“Learning become relevant when we connect it with reality”
~ Robert John Meehan ~
Kemarin, saya dibuat cukup tertawa geli dengan komentar seorang siswi kelas 3 SMP yang sedang belajar matematika menjelang ulangan mid semester nya. Ada soal seperti ini “Jika paman memberikan uang dua juta rupiah kepada bibi maka uang mereka menjadi sama besar. Jika paman memberikan satu juta rupiah tetapi bibi kemudian mengembalikan 500.000 rupiah maka uang paman menjadi 2/3 dari uang bibi. Berapakah uang mereka masing-masing?”. Lalu yang kedua “Dua tahun yang lalu, usia adik 13 tahun lebih muda dari kakak. 11 tahun yang akan datang usia kakak akan menjadi dua kali usia adiknya. Berapa usia mereka dua tahun yang lalu?” (*angka persisnya saya lupa, namun jalan cerita soalnya seperti itu).
Komentar pertama si siswi tersebut adalah “astagahhhh, paman dan bibi kurang kerjaan ya, kasih-kasih uang lalu kembaliin, bikin pusing, ribet amat, kasih saya saja lah uangnya, aneh banget sih, mana mungkin sih benerannya mereka ributin uang kayak begitu?”
Bagi saya, komentar demikian sangat lucu dan spontan. Belum lagi mendengar komentar kedua, makin tersenyumlah saya, rasanya tidak perlu ditulis di sini kan? Sudah terbayangkah bapak-ibu apa komentarnya? Iya betul sekali, si anak berkomentar lihat saja akte kelahirannya 🙂
Kadang sebagai guru (matematika), kita sering terjebak dengan anggapan, mengajari anak matematika harus relevan dong dengan kehidupan sehari-hari, Uang adalah persoalaan sehari-hari, maka jadilah mengarang sebuah soal cerita berhubungan dengan kehidupan sehari-hari adalah ide cemerlang si guru untuk mempersiapkan masa depan mereka. Siswa menghubungkan masalah tadi dengan menerjemahkannya ke dalam kalimat matematika. Sempurna.
Adakah yang salah dalam hal ini? Rasanya bukan persoalan salah atau benar sih menurut saya. Secara “keilmuan”, sah saja ada soal cerita seperti itu. Lalu kalau sebenarnya sah-sah saja, apakah menjadi salah si siswa yang kurang ber-empati pada guru sang pembuat soal sehingga berkomentar yang seperti di atas? Ya tidak juga kan?
Ada beberapa hal yang bisa disimak dalam hal ini:
1. Jadilah guru yang “gaul”, siswa dibuat tertawa dan gembira dulu dengan soal-soal cerita yang akan bisa jadi “lucu-lucu”. Atau malah melakukan modifikasi pada soal yang menanyakan usia, karena yang ditanyakan adalah sebenarnya anak yang baru lahir (usia nol), jadi daripada diberikan pertanyaan “berapa usia mereka dua tahun lalu?” mungkin justru malah sebaiknya ditantang dengan pertanyaan “apakah anak tersebut sudah lahir dua tahun lalu?”
2. Tetap berkaitan dengan logika yang segar dan benar. Agak gimana juga memang tiba-tiba sang siswa diberi soal tentang paman bibi saling memberi uang seperti contoh di atas, sementara sehari-hari di kelas nampak terlalu “serius”. Lebih baik jika soalnya menceritakan menabung dan mengambil uang, misalnya.
3. Hal ini cukup berkaitan erat dengan faktor sosial ekonomi siswa, lingkungan tempat kita mengajar. Mengapa susah-susah memikirkan diberi uang (paman memberikan kepada bibi), mengembalikan uang (bibi mengembalikan uangnya), kalau mereka terbiasa dapat uang jajan berkala. Lebih bijak jika soalnya mengarah kepada “membeli dan membandingkan beberapa produk”, misalnya.
Begitulah memang sulitnya menerapkan pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Banyak cara, saya yakin, sudah beragam cara pula dari yang diterapkan bapak-ibu (yang sudah dan pernah menjadi) guru sekalian.
Namun satu hal kita memang perlu saling mengingatkan bahwa, soal yang “relevant” adalah sederhana bukan mencari relevant dengan kehidupan berarti membuat soal nampak susah karena anggapan kita belajar susah berarti belajar kehidupan.