Belajar menjadi warga dunia digital
Mengusung pengajaran dan pembelajaran abad 21, seorang pendidik perlu memahami ketrampilan yang wajib dibekali kepada para siswa sekaligus wajib dimiliki oleh pendidik agar mampu menjembatani siswa dengan jamannya. Ketrampilan abad 21 didefinisikan dalam bermacam cara, dengan komponen utamanya adalah ketrampilan belajar dan berpikir (pemikiran yang lebih tinggi, perencanaan, pengelolaan, kerjasama), melek teknologi (menggunakan teknologi dalam pembelajaran), dan ketrampilan menjadi seseorang pemimpin (kreatifitas, etika dan menciptakan produk). Benang merah dari semua ketrampilan itu adalah teknologi dan bersama dengan teknologi, terkait masalah kultural dalam kehidupan ber-internet, dimana salah satunya adalah etiket.
Teknologi komunikasi adalah sebuah kenyataan hidup sekarang ini. Menghadapi anak-anak generasi Z ini kadang membuat kita terperangah dan berpikir “ini anak-anak kok bisa semua ya? Kapan mereka belajarnya?” Saya sering berseloroh, sambil mengatakan kalau anak-anak ini memang tidak perlu belajar lagi, dari lahir saja dia sudah tahu.
Sebaliknya, jika kebetulan seorang pendidik memiliki “gadget” canggih, dipakai untuk apakah “gadget” tersebut? Foto-foto di dalam kelas, tempat menaruh daftar nilai siswa, di bawa masuk dan keluar kelas (baca: ditenteng). Salah? Tidak, tapi hati-hati, siswa kita lebih paham bahwa kita belum maksimal menggunakan atau memanfaatkan alat tersebut untuk membantu pembelajaran mereka. Apalagi kalau hanya ujung-ujungnya semua bentuk pengajaran si guru masih terpaku pada cara kaku dan belum memacu diri untuk berkembang dan menjangkau siswa lewat cara yang mereka ketahui dan pelajari.
Dalam usaha menjangkau siswa-siswa saya, ada beberapa point yang saya temukan. Beberapa diantaranya saya coba bagikan dibawah ini:
Bisa dimulai dengan menggunakan social media sebagai pengganti papan pengumuman+.
Untuk pengumuman bersifat internal yang melibatkan siswa dan guru mata pelajaran tertentu, buatlah menjadi sebuah pengumuman resmi melalui social media yang melibatkan mereka. Hindari buat pengumuman di facebook atau twitter tetapi belum menginformasikan “username” kita di sana :p . Ajak mereka untuk saling menyebarkan informasi tadi melalui banyak jalur yang memungkinkan bagi mereka.
Distribusikan bahan rangkuman melalui situs web, Lakukan Tanya jawab soal melalui socmed.
Bahan ajar yang kita sajikan di kelas dapat kembali diakses oleh siswa. Banyak dari kita memulai dengan memberikan “handouts” atau “worksheet” kepada siswa, dilanjutkan dengan memberikan presentasi PPT yang disajikan di kelas dalam bentuk soft copy, mengijinkan siswa mengambil foto menggunakan kamera ponsel pada hasil pelajaran yang tertera di papan tulis, mem-video-kan hasil pembelajaran dari layar papan tulis virtual (seperti contoh ini). Guru tidak perlu merasa bersaing dengan siswa karena bagian yang guru berikan baru sebagian kecil dari apa yang akan siswa kita alami di kemudian hari. Pembekalan untuk mereka bukan hanya dari satu mata pelajaran kita, tetapi ajaklah siswa mengenal lebih banyak hal positif untuk menunjang masa depannya.
Setelah dipostkan melalui situs web, dan siswa mengulang kembali pelajarannya, maka sediakan waktu untuk sebisanya menjawab soal ataupun materi yang belum dimengerti melalui social media. Di sisi ini, kita melatih siswa, membantu siswa mengasah kecerdasan interpersonalnya di mana salah satunya adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Siswa belajar mengamati dalam forum social media, sudahkah ada pertanyaan serupa yang diajukan temannya kepada kita gurunya, memahami maksud dengan cepat untuk 140 karakter tulisan saja, jika ada teman yang ikutan bertanya dan masih salah interpretasi soal maka dirinya tergerak untuk menjawab dan membantunya.
