Pembelajaran Hibrida

Artikel Pilihan di Kompasiana

Hibrida atau hibrid dalam bahasa Indonesia berarti memadukan dua hal menjadi satu sehingga menghasilkan hasil baru yang diharapkan lebih baik dari sebelumnya.

Beberapa definisi dari “Hybrid Learning”, salah satunya dari Owl Labs, Hybrid learning is an educational model where some students attend class in-person, while others join the class virtually from home. Educators teach remote and in-person students at the same time using tools like video conferencing hardware and software. In hybrid learning models, asynchronous teaching methods can be used to supplement synchronous, face-to-face instruction.

Pembelajaran hibrida adalah model pembelajaran yang memadukan metode langsung / tatap muka / luring dengan daring (siswa di rumah) dalam waktu yang bersamaan.

“Hybrid Learning” berbeda dengan “Blended Learning”. Dalam blended learning, menggabungkan pengajaran secara langsung (tatap muka) dengan metode pembelajaran asinkron, di mana siswa mengerjakan latihan online dan menonton video instruksional selama waktu mereka sendiri. Nah, yang blended ini, rasanya lebih dikenal karena bagi beberapa guru sudah terbiasa memberikan metode asinkron di kelas online maupun mempersiapkan video pelajaran untuk siswanya.

Kata kunci di sini adalah “dalam waktu yang bersamaan”. Bagaimana membayangkan mengajar di kelas secara langsung yang siswanya sedang menatap kita, sekaligus kepada siswa lain di rumah mereka masing-masing.

Oh mungkin begini, videokan saja semua. Video satu arah. Ya, silahkan, videokan dari kamera HP atau kamera-kamera lain yang diletakkan di belakang kelas atau bahkan bisa “mobile”, lalu guru bicara depan kelas yang ada siswa, mengajar dengan tulis-tulis di papan atau memberi slide presentasi, berharap yang streaming di rumah bisa melihat penjelasan tulisan / slide di papan / layar dan mendengar suara gurunya melalui video dengan jernih (mundur ke belakang, glorifikasi “teacher centered” lagi deh 😀 ). Eh tapi, siapa tahu guru mendapat fasilitas satu orang asisten yang menjadi operator pembuat videonya. 😉 #ngarepdotcom

Oh, bagaimana kalau ini, video bukan satu arah tetapi tetap dengan video konferensi, dan diletakkan di dekat guru berdiri di depan papan tulis / layar presentasi, sehingga siswa yang di rumah dapat terlibat interaktif langsung dengan gurunya yang sedang mengajar. Kualitas suara dan gambar bisa-bisa masih sama sih, belum terlalu jelas. Kecuali…..setiap guru mendapatkan jatah SWIVL, Video & Audio Recording, Motion-Detecting, Robot Partner. #mimpi

Ah atau begini, di sekolah synchronous, di rumah asynchronous. Di sekolah dengan guru, di rumah belajar mandiri (dikasih tugas / PR / project / lembar kerja / apapun deh). Kan nanti tukeran. Ya, silahkan sepanjang tidak melupakan bahwa waktu melakukan tukar menukar ini, ada waktu yang terbuang, jadi tolong tidak menjadikan alasan mengajar kilat demi materi yang “nampak” diselesaikan.

Jadi bagaimana?

Pada dasarnya pendidikan harus tetap diupayakan, bukan? Sepakatkah sampai bagian ini? Mencari metode yang paling tepat dan sesuai dengan kondisi sekolah, guru dan siswa, tetap yang terbaik.

Dan apakah tren sekolah hibrid ini sudah pasti yang terbaik dilakukan karena mengingat berbagai tempat dan aktifitas lain sudah makin mendekati normal? Bagian ini harus benar-benar hati-hati. Bagi saya pribadi, dengan masih adanya kasus dan belum resmi diberikannya vaksin, maka tetap harus waspada. Sekolah jarak jauh 100% yang sudah saya lakoni dari bulan Maret 2020 masih merupakan metode terbaik untuk keselamatan siswa saya, bukan hibrid.

Jika tetap harus hibrid?

