Menyoroti perilaku pemotor di jalan-jalan kota Jakarta, pasti tarik napas panjang. Bagaimana caranya mengembalikan “otak” orang-orang pemotor itu kembali ke jalan yang benar. Kadang mereka seperti memiliki imajinasi pemikiran, naik motor berarti terhindar dari macet…. #ngawur.
Memang sih, kadang melihat angkutan selevel metromini/kopaja bahkan bus kota ugal-ugalan, duh, lihatnya enek sekaligus deg-deg-an bagaimana rasanya jadi penumpang yang di dalamnya. Melihat angkutan kota “tuyul” tidak beda juga, menaik turunkan penumpang seenaknya, jalan di tengah jalan pelan-pelan cari penumpang, kalau disusul mobil, umpatan yang biasa keluar dari mulut sang supir “sombong lu punya mobil” ahh.
Selaku orang yang harus naik kendaraan umum entah angkutan kota atau ojek, dilemma banget deh rasanya, ngeri (apalagi pernah terjatuh di dalam angkot karena rem mendadak dan terjatuh dari ojek karena mengambil jalur lawan). Jika sedang berada di dalam angkot atau di atas ojek, harap-harap cemas semoga dapat supir yang lebih tertib berlalu lintas. Jika kebetulan tidak naik kendaraan umum, lalu menyaksikan mereka di jalan bersikap kurang beradab, jadilah mengelus dada dan tarik napas tadi.
Kembali ke soal pemotor, makin hari rasanya memang makin menjadi sikap dan mental sebagian dari mereka. Saya alami baru-baru ini, sedang menyebrang jalan di zebra cross. Alphard sudah mempersilahkan saya menyebrang, hati curiga, di sebelah alphard bisa ada apa ya? Benar saja, pelan-pelan mengintip di balik alphard ternyata ….wuuusss… motor masih ngebut, tidak punya otak, ini zebra cross dan mobil sudah perlahan memberi jalan pada penyebrang. Gilaaaa, mau teriak rasanya.
Di jalan raya saja, banyak perilaku pemotor yang sudah tidak bisa lagi menghargai orang lain. Mereka seperti memiliki prinsip bahwa dengan motor berarti tidak ada macet dan tidak boleh telat. Walau jalanan padat, tetapi pemotor tetap harus cepat dan zig zag menjadi pilihan. Membunyikan klakson berlebihan di saat sebelah kirinya mobil dan sebelah kanannya truk gandeng juga sering terjadi. Pokoknya harus melewati di antara sela-sela jalan, dan jika habis itu “bummm” tertabrak mobil atau tersangkut di ban truk, yang “disalahkan” adalah pengendara mobil atau truk tadi.
Pemotor juga suka mendahului mobil-mobil yang dianggap menghalangi mereka, dan jika tersenggol ujung plat nomornya, langsung berhenti sembarangan, menghalangi mobil, turun dan berkacak pinggang lalu mendelik-delik dan acung-acung tangan tanda menyalahkan orang lain. Atau salip kiri di tikungan lalu jatuh dan malah minta ganti kerugian atas nama”kita orang kecil, situ kan naik mobil”. Atau pemuda pemudi yang kadang bermotor berdampingan, dan kaki saling menjuntai antar motor, dan melotot saat diklakson karena motor-motor mereka mulai oleng. Ugal-ugalan jiwanya. Mungkinkah pengaruh iklan motor ternama adalah pembalap sehingga terkesan, dengan motor cc rendah pun semua bisa merasa seperti pembalap? Entahlah.
Atau di perempatan-perempatan jalan yang memiliki lampu lalulintas. Misalkan apabila lampu sedang hijau, dan lampu hijau itu untuk memandu jalan lurus, dan jelas-jelas ada tanda tidak boleh belok kanan, ini malah sengaja melambatkan motor lalu ikut antrian dari arah lampu merah kiri menuju kanan, sehingga antrian sudah maju-maju melewati jalur pembatasnya dan akhirnya yang terjadi malah mengganggu / menghambat lewatnya kendaraan dari jalur lain.
Dengan bermental kami naik motor maka kami tidak mengenal macet, segala cara dapat dihalalkan. Lawan arus sudah biasa. Sambil mengebut dan menyerempet pejalan kaki yang jalan di tempat yang benar, pemotor yang bisa menghardik “bisa jalan tidak”….makin gila. Lawan arus sampai terlempar dari atas jalan layang non tol (salah satu contohnya).
“Kami kebanjiran, tidak bisa lewat jalan di jalur normal”. Polisi membuka kesempatan berjalan di jalan tol. Ok, itu situasi darurat. Tapi lepas periode banjir, beberapa kali melihat motor melintas di dalam tol dari arah Kebun Jeruk menuju Tomang di arus arah yang berlawanan. Lebih dari gila.
Satu lagi, pesta rakyat, musim kampanye, hingar bingar, meraung-raung suara motor, tiba-tiba berbalik arah melintas seenaknya di jalur lawan, karena………ada polisiiiiiiii…. Membahayakan dan sudahlah stop saja itu kampanye. Aneh.
Ada seorang rekan wanita yang baru 6 bulan ini mengendarai motor, dan mengatakan kadang harus ikutan gila di jalan agar tidak diperlakukan gila oleh pengendara yang sudah gila duluan. Miris kan? Nanti semua berlindung dibalik perilaku yang sudah salah itu atas nama “habis sudah begitu”.
Kapan ada peraturan yang bisa secara sadar dipahami oleh rakyat, dan ditaati demi kepentingan bersama? Kadang melihat sikap pengendara seperti itu, saya berpikir, boleh-boleh saja deh mereka tidak sayang nyawa mereka tetapi kalau mereka merasa manusia, mereka harusnya mengahargai nyawa mahluk social lain. Berarti, jangan-jangan, mereka bukan manusia?