.
Seiring dengan perubahan kebijakan tadi hendaknya juga ada perubahan mental, sikap dan sifat pada instansi terkait yang menjalani UN. Bila tetap saja “ritual” UN seperti yang sudah terjadi, pengawas harus silang sekolah, try out belasan kali, Ujian Sekolah diatur, Ujian praktek (yang barangkali juga) diatur, lalu apanya yang berubah? Di mata siswa SMP, secuilpun tahun ini tidak ada perbedaan. Bahkan di SD, dinas setempat meminta sekolah-sekolah binaan “latihan dulu” dengan pengawas silang.
Belum lagi imbas ritual tadi, siswa yang bukan di kelas UN berapa kali diminta belajar di rumah atau jam kosong karena:
- Guru bertugas menilai uprak.
- Guru harus mengawas dan suasana harus steril pada saat Ujian Sekolah.
- Rapat pengawas silang (seperti lomba banyak-banyak guru dikirim saling).
- Pada saat UN nya.
Ah semua jadi nampak makin “over”, yang sudah-sudah saja banyak berlebihan, apalagi sekarang yang sudah dengan embel-embel pemetaan, malah makin kelihatan “over”.
Kapan menjadi ideal, anak-anak belajar sebanyak yang mereka mampu (sesuai usia) apapun kurikulumnya karena kurikulum itu sangat tercermin dari apa yang mereka lakukan bersama guru mereka di kelas. Lalu saatnya harus diujikan, ujikanlah, buatlah ujian nasional beragam sehingga “multiple intelligent” siswa juga terpenuhi.
Bukan bikin segala seminar melulu tentang metode belajar dengan dalih antisipasi ragamnya MI siswa tadi, sementara ujian nasional tetap satu macam tipe saja.
Setelah selesai ujian dan ada hasil ujiannya, katanya mau dijadikan standar pemetaan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Mari buktikanlah, jika untuk pemetaan berarti harus ada yang dihasilkan, dalam arti tindakan nyata yang mengarah kepada memajukan pendidikan sejatinya.
*Andai demikian*