Pola pikir kita sebaiknya menempatkan metode hibrid ini adalah sebagai hal baru (setidaknya bagi saya, karena belum pernah punya pengalaman ini). Pasti perlu banyak penyesuaian. Jadi mari belajar, baik orang tua, guru, siswa maupun sekolah. Mari kita bersiap dengan belajar kembali menerapkan hibrid yang benar sesuai hakikatnya. Bukan hanya yang penting datang ke sekolah, dan klaim telah mengikuti protokol kesehatan saja. Tapi lebih  jauh lagi, apakah dengan datang ke sekolah siswa benar dapat belajar lebih baik daripada di rumah sementara fasilitas pembelajaran jarak jauh selama ini misalnya sudah berjalan baik? Jangan terjebak “harus hibrid” yang mementingkan kesiapan alat saja, di mana akhirnya penyampaian pelajaran kembali mundur jauh ke belakang, semacam hanya merekam satu arah kejadian di kelas (bersama sejumlah siswa yang giliran datang ke sekolah) tanpa inovatif dan interaktif metode mengajar yang lain lagi. Terlalu fokus pada guru (teacher centered) dan menjadi “lecture style” melulu. Pembuat kebijakan sekolah sebaiknya hati-hati dengan hal ini.

Saya pribadi belum mempunyai jawaban pasti, namun pertanyaan inipun pasti kembali kepada diri sendiri. Saya merasa siswa yang akan kembali datang ke sekolah ditujukan untuk lebih membuka peluang interaksi sosialnya, untuk berkomunikasi tatap muka langsung, untuk berolah raga di bawah sinar matahari, untuk mengekspresikan diri di hal-hal pelajaran bahasa, drama, kesenian, atau untuk praktek sebuah teori seperti memasak atau kerja di laboratorium. Sementara untuk pelajaran lain yang sudah jalan dengan baik secara online selama ini, akan tetap online walau siswanya hadir di kelas bersama kita, sehingga siswa yang sedang belajar di rumah tetap melangkah bersama dan tidak merasa ketinggalan dibanding temannya yang sedang di sekolah.

Berarti, kembali lagi, bukan generalisasi keadaan semua harus hibrid, namun betul-betul sesuai kondisi terbaik di komunitas sekolahnya.

 

Ketika Kata Lonte Dijadikan Konten

Menurut KBBI daring, arti kata lonte adalah perempuan jalang; wanita tunasusila; pelacur; sundal; jobong; cabo; munci. 

Kata-kata yang saya sendiri saja tidak tahu semuanya selama ini. Lalu menjadi tertarik mengetikannya di kolom KBBI daring karena beberapa hari terakhir, kata “lonte” menjadi terlalu “populer” (populer bukan untuk kebaikan, ini yang bikin malas sebenarnya).

Memang kita tidak bisa menutup mata lalu menyembunyikan kata tersebut dari pertanyaan seorang anak kecil misalnya, yang ingin tahu dan penasaran karena mendadak ramai diperbincangkan di media sosial. Kata itu adalah resmi untuk bahasa Indonesia, makanya ada di kamus besar.

Tidak perlu tabu, tidak ada yang salah dengan kata tersebut. Yang menjadi salah di sini adalah jika seorang wanita melakukan pekerjaan tersebut. Salahpun adalah tanggung jawab dia kepada “Yang Di Atas” , bukan kepada kita, apalagi kepada saya.

Yang menjadi (((((((tidak tahu musti komentar apa lagi))))))) adalah ketika kata tersebut diucapkan berkali-kali dalam konten ceramah memperingati perayaan keagamaan. 

Menjadi gulungan kasus panjang yang musti diurai satu persatu. Mulai dari mana? Tidak tahu. Yang saya rasakan, ada kelompok yang segitu menganggap memang rakyat di negara ini adalah bodoh semua dan mampu digiring melakoni politik identitas agama. 

Jika benar ingin merayakan hari besar suatu agama, kita sebagai manusia berakal budi dan memiliki nalar, tentu tidak akan habis berpikir, mengapa kata lonte meluncur deras dari mulut seseorang yang sedang tampil di podium membicarakan keagamaan. Setiap kata lonte yang terlontar dalam konten ucapannya, “gerrrr” gemuruh kegirangan dari pasukan pendengarnya dan diamini pula. Semakin “absurd” adalah diakhiri doa yang menyumpahi Ibu Mega dan Pak Jokowi berumur pendek. 