Dengan melakukan hal inipun, guru ikut belajar dan (semoga) makin mengenal pribadi siswanya. Saya mengalami siswa yang sangat terbuka di depan public social media untuk bertanya dan merespon apa adanya, tapi saya juga mengalami pribadi siswa yang cenderung tertutup mengungkapkan pertanyaan di public karena mungkin kurang nyaman, atau nanti ketahuan, lalu siswa tetap berinisiatif mengontak saya secara personal. Sebisa mungkin pula, saya mengajarkan kepada mereka bahwa forum tanya jawab di social media justru bisa menjadi lebih positif karena siswa terasah secara social untuk beradaptasi, mencermati pembicaraan yang telah terjadi maupun yang sedang dan akan terjadi. Jika ada siswa yang merasa malu atau tidak percaya diri, sangat wajar. Tugas gurulah yang mampu membaca situasi dan membantu menjembataninya.
Lakukan Quiz online dengan berkali kali kesempatan menjawab.
Jika seorang guru kebetulan sudah menggunakan kelas online, coba lah untuk menjalankan quiz dengan kesempatan lebih dari sekali untuk menjawab pertanyaan pada quiz online. Ragukah guru melakukan ini? Masing-masing guru rasanya memiliki argumen yang berbeda. Tapi mungkin ini bisa menjadi salah satu kiat. Memberikan kesempatan mengerjakan soal pada menu quiz online di kelas online lebih dari satu kali, berarti membantu siswa belajar lebih banyak dari biasanya. Jika guru dapat menyiapkan feedback dari setiap persoalan yang ditampilkan, maka siswa menjadi lebih belajar lagi menemukan kesalahannya di mana dan setelah dia mengerti dari feedback yang disediakan, siswa merasa terpacu untuk menerima tantangan kedua yakni kesempatan kedua untuk kembali mengerjakan quiz online. Tentu saja tips ini bukan selalu harus seperti ini, bisa saling dikombinasikan dengan cara lain. Guru harus memiliki niat positif bahwa siswanya akan mau belajar secara mandiri, jauhkan dulu rasa cemas bahwa itu akan membuat siswa malas karena menunggu jawaban, karena hasil utama dari quiz dengan kesempatan berkali-kali bukanlah nilai, tetapi proses dan pembentukan mental.
Unggah hasil kerja anak, baik foto maupun file kerjanya dalam situs social.
Salah satu bentuk apresiasi guru kepada siswa adalah menghargai hasil kerjanya. Hasil kerjanya beragam, dapat berupa “project” , PR (Pekerjaan Rumah) bahkan kegiatan belajar di kelas. Jika hasil kerja mereka kita abadikan dengan cara mengunggah di situs web ataupun social media, maka hal ini bisa membangun rasa percaya diri siswa akan apa yang sudah dia lakukan.
Guru tidak harus secanggih siswa dalam penggunaan, tetapi harus aktif dan berani belajar.
Akhirnya sebuah ungkapan guru juga pelajar :), bukan seorang yang harus menguasai semuanya. Percayalah bahwa rekan siswa kita bisa menjadi jauh lebih canggih karena mereka memang datang dan lahir di era ini. Adaptasi mereka menjadi jauh lebih mulus dari pada para orang tua dan guru mereka sendiri. Mengajak siswa menjadi warga dunia digital. Tetapi bagaimana mereka bisa terdidik sebagai warga dunia digital kalau guru mereka membentengi dirinya tidak mau terjun di sana, tidak mau mencoba menggunakannya dengan beribu alasan. Cobalah menjadi terlibat dan bukan sekedar update status, tetapi gunakan dalam pembelajaran mereka.
* Berikut contoh sampel dari saya sebagai gurunya X_X dan mereka yang masuk kategori sangat baik:
Atau jika ingin membaca cerita investigasi ala matematika (binary number) dapat diklik pada link berikut: HOMICIDE STORY
Terbentur dengan tidak mampu? Berani belajar, itu salah satu kata kuncinya. Berani aktif, berani mencoba, dan tidak menganggap siswa sebagai ajang bersaing kecanggihan (karena itu akan sia-sia), maka rekan guru akan lebih mudah beradaptasi dan membantu memacu kita belajar, baik akademis sekaligus non akademis.
Semoga!!