Jadi kata lonte ini dipakai untuk mendeskripsikan Nikita Mirzani. Saya tidak akan berkomentar tentang benar atau salah, sekali lagi kembali kepada apakah kita berakal budi dan bernalar, silahkan nilai sendiri.

Tidak pernah memfavoritkan Nikita sebagai pesohor negeri ini, namun beberapa gebrakan dia cukup bisa membuat saya berkata “kamu hebat, kamu keren”.

Akhirnya dua hari ini, menjadi ajang bernostalgia saja dengan Nikita dari Elton John

Salam Nostalgia <3

Kamera Nyala VS Kamera Mati

Artikel Pilihan Kompasiana

Sejak Maret 2020, dengan terpaksa semua sekolah memulai era di mana pembelajaran harus dilakukan secara jarak jauh. Sudah tidak ada tawar menawar lagi.

Banyak opini bahwa sekolah harus tetap berjalan, karena pendidikan tidak boleh terputus begitu saja, bukan? Wah, saya selaku salah satu pendidik di sekolah, setuju pakai banget, bahwa pembelajaran tidak boleh terputus. Secara ini pendidikan dan ini profesi profesional saya. 🙂

Pada saat “terpaksa” harus tetap menjalankan sekolah tadi, maka banyak opini, banyak argumen, mengenai bagaimana cara paling efektifnya. Berlomba-lombalah, para “pakar pendidikan” membagikan tips dan trik untuk kami para guru. Tentu saja, terima kasih atas masukan-masukannya. Begitu banyak, maka kita harus pandai-pandai menyesuaikan mana yang pas, cocok dan terbaik bagi siswa kita.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah opini bahwa mengajar siswa (fokus saya adalah di jenjang SMP-SMA) itu adalah harus melihat siswanya, seperti keadaan normal, bertemu di ruang kelas, di area sekolah dan berkegiatan belajar ataupun penilaian semua diupayakan selaras dengan keadaan normal tadi.

Pertemuan tatap muka secara online. Teknologi telah mempermudah kehidupan manusia. Sudah bertebaran teknologi video call, antar dua individu atau dalam sebuah grup sekaligus. Jadi sebagian berpikir bahwa ini akan memudahkan “perpindahan / pergeseran” pembelajaran dari sekolah ke rumah, “remote learning”.

Maka dimulailah “sekolah online” dengan berusaha sebaik mungkin memindahkan kegiatan sehari-hari di kelas ke dalam ruang tangkapan layar komputer / laptop dengan video konferensi. Guru dan siswa kedua pihak menyalakan kamera agar tatap muka tadi tetap berlangsung sama seperti normal. 

Fokus kepada video konferensi dalam mengajar, mengakibatkan perdebatan antara kamera dinyalakan atau dimatikan.

Pembicaraan, diskusi dengan beberapa kalangan guru, rata-rata menginginkan kamera selalu dinyalakan selama mengajar.

“Bicara di depan layar komputer sendiri tanpa melihat wajah siswa, kok merasa seperti orang aneh, bicara sendiri”. Alasan ini paling banyak, apakah anda juga ada di sini? 😀

“Dengan melihat siswa maka saya dapat tahu, dia memperhatikan pelajaran atau tidak”. Ini pun alasan cukup banyak terungkap. Hati-hati di sini, tips untuk bapak/ibu guru, jangankan wajah di depan kamera, wajah di depan kita saja siswa duduk di dalam kelas, pikirannya bisa menerawang dan tangannya coret-coret di kertas (menulis / menggambar).

“Saya merasa siswa harus melihat mimik wajah saya pada saat menjelaskan pelajaran agar mereka mengerti lebih cepat.” Aha, ini guru yang punya bakat menjadi seorang “entertainer”. 

Masih ada beberapa alasan lain namun tiga di atas rasanya yang paling sering diungkapkan. Rekan-rekan guru sekalian, bagaimana dengan anda. Apakah ada di antara tiga di atas? Bebas saja kok.

Sekarang mari kita melihat sisi siswa. Siswa pun ada yang memiliki tipe “entertainer” tadi, dia suka sekali tampil dan berpose di depan kamera. Bakat, bagus sekali itu. Sementara ada siswa yang jengah menyalakan kamera karena berbagai hal. Latar belakang tempat siswa duduk di rumah agak berantakan, ada anggota keluarga lain yang lalu lalang, perasaan kurang nyaman memperlihatkan wajah ke kamera, dan hal – hal lain yang mereka sendiri susah untuk mengungkapkan.

Sebagai guru, apakah dengan “kekuasaan” yang kita miliki maka kita tinggal perintah “pokoknya harus nyala”?  Tidak menyalakan kamera maka akan ada pengurangan nilai partisipasi kegiatan di kelas, bahkan pengurangan nilai sebuah penilaian akademis. Wah, semoga jangan ya :). 

Prinsip memindahkan sekolah ke rumah maka harus ada pertemuan tatap muka, dan selanjutnya agar bisa menatap siswa maka kamera harus dinyalakan. Kamera yang dimatikan artinya tidak ada proses tatap muka, maka tidak ada persekolahan. Ini yang sebaiknya jangan sampai terjadi. Sukses tidaknya sebuah pembelajaran bukan ditentukan dengan kamera saling menyala baik guru dan siswa.

Namun saya menyadari, hasil dari pengamatan sekitar, pembicaraan dengan rekan-rekan, ungkapan guru-guru melalui media sosial, masih cukup sulit rupanya diterima oleh pemikiran guru dan sekolah bahwa tanpa kamera pun proses belajar masih bisa berlangsung.

Mengajak siswa terlibat saat pembelajaran berlangsung, banyak sekali alatnya, gratis maupun berbayar. Gratis misalnya dengan memanfaatkan papan tulis berbagi, dokumen berbagi, slide presentasi berbagi. Yang berbayar dan personal dengan siswa, misalnya ada pear deck, nearpod. Jadi keterlibatan itu bukan hanya harus melihat wajah saja, kan?

Edutopia mengeluarkan sebuah artikel berisikan strategi untuk membuat siswa yang sungkan menyalakan kamera menjadi berinisiatif menyalakan. Sisi menariknya, menambah informasi bagi kita untuk belajar strategi tersebut. Terutama jika sebagai guru, dirinya juga pandai sekali bercerita dan memecah belah suasana menjadi sebuah “entertainment” bagi siswanya. Namun, di sisi lain, bagi guru yang lebih pendiam, “straight forward”, akan kesulitan dan malah menjadi “garing” jika memaksakan melakukan “ice breaking” atau permainan di jam pelajarannya. Plus, strategi untuk menarik minat menyalakan kamera dengan permainan juga tidak dapat dikatakan sama dengan selama pembelajaran inti setelahnya, iya kan?

Hal yang menarik, sehari setelah ditayangkan artikel tersebut, Edutopia kembali menuliskan dalam lini masa twitternya bahwa jika ada guru-guru lain yang kesulitan dengan meminta siswa menyalakan kamera, silahkan saling berbagi cara lain (yang maksudnya bukan sekedar pemecah suasana dan permainan saja), dan mempersiapkan pengajaran tanpa kamera tadi. Di sini terlihat bahwa memang beberapa pihak mengajukan keberatan bahwa anggapan pembelajaran tanpa kamera menghasilkan hasil yang lebih rendah daripada dengan kamera menyala, sehingga seolah-olah perlu strategi membuat siswa menyalakan kamera. 

Karena semua itu sangat bergantung pada situasi dan kondisi kelas dan pelajarannya. Jika cukup dengan audio yang menyala dan media interaksi yang melibatkan siswa mampu membuat suasana kelas online kita menjadi hidup, maka mengapa harus menyalakan kamera? Saat anak-anak aktif bekerja di media seperti pear deck misalnya, mereka tidak butuh melihat wajah kita gurunya. Namun, guru dapat langsung menegur, menyela, memberi “feedback” pada saat kegiatan pembelajaran itu berlangsung. Lebih seru, bukan? Semoga.

Dua contoh video, pembelajaran menggunakan peardeck. Contoh pertama, setelah metode “synchronous” di kelas, dilanjutkan dengan “asynchronous” untuk siswa yang ingin mereview sendiri.

 

 

snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake snowflake